Wednesday, July 28, 2004

Dirut PT Posindo Alinafiah MBA:Bersiap Menuju Era Transformasi Bisnis

Sinar Harapan , 2/6/03 

KEMAJUAN teknologi tak dapat lagi dikesampingkan. Penggunaan piranti mutakhir kini telah menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan oleh setiap manusia dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk juga untuk memenuhi kebutuhan berkomunikasi jarak jauh.Setelah telepon maupun telepon seluler mempermudah setiap orang melakukan komunikasi jarak jauh, kini hadirnya internet kian membuat komunikasi tak lagi terhalangi oleh bentangan jarak dan waktu. Melalui internet orang bisa saling berkirim kabar dengan memanfaatkan e-mail alias surat elektronik.Keberadaan e-mail ini tak dapat dipungkiri membuat pengiriman surat konvensional mulai ditinggalkan orang. Kondisi ini tentu saja berpengaruh terhadap kinerja PT Pos Indonesia (Posindo) sebagai penyedia jasa dengan bisnis inti jasa komunikasi pengiriman surat-menyurat. PT Posindo tidak dapat berdiam diri menghadapi hal tersebut. Kehadiran e-mail menjadi tantangan tersendiri agar BUMN ini mampu tetap bertahan dan konsisten dalam memberi layanan kepada masyarakat.Hal ini memang bukan pekerjaan yang mudah. Dan pekerjaan ini kini ada di pundak Alinafiah MBA selaku Direktur Utama PT Posindo. ’’Seluruh jajaran di Posindo sadar betul bahwa kami kini hidup dalam era persaingan yang sangat ketat,’’ ujar Alinafiah dalam percakapan dengan SH, belum lama ini, di BandungPosindo memang tidak bisa berdiam diri menghadapi ketatnya persaingan tersebut. Faktanya selama beberapa tahun terakhir ini Posindo mengalami kesulitan baik finansial maupun nonfinansial. Tahun lalu saja bisnis yang ditekuni Posindo hanya mampu tumbuh rata-rata 15,63 persen, sementara pertumbuhan biaya operasi masih di atas 18,67 persen. Apabila tidak dilakukan upaya perbaikan maka dikhawatirkan kelangsungan hidup perusahaan menjadi terancam.Langkah yang dilakukan adalah dengan inovasi layanan serta produk yang ditawarkan. Posindo tak lagi terbatas pada apa yang dipunyai, melainkan memproduksi apa yang masyarakat kehendaki. Bisnis inti pun dikembangkan. Bukan hanya bisnis komunikasi, tetapi merambah pula ke bisnis logistik serta bisnis keuangan dan keagenan.Produk yang ditawarkan dalam bisnis komunikasi antara lain surat pos tercatat, surat pos kilat khusus, Surat Elektronik Simpati (Ratron Simpati), Express Mail Service (EMS), City Kurir, Express Post dan SMS Pos.Bisnis logistik meliputi paket pos biasa, paket pos kilat khusus, paket pos perlakuan khusus, paket pos optima dalam negeri, paket pos optima luar negeri serta layanan total logistik dan perfect delivery. Untuk bisnis keuangan dan keagenan Posindo antara lain menawarkan layanan wesel pos, giro pos, western union/money transfer, wesel pos Visa Electron dan cek pos wisata. Posindo juga mengembangkan fasilitas payment point yang memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk menerima dan melakukan pembayaran rutin. Seperti pembayaran rekening telepon, PDAM, PLN, gaji hingga pembayaran tagihan lainnya.Pihak ketiga juga digaet untuk bekerja sama dalam mengembangkan inovasi produk Posindo. Seperti operator telepon seluler macam Telkomsel, Excelcomindo serta Satelindo yang digaet untuk mengembangkan layanan SMS Pos. Kemudian Posindo bersama-sama TNT menangani produk Express Pos, dengan PT Garuda Indonesia dikembangkan layanan Perfect Delivery. Posindo juga bekerja sama dengan sejumlah bank seperti Bank BNI, Bank BTN, Bank Niaga hingga Western Union dalam memberi layanan keuangan.Dengan keterlibatan pihak ketiga ini Posindo mengusung misi yang prestisius. Alinafiah menyebutkan, misi Posindo antara lain adalah mengembangkan usaha yang memiliki daya saing kuat baik di pasar domestik maupun pasar asing.Misi SosialMisi lain yang diemban oleh Posindo adalah memberikan pelayanan untuk kemanfaatan umum yang menjangkau seluruh pelosok Tanah Air. Dengan misi yang bersifat sosial ini Posindo diakui Alinafiah berada dalam sebuah dilema. Di satu sisi dituntut untuk memperoleh profit, tetapi di sisi lain tetap diharuskan memberi layanan kepada seluruh masyarakat tanpa terkecuali.Memang sejak 20 Juni 1995 status Posindo berubah dari Perum Pos Giro menjadi PT Posindo. Perubahan status ini dilaksanakan berdasarkan PP No 5 Tahun 1995. Status sebagai persero ini membawa konsekuensi bahwa Posindo harus mampu menghasilkan keuntungan sebagaimana yang ditargetkan oleh Kementerian Negara BUMN.Misi sosial yang diemban membuat Posindo tetap harus memberikan layanan jasa pos kepada masyarakat hingga ke pelosok daerah. Padahal layanan jasa pos di pelosok itu dari sisi komersial sama sekali tidak menguntungkan. Justru Posindo harus menanggung kerugian.Dari sekitar 24.035 kantor pos yang tersebar di seluruh Indonesia, sebanyak 40 persen di antaranya selalu mengalami kerugian. Biaya operasional kantor pos tersebut selalu lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Untuk menutup biaya operasional tersebut Posindo terpaksa menerapkan subsidi silang. Kantor-kantor pos yang selama ini memperoleh keuntungan seperti yang ada di Jabotabek dan kota besar lainnya, akhirnya harus menyubsidi kantor-kantor pos yang merugi tersebut. Langkah ini terpaksa ditempuh agar seluruh masyarakat tetap dapat memanfaatkan layanan jasa pos.Setiap tahun harus memberi subsidi membuat pendapatan Posindo pun menurun. ’’Subsidi silang jelas tidak menguntungkan kami. Namun kami tetap pada komitmen untuk memberikan layanan kepada seluruh masyarakat. Kantor pos yang merugi tetap kami operasikan selama masyarakat sekitar masih butuh layanan kami,’’ ujar Alinafiah.Bila BUMN lain yang memberi layanan kepada publik memperoleh public service obligation (PSO), maka Posindo pun berharap hal yang sama. Bantuan PSO dari pemerintah dikatakan Alinafiah sangat berarti bagi Posindo.Riset telah dilakukan. Dari hasil riset tersebut setidaknya Posindo membutuhkan PSO sebesar Rp 90 miliar. Alinafiah menyebutkan PSO ini antara lain dipergunakan untuk tetap mengoperasikan kantor-kantor pos yang masuk kategori merugi. Menurut Alinafiah, pihaknya sudah mengajukan permintaan PSO tersebut kepada pemerintah melalui Menteri Perhubungan. Sampai saat ini permintaan PSO itu belum dikabulkan. Mengingat kondisi keuangan pemerintah masih belum membaik, Alinafiah bisa memaklumi bila kemudian PSO itu tidak dipenuhi seluruhnya. ”Berapa pun PSO yang diberikan akan sangat bermanfaat bagi Posindo,” kata pria kelahiran Medan, 13 November 1953 tersebut.Transformasi BisnisPersaingan di era global yang semakin ketat tampaknya disadari betul oleh Alinafiah. Maka tidak bisa tidak, perbaikan kinerja Posindo harus dilakukan. Pada tahun 2003 ini di bawah komando Alinafiah Posindo mencanangkan Program Transformasi Bisnis. Program ini merupakan amanat dari hasil RUPS Posindo Tahun 2002 yang dilakukan pada tanggal 27 Februari 2003 lalu.Transformasi Bisnis dilaksanakan bersifat komprehensif dan mendasar dengan dilandasi oleh falsafah Good Corporate Governance (GCG), Strong Leadership serta penetapan strategi dan kebijakan yang tepat. Menurut Alinafiah falsafah itu menjadi dasar bagi manajemen untuk melakukan transformasi bisnis.Ada 6 strategi yang ditargetkan. Pertama, reposisi untuk memperkuat kompetensi perusahaan melalui integrasi jaringan fisik dan virtual untuk mendukung terintegrasinya titik-titik layanan yang terfragmentasi. Kemudian strategi reinventing business yang klasifikasinya berdasarkan costumer driven, volume, process similarity, time sensitivity dan product attribute.Strategi ketiga adalah Reengineering The Business Process yang bertujuan agar bisnis menjadi lebih efisien serta memberi konstribusi keuntungan dan pertumbuhan. Strategi keempat adalah reorganizing and restructuring yang didasarkan kepada produk dan kebutuhan konsumen.Strategi lainnya adalah Rightsizing yang berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM sesuai dengan kebutuhan bisnis di masa mendatang. ”Strategi yang terakhir adalah Resources Allocation,” ujar Alinafiah. Dengan strategi ini maka alokasi sumber daya finansial maupun nonfinansial diprioritaskan kepada bisnis yang mempunyai tingkat dan prospek pertumbuhan yang berarti. Alinafiah mengatakan pelaksanaan transformasi bisnis dilakukan mulai tahun 2003 hingga 2007 melalui beberapa tahapan dan target. Tahun 2003 merupakan tahapan konsolidasi dengan target pendapatan Rp 1,445 triliun serta target keuntungan sebesar Rp 10 miliar.Tahun 2004-2005 sebagai tahapan revitalisasi bisnis dengan target pendapatan sebesar Rp 1,734 triliun dan Rp 2,167 triliun. Sedangkan target keuntungan adalah sebesar Rp 15 miliar di tahun 2004 dan Rp 83 miliar tahun 2005.Tahun 2006-2007 disebut oleh Alinafiah sebagai tahap pertumbuhan. Pada tahap pertumbuhan ini Posindo menargetkan pendapatan sebesar Rp 2,817 triliun dan Rp 3,769 triliun. Dan target keuntungan yang bisa diharapkan adalah sebesar Rp 99 miliar dan Rp 109 miliar.Dalam tahap demi tahap transformasi bisnis ini ada tujuan lain yang dicapai yaitu membuat anak perusahaan. Alinafiah menyatakan pembentukan anak perusahaan paling besar peluangnya di bisnis ekspres dan total logistik. Sementara untuk bisnis lainnya masih sebatas membuat strategic business unit (SBU).Perbaikan lain yang menjadi prioritas Posindo adalah peningkatan kualitas SDM yang ada. Saat ini jumlah karyawan Posindo mencapai 26.500 orang. Jumlah ini dinilai terlalu gemuk. Sementara produktivitasnya sama sekali tidak efektif.”Seiring dengan program transformasi bisnis maka kami terus melakukan evaluasi kinerja SDM yang ada. Penentuan jumlah SDM yang ada perlu dicermati sehingga produktivitas SDM dapat dioptimalkan,” kata Alinafiah. Untuk meningkatkan kinerja SDM yang ada disiapkan konsep Total Human Resources (THR) yang didasarkan kepada kompetensi, pengembangan dan penghargaan. Menurut Alinafiah, ke depan Posindo memposisikan SDM sebagai objek yang melakukan perubahan serta sebagai subjek yang diubah baik untuk pola kerja, pola ukur serta kulturnya.Alinafiah menambahkan, di masa mendatang perusahaan menghendaki agar ada kompetisi yang sehat antarkaryawan dengan cara mengubah komponen penggajian. Artinya gaji karyawan diukur berdasarkan prestasi kerjanya. Yang berkinerja bagus, meskipun pangkat dan tingkat jabatannya sama, dimungkinkan untuk menerima gaji yang berbeda.Sedangkan bagi yang dianggap tidak dapat lagi ditingkatkan produktivitasnya, Posindo sudah menyiapkan rightsizing berupa pensiun dini. Tahap pertama program ini dilaksanakan pertengahan tahun 2003 sedangkan tahap berikutnya dimulai tahun 2004.Alinafiah mengatakan, rightsizing bukanlah PHK sepihak. Pensiun dini ditawarkan secara sukarela, tanpa ada unsur pemaksaan. Di samping itu rightsizing dilakukan bukan dalam kondisi perusahaan dalam kesulitan.Upaya demi upaya untuk membuat Posindo tetap bertahan serta mampu memperoleh keuntungan memang terus dilakukan di bawah komando Alinafiah. Ia sendiri mengaku selalu mempunyai rasa optimistis di sisa masa jabatannya mampu membawa Posindo ke arah yang lebih baik. Sebuah optimisme yang perlu agar seluruh jajaran Posindo termotivasi untuk berbuat yang terbaik. (SH/didiet ernanto)

Monday, July 26, 2004

MOS Hari Kedua

Rabu, 21 Juli 2004 / HArian Merdeka

SEMARANG
Orang Tua Keluhkan Tugas ''Nganeh-anehi''
SEMARANG- Sejumlah orang tua siswa baru mengeluhkan adanya ''perpeloncoan'' yang dialami anak-anak mereka pada Masa Orientasi Siswa (MOS) saat ini. Walau bukan perpeloncoan dalam bentuk fisik, perlakuannya dirasakan memberatkan siswa dan orang tuanya.
Ny Martini, salah satu orang tua siswa baru SMA 14 saat datang ke Balai Kota Semarang menuturkan, panita MOS sekolah tersebut nganeh-nganehi dalam memberikan tugas.
Dia mencontohkan, anaknya disuruh membawa buku tulis bergambar semut. ''Saya harus mencari dua hari buku dengan gambar semut itu di Pasar Johar,'' kata perempuan yang sehari-hari sebagai cleaning service ini.
Gambar semut itu tidak boleh digambar sendiri oleh siswa atau orang tua siswa, tetapi harus hasil percetakan. Tugas lain, membawa dua buah terung biru. ''Wis ta, pokoke nganeh-anehi.''
Melarang
Ny Warno, orang tua salah satu siswa SMP 12 juga mengungkapkan hal senada. ''Dia kan baru masuk SMP, yang repot akhirnya tetap orang tua,'' kata penjual nasi itu.
Wali Kota H Sukawi Sutarip SH SE yang didampingi Kepala Kantor Infokom Drs Masrohan Bahri MM mengatakan, pihaknya melarang perpeloncoan dalam kegiatan itu. Apalagi perpeloncoan secara fisik yang memberatkan siswa baru.
Selama masa orientasi, sebaiknya kegiatan bersifat mendidik. ''Yang namanya orientasi itu, ya bagaimana membuat siswa itu merasa betah dan senang di sekolah yang baru itu. Jangan sampai justru membuat siswa baru stres, takut, dan tidak kerasan di sekolah barunya,'' ungkapnya. (G17-89)

MOS dan Pengenalan Lingkungan Sekolah

Selasa,  20 Juli 2004 /Sriwijaya Post
http://www.indomedia.com/sripo/2004/07/20/2007gay1.htm

SEBELUM mengikuti pelajaran, siswa dituntut untuk mengenal lebih dahulu sekolahnya. Karena itu, setiap sekolah menggelar masa orientasi siswa (MOS) dalam upaya pengenalan lingkungan sekolah kepada para siswa baru.

BAGI JURUSAN — Hari pertama masuk sekolah, siswa di berbagai SMP dan SMA di Kota Palembang belum sepenuhnya belajar. Di antara kesibukan yang dilakukan adalah pembagian kelas dan pembentukan perangkat kelas. Seperti siswa baru SMKN 2 Palembang yang tengah melakukan pembagian jurusan, Senin (19/7). (Sripo/ria)
Kemarin, Senin (19/7), merupakan hari pertama mengikuti pelajaran di sekolah, baik bagi siswa baru maupun lama. Sebagian sekolah sudah belajar seperti biasa, kendati belum sepenuhnya. Tetapi mayoritas masih banyak sekolah yang belum melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Ada yang masih pembagian kelas dan pembentukan perangkat kelas, yang dipandu oleh wali kelas.Selama masa orientasi, siswa baru sudah diberikan materi mulai dari pengenalan lingkungan sekolah, pengenalan guru, perpustakaan, laboratorium, kegiatan ekstra kokurikuler, kesenian, kesehatan jasmani, pengetahuan umum dan sebagainya. Sehingga, ketika hari pertama masuk sekolah kemarin, siswa tidak kebingungan lagi dengan tata letak sekolah.Kepala SMA Negeri 2 Palembang, Asmawati, SPd, mengatakan, masa orientasi di sekolahnya sudah dilakukan pada hari Kamis (15/7) hingga Sabtu (16/7) diikuti oleh 267 siswa baru. Bahkan saat momen MOS ini, sudah dilaksanakan pembagian kelas sekaligus pengenalan wali kelas masing-masing.“Supaya ketika siswa baru masuk hari ini (kemarin), mereka bisa langsung belajar. Mereka sudah mengenal kelasnya, sudah tahu wali kelasnya. Bahkan, perangkat kelas (ketua, sekretaris dan bendahara kelas) sudah dibentuk,” kata Asmawati, Senin (19/7).Sementara untuk kelas 2 dan 3, kendati di hari pertama sekolah diharapkan sudah bisa belajar seperti biasa, tetapi belum sepenuhnya. Karena masing-masing kelas di pagi hari, masih diatur oleh wali kelasnya. Diantanya membentuk perangkat kelas dan mengumumkan jadwal pelajaran.Hal senada dikemukakan pula oleh Kepala SMA Negeri 1 Palembang, Dra Darmi Hartati. Bagi siswa baru, memulai sekolah meski di hari pertama kemarin, tidak membingungkan lagi. Karena mereka sebelumnya, Kamis-Sabtu (15-17/7), sudah dibekali dengan pengenalan lingkungan sekolah sekaligus kelasnya masing-masing dengan mengikuti MOS.“Karena terjadi perubahan sekolah dari SMP ke SMA, maka perlu pengenalan lebih dahulu. Agar mereka (siswa baru) tidak terkejut ketika masuk sekolah. Termasuk dalam pelajaran pun, sudah diberi gambaran,” kata Darmi di ruang kerjanya.Aprian, salah satu siswa SMK Negeri 2 Palembang, mengaku banyak manfaat dengan mengikuti MOS terlebih dahulu. “Dengan begitu saya tidak bingung lagi dengan sekolah,” kata alumni SMP PGRI 1 Palembang ini.Hal senada secara terpisah dikatakan juga oleh Ulfa, salah satu siswa SMA Negeri 1 Palembang. Ia tidak perlu mencari-cari atau bertanya-tanya lagi tentang lokasi gedung sekolah, karena sudah diberikan pengenalan saat mengikuti MOS.“Saya tidak susah lagi mencari kelas. Di mana laboratorium, perpustakaan, kamar kecil, semua sudah diberi tau. Sama wali kelas dan guru-guru, sudah dikenalkan,” kata Ulfa. (khoiriah ys)

Perlukah kegiatan MOS dilaksanakan menjelang tahun ajaran?

http://www.sekolahindonesia.com/sidev/mading/DetailMadingArtikel.asp?iID_Artikel=3&iID_Sekolah=27&
Bpk. Agustinus Purwanto (Wakasek) (Kelas : N/A)
Email : 
N/A
Isi Artikel : 
Perlukah kegiatan MOS dilaksanakan menjelang tahun ajaran? Setiap orang akan menjawab secara berbeda tergantung kepada pemaknaan atas kegiatan itu sendiri. Bila kegiatan MOS sekedar bentuk luar dari penataran P-4 era orba tentu orang akan mengatakan tidak, Akan tetapi bola kegiatan MOS dimaksudkan untuk mengarahkan (orientasi) siswa agar semakin siap secara mental memasuki dunia SMU tentu sangat perlu.
Kegiatan MOS ala SMU St. Kristoforus IISMU Xto, demikian SMU St. Kristoforus II Sering disebut, mempunyai misi membekali peserta didik menjadi manusia unggul secara intelektual dan moral. Misi yang terumus secara singkat namun padat dengan makna tersebut diwujudnyatakan dalam setiap gerak nafas aktifitas di sekolah. Demikian juga dengan kegiatan MOS. Kegiatan yang selalu terjadi pada setiap awal tahun ajaran baru ini bukan sekedar kegiatan ceremonial awal tahun ajaran terhadap kegiatan yang terkait erat dengan proses perwujudan misi sekolah.
Oleh karena itu kegiatan MOS di isi dengan kegiatan - kegiatan yang sifatnya pemahaman terhadap konsep dan pengasahan terhadap mental-mental daya kreatif siswa. Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari itu dibagi menjadi tiga jenis :
Kegiatan Asah Pemahaman.Pada kegiatan ini siswa/siswi baru diasah pisau pemahamannya untuk memahami arah Yayasan Dinannanda dan SMU St Kristoforus II, model belajar di SMU dan wawasan wiyata mandala.
Kegiatan asah kedisiplinanPada kegiatan ini, siswa / siswi dihadapkan pada tata tertib dan kedisiplinan di SMU, organisasi sebagai media aktualisasi diri, ketertiban dan kerjasama.
Kegiatan Asah Rasa.Pada kegiatan ini, siswa/siswi diasah kreatifitasnya dengan berbagai media, band, spontanitas seni, dinamika kelompok dan keberagaman aksesoris.Pada kegiatan ini sangat ditekankan pengenalan lingkungan sekolah, guru dan teman. Keakraban antar teman juga dengan kakak kelas diharapkan terjadi. Selain itu, rasa rendah hati dan kekuatan bertahan dalam situasi apa adanya dan benar-benar dibina pada kegiatan ini.Dalam seluruh kegiatan MOS diharapkan siswa/siswi semakin lebih siap memasuki dunia SMU St. Kristoforus II yang berbeda dengan dunia SMU lainnya karena SMU St. Kristoforus II mempunyai komitmen untuk membekali peserta didik menjadi manusia unggul bukan hanya secara intelektual tetapi juga unggul dalam moral.


Sunday, July 25, 2004

Kualitas MOS Tergantung Pengawasan

Minggu, 06 Juli 2003

Pikiran Rakyat (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0703/06/05.htm)

SRI SUSANTI, Kelas II SMU Plus Assalaam Bandung. Kata "siswa baru" sudah tidak asing lagi bagi sekolah-sekolah. Karena oleh merekalah, semua sekolah dipusingkan, khususnya sekolah-sekolah swasta yang paling bingung kalau sudah menghadapi tahun ajaran baru. Sekolah swasta harus banting tulang ke sana kemari agar bisa menyerap banyak siswa baru.
Sudah dipusingkan dengan mencari, eh mereka juga dipusingkan dengan bagaimana cara mendidik dari awal siswa yang sudah masuk. Untuk mengatasi hal tersebut seiring dengan program pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan yaitu diadakannya penataran atau MOPD maupun Mapras. Semuanya bertujuan untuk memperkenalkan wawasan wiyatamandala kepada siswa-siswa baru agar mengenal lebih dekat sekolah yang dimasukinya.
Dalam masa-masa penataran atau MOPD maupun Mapras tersebut sering kali calon siswa direpotkan dengan tugas-tugas yang diberikan kakak kelasnya, tetapi hal tersebut sebenarnya baik karena bertujuan melatih siswa agar berdisiplin dan bertanggung jawab. baik kepada dirinya maupun kepada lembaga yang dimasukinya. Walaupun tidak dimungkiri terkadang sarana perkenalan ini dijadikan ajang balas dendam oleh kakak kelasnya, bahasa kerennya "dulu gua dikerjain kakak kelas, nah sekarang gua udah jadi kakak kelas, sekarang lu semua gua kejain hehe...."
Masalah yang timbul dalam masa perkenalan tersebut yaitu mungkin adanya yang cedera bahkan ada yang sampai meninggal. Mungkin tak karena keteledoran kakaknya ataupun keteledoran siswa barunya. Akan tetapi karena saya juga pernah seperti itu. Menurut saya, masa perkenalan itu harus ada karena bisa saling mengenal antara siswa baru atau antara siswa baru dan kakak kelasnya bahkan dengan gurunya, jadi hal ini merupakan kenang-kenangan yang tidak dapat saya lupakan. 
NURAINI T.W. Kelas I-5 SMU Santa Angela Bandung. Masa orientasi bagi siswa-siswi kelas satu baru itu penting, soalnya siswa-siswi tersebut belum mengenal lingkungan sekolahnya yang baru. Sebagai contoh, informasi mengenai kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, Kegiatan Belajar-Mengajar (KBM), Wawasan Wiyatamandala, seharusnya diberikan oleh guru yang mengerti dalam hal tersebut.
Sementara hal-hal yang biasanya dilakukan oleh kakak kelas bertujuan baik. Tujuannya adalah agar adik kelas mendapatkan banyak teman, baik teman satu angkatan maupun beda angkatan. Selain itu untuk meminimalkan jarak antara kakak kelas dan adik kelas. Juga melatih siswa-siswi baru agar meninggalkan kebiasaan buruk siswa yang lama, supaya beradaptasi di lingkungan sekolah yang baru dengan perilaku yang baik juga.
Jadi saya mengambil simpulan, bahwa Masa Orientasi Siswa (MOS) sangat bermanfaat bagi siswa-siswi kelas satu asalkan penyelenggaraannya terarah dengan benar dan memenuhi batas-batas Hak Asasi Manusia. 
LUQMAN SATRIA MANGALA, Kelas I-9 SMUN 3 Bandung.Kegiatan orientasi tiap sekolah berbeda-beda. Ada yang kegiatannya positif dan ada yang kegiatannya kurang baik. Biasanya kegiatan orientasi yang ada di bawah pengawasan pihak sekolah berjalan baik dan tidak ada masalah.
Namun, kegiatan yang tidak di bawah pengawasan pihak sekolah sering terjadi hal-hal yang menyimpang dan membahayakan para siswa. Jadi, baik atau tidaknya kegiatan orientasi sekolah bergantung pada pengawasan pihak sekolah karena pihak sekolahlah yang bertanggung jawab atas murid-muridnya di sekolah. 
RISSA MUSTIKAWATI, Kelas 1 SMUN 6 Bandung. MOS atau masa orientasi siswa yang diselenggarakan oleh setiap sekolah pada tahun ajaran baru sepertinya sudah menjadi tradisi dan pintu gerbang utama yang harus dilewati oleh semua siswa baru. Sepintas yang terbayang dalam benak para siswa baru apabila mendengar kata "masa orientasi" adalah hal-hal yang negatif seperti senioritas, disuruh ini itu yang tidak bermanfaat yang sama sekali tidak dibenarkan dalam kegiatan MOS.
Apabila kita lihat kebenarannya, MOS ternyata berisi hal-hal positif. Misalnya pemberian pengetahuan tentang kegiatan pendidikan di sekolah yang disampaikan oleh para pengajar setempat.
Manfaatnya akan terasa setelah KBM berlangsung. MOS bisa juga menjadi masa adaptasi siswa baru terhadap suasana dan lingkungan sekolah baru yang akan mereka tempati.
Kalaupun seringkali kakak-kakak panitia MOS menyuruh siswa baru membawa ini dan itu, sebenarnya itu untuk kepentingan siswa baru tersebut. Misalnya membawa makanan dengan nama yang aneh-aneh, semua itu dimaksudkan agar siswa baru pada saat istirahat berlangsung mereka tidak perlu pergi ke kantin untuk membeli makanan, tetapi cukup menyantap makanan yang mereka bahwa. Contoh lain, mereka harus meminta tanda tangan dari kakak-kakak panitia MOS. Itu dimaksudkan agar para siswa baru bisa lebih dekat dengan kakak-kakak kelasnya. Dari dua contoh di atas kita bisa melihat manfaat dari MOS tersebut yang seringkali tidak disadari oleh para siswa baru. 
ERIC KURNIAWAN. Kelas 3 SMUN 17 Bandung. Sebetulnya kegiatan orientasi itu memiliki segi positif dan segi negatifnya. Segi positifnya yaitu para siswa baru dapat mengenal lebih dekat keadaan/suasana di sekolahnya yang baru selain itu siswa baru juga dapat mengetahui dan mengenal para guru dan kakak kelas di sekolah yang bersangkutan. Segi negatifnya yaitu kegiatan orientasi tersebut mengarah kepada perpeloncoan (meminta hal "macam-macam" kepada adik kelas). Hal tersebut jelas sama sekali tidak ada manfaatnya, kalaupun ada, manfaatnya sangat sedikit sekali.
Alangkah baiknya kalau tindakan perpeloncoan seperti itu dihilangkan dari kegiatan orientasi dan diganti dengan kegiatan yang jauh lebih berguna seperti perlombaan sepak bola, perlombaan menghias ruangan, perlombaan membaca puisi, perlombaan menyanyi, dan lain sebagainya. Karena walau bagaimana pun kegiatan tersebut jauh lebih berguna daripada kegiatan perpeloncoan (meminta hal macam-macam kepada adik kelas).
DEDI PERMANA, Kelas II SMU Plus Assalaam. Masa Orientasi Peserta Didik (MOPD) bagi siswa baru yang telah diterima merupakan suatu kenangan atau suatu keharusan yang telah dibuat program oleh masing-masing sekolah negeri maupun swasta. Tujuan diadakannya MOPD adalah untuk mengenal lingkungan sekolah dan teman-teman satu angkatan. Kedua, untuk mengetahui aturan yang ada di sekolah masing-masing karena setiap sekolah punya tata tertib yang harus dilaksanakan dan dipatuhi seluruh siswa-siswinya.
Jadi MOPD harus dilaksanakan karena pelaksanan MOPD ini sangat besar manfaatnya. Misalnya, siswa yang tadinya kurang begitu aktif dalam berorganisasi, maka dalam MOPD ini diberikan gambaran untuk bisa berorganisasi karena sekolah merupakan tempat bermain dan tempat belajar untuk peserta didik.
Jadi saya sarankan kepada seluruh panitia MOPD untuk melaksanakan orientasi dan pengenalan sekolah kepada siswa-siswi baru sifatnya mendidik tidak dengan cara perpeloncoan karena perpeloncoan sudah tidak lagi diberikan untuk siswa-siswi seusia SMU. Perpeloncoan ini bisa dilaksanakan dengan yang bersifat mendidik.***

Dinas P dan P Turunkan Tim Pantau MOS

* Aksi Perploncoan akan Dikenai Sanksi
http://www.indomedia.com/bernas/072001/16/UTAMA/16pel1.htm

Danurejan, Bernas
Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P & P) Kota Yogyakarta Drs Sugito MSi mengatakan, mulai hari ini, Senin (16/7) sampai Rabu (18/7) pihaknya menurunkan Tim Pemantau Masa Orientasi Siswa (MOS) baik SLTP, SMU maupun SMK.
Bila selama pelaksanaan MOS, sekolah melakukan kegiatan yang bersifat perpeloncoan, maka Tim Pemantau akan memberikan sanksi pada sekolah. Penegasan itu diungkapkan Kepala Dinas P dan P Kota Yogyakarta Drs Sugito MSi, saat dihubungi Bernas melalui telepon Minggu (15/7).
Tim yang berjumlah 36 orang ini, menurut Sugito, akan diterjunkan pada sekolah baik negeri maupun swasta. Hasil kerja pantauan tim akan dilaporkan setiap hari dan setelah berakhir pelaksanaan MOS dilakukan evaluasi.
"Kami memang memperketat dalam pelaksanaan MOS agar tidak terjadi aksi perpeloncoan. Karena aksi perpeloncoan itu sudah menjurus pada tindak kekerasan dan bukan lagi bersifat mendidik," jelas Sugito.
Sugito menambahkan pelaksanaan MOS itu mendasari pada Surat Kepala Bidang Binmud Kanwil Depdiknas DIY Nomor : 4013/IB/GM/2001 tertanggal 2 Juli 2001 perihal kegiatan MOS. Sedang pelaksanaan hari pertama masuk sekolah bagi siswa baru SLTP, SMU dan SMK dilakukan kegiatan permulaan masuk sekolah diawali dengan kegiatan "Masa Orientasi Siswa" selama 3 hari.
MOS ini dimaksudkan agar siswa baru mengenal kehidupan sekolah dan menyatu dengan warga sekolah guna mempersiapkan diri mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Karena itu perlu diupayakan kegiatan-kegiatan seperti pengenalan Wawasan Wiyata Mandala (School Based Management), tata krama siswa (penekanan etika dan moral), program dan cara belajar serta pengenalan lingkungan sekolah. Selain itu tata tertib sekolah, kegiatan intra dan ekstrakurikuler, kakak kelas, guru, kepala sekolah dan pengurus sekolah lainnya.
"Kami sangat mengharapkan agar kegiatan itu bersifat gembira, menyenangkan, penuh kekeluargaan dan bernuansa keagamaan. Juga dilaksanakan diskusi, debat dan olah pikir yang dikemas dalam bentuk sederhana. Selain itu materi lebih bersifat memberdayakan potensi dan sifat kritis siswa," tandas Sugito.
Meski demikian, imbuh Sugito, dalam pelaksanaan MOS harus melibatkan semua unsur sekolah. Juga memanfaatkan potensi lingkungan lebih bersifat dari, oleh dan untuk siswa. Selain itu tidak melakukan pelanggaran HAM dan memperhatikan lingkungan hidup. Pelaksanaan MOS agar tidak bersifat hura- hura, tidak ada pungutan biaya dan tidak diperbolehkan menggunakan atribut perpeloncoan. (kun) 

Hari Pertama Sekolah, Siswa Baru Ikuti MOS

 Semarang, 19 Juli 2004 14:24 / URL: http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=41743

Hari pertama tahun ajaran baru 2004/2005, sejumlah sekolah di Kota Semarang tingkat SMP maupun SMU melaksanakan Masa Orientasi Siswa (MOS) bagi siswa baru."Pada hari pertama siswa baru belum menerima pelajaran, tetapi mereka dikenalkan pada lingkungan sekolah melalui kegiatan MOS," kata Kepala SMAN 3 Semarang, Drs Sardju Mahari MPd di Semarang, Senin.Ia mengatakan, kegiatan MOS pukul 07.00 hingga pukul 12.30 WIB yang berlangsung selama tiga mulai hari pertama masuk sekolah.Menurut dia, pengenalan sekolah dalam MOS itu tidak hanya dari segi fisik sekolah, tetapi juga program sekolah dan strategi belajar.Selain itu, katanya, siswa baru juga diperkenalkan kegiatan ekstra kulikuler yang ada di sekolah ini dengan melibatkan kakak kelas mereka (siswa kelas dua dan tiga). Materi program dan strategi belajar disampaikan guru, katanya.Menurut dia, MOS ini bukan merupakan ajang perpeloncoan, tetapi untuk mengenalkan siswa pada lingkungan sekolah baru."Sama sekali bukan perpeloncoan, para siswa baru menerima materi atau penjelasan dari para guru dan kakak kelas," katanya.Pada hari pertama masuk sekolah ini, para siswa baru kebanyakan belum mengenakan seragam baru sesuai tingkat sekolahnya.Para siswa baru kelas I SMA 3 Semarang masih mengenakan seragam SMP. "Kami belum mengharuskan mereka mengenakan seragam SMA, karena kebanyakan belum jadi," kata Sardju. Sementara itu, para siswa baru Sekolah Dasar (SD) pada hari pertama ini kebanyakan diantar oleh orangtua untuk berangkat sekolah, bahkan sejumlah ibu-ibu menunggui anaknya di luar kelas. [Tma, Ant] 

Tradisi Balas Dendam atau Melatih Mental?

Minggu, 25 Juli 2004 / Kompas

MASA orientasi siswa atau MOS yang dimulai awal pekan ini pada hampir semua sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) bisa menjadi masa yang tidak terlupakan. Baik bagi pesertanya, siswa kelas I, maupun pembinanya, siswa kelas II dan III.
Bagi siswa kelas I, MOS bisa jadi merupakan masa yang menegangkan, sedangkan bagi siswa kelas II dan III inilah masa yang menyenangkan. Inilah saat di mana mereka memasuki tahap menjadi senior, kaum yang harus dihormati oleh adik kelas yang baru masuk. Menjadi senior berarti mereka memiliki "kekuasaan" yang tahun sebelumnya tidak dimiliki.
"Aku sudah menunggu tahap ini sejak dua tahun lalu. Selama dua tahun aku selalu menahan diri untuk tidak melanggar apa yang yunior tidak boleh lakukan. Aku pikir sabar saja, toh nanti waktunya akan datang juga. Makanya, aku heran, kok sepertinya anak kelas I sekarang langsung ingin merasakan apa yang belum menjadi hak mereka," kata Mila (17), siswa kelas III sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Mila menyayangkan saat ini MOS tidak lagi dipegang oleh siswa senior, tetapi langsung di bawah pengawasan sekolah. Bahkan, kegiatan apa pun yang diselenggarakan oleh senior terhadap yuniornya harus seizin pengelola sekolah. Inilah untuk pertama kalinya MOS pada SMA tersebut diselenggarakan oleh sekolah. Hal ini tentu saja membuat setidaknya sebagian murid senior kecewa.
"Sudah kelihatan, anak-anak kelas I sekarang agak lembek. Tidak bisa menjawab pertanyaan dengan tegas. Buktinya, ketika ditanya mau tidak menjadi anggota OSIS, ada yang menjawab tidak. Alasannya, malas saja. Itu kan bukan jawaban orang cerdas," ujar Levi (17), salah seorang senior.
Berbeda dengan ketika Levi masuk kelas I, saat itu murid kelas I mendapat pelatihan langsung dari kakak-kakak seniornya sejak dari MOS hingga selama setahun. Mereka mendapat berbagai macam tugas dari seniornya. Jika salah atau lupa mengerjakan, mereka akan mendapat "bimbingan mental" seperti omelan dan hukuman berupa tugas tambahan.
"Walau begitu, kami tidak pernah fisik. bentakan memang ada, tetapi itu sih masih taraf wajar. Lagi pula, semua yang kami lakukan untuk membina mereka agar jangan cengeng. Agar mereka terbiasa dengan tugas-tugas di sekolah yang berat. Jadi, ini memang buat kepentingan mereka juga," kata Smitha (17), senior lainnya.
Menurut Levi, anak-anak yunior harus terbiasa dengan situasi yang sulit dan penuh tekanan karena di mana pun dia hidup, dia bakal merasakan hal tersebut. "Misalnya di tempat kerja nanti, mereka juga akan menghadapi senioritas yang mungkin lebih parah daripada sekolah," Levi menambahkan.
Mila menceritakan pengalamannya, ketika dia masih kelas I pernah dipanggil untuk bernyanyi dan menari oleh seniornya. "Tiba-tiba saja saya dipanggil tanpa sebab. Mereka tertawa-tawa melihat saya menari. Saya tidak marah, justru senang karena bisa membuat mereka tertawa," katanya.
Dia memang sempat merasa ingin menangis karena kesal, tetapi hal itu bisa diatasinya. "Saya pikir itu bagus juga karena saya jadi kuat, tidak cengeng. Dengan teman-teman seangkatan, kami jadi kompak," ujar Mila yang berambut pendek.
Pelatihan mental yang dilakukan para senior terhadap adik kelasnya antara lain mengharuskan murid kelas I mencari data tentang kakak-kakak kelasnya, meminta tanda tangan pengurus OSIS sampai guru dalam jumlah tertentu. Murid kelas I juga memakai atribut tertentu, seperti tas dan buku yang sama, memakai dasi kupu dengan warna sama, rambut diekor kuda atau dikepang, sampai tatanan rambut ala Cecep dalam sinetron Wah Cantiknya.
Murid kelas I juga harus memberi hormat dan memanggil "kak" kepada seniornya. Alasan para senior, ini merupakan "pelajaran" agar para yunior mau menghargai orang lain kalau dia ingin dihargai. Sementara sebagian yunior, seperti Kanya (15), merasa apa yang "diajarkan" para senior di sekolahnya bisa diterima.
"Enggak ada kakak kelas yang jutek (maksudnya judes), apalagi memukul. Kalau mereka kasih tugas juga seperti games, kita dikasih petunjuk seperti bawa minuman 6 T, biskuit tulalit, minuman buce li," ujar Kanya murid kelas I SMA negeri di Kebayoran Baru.
Adakah dia merasakan kegunaan MOS? Menurut Kanya dan juga Andi (15), siswa kelas I sebuah SMA negeri di Jakarta Barat, kegiatan itu sudah merupakan tradisi yang seakan tak tertolakkan. "Ya saya mencoba menikmati saja. Saya enggak repot juga, enggak harus bawa ini-itu. Paling-paling disuruh joget atau nyanyi… biasalah, jadi fun aja," tambah Andi.
NAMUN tak semua siswa setuju dengan MOS. Martha, siswa kelas II SMA swasta di Jakarta Selatan, tidak setuju MOS. Alasannya, MOS menjadi wadah kelangsungan sistem senioritas di sekolah. "Tugas yang diberikan kakak kelas sangat banyak, padahal tugas dari sekolah juga banyak. Saya lebih mementingkan tugas dari sekolah karena saya di sini untuk sekolah bukan untuk kakak kelas. Akibatnya, saya selalu kena semprot kakak kelas," kata Martha.
Tugas dari kakak kelas yang dimaksud Martha misalnya tugas untuk kegiatan ekstrakurikuler yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan kegiatan tersebut. Contohnya mencari data tentang kakak kelas yang tak menambah pengetahuan dan keterampilan.
"Mencari data itu menghabiskan energi dan waktu. Setiap hari, gara-gara mencari data, saya harus pulang paling cepat pukul 15.00. Bayangkan saja, pulang jam segitu macetnya seperti apa. Belum kalau saya harus mencari barang yang ditugaskan kakak kelas, akhirnya tugas dari sekolah berantakan," ungkap Martha.
Risa (15), siswa kelas I SMA di Jakarta Selatan lainnya, mengatakan, biasanya anak kelas I juga harus menghormati seniornya dengan cara menyapa dari dekat di mana pun dia bertemu dengan seniornya. Mereka juga harus menundukkan kepala dalam-dalam bila bertemu seniornya. Kalau hal itu tidak dilakukan, esok harinya si senior akan memanggil adik kelasnya dan "menyemprotnya" dengan kata-kata dan suara keras tepat di telinga si yunior.
Hal semacam itu bagi sebagian murid kelas I tidak dirasakan sebagai sebuah "ujian" ketahanan mental, seperti yang sering menjadi alasan diadakannya MOS, tetapi malah membuat mereka merasa stres dan tidak nyaman dengan lingkungan sekolah.
Orangtua pun umumnya merasa waswas setiap kali anaknya mengikuti MOS. Mereka mengkhawatirkan perlakuan para senior terhadap yunior yang kerap kali lebih terasa merepotkan dan membebani seluruh anggota keluarga daripada manfaatnya.
RATNA Juwita, psikolog sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, berpendapat, setiap orang yang berangkat ke sekolah seharusnya merasa bahagia tanpa ada tekanan apa pun. Bila murid merasa tertekan, misalnya senior yang secara sadar maupun tidak menyebabkan yuniornya merasa tertekan baik secara fisik maupun psikis, berarti telah mengakibatkan adanya siswa yang merasa tidak bahagia di lingkungan sekolah.
Keadaan tersebut akan membuat energi siswa yunior habis terserap untuk mengatasi rasa takutnya. Hal ini bisa mengakibatkan prestasi belajarnya menurun. Kalau hal ini terjadi pada banyak murid yunior, akibat selanjutnya adalah penurunan kualitas lulusan sekolah tersebut. Keluarga murid yunior pun mau tidak mau ikut menjadi korban karena harus turut "pusing" menghadapi anak yang tertekan.
Masalah senioritas yang menekan pihak yang lebih lemah ini muncul nyaris di semua sekolah. "Bahkan, di Jepang, masalah senioritas yang tidak pada tempatnya ini telah mengakibatkan kecenderungan untuk bunuh diri. Bedanya, kalau di Amerika dan Eropa, senior yang menggertak ini banyak terjadi di tingkat SD dan SMP. Sementara di Indonesia, justru di tingkat SMA dan perguruan tinggi, senioritas semakin kuat," kata Ratna.
Dari pengamatannya, masalah senioritas yang menekan ini tidak banyak ditemui di sekolah yang lebih menekankan pada kegiatan akademik dibandingkan dengan pada sekolah yang membiarkan kreativitas berkembang sendiri di antara para muridnya.
Yayasan Semai Insani yang mengadakan penelitian untuk mengembangkan potensi guru dan melakukan survei terhadap murid-murid dari berbagai sekolah baik sekolah biasa maupun unggulan mendapati jawaban di luar perkiraan.
"Semula kita kira akan mendapatkan jawaban bahwa prestasi mereka tidak bisa maksimal karena kualitas guru yang kurang atau cara mengajar yang tidak menarik. Ternyata, dari penelitian itu terungkap, murid-murid tidak mempunyai masalah dengan guru, tetapi mempunyai masalah besar terhadap senior mereka," cerita Ratna tentang penelitian yang dilakukan pada tahun ini.
Masalah senioritas yang menekan ini biasanya terjadi terhadap orang yang posisinya lebih lemah, atau pada orang-orang yang menonjol secara fisik. Misalnya cantik atau tampan, modis, dan sebagainya. Sikap menekan ini ditujukan untuk menyakiti atau merugikan pihak lain yang "kedudukannya" lebih rendah.
Sikap ini cenderung berulang atau dipersepsikan berulang. Artinya, korban pernah mengalami hal ini sekali dan terus merasa ketakutan akan mengalami hal yang sama lagi. Para korban biasanya tidak berani mengadu karena mereka takut atau khawatir dikatakan "makan teman" oleh teman sebayanya. Alasan lainnya, korban merasa gengsi jika tidak kuat menghadapi tekanan itu.
Adapun pelaku penekanan biasanya datang dari orang yang menjadi korban dalam keluarga, atau pernah menjadi korban di lingkungan tempat dia melakukan penekanan. Mereka biasanya datang dari keluarga berada dan mempunyai sikap kepemimpinan yang tinggi. Orang di sekitarnya akan merasa senang berteman dengan dia karena selalu ditraktir dan merasa menjadi kelompok eksis.
Selain pelaku utama, yang termasuk pelaku adalah penonton yang membiarkan hal ini berlangsung terus. Sikap yang mendiamkan atau sekadar ikut tertawa memberikan dukungan sehingga praktik semacam ini terus berlangsung.
Jika didiamkan, tingkat penekanan akan semakin bervariasi dan mungkin semakin dalam, tergantung kreativitas pelakunya.
Menurut Ratna, dihapuskannya MOS tidak akan menyelesaikan masalah karena MOS hanya salah satu kegiatan. Hal yang harus dilakukan adalah memberikan kesadaran bahwa memaki dan menekan yunior itu mempunyai dampak yang tidak baik. Dampak negatifnya lebih banyak daripada dampak positif. Sedangkan sikap-sikap seperti tahan banting dan sebagainya bisa dipupuk dengan cara yang berbeda, bukan dengan penekanan.
Misalnya dengan membangun sikap kerja yang mempertebal daya tahan siswa terhadap stres yang tinggi. Siswa bisa diberi tugas dengan memberlakukan batas waktu tertentu. "Untuk membangun sikap daya tahan tinggi terhadap stres ini otoritasnya ada pada guru, bukan pada siswa senior yang dari sisi emosional maupun kematangannya pun belum stabil," ujarnya.
Bila kedapatan ada siswa yunior yang menyalahi aturan sekolah atau kurang disiplin, hak untuk menegur atau memberi sanksi pun ada pada guru, bukan sesama siswa. Alasannya, guru biasanya mempunyai cara tersendiri yang bisa membuat siswa paham mengapa dia ditegur atau dikenai sanksi. Dengan demikian, siswa belajar kepekaan terhadap disiplin tanpa harus mengalami penekanan secara emosi maupun fisik.
Dia juga mengingatkan bahwa di lingkungan masyarakat perilaku agresif semakin terasa sehingga agresivitas yang muncul juga di lingkungan sekolah akan semakin membuat siswa beradaptasi pada kebiasaan tersebut. Hal yang sedapat mungkin justru mesti dihindari.
"Kalau siswa dihadapkan pada perilaku agresif, dia akan semakin terbiasa dengan sikap tersebut. Semakin lama kemampuannya beradaptasi dengan agresivitas semakin tinggi. Dia jadi terbiasa dengan tindak kekerasan fisik maupun mental. Ini bisa membentuk siswa untuk mempunyai perilaku agresif pula," tambahnya khawatir. (CP/ARN)

Ada yang Kekeluargaan, Ada Model Ospek

Suara Merdeka/ Selasa, 22 Juli 2003
MOS Hari Pertama
SEMARANG - Semua sekolah negeri dan beberapa sekolah swasta, Senin (21/7) kemarin menggelar masa orientasi siswa (MOS). Dari banyak sekolah itu, ada yang mengenalkan dengan penuh kekeluargaan dan ada pula yang memformat ala Ospek perguruan tinggi.
Pembukaan MOS secara serentak telah dibuka Wali Kota Semarang H Sukawi Sutarip SH di SMUN 1 dengan ditandai pelepasan balon, Senin (21/7). Hadir pula dalam acara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota, Sudjoko SH dan sejumlah kepala SMU, SLTP dan SD se Kota Semarang.
Pelaksanaan MOS di SMU dan SLTP Diponegoro tergolong unik. Sebab, semua siswa yang mengikuti MOS terutama perempuan diwajibkan memakai beberapa pita kecil berwarna merah putih diikat pada rambut mereka. Selain itu mereka juga dianjurkan membawa berbagai perlengkapan dan makanan yang ditentukan panitia. Seperti telor untuk lauk makan siang berupa telor asin dan lain sebagainya.
Salah seorang siswa mengakui cara seperti itu memudahkan mereka lebih dekat dan kenal dengan para kakak kelas, guru dan cepat memahami materi yang disampaikan. Namun kadang mereka merasa risih jika harus memakai pita sebanyak itu. ''Saya sih mau-mau saja, tapi agak risih juga. Namun bila dirasakan cukup menyenangkan juga,'' ujarnya polos.
Neka-neka
Cara seperti itu memang terkesan neka-neka, karena kebanyakan sekolah tidak menerapkan cara yang lebih menyamai Ospek di perguruan tinggi. Di SMUN 3, ratusan siswa baru digiring ke halaman depan sekolah tersebut. Mereka diajak terlibat dalam kegiatan Palang Merah Kesehatan Sekolah (PKS), yang diperagakan oleh siswa kelas 2. Selain itu juga dijelaskan mengenai tata tertib sekolah, visi misi sekolah dan lainnya.
''Sekolah kami memang mengkonsep pola seperti ini. Sehingga siswa baru bisa langsung merasakan bahwa mereka bagian dari kami,'' ujar Yoda Pradana, pengurus OSIS SMUN 3 yang dilibatkan dalam kepanitiaan MOS.
Kepala sekolah tersebut, Drs Sarju Maheri sambil terus memantau kegiatan siswa baru mengatakan, pendekatan adaptasi di sekolahnya dilakukan dengan cara yang sudah diatur Dinas Pendidikan Kota. Terutama, agar membentuk calon siswa cepat merasakan betah dan kerasan untuk menggali ilmu pengetahuan di dalam sekolah.
''Karena itu kami menjamin tidak ada perpeloncoan dalam proses MOS ini,'' tegasnya.
Masa orientasi siswa, kata dia, merupakan pintu pengenalan bagi siswa baru agar meraih sukses dalam belajar. Oleh karenanya, para senior dan para pendidik berupaya keras agar mereka memahami cara yang baik dalam proses belajar mengajar di sekolahnya.
Hal yang sama juga berlangsung di SMUN 1 Semarang. Panitia membuat format MOS yang partisipatif sehingga membuat calon siswa langsung merasa jadi bagian sekolah tersebut.
Sementara itu MOS di SMU Tugu Soeharto digelar dengan cara sederhana. Para guru yang terlibat memberikan MOS membangkitkan aktivitas siswa baru untuk lebih mengenal sekolah tersebut. Seperti dengan memancing berbagai pertanyaan tentang apa dan bagaimana tujuan mereka bersekolah. Dengan antusias siswa memberi jawaban yang menunjukkan besarnya minat untuk belajar.
Suasana di SDN Lempongsari 01-02 dan Gergaji pada hari pertama diisi dengan perkenalan guru dengan murid-murid baru. Suasana pengenalan tidak seperti MOS di SLTP dan SMU.
Karena mereka hanya mengenalkan para pengajar dengan guru dengan upacara sederhana. Sekitar pukul 10.00, siswa kelas satu itu kemudian pulang, sedang para guru melanjutkan proses belajar mengajar untuk kelas dua sampai kelas VI. (H1,G4-71)

Thursday, July 22, 2004

Hak airtime belum dibayarOperator seluler siap bertemu wartel &Telkom

23 Juli 2004

JAKARTA (Bisnis): Kalangan operator seluler menyatakan siap duduk bersama dengan pengusaha wartel dan PT Telkom untuk menyelesaikan kasus hak airtime untuk wartel yang belum terbayarkan selama dua tahun.
Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia Rudiantara mengatakan sejak awal operator seluler memang mengharapkan agar dibentuk suatu forum bersama antara ketiga pihak agar kasus tunggakan pembayaran jatah airtime untuk pengusaha wartel dapat segera diselesaikan.
"Kami sendiri [operator seluler] sudah dipanggil BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) untuk memberikan penjelasan sehubungan dengan kasus tersebut," ujar dia kemarin.
BRTI pada pekan ini melakukan pertemuan dengan APWI (Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia) untuk mendengarkan penjelasan dari pihak pengusaha wartel mengenai kasus tunggakan pendapatan airtime wartel. Sebelumnya badan regulasi tersebut sudah lebih dulu melakukan pertemuan dengan PT Telkom dan operator seluler melalui ATSI.
Menurut rencana BRTI akan segera mempertemukan ketiga pihak yang terkait dengan kasus airtime tersebut, yaitu operator seluler, pengusaha wartel, dan PT Telkom.
Dia kembali menegaskan kalau operator seluler pada prinsipnya siap menyelesaikan pembayaran share pendapatan airtime untuk wartel. Tetapi karena tidak memiliki data trafik maka kalangan operator seluler menemui kesulitan melakukan pembayaran.
"Kami kan tidak memiliki data panggilan dari nomor wartel ke seluler. Yang memilki data percakapan tentu pihak yang melakukan panggilan, dalam hal ini wartel dan PT Telkom."
Rudi meragukan angka yang disebutkan pihak APWI bahwa jatah airtime untuk wartel selama dua tahun itu mencapai Rp400 miliar.
Tak sebanding
Dia mengkhawatirkan bahwa biaya settlement kasus tunggakan pembayaran airtime tersebut nantinya justru tidak sebanding dengan hak pendapatan airtime yang diterima pengusaha wartel.
Pada bagian lain dia mengingatkan bahwa sejak awal ATSI sebetulnya sudah mengingatkan pemerintah bahwa KM 42 bertentangan dengan prinsip dasar interkoneksi.
Keputusan Menteri Perhubungan nomor 46 Tahun 2002 merupakan aturan penyelenggaraan warung telekomunikasi.
Pada pasal 16c dari Kepmen itu ditetapkan bahwa pengelola wartel mendapatkan bagian airtime dari penyelenggara jaringan bergerak seluler sebesar 10%.
Sejak keputusan Menteri Perhubungan itu diputuskan pada 7 Agustus 2002, pengelola airtime belum mendapatkan hak pendapatan airtime sebesar 10%.
Menurut Rudi, kalau posisi wartel disepakati sebagai kepanjangan tangan dari PT Telkom seharusnya tidak diperlukan lagi pembagian pendapatan airtime.
Kedepannya, dia mengharapkan agar panggilan ke telepon seluler dilakukan melalui warsel (warung seluler) agar tidak terjadi lagi perselisihan perhitungan.
"Selama ini layanan panggilan ke nomor seluler melalui warsel kan terbukti tidak ada masalah." (trd) 

'TI untuk UKM butuh infrastruktur yang tepat'

23 Juli 2004

SHANGHAI (Bisnis): Penggunaan teknologi informasi di Indonesia oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masih membutuhkan persiapan infrastuktur yang tepat, tutur seorang eksekutif.
Managing Director Oracle Indonesia Adi Juwono Rusli menuturkan di Indonesia masih diperlukan kerja sama dengan penyedia kredit seperti lembaga perbankan dalam negeri dan luar negeri untuk memperlancar penggunaan TI bagi UKM.
"Kerja sama dengan lembaga perbankan tersebut intinya dilakukan agar dapat lebih mudah mengakses kredit," tuturnya sebelum mengikuti acara seminar di Shanghai Convention Center Pudong seperti dilaporkan wartawan Bisnis Diena Lestari kemarin.
Menurut dia, dengan adanya akses dari lembaga perbankan tersebut maka jika ada UKM yang membutuhkan layanan kredit, proses due diligence tidak perlu dilakukan. Hal ini, katanya, mengingat dengan digunakan TI secara maksimal maka bank dapat dengan mudah mengakses data dan mengetahui kemampuan keuangan dari UKM.
Di Indonesia, kata Adi, masih diperlukan mediator untuk menjembatani antara perusahaan TI dengan UKM dan perbankan. Dia menjelaskan Oracle sendiri sudah mempunyai konsep mengenai UKM yang bias melakukan distribusi produk sampai ke daerah terpencil sejak lama. Selain itu, katanya, Oracle juga mempunyai produk yang dapat diterapkan ke UKM.
Namun demikian, katanya, masalah tersebut masih membutuhkan pengkajian. "Mungkin sebagai pilot project, dalam 12 sampai 18 bulan mendatang akan dilakukan pengkajian di Jawa Timur dan Bali," tuturnya.
Sementara itu, Senior director for SME Business Oracle Asia Pasific Suresh Kalpathy menuturkan UKM saat ini untuk memenangkan kompetisi harus efisien dan menekan biaya produksi. Hal ini, katanya, dibutuhkan untuk mendapatkan pengembalian investasi yang cepat.
"Oracle saat ini mempunyai produk Oracle E-Business Suite Special Edition yang cukup membantu industri skala menengah dan kecil memenuhi kebutuhannya," katanya.
Dari data yang didapatkan Bisnis, disebutkan bahwa penggunaan modul terpisah maupun tandem dari paket Oracel E-Business Suite Special Edition masih terjangkau.
Untuk penggunaan rapid financial yang digunakan untuk lebih dari 10 pengguna, implementasinya hanya dibutuhkan waktu 15-40 hari dengan dana sebesar US$53.400.
Untuk penggunaan rapid financials and purchasing yang digunakan untuk lebih dari 10 pengguna, implementasinya mencapai 35-60 hari dengan dana sebesar US$65.600.
Sedangkan untuk rapid distribution yang tergabung dalam Oracle Financials, Oracle Purchasing, Oracle Order Management dan Oracle Inventory Management yang digunakan lebih dari 10 pengguna, implementasinya diperlukan waktu 60-80 hari, dengan dana US$80,200.
Industri migas
Sementara itu berkaitan dengan kebutuhan industri minyak dan gas bumi di Indonesia terhadap sistem software yang dapat membantu cara perhitungan cost recovery yang sesuai dengan karakteristik industri itu di Indonesia, Information System Manager Vico Indonesia Agus Wicaksono menuturkan secara spesifik industri migas di negara itu sampai saat ini belum ada satu software-pun yang dibuat untuk melakukan perhitungan cost recovery.
"Di Indonesia, konsep migas menggunakan konsep KPS [kontraktor production sharing] mempunyai hak untuk meminta kembali seluruh investasi yang telah ditanamkannya kepada pemerintah jika perusahaannya sudah berproduksi," tuturnya.
Yang menjadi kendala saat ini, katanya, belum ada satu paket software yang dibuat untuk melakukan perhitungan dari awal investasi sampai perusahaan migas tersebut dapat berproduksi.
Agus mengatakan dulu ada Oracle paket sistem software yang dinamakan Oracle Energy. Namun demikian, katanya, paket tersebut belum secara spesifik mengarah pada kebutuhan industri migas di Indonesia utamanya dalam perhitungan cost recovery.
"Padahal suatu perusahaan manapun yang bergerak di bidang software dan database perlu memperhitungkan konsep lokalisasi. Lokalisasi di sini adalah pemenuhan kebutuhan dari setiap perusahaan pengguna, dalam hal ini perusahaan migas tentang paket software yang sesuai dengan kebutuhannya," tuturnya.
Menurut dia, pada dasarnya perusahaan besar seperti Oracle sebenarnya mampu melakukannya. Akan tetapi, yang jadi masalah sekarang adalah apakah penyediaan software secara spesifik ini cukup ekonomis atau tidak bagi perusahaan.
Ketika dikonfirmasikan Bisnis, Managing Director Oracle di Indonesia Adi J. Rusli menuturkan penyediaan paket peranti lunak secara spesifik seperti yang diminta perusahaan migas tersebut dapat dilakukan.
"Jadi permintaan mereka, contohnya, seperti penyediaan paket software untuk perhitungan cost recovery dapat dilakukan. Namun demikian, hal seperti itu kurang ekonomis dan economic skills bagi perusahaan tidak ada," katanya.
Hal itu tambahnya, mengingat bukan core business Oracle walau tetap jadi target bisnis Oracle. Selain itu, masing-masing negara mempunyai karakter yang berbeda.
Adi menambahkan jika perusahaan migas minta paket software seperti itu, maka akan ditangani oleh tim consultating services.

Wednesday, July 21, 2004

Pemerintah Akan Tertibkan Warung Telkom

 Selasa, 29 Juni 2004 18:56 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Salah satu bagian penting dari revisi kebijakan warung telekomunikasi (wartel) yang akan dilakukan pemerintah adalah menertibkan Warung Telkom. Selama ini wartel produk PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) tersebut banyak mendapat sorotan karena hanya melayani penjualan produk-produk Telkom. Padahal ide dasar wartel, kata Kepala Humas Ditjen Postel Bambang D. Dewanto, adalah sebagai sarana publik untuk berkomunikasi. Jadi seharusnya semua pengguna bebas memilih layanan atau produk penyelenggara jaringan mana yang akan dipakai. "Kenyataannya Telkom membuat Warung Telkom yang hanya melayani produk Telkom," tutur Bambang. Saat ini kebijakan wartel yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan nomor 46 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Wartel, tutur dia, tidak mengatur mengenai wartel yang menjadi kepanjangan tangan penyelenggara jaringan seperti Telkom. "Ini menjadi celah yang bisa dimanfaatkan setiap penyelenggara jaringan," imbuhnya. Sementara itu para pengusaha wartel yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) justru terlihat apriori dengan rencana pemerintah untuk merevisi kebijakan wartel. Menurut Ketua Umum APWI Srijanto Tjokrosudarmo kebijakan yang ada sekarang sebenarnya sudah cukup baik. Hanya masalahnya pelaksanaan di lapangan tidak berjalan dengan semestinya. Beberapa pelanggaran yang masih terjadi antara lain hak wartel atas 10 persen tarif air time seluler yang belum dibayar Telkom, dan pemblokiran sambungan langsung internasional. Dalam pandangan Srijanto, setiap wartel, meskipun misalnya sudah berubah menjadi Warung Telkom atau Warung Indosat harus tunduk kepada kebijakan wartel yang mengacu pada Undang-Undang Telekomunikasi. "UU Telekomunikasi menekankan perlakuan yang fair kepada pelanggan," kata dia. Tidak boleh, lanjutnya, wartel yang ada serta merta diminta mengubah namanya menjadi Warung Telkom atau lainnya dan bekerja dengan prinsip mirip waralaba. "Pengubahan nama menjadi Warung Telkom justru merugikan Telkom, karena di daerah orang sudah tahu wartel itu punya Telkom," tukas dia. Berkaitan dengan ini, beberapa waktu lalu Direktur Bisnis Jaringan Telkom Abdul Haris sempat menegaskan Telkom tidak pernah berlaku curang dengan membatasi akses pelanggan di Warung Telkom. Bahkan jajaran direksi telah mengirim surat ke divisi regional, kantor daerah, hingga ke kantor cabang agar menjaga persaingan sehat. "Tapi kalau pengusaha wartel mau bekerjasama dengan kita dan bersedia hanya menjual produk Telkom itu kan pilihan mereka," tegas dia.Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini tengah melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap dugaan pelanggaran Undang-Undang Antimonopoli oleh Telkom. Dugaan pelanggaran itu meliputi penutupan akses SLI 008 dan 001, pemberlakuan dua tipe warung telekomunikasi, dan posisi dominan Telkom di industri internet. Diharapkan pada akhir Juli KPPU akan mengambil keputusan. Ucok Ritonga – Tempo News Room
Kamis, 05 Februari 2004 /kompas

Pembenahan Pengelolaan Sektor Telekomunikasi

Asmiati Rasyid

NAIKNYA angka rencana investasi bidang telekomunikasi menjadi Rp 15 triliun tahun ini menunjukkan bangkitnya kembali bisnis telekomunikasi semenjak terjadinya krisis ekonomi. Prospek bisnisnya pun cukup menjanjikan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Indonesia memiliki potensi pangsa pasar yang besar karena dengan 8 juta pelanggan telepon tetap (PSTN), ditambah 18 juta pelanggan seluler, maka secara efektif baru sekitar 6 persen dari penduduk kita yang menikmati fasilitas telekomunikasi.
Infrastruktur telekomunikasi yang masih sangat minim menjadi daya tarik para investor swasta asing maupun dalam negeri. Malahan, pada kondisi ketidakpastian ekonomi selama ini pun investor asing tetap berebut masuk dan menguasai bisnis telekomunikasi kita. STT Telecom dari Singapura menguasai 42 persen saham PT Indosat dan sekaligus menguasai pasar telepon seluler serta memonopoli komunikasi internasional di negara kita.
Untuk mendukung dan melindungi persaingan yang sehat, pertama-tama perlu dievaluasi sejauh mana kerangka hukum, regulasi, dan kebijakan untuk mengantisipasi semua praktik-praktik antikompetisi. Terutama, perlindungan dari perilaku operator incumbent yang cenderung melakukan penyalahgunaan posisi dominannya, baik dari aspek penguasaan pasar maupun penguasaannya terhadap essential facilities.
Misalnya, tanpa adanya pengaturan interkoneksi yang benar, maka operator incumbent dapat melakukan diskriminasi harga interkoneksi atau mempersulit penyediaan interkoneksi. Operator dominan dapat saja melakukan predatory pricing untuk menghalangi masuknya pesaing baru atau malahan mematikan pesaing.
Di samping itu, dalam sektor telekomunikasi banyak hal lain yang dapat menimbulkan barrier to entry bagi operator baru, seperti tingginya investasi untuk jaringan akses, keterbatasan alokasi frekuensi, dan keterbatasan sistem penomoran. Penghalang untuk terciptanya persaingan yang sehat juga bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah atau regulator sendiri, misalnya pengaturan tarif yang tidak kondusif atau proses pemberian lisensi yang tidak transparan.
Dasar hukum untuk mendukung dan melindungi persaingan penyelenggaraan sektor telekomunikasi terdapat pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU No 5/1999 yang merupakan dasar hukum untuk larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang berlaku untuk semua sektor industri. Jika dikaji, UU No 5/1999 lebih menitikberatkan pada aturan main untuk para pelaku usaha. Misalnya, Pasal 25 UU tadi mencantumkan tolok ukur posisi dominan dan larangan terhadap penyalahgunaan posisi dominan tersebut, seperti membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.
Demikian juga aturan merger antar-operator yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat seperti yang dicantumkan pada Pasal 28 dan Pasal 29 UU No 5/1999. Ini karena merger dapat berdampak pada konsentrasi badan usaha atau konsentrasi kekuasaan ekonomi. Oleh karena itu, pada kasus merger Satelindo dan IM3 ke PT Indosat perlu dicermati lebih jauh komposisi kepemilikan saham atau adanya jabatan rangkap di tingkat direksi.
Pertanyaan selanjutnya, apakah tolok ukur dan aturan yang terdapat pada UU No 5/1999 sudah cukup untuk mendukung iklim persaingan sehat pada sektor telekomunikasi, mengingat dinamika perubahan pasar dan teknologi yang begitu cepat? UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi sama sekali tidak menyinggung definisi operator incumbent dan aturan untuk mengantisipasi perilaku operator incumbent, atau juga tolok ukur dan pengaturan terhadap operator dominan.
Pemahaman hukum
Lemahnya kerangka hukum dan regulasi ini berpotensi menimbulkan kecurangan persaingan usaha, baik yang dilakukan oleh operator incumbent maupun operator baru. Misalnya, akibat minimnya penyediaan infrastruktur telekomunikasi untuk publik dimanfaatkan oleh para operator telepon seluler untuk meraup keuntungan dari masyarakat.
Dengan kebijakan tarif yang berlaku, para investor berebut hanya pada segmen-segmen yang memberikan keuntungan besar saja yang dikenal dengan istilah cherry picking, seperti bisnis telepon seluler, VoIP, dan Internet. Sebagai gambaran, jumlah telepon seluler naik begitu cepat mencapai 500 persen lebih dibandingkan dengan posisi pada tahun 2000, sementara untuk jaringan telepon untuk layanan publik hanya naik sekitar 16 persen.
Kondisi ini diperparah oleh rendahnya penguasaan dan pemahaman akan hukum persaingan usaha dan etika bisnis para pelaku bisnis, personel di pemerintahan, maupun dari masyarakat selaku pengguna jasa. Tidak jarang ditemukan praktik-praktik kecurangan yang dilakukan antarpelaku bisnis, kecurangan pelaku bisnis terhadap konsumen, maupun kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak konsisten satu sama lain. Misalnya, isu-isu kecurangan persaingan usaha yang cukup santer kita dengar pada tahun lalu, seperti kasus pemblokiran sambungan SLI 001 yang dilakukan oknum PT Telkom di lapangan atau keluhan-keluhan akan sulitnya mendapatkan interkoneksi dari PT Telkom, tarif telepon seluler yang masih sangat mahal, atau proses pemberian lisensi VoIP yang menimbulkan banyak pertanyaan.
Mengingat telekomunikasi merupakan salah satu sektor industri strategis yang menyangkut kepentingan layanan publik, maka diperlukan langkah-langkah pembenahan untuk penyempurnaan kerangka hukum dan regulasi dengan tetap memerhatikan kondisi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat. Blueprint penyelenggaraan telekomunikasi yang ditetapkan pada tahun 1999 tentu perlu ditinjau kembali. Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan liberalisasi sektor telekomunikasi ini, suatu platform kebijakan kompetisi sektor ini perlu disiapkan untuk dijadikan dasar setiap kebijakan kompetisi (competition policy) sektor secara konsisten dan berkelanjutan.
Penyusunan platform ini sebaiknya melibatkan semua lembaga pemerintah dan lembaga independen lain, seperti BRTI dan KPPU, termasuk pimpinan negara. Tujuannya untuk menjamin sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan atau aturan agar tidak saling tumpang tindih atau tidak saling bertentangan, mulai dari kebijakan penanaman modal asing (PMA), kebijakan fiskal, kebijakan pengadaan barang dan jasa, kebijakan perdagangan, sampai kebijakan dan pengaturan pada level operasional untuk pengaturan lisensi, penggunaan frekuensi, dan penentuan tarif dasar telepon.
Pemberdayaan sektor
Pemerintah harus mampu melihat potensi sektor telekomunikasi untuk dijadikan penggerak sektor ekonomi nasional secara langsung maupun tidak langsung, seperti adanya transfer teknologi untuk meningkatkan kualitas SDM, menambah daya tarik investor untuk sektor industri pariwisata, pertambangan, dan juga untuk mendorong pengembangan industri software untuk aplikasi dan content.
Sebagai masukan, ada beberapa pemberdayaan sektor ini yang dapat dilakukan tanpa menunggu perubahan undang-undang yang berlaku.
Pertama, perbaikan kinerja pengelolaan sektor telekomunikasi untuk meningkatkan sumber pendapatan pemerintah, baik dari pajak maupun dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Perlu diakui secara jujur bahwa kinerja pemerintah dalam pengelolaan sektor ini masih sangat rendah.
Total pendapatan pemerintah dari biaya hak penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi dan Biaya Hak Penggunaan Frekuensi tahun 2003 hanya sekitar Rp 1,2 triliun saja (Kompas, Oktober 2003), jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh operator. Pada tahun 2003, jumlah pendapatan 4 operator besar seluler saja mencapai Rp 20 triliun, tetapi pendapatan pemerintah dari BHPtel itu hanya Rp 200 miliar. Sebagai bandingan, Pemerintah India menetapkan license-fee yang harus dibayar per tahun sebesar 12 persen dari total pendapatan untuk operator yang berbisnis di kota besar, 10 persen untuk kota-kota sedang, dan 8 persen di kota-kota kecil.
Kedua, penataan ulang struktur penyelenggaraan telekomunikasi yang dinilai sudah tidak mampu mengikuti perubahan bisnis dan teknologi telekomunikasi. Berdasarkan Pasal 7 UU No 36/1999 dan Pasal 3 PP No 52/2000, penyelenggaraan jaringan dipisahkan dari jasa telekomunikasi sehingga operator jaringan harus meminta izin baru lagi untuk setiap menggelar jasa baru. Padahal diketahui, jasa telekomunikasi itu merupakan produk dari teknologi jaringan yang selalu berkembang.
Ketiga, pemberdayaan BRTI sebagai badan regulator yang benar-benar independen dan profesional untuk mendukung kompetisi yang fair. Pembenahan mencakup dasar dan status hukum, tanggung jawab dan kewenangan, hubungan kerja dengan Menhub dan staf Ditjen Postel, sumber pendanaan BRTI, besarnya renumerasi anggota komite, serta masa tugas komite. Karenanya, perlu ditinjau kembali Kepmen No 31/2003 karena tidak sesuai dengan konsep pembentukan BRTI yang independen (Kompas, 17 April 2003).
Keempat, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan USO. Setiap negara memiliki tujuan dan strategi yang berbeda-beda dalam pelaksanaan USO. Rancangan kepmen untuk pelaksanaan USO dinilai kurang applicable karena pada kepmen itu pemerintah akan menunjuk penyelenggara tertentu untuk penyelenggaraan USO, sementara operator lain diwajibkan memberikan kontribusi berupa kompensasi USO.
Sebaiknya USO dibebankan langsung kepada operator yang dinilai memiliki pangsa pasar dominan, seperti Telkom, Telkomsel, dan Indosat. Pelaksanaannya biar mereka lakukan sendiri, tetapi formulasinya yang harus ditetapkan pemerintah.
Misalnya, 25 persen dari total rencana investasi harus dialokasikan untuk pembangunan di daerah kecil atau terpencil dan pelaksanaannya dilakukan pada waktu yang bersamaan. Dengan formula 3 in 1 itu, maka perkembangan pembangunan di daerah terpencil dapat dilakukan secara proporsional dan bersamaan agar tidak ketinggalan terus.

Asmiati Rasyid Pendiri Pusat Studi Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen Bandung

Nomor : PM.2 TAHUN 2004

PENGUMUMAN
DEPARTEMEN PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PELAKSANAAN RESTRUKTURISASI SEKTOR TELEKOMUNIKASI
                                                                                                                                                                      
 
Nomor : PM.2 TAHUN 2004
 
Untuk melaksanakan pengakhiran semua bentuk monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, telah diputuskan oleh Pemerintah melalui sidang kabinet terbatas tanggal 20 Nopember 2003 untuk mengakhiri hak eksklusifitas PT.Telkom dan PT.Indosat dengan besaran kompensasi sesuai hasil perhitungan Appraiser Independen. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Departemen Perhubungan berdasarkan rekomendasi Tim Terpadu Restrukturisasi Sektor Telekomunikasi (TRST) telah menyediakan seluruh perangkat regulasi pendukung.
 
Beberapa hal yang perlu disampaikan dalam pengumuman ini, adalah sebagai berikut:
 

Kompensasi terminasi dini hak eksklusifitas
Perhitungan kompensasi telah selesai dilaksanakan oleh Appraiser Independen yang penunjukannya disetujui oleh pihak terkait (Tim TRST, PT.Telkom dan PT.Indosat) dan hasilnya mengikat. Selanjutnya besaran kompensasi terminasi dini hak eksklusifitas telah disetujui dalam sidang kabinet terbatas tanggal 20 Nopember 2003 yang menyebutkan bahwa Pemerintah membayar kepada PT.Telkom (termasuk Mitra KSO) sebesar Rp.478 Milyar setelah pajak dan PT.Indosat membayar kepada Pemerintah sebesar Rp.178 Milyar setelah pajak. Pembayaran kompensasi kepada PT.Telkom dibayar secara bertahap dari dana “on top” (diatas pagu alokasi) APBN Departemen Perhubungan, dengan mekanisme pembayarannya mengikuti pelanggaran APBN (melalui proses pembahasan dengan DPR yang diusulkan oleh Menteri Perhubungan).
 
Sedangkan pembayaran kompensasi PT.Indosat lebih lanjut diselesaikan Pemerintah yang dikoordinasikan Menteri Negara BUMN.

Regulasi Pendukung
Berkenaan dengan restrukturisasi sektor telekomunikasi tersebut Pemerintah c.q. Departemen Perhubungan menerbitkan regulasi pendukung:


Perubahan regulasi yang membatasi kompetisi
1)      Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.4 Tahun 2001 tentang Penetapan Rencana Dasar Teknis Nasional 2000 (Fundamental Technical Plan national 2000) Pembangunan Telekomunikasi Nasional, yang intinya sebagai berikut :
a)      Kode akses SLJJ dan SLI merupakan penciri jaringan sekaligus penciri jasa teleponi dasar. Seluruh penyelenggara jasa SLJJ dan SLI menggunakan kode akses (prefix) 3 (tiga) digit untuk seluruh wilayah Indonesia;
b)      Setiap pelanggan dapat secara bebas (free selection) memilih penyelenggara jasa SLJJ dan SLI yang diinginkan secara otomatis (normally opened), untuk setiap panggilan yang dilakukannya.
 
2)      Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.29 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.20 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.30 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, yang berisi:
a)      Penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap SLJJ dan SLI dapat menyelenggarakan jasa teleponi dasar SLJJ dan SLI;
b)      Selanjutnya penyelenggara SLJJ dan SLI berhak menetapkan tarif ritail ke pelanggan dan melaksanakan pelayanan pelanggannya.
 
3)      Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.31 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.23 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan Publik, yang intinya melakukan penyelarasan terhadap kode akses penyelenggaraan ITKP.
 


Pengaturan interkoneksi
Pengaturan interkoneksi merupakan regulasi yang paling penting dalam keberlangsungan kompetisi. Pemerintah bersama dengan para operator telah menyepakati beberapa hal yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.32 Tahun 2004 tentang Biaya Interkoneksi Penyelenggaraan Telekomunikasi, yang intinya :
1)      Beban interkoneksi berdasarkan biaya berlaku mulai 1 Januari 2005;
2)      Sampai 31 Desember 2004 berlaku biaya interkoneksi sekarang;
3)      Dalam kurun waktu 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2004 dilakukan persiapan penyesuaian pengaturan interkoneksi dengan bantuan konsultan yang meliputi : besaran biaya interkoneksi, cost accounting standard, reference interconnection offer (RIO), dan dispute resolution interkoneksi.


Pengawasan kompetisi
Dalam rangka menciptakan keserasian dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap dan mengamankan jalannya kompetisi agar berjalan baik, diterbitkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.33 Tahun 2004 tentang Pengawasan Kompetisi Yang Sehat Dalam Penyelenggaraan Jaringan Tetap dan Penyelenggaraan Jasa Teleponi Dasar, yang meliputi:
1)      Penetapan kriteria penyelenggara yang memiliki posisi dominan;
2)      Larangan menyalahgunakan posisi sebagai penyelenggara dominan (dumping, subsidi silang, pemblokiran, mempersulit interkoneksi, jual-kawin/tied-sale);
3)      Penyelenggara dominan dilarang melakukan transfer pricing yang anti kompetitif.
 

Kelembagaan
Untuk menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian Departemen Perhubungan telah melimpahkan sebagian kewenangannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Telah dilaksanakan beberapa langkah sebagai berikut :


Pembentukan BRTI melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.31 Tahun 2003 pada tanggal 11 Juli 2003 terdiri dari Ditjen Postel dan Komite Regulasi Telekomunikasi yang diketuai oleh Dirjen Postel;
Pengukuhan anggota Komite Regulasi Telekomunikasi pada tanggal 19 Desember 2003 yang mulai efektif berlaku pada bulan Januari 2004;
Penetapan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.67 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata Kerja Departemen Perhubungan dengan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang intinya mengatur tata- hubungan kerja antara Departemen Perhubungan dengan BRTI dan Dirjen Postel.
 

Sarana Pendukung regulator

Untuk perkuatan regulator dalam menjalankan fungsinya, dibentuk Sistem Kliring Trafik Telekomunikasi (SKTT) yang keberadaannya telah dibahas bersama dengan penyelenggara telekomunikasi, dimaksudkan sebagai tool utama dalam penanganan seluruh persoalan interkoneksi;
Melalui SKTT, Regulator mendapat data akurat mengenai profil trafik interkoneksi antar penyelenggara dan dapat melakukan perhitungan trafik interkoneksi sehingga menjamin transparansi pembebanan biaya;
Kewenangan dan tanggung jawab fungsional pengaturan, pengawasan dan pengendalian SKTT sepenuhnya di bawah kendali Regulator;
Dibentuk komite pengawasan operasional pelaksana SKTT yang beranggotakan unsur-unsur Regulator dan operator;
Investasi dan pengoperasian SKTT dilakukan dengan cara out-sourcing yang dituangkan dalam kontrak kerjasama;
Pemilihan pelaksana SKTT dilaksanakan melalui seleksi secara terbuka.
 

Rebalancing Tarif

Dalam rangka terselenggaranya kompetisi yang sehat dan sebagai prasyarat untuk memasuki era kompetisi yang sehat dan sebagai prasyarat untuk memasuki era kompetisi penuh, perlu meniadakan subsidi silang dari tarif SLJJ ke tarif lokal melalui rebalancing tarif. Rebalancing Tarif ini juga diperlukan sebagai dasar penerapan interkoneksi berbasis biaya pada 1 Januari 2005;
Penyelenggara dapat melanjutkan penyeimbangan tarif dengan besaran maksimum sesuai kesepakatan dengan DPR pada tahun 2002. Untuk itu sesuai dengan perhitungan BRTI penyelenggara dapat melakukan penyeimbangan pada tahun 2004 dengan resultante penyeimbangan (Delta P) sebesar 9% (sembilan persen). Berdasarkan variabel penyeimbangan seperti tersebut diatas, maka penyelenggara diwajibkan untuk membangun jaringan lokal sekurang-kurangnya 1,4 juta SST pada tahun 2004, sampai dengan 10,7 juta SST pada tahun 2008;
Dalam penyeimbangan tersebut penyelenggara diberikan kebebasan untuk menentukan tarif lokal dan biaya bulanan sesuai dengan mekanisme pasar, dengan intensitas penurunan tarif SLJJ minimum 10% (sepuluh persen);
Sejalan dengan penyeimbangan tarif, Pemerintah mewajibkan kepada penyelenggara untuk memberlakukan tarif khusus bagi layanan telekomunikasi di daerah KPU, bagi penggunaan internet lokal dial-up, dan bagi layanan telepon umum koin;
Dalam rangka mendukung aksesibilitas informasi masyarakat melalui akses internet, disiapkan pengaturan yang memberikan alternatif selain melalui akses jaringan telpon dengan pemanfaatan band frekuensi 2,4 GHz.
 

Kewajiban Pelayanan Universal (KPU/USO)
Sebagai konsekuensi pemberlakuan kompetisi menyeluruh, para penyelenggara telekomunikasi melayani suatu daerah berdasarkan mekanisme pasar. Untuk daerah yang belum terlayani merupakan tanggung jawab Pemerintah. Untuk itu diterbitkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 43 Tahun 2004 tentang Kewajiban Pelayanan Universal, yang intinya mengatur mengenai:


Pembangunan Kewajiban Pelayanan Universal (KPU) yang merupakan hak masyarakat terutama di daerah perintisan (daerah KPU/USO) yang tidak disentuh oleh penyelenggara telekomunikasi karena pertimbangan komersial;
Dana pembangunan KPU bersumber dari kontribusi penyelenggara sebesar 0,75% dari pendapatan kotor dengan memperhatikan bad debt dan beban interkoneksi;
Pemerintah akan menetapkan penyelenggara jaringan telekomunikasi atau penyelenggara jasa telekomunikasi untuk pelaksanaan USO.
 

Fixed Wireless Access (FWA)

FWA termasuk dalam penyelenggaraan jaringan tetap lokal;
Penyelenggara telekomunikasi tetap lokal dapat menggunakan teknologi FWA di jaringannya;
Teknologi FWA memiliki mobilitas terbatas yang dioperasikan atas dasar izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal dengan tidak memiliki fasilitas automatisasi;
Pengaturan FWA diterbitkan atas dasar prinsip pencegahan terjadinya disharmoni antara tetap lokal dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi lain;
Selanjutnya substansi pengaturan telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal Tanpa Kabel Dengan Mobilitas Terbatas, yang pelaksanaannya akan dikaji lebih lanjut oleh konsultan yang disepakati bersama oleh penyelenggara telekomunikasi tetap, bergerak dan regulator, yang rekomendasinya akan digunakan dalam menetapkan pengaturan penyelenggara FWA.
 

Penyelarasan izin PT Telkom dan PT Indosat

Sebagai hak konsekuensi dari kebijakan Pemerintah untuk mengakhiri hak eksklusifitas pada penyelenggaraan jaringan tetap, Departemen Perhubungan telah menyesuaikan izin penyelenggaraan PT.Telkom dan PT.Indosat. Dengan demkian PT.Telkom diberi hak untuk menggunakan kode akses 007 untuk penyelenggaraan jaringan sambungan internasional, dan PT.Indosat diberi hak untuk menggunakan kode akses 011 untuk penyelenggaraan jaringan tetap sambungan langsung jarak jauh.
Penyesuaian izin memiliki substansi:
1)      Tidak bersifat monopoli untuk semua penyelenggaraan telekomunikasi;
2)      Ketentuan tentang penyelarasan pengguanaan kode akses dan jadual pelaksanaannya
 

Lain-Lain
Dalam rangka melancarkan proses berjalannya kompetisi, perlu dilakukan restrukturisasi pola penetapan Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi. Pehitungan kembali BHP Frekuensi akan dikaji oleh konsultan untuk mempertimbangkan secara cermat agar pola penetapan BHP Frekuensi dapat mendorong terjadinya optimalisasi pemanfaatan frekuensi.
 
Pemerintah berpendapat bahwa kebijakan dan regulasi tersebut di atas teleh memadai sebagai awal untuk memulai kompetisi menyeluruh di sektor telekomunikasi Indonesia. Para pihak yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan dan regulasi sektor telekomunikasi wajib menindaklanjuti dan menjalankan sesuai dengan kompetensi masing-masing.
 
Pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan restrukturisasi sekto telekomunikasi dilakukan oleh Badan Regulasi dan Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
 
 
 
Jakarta, 30 Maret 2004
 
MENTERI PERHUBUNGAN
 
TTD
 
AGUM GUMELAR M.Sc.

Forum TelekomunikasiEdisi 138, Juli 2004 Telkom Operator Yang BerhasilKuasai Jaringan

Besarnya PT Telkom di jaringan telekomunikasi dalam negeri, bukan berarti BUMN itu satu-satunya operator telekomunikasi di negeri. Saat ini boleh jadi BUMN satu itu masih teratas.

Sampai saat ini hanya Telkom yang mempunyai jaringan terbesar di dalam negeri. Kalau ada operator lain, mau masuk ke sektor itu, harus baik-baik dengan Telkom, karena sudah bisa dipastikan bakal numpang jaringn. Memang ada Indosat, namun sejak pemerintah melepas 51 persen sahamnya kepada Singapura Telecommunication, otomatis Indosat bukan lagi BUMN tapi bagian dari PMA. Yang benar-benar BUMN dan menguasai jaringan telekomunikasi dalam negeri adalah PT Telkom.

Dengan demikian, Telkom tetap saja "berkuasa", karena belum ada operator lain yang memiliki jaringan seluas Telkom. Karena itu, terkadang Telkom terkesan egois dan memaksakan kehendak, baik dalam hal pelayanan maupun keinginannya menaikan tarif.

Hal lain yang sampai saat ini belum terpecahkan ialah soal kode akses, sehingga ada dugaan terjadinya blocking kode akses milik Indosat pada warung-warung telekomunikasi milik Telkom. Dugaan ini juga yang menyeret Telkom harus berurusan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Setidaknya itu yang diakui pengamat bisnis telekomunikasi juga ketua Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI), Sridjanto Tjokrosudarmo. Kendati demikian, dugaan pemblokiran itu, diakui belum sempat menimbulkan protes dari konsumen secara langsung. Karena soal kode akses, sebenarnya soal persaingan dagang antara PT Telkom dan PT Indosat.

Kendati dalam dugaan itu secara tidak langsung merugikan konsumen, APWI mengakui terjadi praktik pemblokiran sambungan langsung internasional (SLI) terhadap kode akses 001 dan 008 milik PT Indosat Tbk, khususnya melalui Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan pemilik Warung Telkom di seluruh Indonesia.

"Kami dari APWI yang dimintai keterangan sebagai saksi oleh KPPU pada 11 Maret 2004, telah menjelaskan dan telah disodorkan bukti-bukti tentang adanya pembatasan kode akses oleh Telkom," Srijanto.

KPPU sendiri sampai akhir Juni 2004 dijadwalkan melakukan pemeriksaan lanjutan yang dilakukan oleh Majelis Komisi KPPU, setelah sebelumnya diperiksa oleh sebuah tim. Eskalasi ini, menurut Direktur Komunikasi KPPU, Murman Budijanto sebelumnya, terjadi karena ternyata dugaan pelanggaran itu tidak terjadi di sejumlah perusahaan dan hotel besar di beberapa kota besar, tetapi justru terjadi di level pelayanan publik, wartel di seluruh Indonesia.

Srijanto mengungkapkan, praktik ini marak terjadi sejak 2000-2002 dan diperkirakan hingga saat ini hal itu terjadi, khususnya untuk wartel, seolah dipaksa menandatangani PKS sesuai Keputusan Direksi (KD) No 39/2003.

"Jika pemilik wartel tak bersedia, maka untuk melanjutkan usahanya dianggap seperti memulai usaha baru, sehingga ada biaya pasang baru segala. Sampai saat ini, dari sekitar 300 ribu anggota APWI, baru sekitar tiga puluh ribu yang telah menandatangani PKS ini," kata Srijanto.

Konsep PKS ini bagi Telkom dianggap seperti waralaba sehingga bentuk usaha ini menjadi Warung Telkom, meski dengan akronim yang sama yakni Wartel. "Konsekuensinya, harus ikut kemauan Telkom. Ini wajar, karena telah ada kesepakatan kedua belah pihak dan yang dijual juga harus produk Telkom."


Tak Ada Pilihan
Bila mengacu kepada ketentuan dagangan antara Telkomdengan mitra bisnis, sebenarnya pengelola Wartel tak punya pilihan, kecuali menerima semua keinginan PT Telkom. Yaitu melayani pelanggannya menggunakan produk jasa PT Telkom.

Kenyataan ini harus dihadapi pengelola wartel. Walau diketahui, sebenarnya, didalam internal Telkom itu sendiri dalam mengeluarkan peraturan terjadi benturan antara ketentuan yang satu dengan yang lain. Seperti pada KD 39/2003 pasal 15 Bab I tentang sifat layanan telekomunikasi umum.

Disebutkan, pada pasal itu dijelaskan tentang ketentuan normally open yang secara harfiah berarti, suatu layanan jasa telekomunikasi dapat langsung diakses oleh publik tanpa harus meminta persetujuan terlebih dulu kepada PT Telkom selaku penyedia jaringan.

"Berdasarkan, fakta-fakta itu, jelas ada upaya pembatasan akses telekomunikasi yang melanggar UU No 39/1999 tentang Telekomunikasi, khususnya pasal 18 tentang larangan adanya upaya-upaya yang mengarah pada pemblokiran atau pembatasan akses telekomunikasi," katanya.

Sebagai ketua Umum APWI, Srijanto mengusulkan kepada KPPU agar dalam melakukan pemeriksaan, rujukan perundangan jangan hanya kepada UU No 5/1999, tapi juga harus mengacu kepada UU No 39/1999 tentang Telekomunikasi. Akan jadi bumerang bagi KPPU bila hanya mengacu kepada UU No.5/99, karena yang diselidiki dugaan pemblokiran adala soal teknologi telekomunikasi, dimana ada undang-undangnya sendiri.

"Saya sudah usulkan itu, tapi ditolak, saya bilang, bagaimana KPPU bisa mengetahui ada pemblokiran bila tak menggunakan UU yang mengatur soal telekomunikasi. Artinya, jika rujukannya hanya UU No 5/1999 maka sanksinya selain denda, juga pemutusan atau pencabutan suatu perjanjian yang dapat menghambat persaingan usaha sehat," katanya.

Dalam ketetuan itu, bila terbukti maka ada kata "sanksi dan pencabutan izin usaha". Apakah KPPU bisa mencabut izin usaha PT Telkom. Sebab yang bisa melakukan adalah lembaga yang memberikan izin dan bukan KPPU. Sementara fungsi KPPU dalam konteks ini hanya sebagai lembaga yang tak lebih dari memberikan rekomendasi kepada instansi terkait, yang didasarkan hasil kesimpulan penyeledikan majelis komisi.

Bila demikian, apakah KPPU bekerja dan bertindak dalam melakukan pengawasan hanya sebagai wasit. Karena dalam koridor hukum, pada akhirnya, hanya sanksi mopral yang dijatuhkan. "Dia meminta saran, saya menyampaikan usul, agar juga menggunakan UU No.39/99, tentang telekomunikasi, tapi ditolak, yah terserah. karena saya pikir, tanpa menggunakan UU itu KPPU tak banyak berbuat, kecuali hanya memberikan rekomendasi, tak lebih dari itu," tambahnya. (S-2)
Sabtu,  12 Juni 2004

Pelanggan Bebas Pilih Akses SLI

PALEMBANG, SRIPO — Tidak ada tekanan terhadap pengelola Warung Telkom (Wartel) hanya untuk menggunakan akses Sambungan Langsung Internasional (SLI) 007. Pengelola Wartel tentu saja memiliki kebebasan untuk menggunakan fasilitas dari operator yang disukai pelanggan.

WARUNG TELKOM REWARD — Asisten Senior Kandatel Sumbagsel, Ismairin (mata ditutup) memilih satu dari ribuan kertas “print out” percakapan dari wartel, pada penarikan undian Warung Telkom Reward, di Kantor Telkom Palembang City, Jl Kapten A Rivai, Jumat (11/6). (Sripo/sts)
Waka Kandatel Sumbagsel, Bambang Didik S yang dihubungi Sripo, Jumat (11/6), mengatakan pernyataan Ketua Umum BPP APWI, Srijanto Tjokro Sudharmo, di Jakarta yang menyebutkan adanya penekanan bagi pengelola Wartel sebenarnya tidak benar.“Ketika kita mempromosikan produk kita sendiri, agar pelanggan menyukainya produk Telkom sangat wajar. Kita berpromosi terhadap keunggulan produk kita, tentu saja tidak menyalahi,” jelas Bambang.Soegito Sakat (42), pengelola Warung Telkom di Jl Srijaya Negara saat ditanya akses layanan SLI di luar Telkom mengatakan tidak ada sama sekali. “Wartel kita masih tetap membuka nomor akses tersebut termasuk SLI milik Telkom 017 dan 007. Tidak ada imbauan atau tekanan dari Telkom untuk menutup akses layanan SLI yang dikelola operator lain di luar PT Telkom,” katanya.Pada bagian lain, Asisten Senior (Assen) Kandatel Sumbagsel, Ismairin, usai acara penarikan undian Warung Telkom Reward, Jumat (11/6) mengatakan, Telkom khususnya wilayah Sumbagsel (Jambi, Lampung, Bengkulu dan Babel) tidak pernah menekan terlebih menutup akses Sambungan Langsung Internasional (SLI) di luar yang diusahakan Telkom pada pengusaha Warung Telkom. “Tidak ada pemblokiran. Konsumen bebas memilih jasa layanan SLI,” katanya. “Sebagai bukti, stiker dari operator SLI di luar Telkom masih melekat di Warung Telkom. Jadi tidak benar ada penekanan,” kata Ismairin.“Pelanggan silakan menggunakan akses layanan 017 atau 007 milik Telkom atau layanan produk operator lain termasuk perbandingan tarifnya,” kata Ismairin.Kepala Pelayanan Unit Warung Telkom Kandatel Sumbagsel, I Nyoman Danta Kumara mengatakan, APWI adalah asosiasi pengusaha Warung Telekomunikasi (Wartel) yang bersifat umum. Sedangkan Warung Telkom adalah khusus memasarkan produk-produk PT Telkom, seperti saat konsumen masuk ke restoran siap saji merek tertentu, tidak akan melayani permintaan makanan merek restoran lain. “Dari sebutannya saja, Wartel sudah berbeda dengan Warung Telkom,” katanya, seraya menambahkan, perubahan itu sudah sesuai dengan Keputusan Direksi No 36/2003. (fkr/sin)
KOmpas / Kamis, 17 April 2003

BRM Jamin

* Karidun Pardosi
MASIH segar di ingatan kita masalah pemblokiran jaringan sambungan langsung internasional (SLI) 001 PT Indosat Tbk oleh PT Telkom Tbk di beberapa kota besar baru-baru ini. Pemblokiran jaringan tersebut dikabarkan berlangsung sejak bulan Oktober 2002, atau berselang dua bulan setelah Indosat diizinkan sebagai penyelenggara jasa telepon tetap.
Lepas dari siapa yang benar dan salah, yang pasti terjadi persaingan bisnis kurang sehat (unfair business). Telkom sebagai operator baru di jasa SLI mungkin tidak mau kalah dari Indosat, yang sudah lama mendominasi jasa SLI. Sebaliknya, Indosat sebagai pendatang baru jasa telepon tetap berupaya mengejar Telkom.
Permasalahan pelik diperkirakan bakal muncul mengingat Indonesia telah menerapkan sistem multioperator. Karena kasus pemblokiran 001 begitu serius, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun rencananya akan terjun ke lapangan untuk mengetahui sejauh mana Indosat dirugikan Telkom.
Melihat potensi konflik yang terjadi antara operator telekomunikasi selama ini, seyogianya Indonesia sudah membentuk satu badan independen. Badan itu mengurusi, memonitor, dan mengawasi industri telekomunikasi secara adil, bukan lagi diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel).
Sebab, institusi ini adalah badan pemerintah dan bukan badan independen sehingga campur tangan penguasa akan masih terasa kental. Buktinya, dalam penyelesaian polemik yang muncul di antara sesama operator selama ini, Ditjen Postel kurang berhasil berperan sebagai juri.
Apalagi jika menyangkut persoalan yang muncul dari Telkom, misalnya masalah kenaikan tarif telepon dan interkoneksi jaringan yang dinilai begitu menguntungkan Telkom.
Kalau saja Indonesia punya satu badan independen yang mengurusi dan mengawasi industri telekomunikasi, besar kemungkinan berbagai konflik tadi dapat diselesaikan dan memberikan win-win solution bagi semua operator. Sebenarnya gagasan membentuk suatu badan regulasi mandiri (BRM) sudah dirintis sejak dua tahun lalu, walau masih sekadar wacana.
Mengapa begitu sulit dan alotnya pemerintah, dalam hal ini Menteri Perhubungan Agum Gumelar, merealisasikan pembentukan BRM? Padahal, semua pejabat di Ditjen Postel pasti sadar betapa penting kehadiran BRM dalam menyelesaikan berbagai konflik di industri telekomunikasi. BRM sekaligus mampu mendorong industri telekomunikasi yang sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan negara Asia lainnya.
Dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia sudah tertinggal dari segi penetrasi telepon tetap, yang sudah di atas 5 persen, sementara Indonesia baru 3,7 persen. Beberapa negara tetangga juga membentuk BRM lebih dahulu sebelum industri telekomunikasi diliberalisasi, di sini justru terbalik.
Itu pun tidak lahir atas kesadaran pihak regulator, tetapi lebih dikarenakan munculnya berbagai konflik berkepanjangan sesama operator yang tidak terselesaikan oleh regulator. Jika regulator mampu menyelesaikan konflik, tidak tertutup kemungkinan pemikiran pembentukan BRM tidak pernah ada.
Dengan adanya badan independen seperti yang diterapkan di Singapura, Malaysia, dan Thailand, misalnya, jarang sekali terdengar ada keluhan dari operator baru dalam bersaing dengan incumbent (yang berwenang). Tidak mengherankan Singapura merupakan salah satu negara di dunia yang paling sukses meliberalisasikan industri telekomunikasinya sehingga investor asing tertarik menanamkan modalnya. Mereka berhasil menyedot sekitar 6 miliar dollar AS dana segar dari investor asing lewat liberalisasi telekomunikasi pada tahun 2000.
Salah satu penyebab utama alotnya pembentukan badan independen tersebut, belum adanya kemauan politik dari pihak regulator. Ada pemikiran dan persepsi selama ini, untuk apa membentuk badan independen kalau Ditjen Postel masih ada.
Padahal, Ditjen Postel tidak otomatis terdilusi kendati badan regulasi sudah terbentuk, sebab institusi itu masih dibutuhkan dalam masa transisi. Bisa saja nantinya secara bertahap berubah menjadi badan independen, mengingat sumber daya manusianya cukup kompeten dan berpengalaman dalam mengurusi industri telekomunikasi.
Namun, harus diingat, tanpa adanya satu badan tersendiri di sektor telekomunikasi, persaingan usaha yang sehat dan penerapan level playing field tidak mungkin dicapai. Kondisi ini hanya akan menguntungkan incumbent operator seperti PT Telkom yang telanjur memiliki jaringan terbesar.
Jika BRM sudah terbentuk, tidak tertutup kemungkinan bisnis yang digeluti operator besar seperti Telkom dan Indosat dibatasi. Tidak seperti saat ini, kedua operator mendominasi semua aspek jasa telekomunikasi sehingga peluang bisnis bagi operator kecil dan menengah hampir tertutup.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan International Telecommunication Union (ITU), investor asing lebih tertarik menanamkan modalnya di sektor telekomunikasi di negara yang telah memiliki BRM sebab biaya investasi jauh lebih murah. Selain faktor biaya, kepastian hukum berusaha di negara yang memiliki BRM jauh lebih pasti dan terjamin.
Pendapat itu bisa dimaklumi karena tugas utama BRM adalah bagaimana memberi win-win solution bagi semua pihak, termasuk memperjuangkan hak konsumen. Mungkin penelitian ITU tersebut yang mendorong Pemerintah Singapura, Malaysia, dan Thailand cepat-cepat membentuk BRM untuk membenahi industri telekomunikasi sekaligus menarik investor asing.
Salah persepsi
Di tengah gencarnya kritikan tentang perlunya pembentukan BRM dan desakan kuat Komisi IV DPR, Agum Gumelar mengusulkan Dirjen Postel Djamhari Sirat mundur dari jabatannya sebagai komisaris di PT Telkom. Hal itu perlu untuk menghindari adanya benturan kepentingan jika kelak badan tersebut direalisasikan.
Mundurnya Djamhari Sirat dari Telkom merupakan indikasi serius dari regulator untuk merealisasikan BRM. Namun, badan independen yang dimaksud bukanlah otomatis menjadikan Dirjen Postel sebagai ketua BRM, kecuali dipilih oleh anggota lainnya. Walaupun dari segi kemampuan, keahlian, dan pengalaman di telekomunikasi, Djamhari cukup kompeten.
Tenaga profesional yang masuk BRM dan berasal dari operator swasta harus rela melepaskan jabatannya karena mereka sekarang tidak lagi mewakili kepentingan perusahaan, tetapi kepentingan semua pihak. Dengan adanya kombinasi personel yang ada, barulah BRM berfungsi dan berperan dengan baik, seperti berlaku di negara yang punya BRM.
Sekiranya pejabat-pejabat Ditjen Postel mendominasi BRM, hampir dapat dipastikan fungsi dan peranannya pun akan kurang maksimal. Karena itu, bila perlu dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) bagi calon pengurus BRM.
Memang harus diakui kehadiran badan tersebut tidak otomatis menyelesaikan semua persoalan dengan cepat mengingat berbagai persoalan saat ini cukup rumit. Akan tetapi, paling tidak mampu mengurangi konflik dan menjamin kepastian berusaha bagi semua pelaku bisnis telekomunikasi, termasuk investor asing.
Hengkangnya operator raksasa telekomunikasi seperti France Telecom, Deutsche Telekom, dan Telstra, tidak lepas dari tidak adanya kepastian hukum dan iklim investasi. Kasus yang paling mencoreng industri telekomunikasi adalah masalah kerja sama operasi (KSO) dengan PT Telkom yang berlarut-larut, khususnya sengketa Ariawest. Satu-satunya investor asing yang masih berniat meneruskan mitra KSO hanyalah Singapore Telecom di Kawasan Timur Indonesia.
Padahal, kehadiran investor asing sangatlah dibutuhkan guna mempercepat penetrasi telepon. Apalagi dengan ditundanya kenaikan tarif telepon awal tahun ini, Telkom langsung menunda pembangunan ratusan ribu satuan sambungan telepon (SST) baru.
Indonesia butuh investasi lebih kurang 10 miliar dollar AS guna membangun jutaan SST sampai tahun 2005. PT Telkom hanya mampu membangun sekitar 700.000 SST per tahun dengan tarif telepon yang berlaku saat ini.
Rasanya sangat sulit menarik investor asing untuk melakukan investasi di jasa telepon tetap karena investasi di jasa seluler jauh lebih menggiurkan. Tingkat pengembalian modal di jasa telepon tetap jauh lebih lama daripada jasa telepon bergerak.
Di situlah kehadiran satu BRM dibutuhkan, bagaimana memberikan perangsang dan insentif berupa kompensasi istimewa sehingga investor asing mau menanamkan modal di jasa telepon tetap.
Konflik berkepanjangan lainnya yang perlu uluran tangan BRM adalah masalah penyediaan e-1 (baca: i-wan) bagi operator empat VoIP (Indosat, Satelindo, PT Atlasat Solusindo, dan PT Gaharu Sejahtera) dan permasalahan interkoneksi. Berdasarkan pengakuan keempat operator VoIP tersebut, Telkom enggan memberikan jaringan e-1 di beberapa provinsi sehingga mereka tidak bisa melayani pelanggan.
Untuk mendapatkan jaringan e-1, PT Telkom meminta dana cukup besar dari operator VoIP sebagai jaminan. Bahkan, Atlasat Solusindo sampai sekarang ini belum beroperasi penuh sehingga dana mulai terkuras karena tidak ada pemasukan.
Padahal, berdasarkan peraturan, PT Telkom wajib menyediakan dan memberikan jaringan e-1 kepada operator lainnya. Seandainya ada BRM, tentu bisa menegur kenapa Telkom enggan memberikan jaringan e-1 kepada operator VoIP, termasuk bagi penyedia jasa akses Internet.
Bila Telkom tidak mampu memberikan alasan tepat, BRM berhak memberikan hukuman dan jika perlu mencabut izin prinsipnya. Sama seperti kasus pemblokiran SLI Indosat, pihak regulator tidak berdaya menyelesaikan penyediaan e-1 dan di sini Telkom kembali menunjukkan arogansinya sebagai incumbent operator.
Akan tetapi, karena semua operator telekomunikasi dan operator penyedia nilai tambah masih menggantungkan diri kepada infrastruktur Telkom, mereka tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah. Inilah yang dinamakan unfair business, dan sulitnya mencapai level playing field disebabkan belum adanya satu badan yang betul-betul berdiri di atas kepentingan semua pihak.
Kasus pemberian lisensi kepada Gaharu dan Atlasat, misalnya, merupakan satu kebijakan yang keliru di mana pihak regulator lebih mengutamakan pengusaha besar daripada pengusaha kecil. Padahal, puluhan pebisnis-yang sudah lama menekuni bisnis jasa telekomunikasi-terabaikan, sebut saja yang menamakan diri Kelompok 12 yang nasibnya saat ini terkatung-katung. Belum lagi nasib serupa menimpa operator penyedia jasa kartu panggil (calling card) yang dirazia polisi.
Melihat banyaknya konflik yang belum terselesaikan di sektor telekomunikasi, tampaknya kehadiran BRM sudah begitu mendesak untuk direalisasikan jika industri telekomunikasi ingin maju. Karena, menunda badan tersebut berarti sama dengan membiarkan dan menambah persoalan. Tentu sukses tidaknya kehadiran badan baru tersebut tidak terlepas dari orang-orang yang duduk.
Itulah sebabnya siapa pun orang yang terpilih harus benar-benar mumpuni, berani bertindak, dan memberikan sanksi berat bagi operator besar jika memang terbukti bersalah. Karena, fungsi dan tanggung jawab badan tersebut bukan lagi sebagai macan ompong, tetapi lebih ke wasit yang punya taring.
Karidun Pardosi Pemerhati telekomunikasi