Wednesday, July 21, 2004

KOmpas / Kamis, 17 April 2003

BRM Jamin

* Karidun Pardosi
MASIH segar di ingatan kita masalah pemblokiran jaringan sambungan langsung internasional (SLI) 001 PT Indosat Tbk oleh PT Telkom Tbk di beberapa kota besar baru-baru ini. Pemblokiran jaringan tersebut dikabarkan berlangsung sejak bulan Oktober 2002, atau berselang dua bulan setelah Indosat diizinkan sebagai penyelenggara jasa telepon tetap.
Lepas dari siapa yang benar dan salah, yang pasti terjadi persaingan bisnis kurang sehat (unfair business). Telkom sebagai operator baru di jasa SLI mungkin tidak mau kalah dari Indosat, yang sudah lama mendominasi jasa SLI. Sebaliknya, Indosat sebagai pendatang baru jasa telepon tetap berupaya mengejar Telkom.
Permasalahan pelik diperkirakan bakal muncul mengingat Indonesia telah menerapkan sistem multioperator. Karena kasus pemblokiran 001 begitu serius, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun rencananya akan terjun ke lapangan untuk mengetahui sejauh mana Indosat dirugikan Telkom.
Melihat potensi konflik yang terjadi antara operator telekomunikasi selama ini, seyogianya Indonesia sudah membentuk satu badan independen. Badan itu mengurusi, memonitor, dan mengawasi industri telekomunikasi secara adil, bukan lagi diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel).
Sebab, institusi ini adalah badan pemerintah dan bukan badan independen sehingga campur tangan penguasa akan masih terasa kental. Buktinya, dalam penyelesaian polemik yang muncul di antara sesama operator selama ini, Ditjen Postel kurang berhasil berperan sebagai juri.
Apalagi jika menyangkut persoalan yang muncul dari Telkom, misalnya masalah kenaikan tarif telepon dan interkoneksi jaringan yang dinilai begitu menguntungkan Telkom.
Kalau saja Indonesia punya satu badan independen yang mengurusi dan mengawasi industri telekomunikasi, besar kemungkinan berbagai konflik tadi dapat diselesaikan dan memberikan win-win solution bagi semua operator. Sebenarnya gagasan membentuk suatu badan regulasi mandiri (BRM) sudah dirintis sejak dua tahun lalu, walau masih sekadar wacana.
Mengapa begitu sulit dan alotnya pemerintah, dalam hal ini Menteri Perhubungan Agum Gumelar, merealisasikan pembentukan BRM? Padahal, semua pejabat di Ditjen Postel pasti sadar betapa penting kehadiran BRM dalam menyelesaikan berbagai konflik di industri telekomunikasi. BRM sekaligus mampu mendorong industri telekomunikasi yang sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan negara Asia lainnya.
Dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia sudah tertinggal dari segi penetrasi telepon tetap, yang sudah di atas 5 persen, sementara Indonesia baru 3,7 persen. Beberapa negara tetangga juga membentuk BRM lebih dahulu sebelum industri telekomunikasi diliberalisasi, di sini justru terbalik.
Itu pun tidak lahir atas kesadaran pihak regulator, tetapi lebih dikarenakan munculnya berbagai konflik berkepanjangan sesama operator yang tidak terselesaikan oleh regulator. Jika regulator mampu menyelesaikan konflik, tidak tertutup kemungkinan pemikiran pembentukan BRM tidak pernah ada.
Dengan adanya badan independen seperti yang diterapkan di Singapura, Malaysia, dan Thailand, misalnya, jarang sekali terdengar ada keluhan dari operator baru dalam bersaing dengan incumbent (yang berwenang). Tidak mengherankan Singapura merupakan salah satu negara di dunia yang paling sukses meliberalisasikan industri telekomunikasinya sehingga investor asing tertarik menanamkan modalnya. Mereka berhasil menyedot sekitar 6 miliar dollar AS dana segar dari investor asing lewat liberalisasi telekomunikasi pada tahun 2000.
Salah satu penyebab utama alotnya pembentukan badan independen tersebut, belum adanya kemauan politik dari pihak regulator. Ada pemikiran dan persepsi selama ini, untuk apa membentuk badan independen kalau Ditjen Postel masih ada.
