Monday, July 19, 2004

BRTI "Transisi" Memprihatinkan

Selasa, 20 Juli 2004

Asmiati Rasyid

BANYAK pertanyaan tentang keberadaan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia atau BRTI yang dibentuk pemerintah akhir tahun 2003, yang menunjukkan salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga tadi. Berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 31 Tahun 2003, BRTI terdiri dari Komite BRTI (Dirjen Postel dengan empat anggota komite) dan didukung oleh staf Ditjen Postel. Artinya, regulator tetap dipegang oleh Ditjen Postel, tetapi struktur pimpinannya yang diganti.
JIKA dulu Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel) dipimpin hanya oleh direktur jenderal (dirjen) seorang diri, tetapi sekarang dipimpin oleh suatu komite yang terdiri dari lima orang, termasuk dirjen selaku ketua. Struktur pimpinan seperti ini ditujukan agar setiap keputusan dilaksanakan secara kolegial, tidak semaunya dirjen sendiri. Diharapkan dengan cara pengambilan keputusan seperti ini akan menjamin transparansi, ketidakberpihakan, dan akuntabilitas regulator.
Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Pada struktur organisasi yang dibuat, Komite BRTI terpisah dan tidak menyatu dengan dirjen sehingga Komite BRTI tidak memiliki garis komando langsung kepada staf ditjen yang ada sekarang ini.
Pada keputusan menteri (kepmen) itu, juga disebutkan bahwa keputusan BRTI adalah keputusan menteri atau dirjen. Artinya, Komite BRTI tidak berwenang mengeluarkan keputusan apa pun. Hal ini jelas tidak konsisten dengan konsep dan tujuan pembentukan BRTI.
Jika dipelajari, kondisi ini diakibatkan oleh dasar dan status hukum BRTI yang tidak jelas sehingga peran dan kewenangan BRTI juga menjadi tidak jelas dan bisa dibelok-belokkan oleh penguasa negeri ini. Sejauh ini, Menteri Perhubungan (Menhub) dan Dirjen Postel selalu berdalih bahwa BRTI yang sekarang ini baru bentuk "transisi", tanpa ada kejelasan sampai kapan transisi itu diberlakukan.
Ketidakinginan pemerintah membentuk badan regulator independen sebenarnya bisa dilihat dari proses pembuatan Undang-Undang (UU) Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999. Setelah melalui perjuangan yang melelahkan antara kelompok yang pro dan yang kontra, akhirnya Badan Regulator Independen (IRB) hanya dibunyikan pada penjelasan UU tadi.
Jadi, pembentukan BRTI memang tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Berbeda dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk atas amanat UU No 5/1999. Meskipun akhirnya BRTI dibentuk juga, mungkin itu dilakukan sekadar memenuhi salah satu persyaratan kenaikan tarif telepon sehingga BRTI yang dibentuk jauh dari yang diharapkan. Jadi, bukan masalah kurangnya konsep atau kurangnya benchmark (baca: Konsep Pembentukan Badan Regulator Independen, Asmiati Rasyid, Kompas 17 April 2003).
Lebih jelasnya lagi, pada Kepmen No 67/2003 dicantumkan bahwa BRTI hanya berwenang untuk mengatur penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi dasar yang telah dikompetisikan. Artinya, pengaturan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk badan usaha (Pasal 7 UU No 36/1999 serta Pasal 3 dan Pasal 45 Peraturan Pemerintah/PP No 52/2000), penyelenggaraan telekomunikasi tetap tertutup (Pasal 9 Butir 2-d PP No 52/2000), dan penyelenggaraan jasa nilai tambah (Kepmen No 21/2001) semua tetap dipegang oleh Ditjen Postel. Ini menunjukkan bahwa "bisnis-bisnis" empuk yang selama ini diatur oleh Ditjen Postel tidak boleh diganggu.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyedia jaringan untuk komunikasi internal suatu perusahaan atau perusahaan dengan pelanggannya (closed user group). Segmen pasarnya adalah perusahaan- perusahaan besar yang memiliki banyak cabang secara nasional ataupun internasional, seperti perbankan, perminyakan, dan pertambangan.
Demikian juga penyelenggaraan jaringan komunikasi untuk mendukung sektor pariwisata dan perdagangan, seperti jaringan reservasi untuk penerbangan, perhotelan, jaringan supermarket, dan McDonald’s. Permasalahannya, setelah dibukanya kompetisi, apakah segmen pasar yang potensial ini masih harus dikategorikan sebagai penyelenggaraan telekomunikasi khusus?
Pada UU dan PP-nya dijelaskan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi khusus ini hanya dibolehkan jika operator yang ada tidak mampu melayani kebutuhan perusahaan- perusahaan tersebut. Jelas, persyaratan ini sudah tidak relevan lagi. Malahan ada penyelenggara telekomunikasi khusus yang menyewakan jaringannya kepada pemakai lain, apalagi mekanisme untuk mendapatkan lisensinya juga tidak transparan.
Kasus yang sama terjadi pada penyelenggaraan jaringan tetap tertutup, yaitu penyelenggaraan jaringan yang hanya boleh disewakan kepada penyelenggara lain. Jaringan ini tidak boleh dipergunakan untuk keperluan sendiri.
Oleh karena itu, untuk mendukung iklim persaingan yang sehat dan untuk meningkatkan transparansi Ditjen Postel, seyogianya bentuk-bentuk penyelenggaraan seperti ini dikaji kembali.
