Tuesday, August 31, 2004

Proyek pipanisasi gas BP dimulai

31 Agustus 04

JAKARTA (Bisnis): Proyek pipanisasi gas Beyond Petroleum (BP) Indonesia-yang berlokasi dari pantai utara Pulau Jawa ke PLTGU Muara Karang-mulai digarap dengan dikirimnya pesanan pipa baja oleh PT Bakrie Pipe Industries.
A.D. Erlangga, CEO PT Bakrie Pipe Industries (PT BPI) mengungkapkan pemasokan pipa baja ke proyek BP APN yang dilakukan kemarin, merupakan pengiriman tahap pertama dari lima tahap yang dijadwalkan.
"Pengiriman seluruh pipa yang dibutuhkan proyek BP APN akan kami tuntaskan sebelum akhir tahun ini," ujarnya di Jakarta kemarin.
BPI merupakan penenang tender pengadaan pipa baja untuk proyek penyaluran gas-melalui pipa bawah laut-yang akan dilakukan oleh BP Indonesia.
Perusahaan migas asal AS itu tengah mengembangkan lapangan gas di pantai utara Laut Jawa dengan nama proyek BP APN. Proyek pengembangan lapangan gas yang berlokasi sekitar 100 km ke arah timur laut Jakarta ini, berada pada kedalaman 15 meter hingga 45 meter di bawah permukaan laut.
Proyek BP APN akan membangun tiga anjungan monopod yang dihubungkan oleh jaringan pipa berukuran 24 inci. Pipa tadi akan mengalirkan gas dari lapangan APN ke jaringan pipa utama untuk kebutuhan PLTGU Muara Karang di Jakarta Utara
Erlangga menjelaskan kontrak pengadaan pipa untuk proyek BP APN sepanjang 78 km atau setara 15.000 ton, bernilai US$12,4 juta. Pipa-pipa yang dibutuhkan proyek itu, berukuran 24 inci dengan material API 5L grade X52 berketebalan 12,70 milimeter dan 14,30 mm.
BPI memenangkan tender pengadaan pipa untuk proyek BP APN setelah menyisihkan dua pesaing yang menawarkan pipa eks-impor dari Korsel dan Jerman.
"[Keberhasilan BPI] ini merupakan bukti bahwa perusahaan lokal pun sebenarnya mampu memproduksi pipa-pipa baja berkualitas," ujar Erlangga.
BPI memang telah berpengalaman memasok pipa untuk proyek migas berkala besar yang dibangun oleh perusahaan raksasa seperti PT Caltex Pacific Indonesia, Unocal, dan Pertamina.
Anak perusahaan PT Bakrie & Brothers Tbk tersebut memproduksi pipa baja untuk proyek migas dengan metode electric resistance welded (ERW) di pabriknya yang belokasi di Bekasi. (if)

Friday, August 27, 2004

Siaran Langsung Olimpiade dan Kekecewaan Taufik
Laporan : Asep Candra

Jakarta, KCM / Selasa, 24 Agustus 2004, 22:12 WIB

Taufik Hidayat mengaku kecewa perjuangannya di Olimpiade Athena 2004 tidak disaksikan jutaan rakyat Indeonsia karena tidak adanya siaran langsung.
Saat baru tiba di Bandara Soekarno Hatta, Selasa (24/8) malam, Taufik mengutarakan kekecewaannya. "Saya kecewa saja tidak ada siaran langsung bulutangkis Olimpiade," kata Taufik yang mengalahkan pemain Korsel, Shon Seung Mo di final, Sabtu (21/8) lalu.
Ini merupakan kali pertama semua stasiun televisi nasional tidak menyiarkan siaran langsung final bulutangkis Olimpiade. Sejak Olimpiade Barcelona 1992, saat Susi meraih medali emas pertama, rakyat Indonesia dapat menyaksikannya secara langsung. Termasuk saat Susi dan Alan Budi Kusuma (1992), Ricky/Rexy (1996) dan Tony/Candra (2000) menangis saat memastikan kemenangan mereka di final.
Ketua umum KONI Pusat Agum Gumelar dalam sambutannya saat menerima rombongan atlet Olimpiade juga menyinggung tidak adanya siaran langsung Olimpiade ini.
Menurut Agum, pihak Indonesia telah mendapat teguran dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) karena hal ini. "Sebenarnya sudah ada stasiun televisi yang mendaftar, namun kemudian membatalkan diri," kata AGum.
Selama ini stasiun televisi yang secara rutin menyiarkan pertandingan bulutangkis Indonesia adalah Trans TV, stasiun televisi milik pengusaha Chairul Tanjung, mantan ketua umum PBSI.
Karena itu, menurut Agum, pihak KONI akan segera membahas hal ini. "kita berharap pada Olimpiade 2008 di Beijing, KONI dapat membeli sendiri hak siaran langsung tersebut," kaat Agum.
Seorang peminat bulutangkis Indonesia di Eropa menyebut menyaksikan perjuangan televisi melalui siaran BBC One. "Tetapi dipotong-potong. Untung saya masih menyaksikan saat Taufik menyelesaikan pertandingan. Menurutnya, komentator BBC One melafalkan nama Taufik Hidayat sebagai "Toufeq Haidiyiet."(Cay)
function WindowOpen1(url)
{
myWin1=open(url,"displayWindow","width=400,height=400,toolbar=no,menubar=no");
return false;
}

Friday, August 20, 2004

Tackling Corruption In Indonesia

http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0,,contentMDK:20190200~menuPK:34457~pagePK:34370~piPK:34424~theSitePK:4607,00.html

April 8, 2004—For the past eight months, Joel Hellman, one of the Bank's leading anti-corruption experts, has been in Jakarta co-ordinating an ambitious program to tackle corruption in Indonesia from the ground up.
The Jakarta team is attempting to recruit local governments to a good governance initiative that may pave the way for a major improvement in accountability, transparency and participation at the local level in Indonesia - and it is hoped the economic and poverty reduction performance in the selected regions.
Hellman says there is a strong demand from both the general Indonesian population and foreign investors to see concrete results in reducing corrupt practices in the country. Corruption is widely seen as endemic and "extremely difficult to eradicate", Hellman, the senior governance advisor, to the Bank's Indonesia resident mission says.
"Corruption is often said to be ingrained at all levels of the system in Indonesia. Even Government ministers talk openly to the press of the problem of corruption," Hellman says. "There has been a general feeling of where do you begin?"
The Bank is moving to capitalize on Indonesia's current program of decentralizing power to the country's more than 400 local governments.
The Jakarta team's anti-corruption campaign has focused on finding local administrations that are receptive to improving their governance outcomes and tackling systemic corruption.
"We have been concentrating on finding those who are committed to improving accountability, participation and transparency and finding ways to help them achieve their goals," Hellman says. "We hope that a reform-minded group of regions will pull away from the pack and that their performance will begin to attract investment and other advantages."
Hellman says corruption has been one reason Indonesia has struggled to mobilize domestic investment and attract foreign investment. The country has not been seen as ready to take the next step in terms of governance.
The Bank has made governance the centerpiece of its most recent Country Assistance Strategy for Indonesia and tried to mainstream governance issues in all of its activities in Indonesia. The strategy makes the crucial link between governance and weaknesses in the investment climate and public service delivery that hinder growth.
Hellman says the Bank has been attempting to make service providers more accountable to the poor and the operation of public services more transparent.
The Bank hopes to work with 50 to 60 of the best local governments for the time being. Early work has involved boosting the capacity of the regions to improve financial management and public procurement by bring greater participation and openness to these processes.
Hellman says ultimately those areas which are committed to good governance and anti-corruption initiatives will receive more assistance from the Bank in terms of investments in infrastructure and other sectors, such as roads and health facilities. "It makes sense that our sectoral investments will be more effective in reducing poverty where the funds are spent in line with the demands of the clients, so we need to link our governance capacity-building and our traditional sectoral investments in a more coherent program at the regional level".
There have been some hopeful signs to date. The team is finding many leaders of local administrations in Indonesia who are very interested in improving their governance outcomes, creating accountable and transparent public services and engaging with civil society and non-governmental organizations. These regions are attempting to build their reputations through demonstrating progress on the tough governance issues.
Hellman says he hopes the anti-corruption initiative will also strengthen a new generation of political leaders who will make their own political reputations on improving governance and stamping down on corruption.
These efforts at the local level are being combined with new initiatives on legal and judicial reform, support for Indonesia's recently established Anti-Corruption Commission, more forthright dialogue with the government and the public on corruption issues, and enhanced outreach with organizations in civil society dedicated to fighting corruption.
After eight months in Indonesia, Hellman is optimistic. But he concedes that change will not happen overnight.
"We have a long way to go."

PGN buys $4.3b gas deal from ConocoPhilips Tuesday

August 10, 2004
Tony Hotland, Jakarta Post

State gas distribution company PT Perusahaan Gas Negara (PGN) signed on Monday a US$4.3 billion contract to purchase natural gas from leading U.S. refiner ConocoPhillips, upon expectations of a boost in revenue.
"With the increase in our gas supply, we expect to reap an additional revenue of $200 million in 2007 and $500 million in 2011," PGN director WMP Simandjuntak said after the signing ceremony.
The firms achieved a revenue of Rp 3.6 trillion ($391.5 million) last year and a net profit of about Rp 520 billion.
Also present at the ceremony were Minister of Energy and Mineral Resources Purnomo Yusgiantoro, State Minister for State Enterprises Laksamana Sukardi, chairman of Oil and Gas Implementing Body (BP Migas) Rachmat Soedibjo and ConocoPhillips president for Asia Pacific R.M. Lance.
Conoco will sell a total of 2.3 trillion cubic feet of gas for a period of 17 years from its Corridor block in Grissik, South Sumatra. It will begin selling 170 million cubic feet per day (MMFCFD) in the first quarter of 2007, increasing to 400 MMCFD by 2012 and maintaining this rate until the contract expires.
"The contract is to meet accelerating demand in the western parts of Java, where many industries are located," Simandjuntak said, adding that the PGN would sell the gas at $3.60 per million British thermal units.
Lance said the contract indicated Conoco's commitment to Indonesia and recovering investors' confidence in the country.
Aside from the Conoco deal, the PGN has also signed a contract with state oil and gas PT Pertamina to buy 250 MMCFD of gas over 15 years from Pertamina's South Sumatra gas field, which will start operations in 2006.
"This means that starting 2007, the PGN will be able to distribute 650 MMCFD of gas, 2.5 times greater than the company's distribution value last year," said Simandjuntak.
The PGN will build a new 660 kilometer pipeline to channel natural gas from South Sumatra to West Java. Part of the pipeline will be underwater, connecting Java and Sumatra via the Sunda Strait.
The publicly listed company has said it needed up to $1 billion to build the pipeline, of which $150 million has been raised through initial public offerings and $275 million through bond issues, while the Japan Bank for International Cooperation has provided a $450 million loan.
Laksamana said the new contract should help the government's efforts to promote the wider use of natural gas to ease dependence on oil-based energy.
Last year, the country consumed 54.7 million kiloliters of oil-based fuels, amid a continued decline in crude oil production due to aging oil wells.
Indonesia has natural gas reserves of 140 trillion cubic feet (TCF), most of which remains untapped. The country is the largest liquefied natural gas (LNG) producer in the world, exporting 55 percent of its annual production of 3 TCF.
printer friendly

Tuesday, August 17, 2004

Dirut PT Telkom Belum Menerima Putusan KPPU

Rabu, 18 Agustus 2004

Bandung, Kompas - Direktur Utama PT Telkom Kristiono mengungkapkan, sampai saat ini pihaknya belum menerima salinan keputusan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang menyebutkan perusahaan BUMN ini sudah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kristiono mengatakan hal itu menjawab pertanyaan wartawan setelah menyaksikan penyerahan sertifikat oleh auditor dari TUV Rheinland Group kepada Telkom Divisi Regional III Jawa Barat-Banten, Senin (16/8) sore di Bandung.
Seperti diberitakan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan PT Telkom terbukti melanggar UU No 5/1999, dengan memblokir saluran langsung internasional (SLI) 001 dan 008 di beberapa warung telekomunikasi (wartel). Untuk itu, KPPU juga memutuskan membatalkan perjanjian kerja sama Telkom dengan wartel. Perjanjian yang dibatalkan itu mensyaratkan wartel hanya boleh menjual produk Telkom. (Kompas, 14/8).
"Sampai sekarang kami belum menerima salinan keputusan dari KPPU. Kami akan pelajari salinan keputusan itu," katanya. Pihaknya akan segera menentukan sikap. PT Telkom mendapatkan waktu selama 14 hari untuk bisa memberikan tanggapan atas keputusan KPPU tersebut.
"Saya kira yang selama ini kami sampaikan kepada KPPU bahwa pemblokiran di sentral Telkom tidak ada," katanya. Tentang produk non-Telkom di Warung Telkom, ujar Kristiono, kemungkinan ada perbedaan persepsi karena Warung Telkom itu adalah outlet-nya Telkom.
"Jadi, Warung Telkom berbeda dengan warung telekomunikasi (wartel). Jadi, Warung Telkom itu adalah outlet-nya Telkom, dia memang hanya menjual produk-produk Telkom. Berbeda dengan warung telekomunikasi. Kalau wartel memang menyediakan semua produk yang ada. Ini yang saya kira perbedaan persepsi dari aspek legal," ujar Kristiono. (GUN)

RAPBN 2005 untuk Pemerintah dan DPR Baru

Rabu, 18 Agustus 2004 /kompas

* Anggito Abimanyu
PADA tanggal 16 Agustus 2004, pemerintah telah menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN tahun 2005 beserta dokumen Nota Keuangan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, penyusunan RAPBN 2005 menggunakan format baru yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. RAPBN 2005 juga punya makna transisi karena dibahas oleh pemerintah dan DPR sekarang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR baru.
KARENA dalam masa transisi, pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR telah sepakat bahwa RAPBN 2005 harus memberikan ruang yang cukup bagi pemerintah dan DPR hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 untuk menentukan prioritas kebijakan dalam APBN 2005.
DPR dan pemerintah sekarang bertanggung jawab untuk menghindari kemungkinan terjadinya kevakuman dalam pengelolaan keuangan negara karena belum adanya UU APBN yang merupakan landasan hukum bagi setiap pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan negara. Di samping itu, tentu melanjutkan konsolidasi fiskal yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2000.
Asumsi dasar
Dengan situasi tersebut, maka pemerintah dan Panitia Anggaran telah sepakat terhadap asumsi dasar dan besaran pokok yang menjadi dasar perhitungan RAPBN 2005. Di antaranya, sasaran pertumbuhan ekonomi 2005 adalah 5,4 persen. Nilai tukar rupiah diperkirakan tetap stabil dalam kisaran Rp 8.600 per dollar AS.
Stabilitas nilai tukar rupiah ini merupakan salah satu faktor utama yang memengaruhi tingkat inflasi dan suku bunga dalam negeri. Sasaran laju inflasi 2005 diperkirakan dapat dikendalikan pada tingkat 5,5 persen. Asumsi inflasi ini lebih rendah dari 2004 sebagaimana yang tercantum dalam APBN 2004 sebesar 6,5 persen.
Sejalan dengan perkiraan inflasi tersebut, dengan mempertimbangkan masih adanya risiko ketidakpastian, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulan diperkirakan 6,5 persen dalam tahun 2005.
Asumsi harga minyak ditetapkan dengan mengingat perkembangan penawaran dan permintaan yang mulai normal dalam tahun 2005. Pemerintah dan Panitia Anggaran sepakat untuk mengasumsikan harga minyak Indonesia (ICP) berada pada tingkat 24 dollar AS per barrel. Sementara itu, produksi minyak Indonesia dalam tahun 2005 diperkirakan mencapai sekitar 1,125 juta barrel per hari.
Pendapatan negara dan kebijakan perpajakan baru
Berdasarkan asumsi-asumsi ekonomi makro yang telah disepakati dan berbagai kebijakan yang akan ditempuh, pendapatan negara dan hibah direncanakan Rp 377,9 triliun atau naik Rp 28 triliun (8 persen) dari tahun 2004. Sumber penerimaan negara terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 297,5 triliun dan penerimaan bukan pajak Rp 79,6 triliun.
Angka tersebut berarti sekitar 78,7 persen dari total penerimaan negara dan hibah bersumber dari penerimaan perpajakan, dan sekitar 21,1 persen bersumber dari penerimaan bukan pajak. Peran penerimaan perpajakan semakin signifikan dalam pendapatan negara. Untuk itu, upaya yang sudah dimulai di bidang ini perlu ditingkatkan. Rasio penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio juga meningkat dari 11,9 persen tahun 2000 menjadi 13,6 persen dalam APBN 2004.
Pada saat ini pemerintah sedang mempersiapkan amandemen UU Perpajakan untuk dibahas dengan DPR dan diharapkan bisa efektif tahun 2005.
Rancangan amandemen UU Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dimaksudkan untuk melanjutkan langkah-langkah pembaruan kebijakan perpajakan (tax policy reform) dan modernisasi serta reformasi administrasi perpajakan (tax administration reform).
Dengan RUU tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim lebih kondusif bagi pemulihan dunia usaha dan investasi serta pada gilirannya pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan. Dengan RUU tersebut, pemerintah akan mengusulkan serangkaian kebijakan mengurangi beban wajib pajak, antara lain kenaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar 300 persen, penurunan tarif PPh dalam lima tahun, penyederhanaan tarif, memperbaiki prosedur, menghilangkan hambatan, dan meningkatkan kepatuhan perpajakan. Peningkatan penerimaan negara dari UU baru dapat dipetik mulai tahun 2006 ke atas.
Di samping itu, dilakukan pula penyempurnaan administrasi perpajakan yang meliputi (i) mengelola basis data perpajakan melalui program single identification number (SIN-nomor identifikasi tunggal), (ii) perluasan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Khusus Wajib Pajak (WP) Besar, KPP WP Menengah, dan KPP WP Kecil, (iii) mengembangkan sistem pembayaran pajak dan penyampaian surat pemberitahuan (SPT) secara online, serta (iv) memperbaiki manajemen pemeriksaan pajak.
Sementara langkah penyempurnaan administrasi kepabeanan meliputi (i) kelanjutan prakarsa fasilitasi perdagangan dan (ii) prakarsa pemberantasan penyelundupan dan undervaluation. Di bidang cukai rokok, pemerintah akan tetap melanjutkan kebijakan yang ada sekarang serta terus melanjutkan upaya-upaya administratif berupa pemberantasan rokok palsu dan rokok dengan pita palsu.
Sehubungan dengan barang kena cukai (BKC), dalam RAPBN 2005, pemerintah telah mengusulkan pengenaan cukai terhadap kaset, CD, VCD, DVD, dan LD untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pembajakan barang- barang tersebut. Di samping dapat dipergunakan untuk pembatasan, pengenaan cukai juga sebagai instrumen pengawasan barang-barang dengan risiko pembajakan.
Terhadap beberapa usulan keberatan dari para pihak, diupayakan untuk diakomodir dan beban cukai tersebut nantinya tidak memberatkan konsumen. Yang utama adalah upaya pengawasan dan penegakan hukum secara terpadu.
Belanja negara terpadu
Seperti telah disinggung di depan, UU No 17/2003 mengamanatkan dimulainya penerapan sistem penganggaran terpadu yang melebur anggaran rutin dan pembangunan dalam satu format anggaran. Penggabungan belanja rutin (meliputi gaji, pemeliharaan, perjalanan dinas, dan belanja barang) dengan belanja pembangunan diharapkan mengurangi tumpang tindih alokasi.
Pemerintah dan DPR baru diharapkan dapat melanjutkan proses konsolidasi tersebut, karena proses ini memerlukan waktu dan kerja sama dengan instansi pemerintah dan mitranya, komisi-komisi di DPR. Pemerintah yakin bahwa upaya ini akan dapat menghemat dan mengurangi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di bidang keuangan negara. Hasil optimalnya akan dirasakan dalam jangka menengah. Komposisi belanja pemerintah pusat pada tahun 2005 dan perbandingannya di tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 1.
Kebijakan strategis seperti di bidang belanja pegawai, subsidi BBM, dan belanja daerah akan diserahkan ke pemerintah yang akan datang. Sesuai dengan pandangan dan titik tolak pemikiran seperti itu, maka alokasi belanja pegawai khususnya gaji pegawai negeri sipil (PNS) dalam RAPBN 2005 yang sedang disusun diperhitungkan meningkat sesuai dengan kebijakan di tahun 2004.
Demikian pula dengan belanja barang. Dalam RAPBN 2005 dengan format baru, alokasi untuk belanja pegawai adalah Rp 61,2 triliun dan belanja barang adalah Rp 32,3 triliun. Anggaran belanja pegawai dalam tahun 2005 direncanakan meningkat 3,9 persen. Dalam rancangan awal, dengan jumlah tersebut setidaknya akan dapat dipertahankan pendapatan nominal aparatur negara. Selain itu, dalam rangka menjaga tingkat kesejahteraan aparatur negara setelah memasuki masa pensiun, pemerintah juga akan mengkaji kembali persyaratan dan besar manfaat tunjangan hari tua (THT) pegawai negeri.
Di samping itu, pemerintah juga menganggarkan pembayaran bunga utang sebesar Rp 64,0 triliun, terdiri atas bunga utang dalam negeri Rp 38,8 triliun dan bunga utang luar negeri Rp 25,1 triliun. Keseluruhan beban bunga utang itu menunjukkan penurunan 2,6 persen dari bunga utang tahun 2004, yang terutama dipengaruhi oleh lebih rendahnya beban pembayaran bunga utang dalam negeri terkait dengan perkiraan lebih rendahnya suku bunga SBI tiga bulan dalam tahun mendatang.
Selanjutnya, dalam rangka mendukung pembangunan nasional, dianggarkan belanja modal Rp 42,7 triliun, yang berarti jumlahnya bertambah 8,6 persen dari anggaran yang sama tahun 2004. Belanja modal tersebut akan dipergunakan untuk kegiatan investasi sarana dan prasarana pembangunan, yaitu dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta belanja modal fisik lainnya.
Dalam tahun 2005 dianggarkan subsidi BBM, listrik, pangan, pupuk, kredit program, dan kepada BUMN pelaksana jasa layanan umum (PSO) Rp 33,6 triliun, yang menunjukkan peningkatan 26,3 persen dari anggarannya tahun 2004.
Dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah pusat, sebesar Rp 264,9 triliun dialokasikan kepada sekitar 53 kementerian/lembaga. Dari sejumlah kementerian/lembaga tersebut, prioritas pertama adalah Kementerian Pertahanan dan Keamanan, kedua Pendidikan, ketiga Prasarana Wilayah, keempat Kepolisian, dan kelima Kesehatan, sesuai dengan prioritas kebijakan pembangunan nasional.
Dalam format lama dikenal anggaran pembangunan, tetapi mulai tahun 2005 pos belanja tersebut sudah dilebur dan ditempatkan sesuai dengan jenis belanja yang lebih tepat. Tabel 2 menunjukkan konversi eks anggaran belanja pembangunan dengan format baru. Dari Rp 74,7 triliun nominal anggaran pembangunan yang telah disepakati bersama, yang merupakan unsur "pembangunan" adalah belanja modal Rp 42,7 triliun, belanja sosial Rp 14,2 triliun, sedangkan lainnya, belanja pegawai Rp 2,0 triliun dan belanja barang Rp 13,6 triliun.
Belanja daerah
Di bidang belanja daerah, langkah-langkah kebijakan yang diusulkan tahun 2005, antara lain, dengan dasar UU No 25/1999, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) diarahkan untuk memperkecil ketimpangan keuangan antara pusat dan daerah, serta antardaerah dengan tetap menjaga netralitas fiskal.
Dalam RAPBN tahun 2005, belanja untuk daerah dianggarkan Rp 129,9 triliun, terdiri dari dana perimbangan Rp 123,4 triliun serta dana otonomi khusus dan penyesuaian Rp 6,5 triliun. Alokasi DAU disepakati 25,5 persen dari penerimaan dalam negeri neto atau Rp 88,1 triliun. Formula DAU yang sekarang berlaku tetap dijadikan dasar perhitungan dengan upaya- upaya perbaikan akurasi data. Alokasi DBH adalah Rp 31,2 triliun, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 4,1 triliun.
Dalam RAPBN 2005 juga ditingkatkan peranan dan alokasi DAK secara selektif dan bertahap, dengan tetap memperhatikan prioritas nasional. Pemerintah dan Panitia Anggaran juga telah sepakat mengalihkan dana dekonsentrasi ke DAK secara bertahap ke sektor-sektor yang kewenangannya telah berada di daerah.
Pembiayaan anggaran dan beban utang
Berdasarkan rencana anggaran pendapatan negara dan belanja negara tersebut, RAPBN 2005 akan mengalami defisit sekitar Rp 16,9 triliun atau 0,8 persen dari PDB (lihat Tabel 3). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada APBN 2004, yakni Rp 24 triliun atau 1,2 persen dari PDB.
Penurunan besaran defisit dan rasionya terhadap PDB tahun 2005 mencerminkan besarnya kesungguhan dan komitmen pemerintah dalam melanjutkan program dan langkah- langkah konsolidasi fiskal untuk memantapkan upaya peningkatan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability).
Meskipun besaran defisit anggaran RAPBN 2005 lebih rendah dari sasaran defisit anggaran APBN 2004, tantangan yang dihadapi di sisi pembiayaan tidaklah semakin ringan. Pembiayaan yang perlu disediakan tidak hanya untuk menutupi defisit APBN semata-mata, tetapi juga untuk memenuhi kewajiban pembayaran cicilan pokok utang dalam negeri dan utang luar negeri yang akan jatuh tempo tahun 2005, dalam jumlah yang makin besar. Kebutuhan pembiayaan akan diupayakan dapat dipenuhi dari sumber-sumber pembiayaan dalam dan luar negeri.
Dalam RAPBN 2005, pembiayaan anggaran yang bersumber dari dalam negeri direncanakan mencapai Rp 66,7 triliun. Pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri ini direncanakan berasal dari penggunaan saldo rekening pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia. Pemanfaatan dana dari berbagai pos tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan pembiayaan anggaran, dan dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap pelaksanaan program moneter.
Sementara itu, pembiayaan anggaran yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri lainnya direncanakan Rp 57,7 triliun. Jumlah ini berasal dari, pertama, hasil privatisasi BUMN dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan kedua, penerbitan Surat Utang Negara (SUN).
Dalam hal penerbitan SUN, sesuai dengan kesepakatan pemerintah dengan DPR, pemerintah diberi fleksibilitas dalam hal jangka waktu maupun denominasi mata uangnya dengan mempertimbangkan faktor kondisi pasar, biaya, pengelolaan risiko, dan kebutuhan pembiayaan.
Pembiayaan anggaran yang berasal dari sumber-sumber pinjaman luar negeri (bruto) pada tahun 2005 direncanakan Rp 26,6 triliun (sekitar 3,1 miliar dollar AS). Rencana penarikan pinjaman luar negeri tahun 2005 itu terdiri dari pinjaman program dan proyek. Penarikan pinjaman program dan proyek diharapkan terutama dari pinjaman yang telah disepakati dengan donor, yang direncanakan dapat dicairkan tahun 2005.
Pada tahun 2005, seperti tahun 2004, pemerintah tidak merencanakan menjadwalkan pembayaran utang luar negeri seperti dalam Paris Club I, II, dan III. Dalam tahun 2003, pemerintah telah mengakhiri program dengan Dana Moneter Internasional (IMF) sehingga tidak lagi memenuhi syarat untuk mendapatkan penjadwalan melalui Paris Club.
Dalam tahun 2005, sebagaimana tahun 2004, pemerintah dan Panitia Anggaran telah sepakat membayar pokok utang luar negeri secara penuh. Pada tahun 2004 dan 2005 rencana penarikan utang baru jauh lebih kecil ketimbang kewajiban pembayaran utang sehingga stok utang luar negeri menurun secara signifikan. Secara keseluruhan rasio stok utang pemerintah terhadap PDB nominal akan menurun dari sekitar 60,1 persen tahun 2004 menjadi sekitar 54,0 persen tahun 2005.
RAPBN 2005 sungguh amat penting karena direncanakan dalam suasana transisi pemerintah dan DPR sekarang ke yang baru. Meskipun dalam masa transisi, kiranya wajar untuk tetap dapat dijaga kesehatan APBN dengan sasaran penurunan defisit dan beban utang sebagai prioritas. Ruang untuk melakukan stimulus tetap ada, baik dari sisi penerimaan perpajakan maupun ekspansi belanja modal.
Dan keseimbangan di antara keduanya tersebut harus dicari. Apabila APBN terlalu ketat, akan menghambat stimulus ekonomi. Sebaliknya, jika terlalu longgar, akan mengganggu stabilitas moneter dan juga membutuhkan pembiayaan untuk menopangnya, dan pada saat ini sumbernya tidak banyak. Terhadap pilihan tersebut, hak untuk melakukan perubahan- perubahan APBN 2005 sesuai dengan prioritas kebijakan fiskalnya sepenuhnya ada di tangan pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2004. RAPBN 2005 setelah menjadi UU sepenuhnya ada di tangan pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2004.
*Kepala Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan




Asumsi Harga Minyak APBN 2005 Sebesar 24 Dollar AS per Barrel

Rabu, 18 Agustus 2004

Jakarta, Kompas - Meskipun harga minyak terus melonjak akibat kekhawatiran pasokan dunia, pemerintah hanya mematok asumsi harga minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN sebesar 24 dollar AS per barrel. Meskipun jauh dari realitas harga minyak, patokan sebesar 24 dollar AS per barrel itu dianggap oleh pemerintah sudah realistis.
Demikian diutarakan Menteri Keuangan Boediono dalam jumpa pers mengenai Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2005, Senin (16/8) di Jakarta. Menurut dia, tidak ada yang bisa menebak harga minyak yang terjadi pada tahun depan.
Selain itu, perkiraan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ ICP) hanya berkisar 34-35 dollar AS per barrel. Harga inilah yang dijadikan landasan untuk asumsi APBN, dan bukan harga yang sempat menembus 45 dollar AS per barrel.
Harga minyak yang terjadi saat ini, demikian Boediono, disebabkan oleh faktor psikologis. Oleh karena itu, jika kondisi yang menyebabkan pasar cemas teratasi, harga akan kembali normal.
"Apa pun itu selalu ada simetrinya, kalau bisa naik selalu bisa turun. Karena ada kehati- hatian dan pertimbangan keseimbangan dari segi risiko, maka harga itu yang terbaik," ujar Boediono.
Sebelumnya, dalam pidato kenegaraan Presiden Megawati Soekarnoputri di DPR, tidak disebutkan asumsi harga minyak dalam APBN. Megawati hanya menyebutkan, asumsi harga minyak Indonesia akan ditetapkan berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menjelaskan, harga minyak pada tahun 2004 diperkirakan rata-rata 34 dollar AS per barrel. Hal itu karena pada awal tahun 2004 harga minyak masih rendah. Sebenarnya harga minyak yang menembus angka 45 dollar AS per barrel bukan untuk pasar Indonesia. Selain itu, harga minyak tersebut juga mengandung harga premium politik sebesar 15 dollar AS per barrel.
"Lonjakan harga saat ini karena spekulan menyimpan stok minyak, di samping memang permintaan China meningkat dan produksi Irak menurun. Jadi, harga minyak akan turun ke kisaran 22-28 dollar AS per barrel kalau premium politiknya hilang," ujar Purnomo.
Akan tetapi, pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan, patokan 24 dollar AS per barrel terlalu konservatif, tidak realistis dengan kondisi keseimbangan pasar minyak dunia yang baru. Selain itu, juga tidak mendidik rakyat memahami beban subsidi karena jumlah subsidi BBM akan terlihat kecil.
Subsidi bertambah
Berdasarkan perhitungan pemerintah, dampak kenaikan harga minyak terhadap patokan APBN 2004 yang hanya 22 dollar AS per barrel akan menyebabkan defisit pada anggaran pemerintah. Apabila patokan harga minyak APBN 2004 terpaksa direvisi menjadi 32 dollar AS per barrel, maka perhitungannya akan menciptakan defisit sebesar Rp 1,6 triliun. Namun, kalau menjadi 35 dollar AS per barrel, defisitnya menjadi Rp 1,91 triliun.
Sebenarnya, dengan harga 32 dollar AS, penerimaan pemerintah menjadi Rp 93,9 triliun, tetapi defisit subsidi BBM menjadi Rp 46,8 triliun, dan bagi hasil migas Rp 14,5 triliun. Dengan harga 35 dollar AS, penerimaan negara menjadi Rp 105,39 triliun, tetapi subsidi BBM jadi Rp 56,90 triliun, dan bagi hasil migas Rp 6 triliun.
Menyinggung ketahanan fiskal terhadap kenaikan harga minyak, Boediono mengatakan, kenaikan harga minyak masih terkendali. Jika pemerintah disiplin pada rencana fiskal, dampak kenaikan harga minyak masih teratasi.
Harga turun
Setelah referendum di Venezuela berjalan lancar dan kekhawatiran produksi minyak terganggu dan tidak menjadi kenyataan, maka harga minyak dunia mengalami penurunan. Referensi New York, untuk minyak light sweet menjadi 45,95 dollar AS per barrel setelah Senin mencapai 46,91 dollar AS per barrel.(AFP/OTW/MAR/BOY/HAR/ELY)

Thursday, August 12, 2004

Mochtar Lubis Pejuang Kebenaran Tanpa Henti

Jumat, 13 Agustus 2004

Jakarta, Kompas - Sosok tokoh pers Mochtar Lubis yang tak henti berjuang demi kebenaran kembali menyeruak dalam ingatan, tatkala rekan dan sahabat almarhum mengungkapkan kenangan mereka dalam acara Mengenang 40 Hari Wafatnya Mochtar Lubis.
Peringatan sederhana yang digelar di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Kamis (12/8) malam, itu dipenuhi oleh keluarga, sahabat, rekan, dan pengagum almarhum.
Keluarga Mochtar Lubis diwakili oleh putranya, Iwan Lubis, sedangkan sejumlah rekan dan sahabat almarhum yang hadir antara lain pengacara senior Adnan Buyung Nasution, sastrawan Hamsad Rangkuti, Nina Pane, Ramadhan KH, dan Hanna Rambe. Tak ketinggalan mantan Ketua Dewan Pers Indonesia Atmakusumah Astraatmadja.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, dan Lembaga Pers Dr Soetomo itu Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa Mochtar Lubis adalah pejuang sejati, serta sosok yang gigih dan konsekuen dalam memperjuangkan demokrasi, hukum, dan kebebasan pers. Ia juga dikenal sebagai pejuang yang percaya akan keluhuran jiwa dan semangat sehingga gigih memperjuangkan demokrasi.
"Mochtar Lubis tidak lelah memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang berpihak pada rakyat kecil," kata Adnan Buyung.
Sampai menjelang meninggal pun, Mochtar Lubis selalu terobsesi pada tegaknya hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Ayah tiga anak dari istri Siti Halimah Kartawirya itu juga tokoh yang membentuk konstitusionalisme Indonesia, yang mencakup cita- cita dan norma-norma untuk menegakkan negara demokrasi.
"Pantas kiranya jika Mochtar Lubis diberi gelar sebagai konstitusionalis independen sejati," kata Buyung.
Ketua Dewan Kesenian Jakarta Ratna Sarumpaet dalam sambutannya menyampaikan Mochtar Lubis adalah sosok berkarakter. Kondisi Indonesia saat ini yang sangat kehilangan karakter, sulit menemukan kembali sosok seperti dia.
Sementara itu, Atmakusumah yang membacakan biodata Mochtar Lubis menegaskan, Mochtar Lubis pantas memperoleh gelar wartawan jihad, dengan perjuangannya yang tanpa henti. Ditambah lagi peranannya di Indonesia Raya, sebagai surat kabar yang memperjuangkan independensi dan kebebasan pers semakin mengukuhkan Mochtar Lubis sebagai pejuang HAM.
Mochtar Lubis, laki-laki kelahiran Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922, itu wafat di RS Medistra, Jakarta, pada hari Jumat, 2 Juli 2004, pukul 19.15. Ketua Yayasan Obor Indonesia itu dikenal sebagai sosok yang selalu konsisten pada sikapnya, terutama dalam memperjuangkan HAM, hukum, dan kebenaran.
Perjalanan kariernya cukup panjang, seperti menjadi wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara (1945-1952), wartawan harian Merdeka, Pemimpin Redaksi Majalah Mutiara, Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, dan Pemimpin Umum Majalah Sastra Horison. Kekonsistenannya antara lain ditunjukkan dengan ketidakgentarannya dalam menulis berita yang mengungkapkan fakta, sampai akhirnya harian Indonesia Raya dibredel.
Mochtar Lubis sudah menghasilkan sejumlah novel, seperti Tak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952), Senja di Jakarta (1970), Catatan Subversif (1981), dan Kuli Kontrak (1982), serta cerita pendek seperti Harimau! Harimau! (1977) dan Si Djamal. (IDR)

Civil service reform most urgent task for govt

Piet Soeprijadi, Peter Rimmele and Anne-Lise Klausen, Jakarta
JPost, 12 Agustus 2004

Ross H. McLeod's -- Competition: Key to reform of civil service two-part article on The Jakarta Post of Aug. 4 and 5 is an interesting eye opener that something has to and can be done to reform the Civil Service.
However considering the multi-complex, urgent and important problems the new president is facing, the question is then, should the upcoming president do it now and if yes how to do it properly.
In the recently released 2004 Human Development Report, Indonesia scored low with its human development index (111th out of 177 countries surveyed) below some neighboring countries like the Philippines and Thailand. On the other side Indonesia is usually among the top league when countries considered to be the most corrupt ones are compared.
For a better future of millions of Indonesians the government needs to invest more in the human development, not only to fulfill its people basic rights, but also to lay foundations for economic growth. The investment climate is still poor in Indonesia.
The Civil Service is part of the problem because of unpredictable and low quality services from government institutions as well as widespread corruption within the civil service. The citizens expect high quality services at low costs. Often they receive low quality services at high costs.
Asked about their civil service a large number of Indonesians would rather describe it with negative attributes. Focusing mostly on poor service, corruption, collusion, and nepotism (KKN), leave alone the behavior of the civil servants towards the subjects (the word 'customer' has not found access into the language of the administration).
All these are leading to public demands for a reform. But so far there has been little drive for civil service reform in the political leadership. The same applies to combating corruption what has merely been a political rhetoric.
Looking for reasons we found out, that the national system of administration and the civil service system are outdated. Both are not conducive to good governance and improved performance. The civil service system is not focused on professionalism and performance. Converting this bureaucracy into a responsive, efficient and professional civil service by adopting new public management theories is the target ahead.
In comparison the Indonesian civil service is not large. It is more decentralized than most other services in the region (68 percent at the regency level; 9 percent at the provincial level). However 23 percent of staff still working in the central government indicate that the decentralization process has not been finished yet.
While proportion of the women is impressive, (reach 40 percent of 3,5 million of civil servants), the education level of the civil service is worryingly low, performance-oriented training rather poor. Both present serious obstacles to improve performance.
The pay system in the Indonesian civil service is quite complex and lacks of transparency and simplicity. Low basic salaries are often said to be the reason civil servants take kickbacks to supplement their incomes.
The many allowances are the basic fodder of an existing patronage system. To gain access to additional allowances staff may be required to allegiance to the patron by condoning or supporting illegitimate activities as well. Thus the take home pay is normally very different from the basic salary in many cases.
Corruption is flourishing in the civil service due to inconsistent law, inadequate discipline, weak sanctions and lack of internal control. Positions and promotions are offered for sale thus not filled through selection on merit.
The system multiplies corruptions since investment to gain position need to be recovered. Parliaments fail in their role of external overseer, as many recent reports about graft cases in parliaments show.
Considering the above, the national system for administration and the civil service system need radical reform now!!!
To start with, as the highest person in the civil service, the new president must demonstrate strong commitment for reform through exemplary actions and behavior as the most professional, efficient, effective and clean civil servant.
Then someone with integrity, professionalism and commitment for reform, need to be appointed to lead the process. To ensure effectiveness, he or she needs a support from an inter-ministerial team, since one major obstacle to reform is weak coordination between ministries.
As leadership makes the difference, next step would be the replacement of the top echelons of the civil service with men and women of the highest quality and integrity through such an open and transparent recruitment. This should become the norm in the recruitment of new employees, through open and transparent system based on publicly disclosed criteria of merit.
Organizational structures should be designed according to operational requirements (form follow functions), not to host a fixed number of positions representing each echelon. After the decentralization the present structures are full of redundant functions and offices, as well as overlapping responsibilities. A critical review of the government's functions and organizational structures should also take the increasing privatization of public service into account.
Human resource management needs to be improved and modernized if corruption is to be reduced. Competence -- based recruitment and promotion; better and transparent incentive structures; professionally classified positions (instead of the current structural and functional ones) and better training are important elements.
Make the civil service in Indonesia part of the solution and don't keep it as a part of the problem.
The writers are members of KOREKSI (Komite Reformasi Kepegawaian Sipil Indonesia), a multi stakeholder forum organized by the Partnership for Governance Reform in Indonesia to promote Civil Service Reform

Monday, August 09, 2004

Menteri ESDM: Harga Gas untuk Lokal Lebih Murah dari Ekspor

Selasa, 10 Agustus 2004

Jakarta, Kompas - Harga penjualan gas untuk konsumen domestik dipastikan lebih murah dibandingkan dengan harga gas yang dijual untuk ekspor. Dengan harga minyak yang mencapai 44 dollar AS per barrel di pasar internasional saat ini, harga gas di luar negeri di atas 5 dollar AS per juta British thermal unit (MMBTU).
Demikian ditegaskan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro dalam jumpa pers seusai menyaksikan penandatanganan pembelian gas oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dari ConocoPhilips, Senin (9/8). Purnomo membantah sinyalemen bahwa pemerintah memberikan subsidi kepada industri di luar negeri karena harga ekspor gas jauh lebih murah dibandingkan untuk kebutuhan domestik.
Purnomo mencontohkan, harga dalam kontrak jual beli antara PGN dan ConocoPhilips, di mana harga di lapangan 1,85 dollar AS per MMBTU, ditambah transportasi 0,9 sen dollar AS per MMBTU, jaringan distribusi 2,75 dollar AS per MMBTU, dan lain-lain sehingga totalnya menjadi 3,5-3,6 dollar AS per MMBTU di konsumen.
Sementara harga ekspor LNG ke Fujian, China, dipatok di lapangan sebesar 2,4 dollar AS per MMBTU ditambah transportasi dan biaya lain-lain sehingga di tangan konsumen menjadi 4 dollar AS per MMBTU. "Jadi, tak ada satu pun harga dalam kontrak gas yang lebih mahal di dalam negeri ketimbang harga ekspor ke luar negeri. Bahkan harga ekspor dikaitkan dengan kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional," ujar Purnomo.
Purnomo juga menegaskan, pemerintah lebih mengutamakan pasar gas di dalam negeri ketimbang melakukan ekspor. Menurut dia, pemerintah sangat peduli pada penggunaan gas yang murah dan ramah lingkungan sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM) yang relatif lebih mahal.
PGN beli gas
Direktur Utama PGN Washington Mampe Parulian Simandjuntak kemarin menandatangani kontrak jual beli gas dengan pihak ConocoPhilips untuk memenuhi kebutuhan industri di Jawa bagian barat. Gas yang dibeli berasal dari lapangan Corridor Blok (Sumatera Selatan) sebanyak 2,3 triliun kaki kubik (TCF) dengan nilai 4,3 miliar dollar AS atau Rp 39 triliun untuk jangka waktu 17 tahun.
Menurut Simandjuntak, gas bumi yang dibeli oleh PGN pada lapangan Corridor Blok akan dikirim ke Jawa dengan jaringan pipa distribusi yang dibangun PGN. Pasokan gas akan mulai dialirkan awal tahun 2007 dengan volume 170 juta kaki kubik per hari (MMCFD) dan secara bertahap akan mencapai 400 MMSCFD.
Untuk memenuhi kebutuhan gas bagi industri di Jawa Barat, PGN juga telah mengikat kontrak pembelian dengan Pertamina dari lapangan gas Pagar Dewa, Sumatera Selatan, sebesar 250 juta MMSCFD selama 15 tahun, mulai pertengahan tahun 2006. Dengan demikian, pada tahun 2007 PGN akan mampu mendistribusikan gas bumi sebesar 650 MMSCFD.
Menurut Simandjuntak, pendapatan PGN akan bertambah sekitar 200 juta per tahun setelah ada tambahan pasokan gas dari ConocoPhilips. Pada tahun 2011 pendapatan PGN akan naik dua kali lipat dibandingkan dengan pendapatan tahun 2003, yakni menjadi 500 juta dollar AS.
Sebelumnya, sebagian pengusaha keramik di Jawa bagian barat mengeluh karena nyaris gulung tikar akibat adanya kekurangan pasokan gas dari PGN. Masalah tersebut tidak dapat diatasi secepatnya karena kurangnya pasokan diakibatkan oleh faktor alamiah, dan paling cepat bisa diatasi tahun 2006 setelah mendapat tambahan pasokan gas dari produsen.
Simandjuntak mengakui bahwa masih ada 119 perusahaan yang antre untuk mendapatkan gas sebanyak 200-250 juta MMSCFD di wilayah Jawa bagian barat dan Jawa Timur. Upaya maksimal yang dapat dilakukan PGN untuk sementara adalah menambah pasokan dari lapangan marjinal, tetapi pasokannya hanya 20 MMSCFD dan lama pasokan hanya lima hingga tujuh tahun. (BOY)

Friday, August 06, 2004

Amid a Price War, Revenues Fall at AT&T and MCI

By KEN BELSON
Published: August 6, 2004

Quarterly results from MCI Inc. and the AT&T Corporation are doing little to reassure investors that the long-distance industry is stabilizing, and are reinforcing speculation that the companies have become potential takeover targets.
Amid a nasty price war for phone services, revenue at AT&T, MCI and other long-distance carriers is plunging. No one in the industry seems to know when the declines will slow. The companies, desperate to stop the bleeding, are cutting thousands of jobs, selling assets and exiting entire businesses.

MCI, which is based in Ashburn, Va., reported its second-quarter numbers yesterday, saying that its sales fell 15 percent from the same period a year ago, to $5.2 billion.
MCI lost $71 million, or 22 cents a share, in the quarter after earning $8 million in the same period a year ago. It continues to cut costs and will pay a quarterly dividend of 40 cents a share. News of the dividend payment lifted the company's stock 18 percent, to $16.31, in after-hours trading. During normal trading hours, before the earnings report was released, MCI's stock dipped 8 cents, or 0.6 percent, to $13.84.
AT&T reported similarly disappointing numbers two weeks ago, when it said revenue in the second quarter slid 13.2 percent, to $7.6 billion, and net profits plunged 80 percent, to $108 million, from the same period a year ago.
The companies have lost business to wireless providers and to local phone companies that have gained entry into the long-distance market. The bleak prospects for the industry have fueled speculation that AT&T and MCI will both be bought soon, most likely by one of the regional Bell operating companies. The long-distance carriers still have vast international data networks and deep lists of corporate clients that would complement the Bells' residential businesses, analysts said.
Both AT&T and MCI, the analysts said, are cutting costs not just to survive, but also to make themselves more attractive to buyers.
AT&T said last month that it cut 14 percent of its staff in the last year, and would eliminate another 8 percent of its work force this year. MCI said it aims to shed 16,000 jobs, or 28 percent of its employees, by the end of the year.
MCI and AT&T are also fleeing the residential phone business. Last month, AT&T said it would stop seeking new customers for its $8 billion residential business. Sprint has taken similar steps, though more quietly. MCI, which has already shut several call centers and laid off thousands of call center operators, appears to be doing the same.
Wayne Huyard, the head of MCI's consumer business, said yesterday that the company expected to reduce its efforts to acquire new residential local phone customers that have their calls completed using the Bells' networks.
"We are sizing our consumer effort to the profit opportunity," Michael D. Capellas, MCI's chief executive, said in a call with investors.
The company was unable to say when prices would stabilize, either in the residential or commercial phone business.
Without a halt to the price war across the telephone industry, the companies are looking for other ways to cut costs. On Wednesday, AT&T said it might write down the value of some of its $22.8 billion in assets in the third quarter. Such a write-down could reduce its depreciation costs and lower the net worth of the company.
Regardless, until the business of selling long-distance phone services stops shrinking, potential buyers are likely to hold off bidding for AT&T or MCI. The Bells, which have started special advertising campaigns and price promotions, appear more comfortable stealing AT&T and MCI customers one by one than buying one of them outright.
"No one can tell you where the bottom is and until you know where the bottom is, you can't limit your risk as a buyer," said Scott C. Cleland, chief executive of the Precursor Group, an independent research firm in Washington. "When the Bells see AT&T and MCI, they snicker. But if they buy them now, it becomes their own ulcer."

'Kajian telematika agar libatkan semua sektor'

6 Agustus 04

JAKARTA (Bisnis): Pengamat telematika meminta hasil pengkajian peraturan perundangan mengenai usaha telematika yang dibentuk Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) merupakan kesepakatan semua sektor pemerintah.
Mas Wigrantoro, pengamat telematika nasional, mengatakan pembentukan tim kajian tersebut belum menjamin terciptanya iklim yang kondusif pada usaha di bidang telematika.
"Saya meragukan kewenangan tim tersebut untuk memberikan otoritas pada lintas sektor pemerintah terutama yang terkait dengan kebijakan usaha telematika," katanya kepada Bisnis kemarin.
Menurut dia, pengkajian peraturan mengenai usaha telematika akan berkaitan dengan beberapa sektor pemerintahan seperti Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, Depperindag, Ditjen Postel, Depkeu dan lainnya.
Padahal, lanjut Wigrantoro, terdapat banyak permasalahan yang menuntut perhatian dari pemerintah mengenai usaha telematika nasional.
"Masalah tersebut antara lain banyaknya perusahaan teknologi informasi (TI) nasional yang tidak berkembang serta warnet yang menutup usahanya," ujarnya.
Dia mengemukakan pemerintah perlu menetapkan tarif khusus untuk Internet agar usaha warnet bisa berkembang. Selain itu, tambah dia, insentif khusus dan subsidi juga perlu diberikan pemerintah untuk kepemilikan komputer
Menurut Wigrantoro, pemberian kredit lunak bagi kepemilikan komputer konsumtif oleh bank perlu adanya kesepakatan beberapa sektor di pemerintahan.
"Tingginya bea masuk (BM) perangkat telekomunikasi saat ini juga perlu mendapat perhatian pemerintah. Selain itu pemerintah dinilai perlu menggunakan peranti lunak produksi dalam negeri pada instansinya untuk mendorong pasar lokal" tandasnya.
Hasil tim kajian
Sementara itu, Hidayat Tjokrodjojo, Ketua Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo), mengatakan agar hasil tim kajian peraturan dan perundangan usaha telematika tersebut efektif, maka perlu mendapat perhatian dari presiden dan legislatif terpilih.
"Karena selama ini bila terjadi permasalahan yang menyangkut usaha di bidang telematika, selalu mengacu pada peraturan perundangan sebelumnya. Sementara UU yang baru hanya melengkapi peraturan lama," katanya.
Selama ini, tambah dia, kebijakan pemerintah mengenai usaha telematika kurang mendukung perkembangan teknologi informasi di Tanah Air.
Menurut dia, hal itu terlihat dalam pengenaan pajak penghasilan (PPh) royalti Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) untuk setiap pembelian peranti lunak sebesar 15%.
"Padahal peranti lunak konsumtif biasanya hanya digunakan oleh pengguna perorangan untuk kepentingan sendiri," ujarnya.
Hidayat menyambut baik dicabutnya larangan impor terhadap mesin foto copy warna oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah mengenai usaha di bidang komputer dinilainya sudah tepat.
Perkembangan TI, kata dia, berjalan sangat cepat. Bila pemerintah tidak memperbarui kebijakannya setiap saat, maka Indonesia dipastikan akan tertinggal dengan negara lain.
Sebelumnya, J.B Kristiadi, Sekretaris Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), mengatakan pemerintah akan membentuk sebuah tim untuk mengkaji regulasi usaha telematika dengan melibatkan beberapa unsur pemerintah dan pelaku usaha terkait.
"Harus diakui ada beberapa peraturan yang tidak mendukung usaha pengembangan telematika. Oleh karena kami akan membentuk sebuah tim pengkajian di bidang tersebut. Harapannya tentunya swasta bisa menjalankan usahanya secara lebih kondusif," ujarnya kepada Bisnis.
Menurut dia, pengkajian terhadap regulasi usaha di bidang telematika tidak harus membuat peraturan baru. Namun bila ditemukan regulasi yang dirasakan akan menghambat kemajuan di bidang telematika akan diupayakan untuk dikurangi seminimal mungkin.
Kristiadi mengatakan program kerja tim itu nantinya adalah mendata jumlah dan jenis usaha telematika, regulasi di pusat dan daerah serta memonitor perkembangannya.
Salah satu contohnya, tambahnya, adalah aturan mengenai aturan pita lebar, tarif flat untuk telekomunikasi serta perizinan warnet dan Penyelenggara Jasa Internet (PJI).
"Semua itu perlu dikaji secara mendalam bersama pelaku usaha terkait," tandas Sekretaris Kominfo tersebut.
Dia menyatakan harapannya agar di waktu mendatang peraturan yang ada bisa mendukung iklim kerja usaha telematika terutama pengembang dalam negeri secara kondusif dan efisien. (02)

MK dan Migas

From: "ma_wardi"
Date: Thu Aug 5, 2004 1:12 am Subject: UU Migas, big oil MNC vs pembangkrutan alam indonesia

Mahkamah Konstitusi ( MK ) saat ini lagi jadi bintang, selainmenyidangkan gugatan wiranto ke KPU ttg penghitungan suara, MK jugasedang menyidangkan gugatan masyarakat ttg UU Migas ,yg dianggap akanmenyengsarakan rakyat banyak.ternyata UU Migas ini memang dibuat atas tekanan IMF , jaman habibieditolak ,jaman gus dur ketika mentamben nya SBY diajukan lagi keDPR , jaman purnomo yusgiantoro di majuin dan disetujui DPR.ternyata berdasar pendapat ahli, UU tsb sangat akan menyengsarakanrakyat banyak dan menggerogoti kekayaan alam RIditenggarai big oil MNC spt BP, shell, mobil oil, exxon, standard oildll , mengompori IMF utk menekan pemerintah RI menerima UU tsb ,karena kenaikan BBM tahun depan sekitar 30% , akan masuk ke kantongmereka juga.big oil MNC bisa dikata telah menjadi quasi government, suatuinstitusi yg lebih powerfull dibanding negara, lebih kaya, lebihorganized, dll.Argentina dan Nauru, adalah kasus negara yg bangkrut karena ulahmereka, Indonesia sedang menanti waktu juga.selain melalui UU Migas, perampokan lain dilakukan dg cara yg canggihspt pada kasus Karaha bodas , dimana , dg modal dengkul,tanpa banyakkerja investor amerika memaksa pemerintah RI membayar hampir 260 jutaUSD , sungguh menggelikan.ternyata di sana tersangkut juga nama Purnomo Yusgiantoro, mentambensekarang, karena waktu itu, dialah yg menggoalkan proyek tsbUU migas pun , begitu juga besar peran nya Purnomo ?jadi sebuah pertanyaan besar , spt apa nasionalisme nya ?apakah ia jadi broker penggadai negara juga spt laksamana sukardi ?waktu dulu sekolah di amerika ( Colorado mine university) , purnomoyusgiantoro, diantara mahasiswa indonesia disana , dikenal seringmengkritik RI ( regim suharto waktu itu )& rada alergi thd islam.siapakah di belakang purnomo cs ?apakah ada rencana besar, memiskinkan orang indonesia yg sebagianbesar beragama islam ? ( setidaknya dg bangkrutnya pertamina kelak,spt YPF di argentina , serta naiknya harga BBM, banyak orang islambertambah miskin )big oil MNC serta big MNC lain nya yg berkepentingan di Indonesia,pasti telah menyusun grand strategi menghadapi berbagai isu besarsaat ini , antara lain pilpres.capres mana yg mereka dukung ?kasus ini berjalin benang kusut antara ekonomi dan politik, dan darisisi sosiologi adalah sebuah peristiwa budaya, dimana sebuah negarabisa di otak atik dg canggih nya oleh institusi kapitalis.mungkin ada rekan yg pernah meneliti spt apa sih , jalinan konspirasikapitalis minyak ( big oil MNC ) dg IMF/world bank dg pemerintahnegara miskin spt indonesiaserta para ahli : lawyer, sosiolog, penasehat ekonomi, penasehatteknik asing ( yg dibiayai usaid, world bank,ADB,IMF dll ), ygsengaja disusupkan di berbagai kementrian/department strategis dgdalih bantuan teknis, padahal sebenarnya turut melicinkan jalanpembangkrutan negara.kalau rumit sekali , tak jelas wujudnya, dan tak ketemu solusinya,mungkin sekalian kita undang saja Hary pantja ( dunia lain transTV ), atau team pemburu hantu uka uka di TPI, untuk mencari "the bigghost" yg telah membuat kita miskin selama ini, serta mewariskankebangkrutan yg lebih parah pada anak cucu kita kelakmari kita support MK agar menghasilkan keputusan yg memberikemakmuran bagi kita semua, rakyat indonesia.warm regardsAW

Kompetisi telekomunikasi, independensi setengah hati

Bisnis Indonesia/6 Agustus 2004

Kompetisi di sektor telekomunikasi di Indonesia kini sudah benar-benar terjadi. Bahkan yang lebih nyata soal kompetisi itu adalah di layanan telepon seluler. Dengan kasat mata, kita bisa melihat operator telepon seluler kini berlomba-lomba memenangkan persaingan dengan menawarkan berbagai layanan yang menarik, termasuk soal tarif. Kiat itu tidak terlepas dari upaya untuk mempertahankan loyalitas konsumennya.
Era kompetisi yang terjadi di sektor telekomunikasi itu tidak terlepas dari lahirnya UU No. 39/1999. Namun untuk kali ini, fokus pembahasan bukan pada kompetisi berkenaan dengan layanan produk atau jumlah pelanggan yang telah dicapai, akan tetapi keberadaan regulator di dalam struktur organisasi operator telekomunikasi.
Walau era kompetisi di sektor telekomunikasi telah dicanangkan di Indonesia, namun dalam praktiknya banyak persoalan-persoalan yang bertentangan dengan nafas kompetisi, profesionalisme dan semangat prinsip-prinsip good corporate governance.
Penulis menyoroti persoalan yang terjadi di dua operator telekomunikasi besar di Indonesia masing-masing PT Indonesia Satellite Corp. Tbk (Indosat) dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Kalau bisa dikatakan bahwa ada persaingan antara kedua perusahaan itu, penulis bisa menilai bahwa persaingan itu telah 'dimenangkan' oleh Indosat terhadap rival utamanya Telkom.
Kenapa begitu?. Itu bisa terlihat dalam struktur organisasi di tubuh perusahaan telekomunikasi tersebut. Dewan Komisaris Indosat yang berjumlah sembilan orang ternyata memiliki dua anggota Komisaris yang dirangkap pejabat penting regulator. Umar Rusdi yang selain sebagai Komisaris Indosat, juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan R.I. (Dephub) dan Roes Aryawidjaya sebagai Komisaris Indosat menjabat pula sebagai Deputi Menteri BUMN Bidang Telekomunikasi, Pertambangan, Energi dan Industri Strategis.
Dalam skala yang lebih rendah karena posisi pejabat yang dirangkap bukanlah penentu adalah Telkom. Dewan Komisaris Telkom yang berjumlah lima orang di mana dua anggotanya memiliki pula jabatan rangkap. Anggito Abimanyu sebagai Komisaris Telkom "hanya" menjabat rangkap sebagai Kepala Badan Analisa Fiskal Departemen Keuangan R.I. dan Gatot Trihargo menjabat pula sebagai Staf Khusus Menteri BUMN.
Menabrak regulasi
Langkah Djamhari Sirat merelakan posisinya sebagai Komisaris Utama Telkom merupakan hal yang perlu diteladani. Karena sebagai Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Dephub yang ex-officio adalah Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) maka dirinya tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai direksi atau komisaris pada operator telekomunikasi. Lalu mengapa hal ini tidak diikuti oleh para kolega Djamhari Sirat di Dephub.
Undang-Undang R.I. Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) secara tegas melarang adanya rangkap jabatan untuk anggota Direksi dan Dewan Komisaris BUMN. Pasal 25 UU BUMN menyebutkan bahwa "Anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap sebagai (a.) anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; (b.) jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/lembaga pemerintah pusat dan daerah; dan/atau (c.) jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Anggota dewan komisaris BUMN dilarang pula untuk menjabat rangkap sebagaimana diatur pada Pasal 33 UU BUMN. Alasan dilarangnya dilakukan jabatan rangkap adalah sebagaimana termuat pada penjelasan Pasal 33 UU BUMN yaitu agar anggota Komisaris benar-benar mencurahkan segala tenaga pikirannya dan/atau perhatian secara penuh pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan BUMN serta menghindari timbulnya benturan kepentingan.
UU BUMN mengamanatkan bahwa BUMN wajib dikelola dengan profesional dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Namun sangat disayangkan UU BUMN yang merupakan karya agung (master piece) pengaturan BUMN di Indonesia ternyata diimplementasikan dengan setengah hati.
Selain tentunya hal dimaksud dapat dimungkinkan karena adanya kelemahan yang signifikan dari UU BUMN sehingga ketentuan UU BUMN dapat diabaikan begitu saja. UU BUMN yang berjumlah 95 pasal ternyata tidak satu pun pasal mengatur mengenai sanksi yang dapat diberikan jika ada ketentuan UU BUMN yang dilanggar, sungguh sangat ironis.
Good corporate governance
Dirangkapnya jabatan dimaksud selain bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ternyata juga tidak sejalan dengan semangat good corporate governance. Transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness), pertanggung-jawaban (responsibility) dan kemandirian (independency) merupakan prinsip-prinsip utama good corporate governance. (OECD, Corporate Governance, April 1998 dan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada BUMN)
Good corporate governance pada dasarnya mengupayakan untuk dapat dihindarinya benturan kepentingan (conflict of interests) dari setiap organ perusahaan yaitu pemegang saham, direksi dan komisaris. Komisaris yang memiliki benturan kepentingan seharusnya wajib untuk tidak turut serta dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan dewan komisaris.
Sehingga akibatnya komisaris dimaksud tidak efektif dalam melakukan tugasnya, padahal menurut Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan.
Posisi komisaris sebagai perwakilan atau kuasa dari pemegang saham untuk memberikan arahan dan mengawasi kinerja Direksi dapatlah dipahami. Pemerintah R.I. tentu memiliki hak untuk mengawasi jalannya perusahaan BUMN dengan menempatkan wakil-wakilnya di dewan komisaris. Departemen Keuangan R.I. yang bertindak sebagai wakil pemilik aset negara dan Kementrian BUMN yang bertindak sebagai pembina BUMN tidaklah keliru untuk menempatkan pejabatnya pada posisi Komisaris di BUMN-BUMN.
Namun bila anggota Komisaris kemudian berasal dari pejabat penting regulator maka hal dimaksud tentu dapat menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interests).
Lalu jika begitu adanya, untuk apa dipertahankan anggota komisaris yang berpotensi memunculkan benturan kepentingan (conflict of interests). Secara kondisi logis tentu sangat sulit untuk memisahkan antara dua jabatan yang sifatnya saling bertentangan.
Kaki yang satu berpijak sebagai regulator dan satu kaki yang lainnya berpijak sebagai operator. Belum lagi bila terjadi moral hazard di mana sang komisaris mengkomodasi kepentingan perusahaannya pada aturan main yang dibuat pada saat dirinya berperan sebagai regulator. Jadi mau dibawa kemana kompetisi telekomunikasi di Indonesia.
Oleh Danrivanto BudhijantoPengamat Telekomunikasi dan Dosen FH Unpad

Tuesday, August 03, 2004

KKN Akar Semua Permasalahan Bangsa

Rabu, 04 Agustus 2004 / KOmpas

Oleh Kwik Kian Gie

Sebelum kolusi, korupsi dan nepotisme berhasil diberantas atau dikurangi secara signifikan, kita tidak dapat memecahkan masalah apa pun juga dengan memuaskan. Maka kalau presiden terpilih tidak segera melakukan tindakan-tindakan nyata menanggulangi KKN, semua upaya tidak akan berhasil.
Ini tidak berarti bahwa pemerintah baru pekerjaannya hanya menanggulangi kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) saja sampai selesai, dan setelah itu baru bisa melakukan hal-hal lainnya. Namun kita harus beranggapan bahwa hasilnya tidak akan optimal. Bersamaan dengan kegiatan-kegiatan tanpa hasil yang optimal, secara bersamaan penanggulangan KKN harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Seiring dengan kemajuan dalam penanggulangan KKN, kebijakan dalam bidang-bidang lainnya setahap demi setahap juga menjadi semakin optimal.
Mari kita telaah semua permasalahan bangsa yang dikemukakan oleh para capres sebagai masalah-masalah besar yang sangat mendesak untuk diselesaikan. Apakah program kerja yang mereka tawarkan bisa efektif selama KKN masih merajalela?
Yang dianggap masalah paling mendesak untuk dikurangi adalah pengangguran. Semua capres mengenali dengan baik, yaitu pengangguran hanya dapat dipecahkan dengan penciptaan lapangan kerja, yang berarti investasi. Sekaligus juga dikatakan bahwa investasi dari luar negeri tidak akan datang selama tidak ada kepastian hukum dan tidak ada keamanan dan ketertiban. Kepastian hukum tidak ada karena dari penyidikan sampai vonis hukum dijadikan ajang komersial sehingga yang membayar lebih banyak yang menang. Jadi penyebab tidak adanya kepastian hukum adalah KKN.
Keamanan dan ketertiban tidak ada karena jasa pelayanan untuk memberikan ketertiban dan keamanan dijual-belikan. Bagi pengusaha yang mengerti dan kalkulasinya masih cocok, keamanan diperoleh dengan membayar aparat untuk menjaga supaya tidak dijarah, tidak dirampok, tidak ditodong, dan sejenisnya. Jadi tidak adanya keamanan yang disebabkan karena sengaja tidak diamankan supaya aparat keamanannya dibayar. Ini adalah mengomersialkan jabatan atau KKN.
Investasi oleh pengusaha dalam negeri juga tidak kunjung datang karena kalah bersaing dengan barang impor. Produsen lebih untung menutup pabriknya, tetapi berusaha terus sebagai importir pedagang barang sejenis yang diimpor, antara lain dari RRC. Mengapa kalah bersaing? Ki- ta sudah mengetahui sejak lama bahwa ekonomi Indonesia ekonomi biaya tinggi yang berarti harga pokok untuk barang apa pun lebih tinggi dari harga pokok barang yang sama buatan luar negeri. Mengapa ? Karena terlampau banyak pungutan liar (pungli) dan terlampau banyak pemerasan oleh aparat negara. Jadi KKN lagi.
Daya saing ekspor pernah didorong oleh pemerintah dengan memberikan insentif. Kredit ekspor diberikan dengan bunga rendah. Langsung saja disalahgunakan dengan mengekspor sampah ke perusahaannya sendiri di Singapura. Kreditnya didepositokan dengan bunga yang lebih tinggi. Tanpa mengekspor sedikit pun, pengusaha memperoleh pendapatan dari selisih antara bunga deposito dan bunga kredit. Penyelewengan ini diketahui, tetapi pengusahanya dibebaskan dengan dalih tidak ada yang dirugikan. Bank pemerintah yang memberikan kredit ekspor memperoleh pembayaran kembali utuh beserta bunga yang memang ditentukan rendah. Bahwa ekspor tidak terjadi tidak dianggap merugikan sehingga pengusaha tidak diapa-apakan. Apa artinya? Pemberian insentif untuk mendorong ekspor digagalkan oleh korupsi, paling tidak korupsi pikiran atau corrupted mind.
Ulah konglomerat jahat
Kemiskinan merupakan masalah besar yang diangkat oleh semua capres, dan memang tepat. Tidak perlu dijelaskan betapa kemiskinan merupakan potensi malapetaka dahsyat, di samping pelanggaran HAM luar biasa oleh yang membiarkan demikian banyaknya orang menjadi miskin setelah 59 tahun merdeka, seraya membiarkan orang-orang asing mengeduk sumber daya mineral yang sangat mahal harganya dengan pembagian manfaat yang sangat tidak adil buat rakyat Indonesia.
Lantas bagaimana mengurangi kemiskinan atau mengurangi penderitaan kaum miskin? Caranya yang saya tanyakan, bukan slogannya. Sulit sekali karena pemerintah tidak cukup mempunyai uang. Mengapa tidak mempunyai uang? Karena uang yang mestinya masuk ke kas negara dikorupsi. Lantas beberapa gelintir konglomerat jahat pemilik bank menggelapkan uang masyarakat yang disimpan di banknya sampai banknya bangkrut. Pemerintah menutup bolongnya dengan menerbitkan surat utang dalam jumlah yang luar biasa besarnya. Maka dalam APBN tahun 2004 pembayaran bunga utang saja sudah praktis sama besarnya dengan seluruh anggaran pembangunan.
Pola ini akan berlangsung terus sampai 10 tahun kedepan. Jadi konglomerat jahat mencuri uang masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Dengan suap-menyuap, pejabat yang berkuasa menggunakan uang rakyat hasil pajak untuk menutupinya. Kepada yang bersangkutan diberikan release and discharge. Pejabatnya menciptakan dalih bahwa itu semua biaya krisis, bukan akibat penggelapan. Apa artinya ini? KKN telah me- nguras uang negara yang sekarang maupun yang masih akan diterima di masa datang dalam jumlah besar karena menutup bolongnya perbankan dengan surat utang pemerintah. KKN juga telah merasuki cara berpikir karena pencurian ditutupi dengan istilah "biaya krisis".
Pendidikan selalu disebut sebagai program prioritas. Semua capres harus menempatkan pendidikan sebagai prioritas sangat tinggi karena dalam UUD tahun 2002 (bukan UUD 1945) anggaran pendidikan harus 20 persen dari seluruh APBN. Mengacu pada APBN 2004, ini berarti Rp 87 triliun. Anggaran pembangunan seluruhnya Rp 70 triliun. Maka kalau menuruti UUD 2002 semua menteri tidak boleh membangun kecuali Menteri Pendidikan Nasional. Itu pun anggarannya masih kurang Rp 17 triliun. Mengapa bisa menjadi begini?
Karena tidak ada uangnya. Ke mana uangnya? Untuk menutupi bolongnya bank yang digelapkan oleh pemiliknya sendiri. Jumlahnya untuk tahun 2004 Rp 65,4 triliun, yaitu Rp 41,3 triliun untuk bunga utang dan Rp 24,4 triliun untuk pembayaran cicilan utang pokoknya. Mengapa ditutup oleh pemerintah dan yang melakukan tindak pidana korupsi dilindungi oleh MSAA dengan release and discharge- nya? Karena para konglomerat jahat itu menyuap. Jadi KKN penyebab pelanggaran UUD 2002 tentang anggaran pendidikan.
Kembali pada kemiskinan dan ketidakadilan. Bagian terbesar dari rakyat miskin kita adalah petani dan nelayan. 80 persen dari petani adalah buruh tani yang menggarap lahan milik tuan-tuan tanah di perkotaan. Buruh tani yang bekerja mati-matian menggarap lahan milik tuan tanah hanya memperoleh bagi hasil 2/5 saja dalam bentuk natura. Tuan-tuan tanah yang tidak bekerja memperoleh 3/5. Buruh tani tidak dapat hidup dari 2/5 hasil garapannya. Mereka harus bekerja ekstra melakukan apa saja sekenanya. Setelah menambah pendapatan dengan cara ini, mereka hanya mampu makan dua kali sehari yang terdiri dari beras dan sayur sekadarnya yang direbus. Mengapa bisa menjadi begini? Karena peraturan tentang kepemilikan tanah memungkinkannya. Mengapa bisa seseorang memiliki tanah sampai ratusan hektar? Karena pejabat ketika membuat peraturan disogok. Jadi KKN lagi biangnya.
Transmigrasi tidak jalan sebagaimana yang diharapkan, padahal luar biasa pentingnya untuk memanfaatkan lahan-lahan subur di daerah-daeral luar Jawa. Mengapa tidak dilaksanakan? Pemerintah tidak mempunyai uang untuk membiayainya. Mengapa tidak mempunyai uang ? Karena dipakai untuk membayar utang dan banyak sekali orang mampu tidak dipajaki. Mengapa begitu ? Karena yang diberi kuasa dengan tugas-tugas melayani kepentingan rakyat disogok. Jadi karena KKN lagi.
Kesimpulan
Contoh-contoh tersebut dapat kita teruskan dengan masalah apa saja. Apa pun yang kita rasakan sebagai masalah, kalau kita telusuri akarnya, kita akan dihadapkan pada KKN. Maka apa pun yang dijadikan program para capres, selama tidak ada program pemberantasan KKN yang konkret, yang operasional, yang dapat diwujudkan dalam bentuk rencana tindak (plan of action), semua program atau platform itu tidak akan terwujud secara optimal atau bahkan tidak akan terwujud sama sekali karena uang untuk melaksanakan programnya dikorupsi.
Seperti apa program konkret pemberantasan KKN yang bukan slogan, yang bukan reto- rika? Sebenarnya cukup sederhana, seperti yang telah dibuktikan oleh negara-negara tetangga, yaitu carrot and stick. Berikan pendapatan yang memadai. Kalau masih berani korupsi dihukum yang seberat-beratnya.
Namun karena sudah telanjur demikian ruwetnya hal ikhwal KKN ini, faktor yang satu berkaitan erat dengan faktor lainnya. Sebelum menuju pada carrot and stick, perlu pembenahan di bidang-bidang lain.
Gambaran garis besarnya sebagai berikut. Pertama, menyusun struktur kabinet yang optimal. Ini berarti ada penggabungan dan/atau penghapusan kementerian. Kedua, kementerian yang tetap dibutuhkan, struktur organisasi dan jumlah personalia yang dibutuhkan, serta tugas pokok dan fungsinya dibuat optimal. Ketiga, perbandingan tingkat pendapatan bersih dari semua PNS dan TNI/ Polri dari yang terendah sampai yang tertinggi dibuat adil. Langkah keempat, tingkat gaji yang perbandingannya sudah adil ini dinaikkan sampai sangat tinggi. Kalau masih berani melakukan KKN dihukum yang seberat-beratnya, misalnya hukuman mati.
Untuk kesemuanya ini dibutuhkan biaya besar. Namun dengan mudah dapat ditutup kalau KKN berkurang sedikit saja. Penjelasannya dapat dibaca di halaman 13 dalam buku kecil tulisan saya berjudul Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan. Buku ini membahas keseluruhan hal ikhwal KKN secara komprehensif.

Kwik Kian Gie Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas



Monday, August 02, 2004

Korea Telecom garap e-Indonesia

Teknologi Informasi / 3 Agustus 2004

JAKARTA (Bisnis): Korea Telecom menggandeng konsorsium lokal menggarap proyek e-Indonesia berupa pembangunan jaringan akses pita lebar (broadband) yang akan menjadi backbone penyelenggaraan e-government di Indonesia.
J.B. Kristiadi, Sekretaris Menkominfo, mengatakan pada tahap awal proyek e-Indonesia tersebut diperkirakan akan menghabiskan dana sekitar US$26 juta yang ditargetkan menjangkau Jawa, Bali, dan Sumatra akhir tahun ini.
"Dalam proyek ini pemerintah tidak ikut campur tangan melainkan hanya sebagai fasilitator. Yang melaksanakan proyek murni sifatnya B2B (business to business) dan dibuka sepenuhnya bagi swasta," katanya kepada Bisnis kemarin.
Sebagai tindak lanjut dari proyek tersebut, katanya, pemerintah Indonesia yang diwakili Menkominfo dan Menteri TI Korea Selatan sudah menandatangani nota kesepakatan bersama pada 29 Juli 2004 lalu.
Dalam kesepakatan yang bersifat lebih operasional itu, Kristiadi mengatakan pemerintah Korea berkomitmen membantu secara teknis dari proyek e-Indonesia dan kedua kementerian juga sepakat untuk memfasilitasi pelatihan dan bantuan tenaga ahli.
Adapun penyelenggara proyek, tutur dia, Korea Telecom menggandeng PT PLN sebagai koordinator, serta PT Indonesia Comnets Plus (ICON+), dan Pro Indo.
Menurut dia, pihak Korea Telecom menunjuk PT PLN sebagai koordinator dari konsorsium lokal karena telah memiliki infrastruktur jaringan serat optik di Jawa dan Bali.
Sebagai bagian dari e-strategy nasional, tambahnya, proyek e-Indonesia memang diprioritaskan untuk menyediakan layanan broadband agar bisa digunakan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah serta masyarakat untuk akses e-government.
"Barangnya sebetulnya sudah ada hanya mengkoneksikan pada beberapa point-nya saja. Saya memperkirakan dalam waktu enam bulan sudah operasional terutama di wilayah yang sudah terjangkau jaringan fiber optik PLN," katanya.
Pola pembiayaan
Dia memaparkan setelah adanya penandatanganan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Korsel, penyelenggara proyek Korea Telecom dan Konsorsium lokal juga akan segera membuat kesepakatan sendiri termasuk pola pembiayaannya.
"Sebetulnya Bank Exim Korea juga sudah siap jika diperlukan untuk membantu pembiayaan proyek e-Indonesia ini. Tapi, masalah itu diserahkan sepenuhnya kepada Korea Telecom dan Konsorsium lokal."
Sebagai gambaran backbone jaringan serat optik yang dimiliki PLN di Jawa dan Bali saat ini baru dimanfaatkan sekitar 15% sehingga kapasitasnya dapat digunakan untuk e-Indonesia.
Sebelumnya Menteri Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif mengatakan proyek e-Indonesia merupakan kerja sama antara Indonesia dengan Korea Selatan dalam menerapkan sistem pengelolaan peme-rintahan secara elektronik.
Kerja sama itu diwujudkan dalam bentuk perusahaan Pro Infokom Indonesia (PII) yang sahamnya dikuasai PT Telekomunikasi Indonesia, Perusahaan Listrik Negara (PLN), serta Konsorsium yang melibatkan Korea Telecom.
Saham PII sebelumnya dikuasai oleh PT Telkom Tbk sebanyak 51%, PT PLN sebanyak 25% dan sisanya oleh PT Prima Infokom. Korea Telecom merupakan salah satu pemegang saham di Prima Infokom bersama sejumlah perusahaan teknologi informasi dari Korsel.
Dalam perkembangan terakhir, Kristiadi mengatakan PII tidak lagi menangani proyek e-Indonesia melainkan hanya mengelola dari aspek software dan aplikasi e-government. Selanjutnya proyek e-Indonesia akan digarap Korea Telecom dan Konsorsium yang terdiri dari tiga perusahaan lokal.
Terkait dengan kerja sama B2B, pemerintah juga menggandeng perusahaan Korsel untuk mengembangkan e-government dan infrastruktur ditandai dengan penandatanganan nota kesepakatan antara Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki) dan Inter-national Cooperation Agency (ICA) for Korea beberapa waktu lalu.
Kristiadi mengatakan kerja sama kedua negara diharapkan mengisi kebutuhan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) di Tanah Air yang tepat guna. (jha)


Tampilan Cetak


Bank Pos (forgotten issue)

Date: 27 Mar 99 09:48:54 JVT
From: hafras <> To: Subject: KONTAN dan BankPOS CC: , ,
Sebagai karyawan BankPOS saya harus megucapkan terima kasih atas perhatian yang begitu besar dari Redaksi KONTAN terhadap perkembangan BankPOS Nusantara.
Dalam enam bulan terakhir (mohon koreksi kalau saya salah) KONTAN telah melakukan investigasi terhadap BankPOS sebanyak dua edisi. Tidak ada tabloid lainnya yang memberitakan BankPOS secara berulang-ulang seperti KONTAN.
Bahkan koran atau tabloid lainnya mungkin tidak pernah memberitakan mengenai BankPOS. Dalam setiap edisi KONTAN pada halaman depan selalu di beri judul dengan warna mencolok mengenai BankPOS.
Yang terakhir pada edisi No. 26, Tahun III, 29 Maret 1999. KONTAN memberi judul pada halaman depan"
Isi berita pada halaman 6 tergambarkan bahwa para mantan Direksi BankPOS kecuali Direktur External Affair Bpk. Hana Suryana (sekarang merupakan salah satu Tim Pengelola BankPOS), tidak lolos "fit and proper test".
Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah memang seluruh mantan Direksi BankPOS tidak lulus "fit and proper test" ? Mana yang harus dipercaya, sumber KONTAN atau homepage BI:
http://www.bi.go.id dan harian KOMPAS yang menyebutkan seluruh mantan pemegang saham, Dewan Komisaris dan Dewan Direksi memenuhi kriteria "fit and proper test".
Berita ini harus diluruskan. Dalam terbitan yang juga memuat tulisan mengenai BankPOS, KONTAN terlalu memojokkan para Dewan Direksi (sekarang mantan Dewan Direksi).
Apakah KONTAN tidak jeli memperhatikan dampak pemberitaan ini terhadap para mantan Dewan Direksi ?
Menurut saya KONTAN terlalu berlebihan dalam memberitakan BankPOS. Dari 7 bank yang di "take over" (BTO) bank mana yang terbaik manajemen-nya ?
Apalagi dibandingkan dengan bank-bank yang ter-likuidasi. KONTAN nyata-nyata tidak melakukan investigasi terhadap bank-bank lainnya sebut misalnya Bank "BN" atau Bank "Dt" yang bersama BankPOS di-BTO-kan.
Saran saya, KONTAN sebaiknya melakukan investigasi berita bukan memberitakan berita yang tidak layak dan berdasarkan sumber yang tidak dapat dipercaya.
Dibandingkan dengan Tabloid Ekonomi dan Keuangan lainnya, KONTAN tertinggal jauh baik dari segi keakuratan maupun keberanian. Mengapa KONTAN tidak berani memberitakan bank-bank yang jelas terlihat kebobrokannya ? Bandingkan dengan tabloid "K" misalnya ? Atau dengan tabloid "S" yang dulunya dilarang keras beredar ?
Lalu mengapa KONTAN tidak melakukan investigasi "fit and proper test" terhadap para pengurus, pengelola atau karyawan BPPN ? Kalau jeli KONTAN dapat meng-investigasi para Tim Pengelola BankPOS dari BPPN apakah mereka lebih baik dibandingkan dengan para mantan Dewan Direksi BankPOS ?
Menurut saya para pengurus BPPN tidak lebih baik dari mantan Direksi BankPOS.
Sayang, KONTAN kurang jeli melihat permasalahan ini. Apakah KONTAN berani membuat investigasi berita mengenai para pengurus BPPN ? Apakah mereka Lulus "Fit and Proper Test"?
Kalau boleh saya sampaikan bahwa BankPOS yang sekarang di-awaki oleh Tim Pengelola BankPOS dari BPPN lebih buruk kinerjanya dibandingkan dengan para mantan Dewan Direksi BankPOS. Ingat mereka semua (mantan Dewan Direksi) lulus "Fit and Proper Test" sedangkan Tim Pengelola menurut saya belum memenuhi kriteria tersebut.
Tim Pengelola bukan sebagai malaikat penyelamat melainkan hanya menjadi malaikat pencabut nyawa. Mungkin hal ini juga terjadi di beberapa bank yang di-BTO-kan, kinerja bukan membaik tetapi memburuk. Ini yang harus diberitakan !
Terima kasih.

Indonesia: History revisitedBy Bill Guerin

http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/EL17Ae01.html
Dec 17, 2003

J AKARTA - Distressingly little has changed in Indonesia from the previous received wisdom that the country's leaders could use state-owned enterprises, including financial institutions, as their personal piggy banks. Many officials controlling these enterprises remain well connected and, with elections ahead in 2004, the wheeling and dealing appear to be well under way. In the same week as the Consultative Group on Indonesia (CGI) pledged $2.8 billion in loans, a high-level government meeting was called by President Megawati Sukarnoputri to address recent lending scams at state-owned Bank Negara Indonesia (BNI) and Bank Rakyat Indonesia (BRI). Summoned to attend were the coordinating ministers for political and security affairs and the economy as well as the national police chief, the military chief, the head of the national intelligence agency, the attorney general and the Bank Indonesia governor. The BNI scandal centers on the improper disbursement of Rp1.7 trillion (US$200 million), a much larger sum than the $78 million involved in an earlier politically linked scandal, Baligate, that put the moneyed elite in the public eye just before the last elections. It is hardly surprising then that State Enterprises Minister Laksamana Sukardi, whose remit includes ultimate responsibility for state banks, told reporters after the meeting, "The president said all who are involved in the case must be investigated. No one is untouchable." The scandals, described as "really humiliating" by Sukardi, threaten to depress business and market confidence on the eve of Indonesia's withdrawal from the International Monetary Fund (IMF). With next year's national elections looming and with parties feverishly building up war chests to finance their campaigns, suggestions by local media of the possible involvement of well-connected people and key politicians in the scandal have spooked the elite. The political dimensions have encouraged the House of Representatives Commission IX for financial affairs plans to set up its own special committee to probe the scandal, and the Supreme Audit Agency (BPK) has been asked to assist in the investigation to make sure there are no other fraud cases that may have been covered up by BNI management. On the face of it, the government appears to be promising that justice will appear to be done. The police are handling the BNI affair, while the BRI case is being handled by the Attorney General's Office. However, as Faisal Baasyir, the vice chairman of Commission IX pointed out, "We need to form the committee to ensure that the police and the prosecutors won't play around with the investigation of the fraud cases." BNI has been under fire with the recent revelation of a Rp294 billion (US$34.7million) lending fraud, in which three bank branches approved loans to local companies supported by cash collateral deposits. However, the deposits did not belong to the companies concerned. The scandal later spread to the state-owned BRI, the country's fourth largest in terms of assets, which reported $34.6 million in crooked loans. Despite the uproar over the fraud, BRI is to go ahead anyway this week with its planned issue of Rp500 billion (US$58.8 million) in bonds. The precedent for involvement of top politicians ahead of a general election already exists. The Baligate scandal five years ago, though involving a private, not a state bank, touched two presidents, several ministers and top officials from the central bank and the Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA). It spread outwards to Washington, the IMF and the World Bank. Revisiting the epic suggests the passage of time may have changed little in Indonesia and helps to explain what is going on now. Baligate grabbed the headlines because it involved Setya Novanto, the deputy treasurer of the then-ruling Golkar Party, and seriously endangered BJ Habibie's presidential candidacy. Golkar had fancied its chances good for getting their man Habibie re-elected. The ensuing alarm and despondency caused by the scandal, and the mere possibility of the World Bank making good on its threat to cancel a $43 billion bailout was enough to concentrate the minds. Faced by increasing media pressure, Novanto and his business partner Djoko Tjandra arranged to repay the $78 million in question to Bank Bali. However, the media were having none of it. The idea that it was enough for a thief just to pay back what he had stolen sparked intense media investigations. It was concluded that Habibie's informal re-election committee, Tim Sukses (Team Success), was to have benefited from the $78 million, to buy off a majority share of votes in the People's Consultative Assembly (MPR). The pace quickened. On August 16, IMF deputy managing director Stanley Fischer joined the attack by insisting, "a satisfactory resolution of the Bank Bali case requires a thorough and independent investigation to be completed as soon as possible". Next day the Coordinating Minister for the Economy, Finance and Industry Ginandjar Kartasasmita, himself under investigation for graft, was virtually ordered to allow international accounting experts PricewaterhouseCoopers (PWC) to audit not only the Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA) but also the country's central bank, Bank Indonesia. Besides the suspension of IMF and World Bank credits, the scandal and its political overtones were a blow to IBRA's program for recapitalizing and selling off distressed banks. As rebuilding the collapsed banking sector was a keystone of the policies to kick start the economy, things began to get nasty. Political considerations overshadowed all else as the elite fought for positions. The MPR was set to choose the next president two months on, in November, and Megawati's Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), realizing they had a golden bullet, promptly claimed that one of Habibie's younger brothers, four cabinet ministers, two Golkar party leaders and five businessmen were directly involved in the Bank Bali transaction. The PDI-P went further, saying they had "complete and accurate information" and "concrete facts" describing where and when the suspects met and what they discussed and agreed to commit. They later did just that, by publishing the evidence. Abdurahhman Wahid, at the time leader of the National Awakening Party (PKB), and heading Indonesia's largest Moslem organization, the 30 million-strong Nahdlatul Ummat (NU), repositioned himself by rescinding his July 21 statement supporting PDI-P's candidate Megawati. The timing of the announcement was hardly a coincidence. With Habibie as a candidate, the Muslim parties were the swing vote and with Habibie floored by the scandal, the Muslims could field their own candidate, confident that Golkar members would choose virtually anyone over Megawati. Weak law enforcement meant that months were wasted trying to finesse the Bank Bali case into the civil courts. When the dust finally settled and criminal trials got underway every one of the major suspects was acquitted. Back to the present. State Enterprises Minister Sukardi, with exquisite understatement, says the government has conflicting roles as regulator, supervisor, owner and manager of banks, and that this could "ruin" the domestic banking system. He said last week that the state should now sell its remaining banking assets as soon as possible to improve supervision and good governance and overseas professionals should be hired to run them if necessary. But privatizing the state-owned enterprises carries no guarantee of good corporate governance. It represents a code of practice designed to protect the importance of the interests of the public. In more developed countries the role of the state in economic activities is very small and the conflict between vested interests and opportunities for violating good corporate governance lie within management. The collapse of Enron, WorldCom, and others was proof enough that company management bonuses related to stock option programs that in turn depend on increased share prices encourage creative and risky accounting practices. The difference in a developing country like Indonesia, where government involvement is substantial, is that violations of the code are more generally manifest in corruption by government officials. This is exactly what happened in the Bank Bali case. Attitudes of top officials highlight just some of the difficulties. Bank Indonesia's initial aloofness was par for the course. Though the central bank is still the main authority for banking supervision, Senior Deputy Governor Anwar Nasution immediately blamed the scam on Bank BNI executives, who he said had disregarded standard procedures and rules governing such transactions. The transactions escaped the scrutiny of internal auditors and directors as well as supervisors at Bank Indonesia, the central bank, who are mandated to conduct both on-site and off-site inspections of banks. BNI has said it has since recovered $15 million, around a third of the total loans involved in the fraud. But an arrogance that hints at protection is evident among the BNI directors, who seem more concerned about returning the loot to minimize the bank's losses rather than finding out what mistakes were made or finding out who is guilty. Likewise BRI president Rudjito, who said he saw no reason for he himself or the other directors to resign. "We are not leaning toward that kind of action (resignation). The most important thing is that we have informed our shareholders of the fraud," he said glibly. B J Habibie himself, addressing an Association of Indonesian Muslim Intellectuals (ICMI) meeting Sunday, said that rampant corruption, injustice and distortion of democratic practices is the price Indonesia had to pay for reform. "The law is taking sides with the haves, not the have-nots," he said. Though it is highly unlikely Megawati herself will have been linked in any way to the more recent scandals, it is not impossible that senior members of her party, PDI-P may now be running scared. As the Indonesian economist Sjahrir put it, "Since most political parties are preparing themselves for the next election, a lot of dirty laundry might be aired in public. Thus, I am not very optimistic about the prospects of privatization." Judge Soedarto, who freed the man widely seen as the main mover of the "money swap" over a technicality, had sent a signal to the other suspects, and the corruptors waiting in the wings, that white-collar crime does indeed pay, at least in Indonesia. Baligate touched all Indonesians, in one way or another, and if it had been kept under wraps, it might have changed the course of destiny. Habibie, with his enormous support from Golkar and the moneyed elite, might well have been re-elected and, for better or worse, led his country towards a different fate. The World Bank and the IMF, when cranking up pressure for an independent public inquiry into the fiasco, called on the Habibie government to "publicly reveal all information about the case and prosecute those involved". They added, somewhat needlessly, "This matter needs to be resolved not only because of the large sums of money involved, but also because of the greater confidence and credibility issues at stake." In the same year, 1998, four collapsed state-owned banks were amalgamated into a new institution (Bank Mandiri), creating the largest bank in the country. The government still holds the lion's share of 80 percent in Bank Mandiri, a fact that has also sparked concern about possible political influence ahead of the elections in 2004. Megawati, weighing the possibilities, appears to have chosen to make her stance clear at the outset, rather than risk public comment from the lending organizations as she prepares to fight for a second term in office. (Copyright 2003 Asia Times Online Co, Ltd. All rights reserved. Please contact content@atimes.com for information on our sales and syndication policies.)

Corruption in Indonesia: Is it cultural?

http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/EK25Ae02.html

By Gary LaMoshi

DENPASAR, Bali - My friend David Hill grew up in Florence, Alabama, in the heart the US Deep South and in the wake of its legacy of racism. Hill couldn't believe what he had read in his home-town paper.

In an article about teenagers gathering to show off their car stereos on the fringes of a residential neighborhood, Florence City Council President Sam Pendleton called the situation particularly dangerous, since gatherings of black youths were known to be more likely to breed problems such as gangs and violence. Given a chance to clarify his statement - ie, to retract it - Pendleton said he wasn't going to say what was popular, just what was true: black kids were more trouble than young people of other races.

"I immediately fired off a letter to the editor about how I can't believe that an area that had done so much to distance itself from its horribly racist past could have a city council president espousing such idiocy," Hill, editor of Outside Pitch, a baseball newspaper in Baltimore, recalled. "If Sam Pendleton doesn't resign, I wrote, I would hope the good voters of Florence would oust him from office at their earliest opportunity."

Black act
In addition to sending his letter to the newspaper, Hill circulated it among friends and family, and one relative replied with startling news: Council President Pendleton was black. Furthermore, he was a senior official in the local chapter of the leading civil-rights group, the National Association for the Advancement of Colored People (NAACP).

"I really wasn't sure what this revelation meant," Hill admitted. When the local newspaper called about printing his letter, Hill withdrew it. After some reflection he concluded, "Alabama is so racist even blacks are prejudiced against blacks."

Remarkably similar comments emerged from a conference in Indonesia last month. Citing the nation's dismal performance in the annual global corruption rankings (see Corruption, human rights, and the usual suspects, October 17) that costs the economy billions and arrests development, longtime activist Emmy Hafild accused fellow Indonesians of cherishing cultural values that encourage dishonesty.

Among government officeholders, Hafild observed, "Obligations to give charity and the expectations of their villages and relatives are all real and difficult obligations to refuse. How can an official rely solely on his salary when society's expectations of him are so high?"

Vulture culture
Moreover, according to Hafild, who heads Transparency International's Indonesian branch, officials become subjects of scorn and ridicule if they don't own fancy houses, expensive cars or large plots of land, send their children to study overseas, or support freeloading relatives.

"I look around me and find that the values we live by are not in favor of someone who lives free from corruption," Hafild lamented. "My experience tells me that far from stopping corruption, these values nurture it."

Hafild may have been politically incorrect, but she's right about some parts of the social equation. I learned about hospitality expectations first-hand when I invited in-laws to Bali for a family gathering. I agreed to pay airfares plus hotel bills for three nights. My in-laws joyfully announced they'd be staying five nights, so please extend their reservations. Under duress, my wife explained they were welcome to stay as long as they liked, but we'd only pay for three nights. Suddenly, they all discovered pressing obligations that would limit their stays to three nights only.

But is there anything really cultural about people trying to live beyond their means by whatever methods available? Freeloading relatives are known in all groups and nationalities throughout history. The global popularity of consumer credit indicates that only one race - the human one - is susceptible to the temptations of living large.

Blame game
Blaming social problems on race or class or culture doesn't get to the heart of the problem. It's just a shortcut to poisonous, defeatist attitudes such as Council President Pendleton voiced. Even if you don't condone music measured on the Richter Scale or official corruption, stereotyping marks those behaviors as a norm rather than an unfortunate exception. A shrug of the shoulders - because, after all, they're blacks or Indonesians or stupid tourists or whatever - is the wrong way to begin the search for solutions.

To her credit, Hafild did more than shrug. She suggested public shaming as a method to discourage corrupt behavior. If Hafild is right about the cultural factor, though, shaming probably won't work very well in the Indonesian context: the choices become shaming for taking too much or shaming for giving too little.

You can find the germ of a solution in Hafild's cultural observations. Behind broad public acceptance of corruption is the widespread belief that everyone expects their turn to benefit from it. From vote buying to jobs for the boys to phony procurement contracts, politics and government are all about spreading wealth among friends and family. President Suharto and his children (see Indonesia's first family of corruption, October 31) extended the family tradition to new levels, but they didn't invent the practice.

Ahead of this week's Lebaran holidays in Indonesia marking the end of Ramadan, dozens of journalists turned up at city halls across the archipelago to ask for a holiday gratuity, as did thousands of people impersonating journalists. During the holiday, it's a tradition for groups of neighborhood children to come to your doorstep and shout holiday greetings to receive a few coins. Many adults have switched to offering sweets because children too often turned up repeatedly.

At Lebaran, people who work in the cities return to their ancestral family homes and are expected to bear gifts. No one asks where the presents come from or how they were paid for. Moreover, it's not necessarily considered wrong to steal if that plunder winds up as gifts or charity.

Until those attitudes change, Indonesians don't have the luxury of taking offense at politically incorrect comments like Hafild's. Alabama had to reverse its racist past to let a black man like Sam Pendleton become an elected official and insult fellow blacks. Indonesia still hasn't gotten to the stage where honest people can make an impact in public life.

(Copyright 2003 Asia Times Online Co, Ltd. All rights reserved. Please contact content@atimes.com for information on our sales and syndication policies.)