Padahal, Ditjen Postel tidak otomatis terdilusi kendati badan regulasi sudah terbentuk, sebab institusi itu masih dibutuhkan dalam masa transisi. Bisa saja nantinya secara bertahap berubah menjadi badan independen, mengingat sumber daya manusianya cukup kompeten dan berpengalaman dalam mengurusi industri telekomunikasi.
Namun, harus diingat, tanpa adanya satu badan tersendiri di sektor telekomunikasi, persaingan usaha yang sehat dan penerapan level playing field tidak mungkin dicapai. Kondisi ini hanya akan menguntungkan incumbent operator seperti PT Telkom yang telanjur memiliki jaringan terbesar.
Jika BRM sudah terbentuk, tidak tertutup kemungkinan bisnis yang digeluti operator besar seperti Telkom dan Indosat dibatasi. Tidak seperti saat ini, kedua operator mendominasi semua aspek jasa telekomunikasi sehingga peluang bisnis bagi operator kecil dan menengah hampir tertutup.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan International Telecommunication Union (ITU), investor asing lebih tertarik menanamkan modalnya di sektor telekomunikasi di negara yang telah memiliki BRM sebab biaya investasi jauh lebih murah. Selain faktor biaya, kepastian hukum berusaha di negara yang memiliki BRM jauh lebih pasti dan terjamin.
Pendapat itu bisa dimaklumi karena tugas utama BRM adalah bagaimana memberi win-win solution bagi semua pihak, termasuk memperjuangkan hak konsumen. Mungkin penelitian ITU tersebut yang mendorong Pemerintah Singapura, Malaysia, dan Thailand cepat-cepat membentuk BRM untuk membenahi industri telekomunikasi sekaligus menarik investor asing.
Salah persepsi
Di tengah gencarnya kritikan tentang perlunya pembentukan BRM dan desakan kuat Komisi IV DPR, Agum Gumelar mengusulkan Dirjen Postel Djamhari Sirat mundur dari jabatannya sebagai komisaris di PT Telkom. Hal itu perlu untuk menghindari adanya benturan kepentingan jika kelak badan tersebut direalisasikan.
Mundurnya Djamhari Sirat dari Telkom merupakan indikasi serius dari regulator untuk merealisasikan BRM. Namun, badan independen yang dimaksud bukanlah otomatis menjadikan Dirjen Postel sebagai ketua BRM, kecuali dipilih oleh anggota lainnya. Walaupun dari segi kemampuan, keahlian, dan pengalaman di telekomunikasi, Djamhari cukup kompeten.
Tenaga profesional yang masuk BRM dan berasal dari operator swasta harus rela melepaskan jabatannya karena mereka sekarang tidak lagi mewakili kepentingan perusahaan, tetapi kepentingan semua pihak. Dengan adanya kombinasi personel yang ada, barulah BRM berfungsi dan berperan dengan baik, seperti berlaku di negara yang punya BRM.
Sekiranya pejabat-pejabat Ditjen Postel mendominasi BRM, hampir dapat dipastikan fungsi dan peranannya pun akan kurang maksimal. Karena itu, bila perlu dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) bagi calon pengurus BRM.
Memang harus diakui kehadiran badan tersebut tidak otomatis menyelesaikan semua persoalan dengan cepat mengingat berbagai persoalan saat ini cukup rumit. Akan tetapi, paling tidak mampu mengurangi konflik dan menjamin kepastian berusaha bagi semua pelaku bisnis telekomunikasi, termasuk investor asing.
Hengkangnya operator raksasa telekomunikasi seperti France Telecom, Deutsche Telekom, dan Telstra, tidak lepas dari tidak adanya kepastian hukum dan iklim investasi. Kasus yang paling mencoreng industri telekomunikasi adalah masalah kerja sama operasi (KSO) dengan PT Telkom yang berlarut-larut, khususnya sengketa Ariawest. Satu-satunya investor asing yang masih berniat meneruskan mitra KSO hanyalah Singapore Telecom di Kawasan Timur Indonesia.