Meskipun telah berganti nama menjadi BRTI, sampai sekarang Ditjen Postel belum memiliki mekanisme dan proses pembuatan aturan untuk menjamin transparansi dan fairness dari setiap regulasi yang dikeluarkan. Seperti biasa, kepmen- kepmen bisa muncul tanpa adanya konsultasi publik sehingga masyarakat sering kaget.
Satu kepmen dengan kepmen lainnya sering tidak konsisten bahkan bertentangan dengan PP atau UU yang berlaku. Malahan ada kepmen yang dinilai sangat sarat dengan pesan "sponsor". Demikian juga, belum tentu semua staf Ditjen Postel yang sekarang bisa ditransfer langsung menjadi staf BRTI. Karena itu, seleksi kompetensi dan moral harus dilakukan.
Sebagai gambaran, hanya 20 persen dari staf pemerintah yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi staf Malaysian Communications Multimedia Commission (MCMC) di Malaysia.
Ketidakseriusan ini juga bisa dilihat pada cara pemerintah memosisikan anggota komite yang baru mereka pilih akhir tahun lalu itu. Sampai-sampai Komite BRTI harus dipisahkan jauh-jauh dari staf Ditjen Postel, Komite BRTI berkantor di Jalan Gondangdia, bukan di Jalan Merdeka Barat. Wajarkah ini dilakukan, padahal posisi Komite BRTI seharusnya sebagai pimpinan Ditjen Postel. Jika kita berpikir positif, bisa saja ini dimaksudkan agar "orang- orang baru" ini tidak terkontaminasi.
Parahnya lagi, anggaran kegiatan Komite BRTI cukup diselipkan pada anggaran di direktorat-direktorat yang ada di Ditjen Postel. Dengan demikian, bisa saja usulan kegiatan Komite BRTI dicoret oleh staf Ditjen Postel.
Demikian juga proses penentuan personel anggota Komite BRTI, perlu dipertanyakan apakah anggota yang dipilih sesuai dengan kriteria tenaga yang dibutuhkan? (baca: Kriteria dan Komposisi Komite BRTI, Asmiati Rasyid, Kompas 25 September 2003). Jadi, yang dicari tenaga-tenaga profesional yang siap jadi regulator, memiliki kompetensi yang diakui dan memiliki wawasan nasional dan internasional dalam manajemen bisnis telekomunikasi.
Mestinya bukan orang-orang yang baru akan belajar seperti yang diakui oleh beberapa anggota Komite BRTI. Jadi, jangan sampai anggota komite yang diatur dan bisa dipermainkan oleh operator karena kalah pintar. Tentunya, untuk mendapatkan tenaga-tenaga yang profesional untuk menjadi komite regulasi, pemerintah harus berani bayar mahal.
Anggota Komite BRTI saat ini hanya digaji sekitar Rp 10 juta. Padahal yang diaturnya, BUMN atau perusahaan-perusahaan swasta, gaji dan pendapatan direksinya puluhan atau lebih dari seratus juta rupiah per bulan. Jangan sampai pula Komite BRTI menunduk-nunduk ke operator yang datang dengan mobil baru mengilat, sementara anggota komite cukup diberi mobil bekas eselon I Ditjen Postel.
Hal-hal ini sangat sensitif dan jabatan regulator ini rawan akan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Untuk menjaga eksistensi komite, jangan beri kesempatan para pelaku bisnis "mendandani" Komite BRTI. Mengingat tanggung jawab dan besarnya bisnis yang dikelola, Komite BRTI selayaknya dibayar sesuai dengan harga pasar untuk seorang profesional, minimal Rp 60 juta atau bisa lebih besar lagi atau setara dengan gaji Direktur Utama PT Telkom. Diharapkan gaji yang tinggi itu bisa dijadikan penangkal KKN agar tidak mempan "dibayar" oleh operator-operator.
Namun, meski bayarannya besar, belum tentu ada jaminan bersih. Akhirnya kembali pada moral dan mental personelnya lagi. Oleh karena itu, kriteria integritas dengan track record (rekam jejak) bersih KKN sangat penting bagi personel-personel Komite BRTI.
Juga perlu diperhatikan kedekatan hubungan antara regulator dan operator harus dibatasi. Untuk hal ini, mungkin ada baiknya dilakukan benchmark bagaimana disiplinnya anggota-anggota KPPU dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Atas pertimbangan aspek strategis dan ekonomis, pada dasarnya bisa saja fungsi regulator itu tetap dikuasai oleh pemerintah. Seperti di Inggris dan Malaysia, regulator mereka juga dipegang oleh pemerintah. Malahan di Jepang regulatornya adalah Menpostel (baca: Konsep Pembentukan Badan Regulator Independen, Asmiati Rasyid, Kompas 17 April 2003).
MCMC regulator di Malaysia juga berada di bawah menteri. Namun, pemisahan fungsi dan kewenangan antara menteri dan MCMC dicantumkan dengan jelas pada UU. Di samping itu, ada UU tentang MCMC yang mencantumkan secara jelas kriteria dan komposisi komite, pengangkatan dan pertanggungjawaban komite, sumber pendanaan, remunerasi anggota komite, dan masa jabatan.
Dengan demikian, meskipun posisi MCMC di bawah menteri, namun karena dasar dan status hukumnya jelas, maka independensi dan profesionalisme terjamin. Karena itu, pembentukan MCMC di Malaysia ini bisa dijadikan salah satu contoh untuk pematangan BRTI.

Asmiati Rasyid Pendiri Pusat Studi Regulasi Telekomunikasi Indonesia, dan Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen Bandung

No comments: