Sunday, July 25, 2004

Tradisi Balas Dendam atau Melatih Mental?

Minggu, 25 Juli 2004 / Kompas

MASA orientasi siswa atau MOS yang dimulai awal pekan ini pada hampir semua sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) bisa menjadi masa yang tidak terlupakan. Baik bagi pesertanya, siswa kelas I, maupun pembinanya, siswa kelas II dan III.
Bagi siswa kelas I, MOS bisa jadi merupakan masa yang menegangkan, sedangkan bagi siswa kelas II dan III inilah masa yang menyenangkan. Inilah saat di mana mereka memasuki tahap menjadi senior, kaum yang harus dihormati oleh adik kelas yang baru masuk. Menjadi senior berarti mereka memiliki "kekuasaan" yang tahun sebelumnya tidak dimiliki.
"Aku sudah menunggu tahap ini sejak dua tahun lalu. Selama dua tahun aku selalu menahan diri untuk tidak melanggar apa yang yunior tidak boleh lakukan. Aku pikir sabar saja, toh nanti waktunya akan datang juga. Makanya, aku heran, kok sepertinya anak kelas I sekarang langsung ingin merasakan apa yang belum menjadi hak mereka," kata Mila (17), siswa kelas III sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Mila menyayangkan saat ini MOS tidak lagi dipegang oleh siswa senior, tetapi langsung di bawah pengawasan sekolah. Bahkan, kegiatan apa pun yang diselenggarakan oleh senior terhadap yuniornya harus seizin pengelola sekolah. Inilah untuk pertama kalinya MOS pada SMA tersebut diselenggarakan oleh sekolah. Hal ini tentu saja membuat setidaknya sebagian murid senior kecewa.
"Sudah kelihatan, anak-anak kelas I sekarang agak lembek. Tidak bisa menjawab pertanyaan dengan tegas. Buktinya, ketika ditanya mau tidak menjadi anggota OSIS, ada yang menjawab tidak. Alasannya, malas saja. Itu kan bukan jawaban orang cerdas," ujar Levi (17), salah seorang senior.
Berbeda dengan ketika Levi masuk kelas I, saat itu murid kelas I mendapat pelatihan langsung dari kakak-kakak seniornya sejak dari MOS hingga selama setahun. Mereka mendapat berbagai macam tugas dari seniornya. Jika salah atau lupa mengerjakan, mereka akan mendapat "bimbingan mental" seperti omelan dan hukuman berupa tugas tambahan.
"Walau begitu, kami tidak pernah fisik. bentakan memang ada, tetapi itu sih masih taraf wajar. Lagi pula, semua yang kami lakukan untuk membina mereka agar jangan cengeng. Agar mereka terbiasa dengan tugas-tugas di sekolah yang berat. Jadi, ini memang buat kepentingan mereka juga," kata Smitha (17), senior lainnya.
Menurut Levi, anak-anak yunior harus terbiasa dengan situasi yang sulit dan penuh tekanan karena di mana pun dia hidup, dia bakal merasakan hal tersebut. "Misalnya di tempat kerja nanti, mereka juga akan menghadapi senioritas yang mungkin lebih parah daripada sekolah," Levi menambahkan.
Mila menceritakan pengalamannya, ketika dia masih kelas I pernah dipanggil untuk bernyanyi dan menari oleh seniornya. "Tiba-tiba saja saya dipanggil tanpa sebab. Mereka tertawa-tawa melihat saya menari. Saya tidak marah, justru senang karena bisa membuat mereka tertawa," katanya.
Dia memang sempat merasa ingin menangis karena kesal, tetapi hal itu bisa diatasinya. "Saya pikir itu bagus juga karena saya jadi kuat, tidak cengeng. Dengan teman-teman seangkatan, kami jadi kompak," ujar Mila yang berambut pendek.
Pelatihan mental yang dilakukan para senior terhadap adik kelasnya antara lain mengharuskan murid kelas I mencari data tentang kakak-kakak kelasnya, meminta tanda tangan pengurus OSIS sampai guru dalam jumlah tertentu. Murid kelas I juga memakai atribut tertentu, seperti tas dan buku yang sama, memakai dasi kupu dengan warna sama, rambut diekor kuda atau dikepang, sampai tatanan rambut ala Cecep dalam sinetron Wah Cantiknya.
Murid kelas I juga harus memberi hormat dan memanggil "kak" kepada seniornya. Alasan para senior, ini merupakan "pelajaran" agar para yunior mau menghargai orang lain kalau dia ingin dihargai. Sementara sebagian yunior, seperti Kanya (15), merasa apa yang "diajarkan" para senior di sekolahnya bisa diterima.
"Enggak ada kakak kelas yang jutek (maksudnya judes), apalagi memukul. Kalau mereka kasih tugas juga seperti games, kita dikasih petunjuk seperti bawa minuman 6 T, biskuit tulalit, minuman buce li," ujar Kanya murid kelas I SMA negeri di Kebayoran Baru.
Adakah dia merasakan kegunaan MOS? Menurut Kanya dan juga Andi (15), siswa kelas I sebuah SMA negeri di Jakarta Barat, kegiatan itu sudah merupakan tradisi yang seakan tak tertolakkan. "Ya saya mencoba menikmati saja. Saya enggak repot juga, enggak harus bawa ini-itu. Paling-paling disuruh joget atau nyanyi… biasalah, jadi fun aja," tambah Andi.
NAMUN tak semua siswa setuju dengan MOS. Martha, siswa kelas II SMA swasta di Jakarta Selatan, tidak setuju MOS. Alasannya, MOS menjadi wadah kelangsungan sistem senioritas di sekolah. "Tugas yang diberikan kakak kelas sangat banyak, padahal tugas dari sekolah juga banyak. Saya lebih mementingkan tugas dari sekolah karena saya di sini untuk sekolah bukan untuk kakak kelas. Akibatnya, saya selalu kena semprot kakak kelas," kata Martha.
Tugas dari kakak kelas yang dimaksud Martha misalnya tugas untuk kegiatan ekstrakurikuler yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan kegiatan tersebut. Contohnya mencari data tentang kakak kelas yang tak menambah pengetahuan dan keterampilan.
"Mencari data itu menghabiskan energi dan waktu. Setiap hari, gara-gara mencari data, saya harus pulang paling cepat pukul 15.00. Bayangkan saja, pulang jam segitu macetnya seperti apa. Belum kalau saya harus mencari barang yang ditugaskan kakak kelas, akhirnya tugas dari sekolah berantakan," ungkap Martha.
Risa (15), siswa kelas I SMA di Jakarta Selatan lainnya, mengatakan, biasanya anak kelas I juga harus menghormati seniornya dengan cara menyapa dari dekat di mana pun dia bertemu dengan seniornya. Mereka juga harus menundukkan kepala dalam-dalam bila bertemu seniornya. Kalau hal itu tidak dilakukan, esok harinya si senior akan memanggil adik kelasnya dan "menyemprotnya" dengan kata-kata dan suara keras tepat di telinga si yunior.
Hal semacam itu bagi sebagian murid kelas I tidak dirasakan sebagai sebuah "ujian" ketahanan mental, seperti yang sering menjadi alasan diadakannya MOS, tetapi malah membuat mereka merasa stres dan tidak nyaman dengan lingkungan sekolah.
Orangtua pun umumnya merasa waswas setiap kali anaknya mengikuti MOS. Mereka mengkhawatirkan perlakuan para senior terhadap yunior yang kerap kali lebih terasa merepotkan dan membebani seluruh anggota keluarga daripada manfaatnya.
RATNA Juwita, psikolog sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, berpendapat, setiap orang yang berangkat ke sekolah seharusnya merasa bahagia tanpa ada tekanan apa pun. Bila murid merasa tertekan, misalnya senior yang secara sadar maupun tidak menyebabkan yuniornya merasa tertekan baik secara fisik maupun psikis, berarti telah mengakibatkan adanya siswa yang merasa tidak bahagia di lingkungan sekolah.
Keadaan tersebut akan membuat energi siswa yunior habis terserap untuk mengatasi rasa takutnya. Hal ini bisa mengakibatkan prestasi belajarnya menurun. Kalau hal ini terjadi pada banyak murid yunior, akibat selanjutnya adalah penurunan kualitas lulusan sekolah tersebut. Keluarga murid yunior pun mau tidak mau ikut menjadi korban karena harus turut "pusing" menghadapi anak yang tertekan.
Masalah senioritas yang menekan pihak yang lebih lemah ini muncul nyaris di semua sekolah. "Bahkan, di Jepang, masalah senioritas yang tidak pada tempatnya ini telah mengakibatkan kecenderungan untuk bunuh diri. Bedanya, kalau di Amerika dan Eropa, senior yang menggertak ini banyak terjadi di tingkat SD dan SMP. Sementara di Indonesia, justru di tingkat SMA dan perguruan tinggi, senioritas semakin kuat," kata Ratna.
Dari pengamatannya, masalah senioritas yang menekan ini tidak banyak ditemui di sekolah yang lebih menekankan pada kegiatan akademik dibandingkan dengan pada sekolah yang membiarkan kreativitas berkembang sendiri di antara para muridnya.
Yayasan Semai Insani yang mengadakan penelitian untuk mengembangkan potensi guru dan melakukan survei terhadap murid-murid dari berbagai sekolah baik sekolah biasa maupun unggulan mendapati jawaban di luar perkiraan.
"Semula kita kira akan mendapatkan jawaban bahwa prestasi mereka tidak bisa maksimal karena kualitas guru yang kurang atau cara mengajar yang tidak menarik. Ternyata, dari penelitian itu terungkap, murid-murid tidak mempunyai masalah dengan guru, tetapi mempunyai masalah besar terhadap senior mereka," cerita Ratna tentang penelitian yang dilakukan pada tahun ini.
Masalah senioritas yang menekan ini biasanya terjadi terhadap orang yang posisinya lebih lemah, atau pada orang-orang yang menonjol secara fisik. Misalnya cantik atau tampan, modis, dan sebagainya. Sikap menekan ini ditujukan untuk menyakiti atau merugikan pihak lain yang "kedudukannya" lebih rendah.
Sikap ini cenderung berulang atau dipersepsikan berulang. Artinya, korban pernah mengalami hal ini sekali dan terus merasa ketakutan akan mengalami hal yang sama lagi. Para korban biasanya tidak berani mengadu karena mereka takut atau khawatir dikatakan "makan teman" oleh teman sebayanya. Alasan lainnya, korban merasa gengsi jika tidak kuat menghadapi tekanan itu.
Adapun pelaku penekanan biasanya datang dari orang yang menjadi korban dalam keluarga, atau pernah menjadi korban di lingkungan tempat dia melakukan penekanan. Mereka biasanya datang dari keluarga berada dan mempunyai sikap kepemimpinan yang tinggi. Orang di sekitarnya akan merasa senang berteman dengan dia karena selalu ditraktir dan merasa menjadi kelompok eksis.
Selain pelaku utama, yang termasuk pelaku adalah penonton yang membiarkan hal ini berlangsung terus. Sikap yang mendiamkan atau sekadar ikut tertawa memberikan dukungan sehingga praktik semacam ini terus berlangsung.
Jika didiamkan, tingkat penekanan akan semakin bervariasi dan mungkin semakin dalam, tergantung kreativitas pelakunya.
Menurut Ratna, dihapuskannya MOS tidak akan menyelesaikan masalah karena MOS hanya salah satu kegiatan. Hal yang harus dilakukan adalah memberikan kesadaran bahwa memaki dan menekan yunior itu mempunyai dampak yang tidak baik. Dampak negatifnya lebih banyak daripada dampak positif. Sedangkan sikap-sikap seperti tahan banting dan sebagainya bisa dipupuk dengan cara yang berbeda, bukan dengan penekanan.
Misalnya dengan membangun sikap kerja yang mempertebal daya tahan siswa terhadap stres yang tinggi. Siswa bisa diberi tugas dengan memberlakukan batas waktu tertentu. "Untuk membangun sikap daya tahan tinggi terhadap stres ini otoritasnya ada pada guru, bukan pada siswa senior yang dari sisi emosional maupun kematangannya pun belum stabil," ujarnya.
Bila kedapatan ada siswa yunior yang menyalahi aturan sekolah atau kurang disiplin, hak untuk menegur atau memberi sanksi pun ada pada guru, bukan sesama siswa. Alasannya, guru biasanya mempunyai cara tersendiri yang bisa membuat siswa paham mengapa dia ditegur atau dikenai sanksi. Dengan demikian, siswa belajar kepekaan terhadap disiplin tanpa harus mengalami penekanan secara emosi maupun fisik.
Dia juga mengingatkan bahwa di lingkungan masyarakat perilaku agresif semakin terasa sehingga agresivitas yang muncul juga di lingkungan sekolah akan semakin membuat siswa beradaptasi pada kebiasaan tersebut. Hal yang sedapat mungkin justru mesti dihindari.
"Kalau siswa dihadapkan pada perilaku agresif, dia akan semakin terbiasa dengan sikap tersebut. Semakin lama kemampuannya beradaptasi dengan agresivitas semakin tinggi. Dia jadi terbiasa dengan tindak kekerasan fisik maupun mental. Ini bisa membentuk siswa untuk mempunyai perilaku agresif pula," tambahnya khawatir. (CP/ARN)

No comments: