Tuesday, July 06, 2004

KPU "Can Do No Wrong"?

Rabu, 07 Juli 2004

Oleh Effendi Gazali

SELURUH komponen bangsa kita sedang belajar bersama dalam pelaksanaan berbagai inovasi pemilu. Senin, 5 Juli, ada sebuah pelajaran berharga yang bisa saja berakibat sangat serius, yakni kontroversi sah tidaknya surat suara yang tercoblos sampai ke halaman judul. Sayang, Ketua KPU relatif tergesa-gesa memberikan pernyataan bahwa hal tersebut diakibatkan kelalaian pemilih (detik.com, 5/7).

Artikel ini bermaksud menelusuri kenapa kontroversi tersebut bisa terjadi. Konon ada 40 jutaan surat suara tercoblos seperti itu. Uniknya, ditemukan enam persoalan yang lebih merupakan rentetan masalah komunikasi.

Persoalan pertama, asumsi terhadap sebuah inovasi, sebelum ia dikomunikasikan dengan cara tertentu. Menurut hemat saya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau para konsultannya telah keliru berasumsi bahwa ukuran, desain, dan lipatan surat suara untuk pemilu presiden 5 Juli "lebih mudah untuk digunakan" (easier to handle) oleh rata-rata pemilih daripada surat suara pemilu legislatif dan DPD 5 April lalu.

Pada kenyataannya, surat suara 5 April lalu sangat lebar ukurannya sehingga memaksa pemilih untuk membukanya secara utuh. Sebaliknya, surat suara 5 Juli yang terlihat kecil saja dan praktis justru amat "menggoda" atau "menjebak" siapa saja untuk hanya membukanya sebagian (sampai foto kelima pasangan capres dan cawapres terlihat), lalu langsung dicoblos. Sekali lagi, desain surat suara semacam itu memang memiliki bawaan (nature) untuk dicoblos secara tidak sah berdasar SK KPU Nomor 7/2004. Ini menunjukkan desain grafis surat suara kurang dipikirkan secara matang oleh KPU dan para konsultannya.

Simulasi

Katakanlah, sampai pada masa tertentu, kelemahan bawaan desain seperti itu belum disadari. Sebetulnya masih ada satu kesempatan penting untuk mengantisipasinya secara relatif ilmiah, yakni simulasi! Menurut hemat saya, hanya dibutuhkan maksimal lima kali simulasi untuk mengetahui secara akurat potensi kegagalan pencoblosan karena desain surat suara itu plus faktor tingkat pengetahuan calon pemilih pada saat simulasi. Sayangnya lagi, seperti saya lihat di televisi pada 5 Juli malam, ternyata KPU di Sulawesi Selatan sudah pernah melakukan simulasi tersebut dan menemukan kesalahan pencoblosan tanpa membuka surat suara lebar-lebar yang mencapai angka 30 persen!

Mereka sudah melaporkan temuannya kepada KPU Pusat, tetapi tidak mendapat respons yang semestinya. Jadi, di sini kita temukan persoalan kedua dan ketiga sekaligus, yakni ketiadaan simulasi yang memadai (atau ketiadaan perhatian dan evaluasi terhadap hasil simulasi) serta kualitas komunikasi yang rendah antara KPU pusat dan daerah. Jangan lupa, tidak tertutup kemungkinan, bukan hanya KPU di Sulawesi Selatan saja yang mengirimkan laporan tentang simulasi dengan potensi kegagalan lumayan tinggi itu.

Persoalan keempat, keliru interpretasi atau prediksi KPU pusat bahwa potensi kegagalan (bawaan) surat suara itu cukup bisa diatasi dengan penampilan beberapa anggota KPU dalam semacam talkshow televisi dan wawancara radio, atau cukup meminta KPPS menyampaikan informasi tersebut kepada setiap pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS)-nya. Saya melihat ada anggota KPU pusat yang muncul di televisi pada 4 Juli malam dan 5 Juli pagi dalam acara sejenis obrolan santai, menjelaskan tata cara pencoblosan dan tetap mengingatkan bahwa jika tidak dibuka lebar sehingga tercoblos ganda, surat suara itu tidak sah!

Saya kebetulan mengamati dua TPS di dekat rumah saya. Di satu TPS di mana petugas mencoba berulang kali mengingatkan pemilih yang datang untuk membuka surat suara seutuhnya sebelum mencoblos, angka kegagalan tercatat 55. Adapun di TPS lain di mana amat jarang disampaikan informasi seperti itu, angka kegagalan mencapai 99; kedua TPS memiliki 232 dan 236 pemilih.

Memang, terbukti informasi dari KPPS bisa membantu, tetapi bagaimanapun angka kegagalan masih relatif tinggi. Artinya, dalam hal ini, informasi instan (on the spot) bukan resep mujarab. Dengan demikian, untuk inovasi dan kemungkinan kegagalan yang demikian rupa, dibutuhkan cukup waktu untuk "menggetarkan" kognisi para pemilih dan meletakkan informasi tersebut pada salah satu bagian memori mereka. Inilah yang kemudian sering disebut sebagai "sosialisasi".

Dalam persoalan kelima ini, yakni kurangnya sosialisasi, KPU mestinya tak berdiri sendiri. Kalangan akademisi, pemerhati, lembaga advokasi publik, serta media massa seyogianya ikut mengingatkan tentang hasil simulasi yang cukup mengkhawatirkan itu. KPU dan lembaga advokasi publik yang relevan memang terlihat memasang iklan layanan masyarakat tentang bagaimana melakukan coblosan pada "hari H", tetapi sama sekali tak memberi penekanan khusus pada keharusan membuka surat suara lebar-lebar sebelum dicoblos.

Bentuk sosialisasi paling akhir (sekaligus reminding) mestinya berupa poster dalam ukuran cukup besar, dengan warna mencolok, dan kata-kata menarik lirikan mata (eye catching) tentang keharusan membuka surat suara secara utuh, yang dipasang cukup banyak pada setiap TPS.

Bukan kelalaian pemilih

Persoalan keenam berupa antisipasi mekanisme komunikasi dari KPU pusat ke daerah, ke KPPS, TPS, pers, dan berbagai pihak yang memerlukan informasi darurat, seperti kontroversi sah tidaknya surat suara pada 5 Juli siang hari itu. Mestinya KPU bisa berikhtiar membuat semacam jadwal penyampaian info terbaru (updating) secara periodik melalui radio atau televisi, katakanlah setiap setengah atau satu jam, atau seberapa sering hal tersebut dianggap perlu. Jadi, jika terjadi masalah atau ketidakjelasan di TPS, berbagai pihak tahu pasti bahwa yang mereka butuhkan adalah bersabar sedikit mendengar pengumuman resmi dari yang berwenang yang disampaikan secara periodik itu.

Saya tidak habis pikir, bagai- mana sebuah keputusan KPU bisa dibatalkan hanya lewat e- daran fotokopi faksimile (yang saya lihat hampir tidak terbaca tulisannya), atau bahkan berdasarkan SMS. Bagaimana jika ada pihak-pihak yang "menangguk di air keruh", mengatasnamakan KPU dan sebagainya?

Dari semua penelusuran di atas, menurut hemat saya, tidaklah bijaksana meletakkan kelalaian begitu saja ke pundak para pemilih. Atau singkatnya, tidaklah benar pula bahwa (selalu) KPU can do no wrong!

Kini, tersisa persoalan (baca: tantangan) komunikasi terakhir (ketujuh), yakni bagaimana kita semua, bangsa ini, menjelaskan kepada siapa pun bahwa tidak akan ada yang dirugikan secara substansial dengan penghitungan ulang karena semua pasangan capres dan cawapres punya peluang untuk bertambah perolehan angkanya! Atau pemilih dari kandidat mana pun bisa saja melakukan kesalahan tersebut. Jika kita berhasil kali ini, dunia internasional akan kembali mencatat kematangan berpolitik bangsa Indonesia dengan "tinta emas".

Effendi Gazali Staf Pengajar Program Pascasarjana Komunikasi UI, Ikut Mengasuh Mata Kuliah "Perencanaan & Evaluasi Program Komunikasi"

No comments: