Wednesday, July 21, 2004

Perang SLI Berujung ke KPPU

Kamis, 15 Juli 2004

Danrivanto Budhijanto

RESTRUKTURISASI telekomunikasi yang digelar pemerintah lewat Menteri Perhubungan dengan Paket Maret 2004 mulai menuai sengketa. Diluncurkannya jasa sambungan langsung internasional (SLI) 007 oleh PT Telkom pada 7 Juni 2004 telah menjadi ancaman sangat nyata bagi para operator SLI.
Menteri Perhubungan pada tanggal 11 Juli 2003 telah membidani "bayi baru" yang diberi nama Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Badan ini diharapkan mampu mengemban tugas yang berat menjadi independent regulatory body (IRB) untuk kegiatan telekomunikasi di Tanah Air.
Badan regulasi telekomunikasi dapat dipahami dalam dua karakter. Badan regulasi yang sepenuhnya dipegang oleh pemerintah, di mana pemerintah memiliki kewenangan tunggal untuk melakukan regulasi dalam kegiatan telekomunikasi. Badan regulasi independen yang beranggotakan wakil pelanggan dan pelaku telekomunikasi, berfungsi sebagai mitra aktif dan strategis bagi pemerintah untuk mengatur telekomunikasi.
BRTI merupakan alih wujud dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel) yang hanya mengurusi kegiatan telekomunikasi di Indonesia. Dirjen Postel secara ex officio akan menjabat Ketua BRTI dan empat anggota BRTI lainnya diangkat oleh Menteri Perhubungan. Badan ini akan menerima pelimpahan wewenang dari Menteri Perhubungan dalam melakukan pengaturan, pengawasan, dan pengendalian kegiatan telekomunikasi di Indonesia. Pembentukan BRTI diharapkan dapat lebih menjamin adanya transparansi, independensi, dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi di Indonesia.
Pengawasan BRTI atas penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah terhadap kinerja operasi, persaingan usaha, dan penggunaan alat serta perangkat telekomunikasi. Pengendalian BRTI atas penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi, yaitu melakukan penyelesaian perselisihan antarpenyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi; pengendalian atas penggunaan alat dan perangkat telekomunikasi; serta penerapan standar kualitas layanan.
Melihat tugas BRTI di bidang pengawasan, sudah semestinya sengketa SLI dibawa terlebih dahulu ke BRTI. Selain BRTI dapat bertindak sebagai wasit yang dapat menyemprit pelanggaran atas penyelenggaraan jasa telekomunikasi, BRTI dapat pula bertindak sebagai forum penyelesaian sengketa (dispute settlement forum).
Jadi, para operator telekomunikasi tidak perlu ragu membawa permasalahannya ke depan BRTI. KPPU harus pula bermain cantik dengan tidak langsung menerima pengaduan operator telekomunikasi yang merasa dirugikan.
Sebaiknya KPPU merujuk terlebih dahulu badan yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia. Ini karena BRTI lebih specialis untuk persaingan usaha telekomunikasi dibandingkan KPPU yang generalis untuk pengawasan seluruh persaingan usaha di Indonesia.
Walaupun begitu, tampaknya Departemen Perhubungan sendiri tidak konsisten dalam mendudukkan posisi BRTI. Dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 33 Tahun 2004 tentang Pengawasan Kompetisi yang Sehat dalam Penyelenggaraan Jaringan Tetap dan Penyelenggaraan Jasa Teleponi Dasar disebutkan, yang berhak melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kompetisi yang sehat dalam penyelenggaraan tetap dan penyelenggaraan jasa teleponi dasar masih Dirjen Postel. Lalu, untuk apa BRTI dibentuk jika tidak diberi peran yang sepantasnya ataukah pembentukan BRTI semata-mata karena tekanan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Bagaimana para operator telekomunikasi dapat meyakini keberadaan BRTI jika Departemen Perhubungan sendiri, sebagai bidan yang melahirkan BRTI, pun tampak ragu untuk mendelegasikan wewenangnya kepada BRTI.
Perlindungan konsumen
Keinginan operator SLI meminta PT Telkom membuka akses pelanggannya ke jaringan SLI non-Telkom sebenarnya dapat berdampak luas. Antara Telkom dan pelanggannya hanya mengatur service level agreement (SLA) atau jaminan pelayanan atas produk-produk Telkom, sebagaimana dimuat dalam kontrak berlangganan. Lalu, jika ternyata pelanggan Telkom mempergunakan jasa SLI dari operator lain dan kemudian muncul keluhan atau gugatan, apakah konsumen secara yuridis berhak memintakan tanggung jawab Telkom?
SLA biasanya hanya memuat pertanggungjawaban atas layanan yang diberikan oleh pihak penyedia jasa. Telkom wajib mempertanggungjawabkan dan menjamin keseluruhan produk-produknya, termasuk jasa SLI.
Akan tetapi, bila ada jasa SLI produk dari operator non-Telkom yang diberi kesempatan untuk diakses oleh pelanggan Telkom kemudian terjadi gagal sambung, tetap dikenai biaya. Atau ada ketidakcocokan penggunaan pulsa dengan biaya, maka ke mana pelanggan Telkom akan melayangkan tuntutan?
Operator SLI non-Telkom dapat berdalih bahwa mereka tidak dalam posisi sebagai "tergugat". Karena pelanggan Telkom menandatangani kontrak berlangganan dengan Telkom sehingga seluruh konsekuensi hukum hanya Telkom sajalah yang bertanggung jawab. Kalau ujung-ujungnya yang harus dirundung kemalangan adalah konsumen juga nantinya, lalu buat apa operator SLI non-Telkom bersikeras ingin dipakai jasanya oleh pelanggan Telkom.
Wartel vs wartel
Sebagaimana diberitakan media cetak, Telkom melakukan pemblokiran atau pembatasan akses telekomunikasi SLI di warung telekomunikasi. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi 1999) tidak mengatur dengan tegas hal yang berkenaan dengan larangan pemblokiran atau pembatasan akses telekomunikasi. Pasal 19 UU Telekomunikasi 1999 hanya mengatur bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pengguna telekomunikasi yang dimaksud oleh UU Telekomunikasi 1999 adalah pelanggan dan pemakai jasa atau jaringan telekomunikasi. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi, dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak. Adapun untuk pemakai diberikan pengertian yaitu perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi, dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak.
Walaupun begitu, untuk "wartel" yang diartikan sebagai warung Telkom tidak dapat dikategorikan sebagai pengguna telekomunikasi, sebagaimana yang haknya diatur oleh Pasal 19. Ini karena warung Telkom merupakan mitra usaha Telkom dalam memasarkan dan menjual produknya. Jadi, warung Telkom tidak dapat dikategorikan sebagai pemakai ataupun pelanggan.
Namun, bila pengertian "wartel" adalah warung telekomunikasi, sudah selayaknya mereka memiliki hak untuk memilih jaringan SLI yang akan dijual kepada pemakai jasa telekomunikasi. Dalam kaitan ini Telkom tidak bisa menghalangi aksesnya ke operator SLI non-Telkom.
Seharusnya seluruh operator telekomunikasi mendukung dengan sepenuh hati restrukturisasi telekomunikasi yang telah digelar pemerintah yang akan berujung pada kompetisi penuh. Dengan demikian, janganlah terbawa paradigma masa lalu dengan masih menginginkan adanya "subsidi" ataupun "proteksi" dengan format baru. Kompetisi di bisnis telekomunikasi memang tidak mudah dan murah serta terkadang memakan "korban" sebagaimana yang juga terjadi di negara-negara yang telah lebih dahulu memberlakukan kompetisi penuh di bisnis telekomunikasi.
Danrivanto Budhijanto Pengamat Telekomunikasi dan Dosen Fakultas Hukum Unpad

No comments: