Tuesday, July 20, 2004

2004Mempersoalkan Siapa Pemberi Izin Siaran

Selasa, 20 Juli /Republika

S Sinansari ecipWakil Ketua KPI Pusat

Terjadi semacam ''jalan buntu'' tentang kewenangan siapa yang memberi izin penyelenggaraan siaran media elektronika. Dalam berbagai pertemuan terbelah pendapat. Kantor Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) berpendapat yang memberi izin adalah pemerintah (Kominfo) yang bertindak atas nama negara. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) beranggapan KPI-lah pemberi izin karena KPI adalah lembaga negara independen yang ditugasi undang-undang untuk mengurus penyiaran.
Sementara itu, KPI hampir menyelesaikan naskah Standar Program Siaran (SPS) dan Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP), yang akan dipakai acuan isi lembaga penyiaran. Bersama pemerintah KPI juga tengah menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) lembaga penyiaran. Meski sekretariatnya compang-camping karena belum memadainya dukungan pemerintah, KPI tetap bekerja, tipikal akademisi dan aktivis LSM.
Kedua kelompok tatanan di atas adalah pesan Undang-undang No 32/2002 tentang Penyiaran. SPS dan PPP akan diberlakukan pada akhir Agustus 2004. RPP diharapkan ditandatangani Presiden (menjadi peraturan pemerintah), sebelum berakhirnya masa jabatan presiden yang sekarang.
RPP tentang penyiaran berisi pasal-pasal mengenai tatanan baru media elektronika, yang dikelompokkan ke dalam 4 RPP. Keempatnya berisi segala sesuatu tentang lembaga penyiaran swasta, publik, komunitas, dan berlangganan. Untuk lembaga penyiaran swasta televisi tidak lagi ada stasiun yang bersiaran secara nasional penuh. Semua stasiun televisi dan radio adalah stasiun lokal yang bisa bekerja sama jaringan (terbatas) dengan sesamanya.
Banyak pasal RPP (yang disiapkan Kantor Kominfo) dalam diskusi dengan berbagai pihak, mulus tanpa kesulitan disetujui. Namun, ada pasal-pasal yang menyangkut kewenangan, berhenti di jalan buntu. Sebenarnya, siapakah yang berkewenangan dalam pemberian izin siaran?
Bunyi undang-undangNegara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk menyelenggarakan peyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Undang-undang No 32/2002, Pasal 6 Ayat 2). Lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran (Pasal 33 Ayat 1). Untuk mendapat izin atau perpanjangan izin, harus lebih dulu dievaluasi dan memperoleh rekomendasi kelayakan oleh KPI, memperoleh hasil rapat bersama KPI dan pemerintah, memperoleh izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh pemerintah (Departemen Perhubungan) atas usul KPI. Setelah itu, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melalui KPI (Pasal 33, Ayat 4 dan 5).
KPI berpendapat, sesuai pasal di atas, pemberi izin penyelenggaraan penyiaran adalah KPI atas nama negara. Kalangan pemerintah tertentu beranggapan, ''izin diberikan negara melalui KPI'' itu berarti KPI hanya sebagai loket tempat keluarnya izin. Malah ada yang mengatakan KPI hanya sebagai pengantar surat saja. KPI tetap beranggapan, negara di sini sama sekali tidak dapat diterjemahkan sebagai pemerintah. Di dalam undang-undang sama sekali tidak pernah disebutkan negara adalah pemerintah.
Sebaliknya, dalam UU 32/2002 disebutkan bahwa KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen (Pasal 7 Ayat 2). KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran (Pasal 8 Ayat 1).
Sejauh ini, izin frekuensi memang berada di tangan pemerintah karena pemerintah yang berhubungan antarnegara dalam kaitan frekuensi radio.
Untuk mencoba memecahkan kebuntuan ini, Kominfo mengundang beberapa mantan pimpinan pansus RUU Penyiaran dan KPI. Sikap anggota DPR Paulus jelas, cenderung sama dengan pendapat KPI. Dua anggota DPR yang lain, memberi pendapat yang kurang mantap. Tanpa memperhatikan ingatan Paulus, Menkominfo tetap berkukuh pada pendapatnya.
Kabar dari AcehTidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Menkominfo Syamsul Muarif ''menyerang'' KPI dari nun jauh di sana, Aceh. Konteksnya tidak jelas, tetapi dimuat oleh surat kabar Jakarta. Kebuntuan soal kewenangan pemberian izin diberinya komentar agar KPI membuat draf RPP yang lain.
Selama KPI berdiri (berumur 6,5 bulan), KPI tidak pernah dianggap akan menjadi monster oleh industri penyiaran, seperti sangkaan Menkominfo dari Aceh tersebut. Sebagian besar mereka berharap KPI akan menjadi regulator yang sebaik-baiknya. Kalau ada yang khawatir, itu hanyalah sebagian kecil stasiun televisi.
Pada bagian yang lain, Menkominfo menuduh KPI ngambek. '''Jika ngambek-ngambekan, Kominfo tidak akan mengurus KPI,'' demikian ucapan menteri seperti dikutip koran itu. KPI tidak pernah ngambek. Dari mana menteri mendapat informasi menyesatkan tersebut? Bila Kantor Kominfo tidak mengurusi lagi KPI (sebelum berdiri sendiri), maka terjadi pelanggaran atas UU No 32/2002 dan Kepres No 267/M/2003 tentang pengangkatan anggota KPI.
DPR kontra pemerintahPada 24 Mei 2004, Komisi I DPR mengundang KPI dalam rapat dengar pendapat. Itu adalah undangan kedua dalam usia belum lima bulan KPI. KPI dimintai keterangan tentang apa saja yang telah dikerjakan dan apa masalah yang dihadapi. Dalam salah satu butir rekomendasi tertulisnya, Komisi I menyimpulkan bahwa wewenang satu-satunya memberi izin penyelenggaraan siaran adalah KPI.
Di lain pihak, pada suatu kesempatan di hadapan KPI, Menkominfo mengatakan bahwa ''tidak melepaskan wewenang pemberian izin'' adalah pesan sidang kabinet. Mungkin ada kekhawatiran, media cetak sudah tanpa izin hingga oleh beberapa kalangan dianggap keblablasan, media elektronika harus ''dibina dan dikendalikan.''
Pertanyaan kemudian timbul, benarkah itu pesan dan sikap kabinet atau pemerintah? Jika benar, agak menyimpang dari amanat dan amanah UU No 32/2002. Semangat undang-undang tersebut sangat reformis. Jika media elektronika izinnya diberikan oleh pemerintah maka semangat undang-undang yang reformis tersebut dihilangkan. Ini tidak boleh jadi.
Bagaimana kelanjutannya?Dewasa ini, RPP lembaga penyiaran yang sedang dalam proses tahap-tahap akhir, menghadapi jalan buntu. Jika lancar, RPP final akan diserahkan ke Sekretariat Kabinet untuk ditandatangani Presiden. Menurut rencana semula, pemerintah akan menyelenggarakan dua kali debat publik lagi untuk menerima masukan/perbaikan atas draf RPP.
Dalam debat publik pertama yang diselenggarakan di Jakarta dua pekan yang lalu, sikap masyarakat sangat tegas. Mereka minta agar ''sengketa'' KPI dan pemerintah tentang kewenangan diselesaikan dulu sebelum debat dilanjutkan ke dua kota yang lain. KPI dan Kominfo setuju untuk menunda debat berikutnya.
Semangat masyarakat, terutama kalangan perguruan tinggi, sebagian besar lembaga penyiaran, LSM, media cetak, sangat reformis. Akan terdapat perlawanan -- setidaknya penghalangan -- yang besar dari masyarakat, jika pemerintah memaksakan kehendak sebagai pemberi izin lembaga penyiaran.
Persoalan bengkakMenurut pimpinan pusat PRSSNI (persatuan radio swasta), jumlah radio siaran dewasa ini mencapai sembilan ribuan. Ini perkembangan luar biasa banyak dan cepat. Sedihnya, sebagian besar radio itu tanpa izin yang sewajarnya atau tanpa izin sama sekali. Penataan kanal baru memang telah dan tengah dilakukan oleh radio-radio yang telah mapan, tetapi jumlahnya sedikit. Jumlah yang lebih besar bermodal rekomendasi lokal dan yang gelap.
Stasiun-stasiun televisi lokal (swasta) juga bermunculan di kota-kota besar dan menengah. Di tiap kota, bahkan didirikan lebih dari satu stasiun televisi. Sebagian besar belum berizin yang semestinya bahkan ada yang gelap.
Perkembangan kedua jenis stasiun media elektronika itu merupakan hutan belantara baru yang menjadi pekerjaan rumah KPI. Penataannya memerlukan waktu dan perhatian khusus.
Tak bercabangJalan buntu memang tak bercabang. Bisa jadi debat publik tidak dilanjutkan bila pemerintah ''belum rela'' menyerahkan kewenangan kepada KPI seperti dimaui undang-undang. Tidaklah mungkin masing-masing draf (dari pemerintah dan KPI) bersama-sama diserahkan ke Sekretariat Kabinet. Hanya satu naskah yang harus diserahkan untuk proses akhir. Agak janggal bila Sekab memilih salah satu karena mereka tentu kurang paham substansi RPP,
Tidak ada yang tahu, bagaimana bila memang jalan buntu itu benar-benar buntu. DPR sudah tidak ada waktu lagi untuk campur tangan karena produknya (undang-undang) telah dilepas ke masyarakat. Mereka menghadapi pergantian oleh anggota baru DPR. Pemerintah mungkin akan berganti. Beberapa departemen dan kantor menteri akan diperbaiki. Rincian pekerjaan akan mempertegas tugas mereka.
Saat pergantian DPR dan pemerintah hasil pemilu sudah dekat. Jika nanti pada saat itu RPP belum menjadi PP Penyiaran, maka DPR dan pemerintah meninggalkan utang.

No comments: