Monday, July 04, 2005

"Open Source" dan Wajah Warnet Nusantara

Kompas, 4 Juli 2005


Agus, demikian ia mengenalkan diri, di siang terik itu langsung gugup ketika ditemui di warung internetnya yang baru beroperasi dua bulan. Kegugupannya makin menjadi ketika pembicaraan menyinggung isu razia penggunaan peranti lunak bajakan di warnet-warnet.

Semula ia menolak berbincang lebih jauh dan merujuk warnet lain, tetapi setelah dibujuk-bujuk akhirnya dia mau juga dengan berbagai persyaratan. ”Jangan sebut nama saya maupun warnetnya ya,” katanya.

Belakangan ketahuan, sumber kegugupan Agus adalah beberapa aplikasi peranti lunak di enam unit komputernya adalah hasil bajakan. Ia mengaku hanya dua yang berperanti lunak berlisensi.

Bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu. Semua itu dilakukan untuk segera menambah modal karena ia harus mengembalikan tanggungan kerugian puluhan juta rupiah akibat tempat usahanya itu dibobol maling. ”Baru jalan dua bulan sudah ada razia, waswas juga saya,” ucapnya.

Ia sebenarnya sudah berusaha mematuhi ketentuan dengan bermigrasi ke aplikasi berbasis open source seperti Linux. ”Tapi pelanggan saya pada pergi,” katanya.

Ia masih mengaplikasikan beberapa program berbasis open source seperti Mozilla browser dan aplikasi perkantoran open office. Agar pelanggan warnetnya tidak kaget, aplikasi perkantoran itu di tampilan komputernya ia tulis ”gantinya ms word”, ”gantinya power point”, atau ”gantinya excel”.

Cermin situasi

Kekhawatiran Agus bisa jadi ”wajah” ribuan pengelola warnet di seluruh Nusantara. Sebagai bisnis kelas kecil dan menengah, modal sudah tentu terbatas. Untuk bertahan, kreativitas seperti menggunakan peranti lunak bajakan atau mengopi tanpa izin jamak dilakukan. Siapa mau merugi?

Di Semarang, kondisi ber-”ilegal ria” itu malah sudah dimanfaatkan sejumlah oknum. Dengan alasan sudah ada undang-undangnya, polisi menggerebek warnet yang dianggap mengomersialkan aplikasi komputer tanpa izin. Malah mereka juga menyita puluhan komputer dan untuk menebusnya, si pemilik harus menyerahkan sejumlah uang. ”Tidak ada perintah operasi khusus dari kami,” kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Soenarko D Ardanto ketika dikonfirmasi beberapa waktu lalu.

Perintah khusus memang tidak ada, tetapi peristiwa di lapangan telanjur menimbulkan korban dan menebar kekhawatiran. Padahal tak terhitung pelajar, mahasiswa, karyawan, dan masyarakat umum yang banyak bergantung kepada keberadaan warnet.

Ingin bukti? Lihat saja warnet-warnet di sekitar kampus pada hari biasa, apalagi masa libur. Tak sedikit para pengguna yang harus patungan untuk menyiasati keterbatasan uang saku mereka.

Ketua Umum Federasi Teknologi Informasi Indonesia Teddy Sukardi mengatakan, mahalnya harga produk peranti lunak, di antaranya buatan Microsoft, terkait dengan cost of ownership.

Oleh karena itu, menggunakan peranti lunak bajakan tetaplah melanggar hukum.

Persoalannya kini jalan keluar harus diupayakan demi ribuan tenaga kerja yang bergantung pada usaha warnet serta jutaan pelajar dan mahasiswa yang menggunakannya.

”Open source”

Aplikasi berbasis open source merupakan jawaban atas persoalan yang kembali muncul. ”Selain perlu ada contoh warnet open source, harus diciptakan pula infrastruktur untuk replikasinya,” kata Teddy.

Pakar teknologi komunikasi dan informasi Onno W Purbo berpendapat, open source harus dikenalkan sejak jenjang SMP/SMA.

Menurut dia, tidak sedikit orang Indonesia terkenal di kalangan komunitas open source. Sebagian aktif mengisi situs web open source.

”Mewujudkan aplikasi komputer yang murah sebenarnya mudah, tergantung pemerintahnya saja,” paparnya.

Salah satu yang disayangkan, pemimpin negeri ini justru mendekatkan diri dengan industri peranti lunak dunia yang mengklaim hak kepemilikan (proprietary) yang bermarkas di Redmont, Amerika Serikat.

Tampaknya Indonesia perlu belajar dari Thailand, yang intensif mengembangkan produk aplikasi komputer berbasis open source.

Kalau saja Agus tinggal di Thailand, ia tidak perlu lagi pucat mendengar kata ”razia”.(Gesit Ariyanto)