Padahal, kehadiran investor asing sangatlah dibutuhkan guna mempercepat penetrasi telepon. Apalagi dengan ditundanya kenaikan tarif telepon awal tahun ini, Telkom langsung menunda pembangunan ratusan ribu satuan sambungan telepon (SST) baru.
Indonesia butuh investasi lebih kurang 10 miliar dollar AS guna membangun jutaan SST sampai tahun 2005. PT Telkom hanya mampu membangun sekitar 700.000 SST per tahun dengan tarif telepon yang berlaku saat ini.
Rasanya sangat sulit menarik investor asing untuk melakukan investasi di jasa telepon tetap karena investasi di jasa seluler jauh lebih menggiurkan. Tingkat pengembalian modal di jasa telepon tetap jauh lebih lama daripada jasa telepon bergerak.
Di situlah kehadiran satu BRM dibutuhkan, bagaimana memberikan perangsang dan insentif berupa kompensasi istimewa sehingga investor asing mau menanamkan modal di jasa telepon tetap.
Konflik berkepanjangan lainnya yang perlu uluran tangan BRM adalah masalah penyediaan e-1 (baca: i-wan) bagi operator empat VoIP (Indosat, Satelindo, PT Atlasat Solusindo, dan PT Gaharu Sejahtera) dan permasalahan interkoneksi. Berdasarkan pengakuan keempat operator VoIP tersebut, Telkom enggan memberikan jaringan e-1 di beberapa provinsi sehingga mereka tidak bisa melayani pelanggan.
Untuk mendapatkan jaringan e-1, PT Telkom meminta dana cukup besar dari operator VoIP sebagai jaminan. Bahkan, Atlasat Solusindo sampai sekarang ini belum beroperasi penuh sehingga dana mulai terkuras karena tidak ada pemasukan.
Padahal, berdasarkan peraturan, PT Telkom wajib menyediakan dan memberikan jaringan e-1 kepada operator lainnya. Seandainya ada BRM, tentu bisa menegur kenapa Telkom enggan memberikan jaringan e-1 kepada operator VoIP, termasuk bagi penyedia jasa akses Internet.
Bila Telkom tidak mampu memberikan alasan tepat, BRM berhak memberikan hukuman dan jika perlu mencabut izin prinsipnya. Sama seperti kasus pemblokiran SLI Indosat, pihak regulator tidak berdaya menyelesaikan penyediaan e-1 dan di sini Telkom kembali menunjukkan arogansinya sebagai incumbent operator.
Akan tetapi, karena semua operator telekomunikasi dan operator penyedia nilai tambah masih menggantungkan diri kepada infrastruktur Telkom, mereka tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah. Inilah yang dinamakan unfair business, dan sulitnya mencapai level playing field disebabkan belum adanya satu badan yang betul-betul berdiri di atas kepentingan semua pihak.
Kasus pemberian lisensi kepada Gaharu dan Atlasat, misalnya, merupakan satu kebijakan yang keliru di mana pihak regulator lebih mengutamakan pengusaha besar daripada pengusaha kecil. Padahal, puluhan pebisnis-yang sudah lama menekuni bisnis jasa telekomunikasi-terabaikan, sebut saja yang menamakan diri Kelompok 12 yang nasibnya saat ini terkatung-katung. Belum lagi nasib serupa menimpa operator penyedia jasa kartu panggil (calling card) yang dirazia polisi.
Melihat banyaknya konflik yang belum terselesaikan di sektor telekomunikasi, tampaknya kehadiran BRM sudah begitu mendesak untuk direalisasikan jika industri telekomunikasi ingin maju. Karena, menunda badan tersebut berarti sama dengan membiarkan dan menambah persoalan. Tentu sukses tidaknya kehadiran badan baru tersebut tidak terlepas dari orang-orang yang duduk.
Itulah sebabnya siapa pun orang yang terpilih harus benar-benar mumpuni, berani bertindak, dan memberikan sanksi berat bagi operator besar jika memang terbukti bersalah. Karena, fungsi dan tanggung jawab badan tersebut bukan lagi sebagai macan ompong, tetapi lebih ke wasit yang punya taring.
Karidun Pardosi Pemerhati telekomunikasi

No comments: