Thursday, July 15, 2004

Saatnya Financial Checkup

Kamis, 08 Juli 2004 / SWA

Oleh : Kusnan M. Djawahir
Tanyakan pada diri sendiri, di usia pensiun bisakah kita mempertahankan kualitas hidup seperti yang kita jalani sekarang. Jika ragu, apalagi tidak yakin, perlu financial checkup.

Financial checkup? Kayak orang sakit saja. Mungkin, banyak dari kita yang berpikiran seperti itu karena belum menyadari, pengelolaan uang yang selama ini kita jalankan perlu di-check up, kemudian ditata ulang. Banyak orang tak merasa punya masalah dalam keuangan. Apalagi, gaji atau pendapatan yang diterimanya lebih dari cukup, tiap hari bisa makan enak, menyandang pakaian bagus -- bahkan bermerek, kerap nongkrong di kafe mahal yang sekali datang bisa menghabiskan ratusan ribu rupiah dan mengendarai mobil bagus. Dan, setiap musim liburan, dari uang hasil tabungan, mereka bisa berlibur. Kebutuhan dana untuk semua itu bisa dipenuhi dari gaji yang diterima setiap bulan alias tanpa berutang. Kalaupun menggunakan kartu kredit, itu hanya untuk kemudahan pembayaran dan bisa dilunasi pada saat jatuh tempo. Menyenangkan, bukan?

Namun, coba kita bayangkan, apakah ketika kita tidak produktif lagi atau memasuki usia pensiun mampu mempertahankan kualitas hidup seperti itu. Atau, yang bakal terjadi sebaliknya: terjadi penurunan kualitas hidup. Menurut Aidil Akbar Madjid, Direktur Pavillion Capital, bila sekarang kita menggunakan 50%-70% pendapatan untuk memenuhi kebutuhan (gaya) hidup, bahkan tiga tahun menjelang pensiun meningkat menjadi 80%-100%, akan terjadi tingkat keparahan penurunan kualitas hidup yang tinggi bila mereka tidak mempunyai dana pensiun yang cukup.

Dan, menilik hasil survei Citibank yang bekerja sama dengan AC Nielsen, hanya 20% dari responden punya perencanaan keuangan untuk pensiun. Berarti, 80% belum menganggap penting hal yang sebenarnya sangat penting ini. Menurut Hendri Hartopo, konsultan keuangan dan investasi, sebetulnya fenomena para eksekutif kurang memperhatikan persiapan pensiun tidak hanya terjadi di Indonesia. "Di AS pun gejalanya sama. Mereka juga cenderung hidup konsumtif," tutur penulis buku Save and Sorr ini. Gaji besar tak menjamin orang mampu merencanakan pensiun secara baik. "Pembaca buku saya yang bergaji Rp 20 juta masih merasa kurang terus. Ini tergantung gaya hidupnya seperti apa," lanjut Hendri.

Banyak faktor yang membuat orang tidak punya perencanaan pensiun secara baik. Salah satunya, dikatakan Aidil, perilaku konsumtif hanya untuk jaga gengsi. Mayoritas pendapatannya untuk menunjang kebutuhan hidup dan penampilan mereka. Ini bisa dilihat dari barang-barang yang dikenakannya, aset yang dimilikinya -- seperti mobil, dan hal-hal lain yang kasat mata.

Faktor lainnya, Aidil menambahkan, ketidaktahuan mereka tentang perbedaan antara menabung dan investasi. Maklum, selama 30 tahun orang Indonesia hanya dicekoki produk perbankan, misalnya deposito dan tabungan yang durasinya pendek. Akibatnya, pengetahuan mereka terhadap investasi juga minim. Di samping, tentunya, mereka juga belum melakukan perencanaan keuangan secara baik, misalnya dengan memanfaatkan jasa perencana keuangan.

Kondisi seperti itu tentu saja tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Tak ada kata terlambat. Sebaiknya kita segera melakukan financial checkup agar bisa membuat perencanaan keuangan secara baik. Hendri mengungkapkan, yang dimaksud financial checkup adalah kegiatan untuk mengetahui kesehatan finansial kita saat ini. Ini menyangkut berapa aset dan utang yang kita miliki serta pola pengeluaran yang selama ini kita jalankan. Kalau untuk menjaga kesehatan kita perlu melakukan checkup secara periodik, begitu halnya dengan financial checkup. Mau bulanan, dua bulanan, tiga bulanan dan seterusnya, tergantung kita sendiri, mana yang lebih baik. Tujuannya, agar kita bisa menyiapkan tabungan, asuransi ataupun dana untuk investasi sebagai persiapan masa pensiun secara baik. Penentuan asuransi dan investasi untuk persiapan pensiun tergantung tujuan yang diinginkan: mau hidup seperti apa nantinya.

Jika kondisi keuangan -- termasuk kepemilikan polis asuransi, tabungan maupun investasi -- meragukan untuk menjamin kehidupan yang kita inginkan di usia pensiun, perlu dilakukan review pengeluaran dan bagaimana pengelolaan aset kita selama ini. Pengeluaran yang tidak perlu-perlu amat mau tak mau dikurangi, bahkan dipangkas. Sebagaimana dilakukan Arief Gunawan, Direktur Eksekutif World Trade Centre Jakarta, ia harus rela mengurangi pengeluaran pribadi yang tidak menjadi prioritas utama, bahkan ada yang dihilangkan sama sekali. "Biarpun menyakitkan, saya harus melaksanakannya dan tetap disiplin. Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi kalau ingin hidup tenang di kemudian hari," tutur Arief.

Bagi Arief, masa pensiun adalah saatnya menjadi “pemulung”. Maksudnya, saat itulah ia akan menikmati dan memulung hasil dari perencanaan keuangan untuk pensiun yang ia lakukan selama masih produktif. "Makin banyak yang kita tanam, makin bagus buah pensiun yang kita petik," ungkapnya. Untuk itu, ia disiplin dalam mengelola uang dengan mengutamakan pengeluaran yang sudah dimasukkan dalam perencanaan keuangan pribadi, termasuk dana untuk pensiun. Tak hanya kebutuhan finansial yang ia siapkan di hari tua nanti. Kini, ia tengah mempersiapkan untuk investasi di sektor riil. "Karena, lebih banyak seninya buat asah otak dan pengalaman saya. Jadi, bukan 'pentot' alias pensiun total," ia menegaskan.

Sebagaimana diungkapkan di atas, tujuan financial checkup adalah untuk menata kembali pengelolaan keuangan dan gaya hidup agar bisa membuat perencanaan keuangan secara baik demi hari tua yang bahagia dan nyaman. Dikatakan Hendri, financial checkup ini sifatnya personal. Sebab, kehidupan seperti apa yang diinginkan setiap orang di usia pensiun nanti juga berbeda-beda. Karena itu, alokasi dana untuk persiapan pensiun, investasi dan kebutuhan bulanan (termasuk biaya sekolah anak), menurut Aidil, tak bisa ditetapkan secara pasti. Namun, ia melanjutkan, secara umum untuk konsumsi biasanya tak lebih dari 20% dari penghasilan yang dibawa pulang (take home pay), serta cicilan rumah dan mobil 30%-50%. Sisanya: dialokasikan untuk investasi, termasuk persiapan dana pensiun, pendidikan anak dan pembelian aset (investasi) lainnya.

Untuk menentukan dana dan strategi investasi buat persiapan pensiun, biasanya perencana keuangan berangkat dari standar (biaya) hidup di usia pensiun nanti. Hal-hal yang mesti dipertimbangkan, dijelaskan Aidil, masa hidup orang tua dan kakek-nenek kita, penyakit yang menyebabkan meninggal dunia, penyakit akut yang pernah diderita orang tua dan kakek-nenek kita, serta kebiasaan kita dan suami/istri yang berpengaruh terhadap kesehatan -- seperti merokok, minum minuman keras, mengonsumsi obat-obatan terlarang. Juga, apakah sudah memiliki asuransi kesehatan, asuransi penyakit kritis dan asuransi rawat inap, perlu diperhitungkan dalam mengalkukasi perencanaan kebutuhan dana pensiun. Tak lupa pula, memperkirakan kebutuhan dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan kita di usia pensiun nanti.

Sebagai contoh, seorang eksekutif berumur 35 tahun berencana pensiun di usia 60 tahun. Ia mematok di usia pensiun nanti biaya hidupnya setara dengan Rp 10 juta sekarang per bulan. Dengan menghitung inflasi rata-rata 8%, Hendri menghitung kebutuhannya per bulan nanti mencapai Rp 74 juta/bulan atau Rp 888 juta/tahun. Kemudian, perkirakan harapan hidup setelah memasuki usia pensiun. Ambil contoh 15 tahun, berarti total biaya hidup yang dibutuhkan selama masa pensiun sampai meninggal dunia Rp 13,32 miliar. Ini perkiraan sederhana, tanpa memperhatikan kenaikan inflasi pada masa pensiun. Kalau inflasi dihitung tetap 8%, total biaya hidup yang dibutuhkan selama 15 tahun itu sebesar Rp 24,11 miliar. Sekarang, tinggal pilih mau yang konservatif atau mengejar pola hidup mengikuti arus inflasi.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana menyiapkan dana sejumlah itu? Apa pilihan investasi dan strateginya untuk mengejar kebutuhan hidup di usia pensiun tersebut? Ini tergantung pada jumlah dana persiapan pensiun yang dapat disisihkan tiap bulan. Makin besar, pilihan investasinya bisa makin konservatif. Sementara itu, jika dana yang disisihkan kecil, mau tak mau mencari instrumen investasi yang memiliki return tinggi. Namun, harap diingat, investasi yang memiliki return tinggi, memiliki risiko tinggi pula. "Berarti orang tersebut harus cermat berinvestasi," tutur Hendri lagi.

Aidil mengatakan, eksekutif harus bisa memilah-milah, mana investasi jangka pendek, menengah dan panjang. Jangan lupa, menyediakan dana darurat. Ia merinci, investasi jangka panjang (lebih dari 10 tahun) bisa berupa saham, reksa dana saham dan campuran, asuransi yang mengandung investasi (untuk tax & estate planning), produk properti, emas, mata uang asing (bila ada kebutuhan, misalnya membiayai sekolah anak di luar negeri), membuka bisnis, lukisan, berlian dan benda-benda collectible. Investasi jangka menengah (3-10 tahun), bentuknya: reksa dana campuran dan pendapatan tetap, asuransi dengan investasi, emas, membuka bisnis secara waralaba, berlian serta rumah atau apartemen. Kemudian, bentuk investasi jangka pendek (1-3 tahun): reksa dana pendapatan tetap, reksa dana pasar uang serta asuransi dengan investasi atau whole life. Sementara itu, buat investasi untuk dana darurat (di bawah satu tahun), produk yang cocok adalah tabungan, deposito, reksa dana pasar uang dan fixed annuity. Setelah itu, baru ditentukan, besarnya dana yang dialokasikan untuk investasi jangka panjang, menengah, pendek ataupun dana darurat.

Tentu saja, dalam berinvestasi, kita tidak perlu mengejar untuk mendapatkan dana senilai kebutuhan selama harapan hidup setelah memasuki usia pensiun. Sebab, di usia pensiun pun investasi tetap bisa dilakukan. Ibaratnya, di usia produktif kita bekerja mencari uang, ketika pensiun giliran uang bekerja untuk kita. Akan tetapi, berinvestasi di usia pensiun harus dilakukan dengan sangat konservatif mengingat peluang untuk menutup kerugian tersebut sangat kecil karena kita tidak produktif lagi.

Agar bisa membuat perhitungan secara baik, Hendri menyarankan agar secara basic setiap orang perlu tahu bagaimana financial checkup dilakukan. Kemudian, mereka harus terlibat dalam investasi. Kalau sudah seperti ini, ia menambahkan, bantuan dari financial planner hanya bersifat konsultasi, pematangan dan pemantauan pada saat proses perencanaan keuangan.

Ada cara lain yang dilakukan banyak orang agar tetap memperoleh pendapatan memadai sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup yang diinginkan di hari tua nanti: membuka usaha sendiri. Ini, antara lain, dilakukan Bambang Irawan, mantan General Manager PT Anak Jaya Bapak Sejahtera, yang mengubah langkah dari profesional menjadi wirausahawan. Antonius W. Sumarlin juga memilih membuka usaha sendiri dari sebagian tabungannya dengan mendirikan PT Global Consulting Service (Outbrand) pada 1999. Sebelumnya, ia tercatat sebagai Manajer Riset Strategis dan Analis PT Astra International (tiga tahun), sebagai treasurer di Trail Mobil Corporation, perusahaan manufaktur terbesar ketiga di Amerika Serikat. Di perusahaan ini, ia bisa mendapatkan gaji US$ 80-100 ribu setahun. Menurutnya, sekitar 80% dari tabungannya digunakan untuk memutar bisnis sendiri, sedangkan sisanya (20%) ditempatkan di reksa dana, tabungan dan asuransi.

Sebagaimana Arief, anak mantan Menteri Kuangan RI ini memang tidak berencana pensiun total kelak. "Saya tidak pernah berpikir berhenti bekerja," ia menegaskan. Namun, itu bukan berarti ia akan terus mengurusi perusahaannya. Lelaki berusia 37 tahun ini memasok target: 10 tahun lagi sudah harus ada suksesi di perusahaannya. Ia memilih menjadi komisaris, sedangkan pengelolaan perusahaan diserahkan kepada profesional. Karena itu, ia akan bekerja keras, baik dari sisi tenaga, pikiran serta dana agar perusahaannya berjalan dengan baik. Bila perusahaan berjalan baik, tentu ia juga akan memetik hasilnya berupa dividen setiap tahun. Lalu, apa yang akan ia lakukan? "Saya ingin menulis dan melakukan riset," ujar Anton.

Apa pun cara yang kita pilih untuk persiapan dana yang dibutuhkan di usia pensiun, perlu ada perencanaan keuangan yang baik. Melalui cara menabung dan berinvestasi portofolio, kita harus disiplin mengalokasikan sejumlah dana untuk itu. Begitu pun kalau berniat punya bisnis sendiri, butuh modal yang perlu dipersiapkan sejak dini. Besarnya modal, tentu, tergantung jenis bisnis yang digeluti. Sekali lagi, mari periksa kondisi keuangan kita, apakah kita sudah siap menyongsong hari tua yang menyenangkan. Bila perlu, tak ada salahnya meminta bantuan perencana keuangan.

No comments: