Monday, July 04, 2005

"Open Source" dan Wajah Warnet Nusantara

Kompas, 4 Juli 2005


Agus, demikian ia mengenalkan diri, di siang terik itu langsung gugup ketika ditemui di warung internetnya yang baru beroperasi dua bulan. Kegugupannya makin menjadi ketika pembicaraan menyinggung isu razia penggunaan peranti lunak bajakan di warnet-warnet.

Semula ia menolak berbincang lebih jauh dan merujuk warnet lain, tetapi setelah dibujuk-bujuk akhirnya dia mau juga dengan berbagai persyaratan. ”Jangan sebut nama saya maupun warnetnya ya,” katanya.

Belakangan ketahuan, sumber kegugupan Agus adalah beberapa aplikasi peranti lunak di enam unit komputernya adalah hasil bajakan. Ia mengaku hanya dua yang berperanti lunak berlisensi.

Bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu. Semua itu dilakukan untuk segera menambah modal karena ia harus mengembalikan tanggungan kerugian puluhan juta rupiah akibat tempat usahanya itu dibobol maling. ”Baru jalan dua bulan sudah ada razia, waswas juga saya,” ucapnya.

Ia sebenarnya sudah berusaha mematuhi ketentuan dengan bermigrasi ke aplikasi berbasis open source seperti Linux. ”Tapi pelanggan saya pada pergi,” katanya.

Ia masih mengaplikasikan beberapa program berbasis open source seperti Mozilla browser dan aplikasi perkantoran open office. Agar pelanggan warnetnya tidak kaget, aplikasi perkantoran itu di tampilan komputernya ia tulis ”gantinya ms word”, ”gantinya power point”, atau ”gantinya excel”.

Cermin situasi

Kekhawatiran Agus bisa jadi ”wajah” ribuan pengelola warnet di seluruh Nusantara. Sebagai bisnis kelas kecil dan menengah, modal sudah tentu terbatas. Untuk bertahan, kreativitas seperti menggunakan peranti lunak bajakan atau mengopi tanpa izin jamak dilakukan. Siapa mau merugi?

Di Semarang, kondisi ber-”ilegal ria” itu malah sudah dimanfaatkan sejumlah oknum. Dengan alasan sudah ada undang-undangnya, polisi menggerebek warnet yang dianggap mengomersialkan aplikasi komputer tanpa izin. Malah mereka juga menyita puluhan komputer dan untuk menebusnya, si pemilik harus menyerahkan sejumlah uang. ”Tidak ada perintah operasi khusus dari kami,” kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Soenarko D Ardanto ketika dikonfirmasi beberapa waktu lalu.

Perintah khusus memang tidak ada, tetapi peristiwa di lapangan telanjur menimbulkan korban dan menebar kekhawatiran. Padahal tak terhitung pelajar, mahasiswa, karyawan, dan masyarakat umum yang banyak bergantung kepada keberadaan warnet.

Ingin bukti? Lihat saja warnet-warnet di sekitar kampus pada hari biasa, apalagi masa libur. Tak sedikit para pengguna yang harus patungan untuk menyiasati keterbatasan uang saku mereka.

Ketua Umum Federasi Teknologi Informasi Indonesia Teddy Sukardi mengatakan, mahalnya harga produk peranti lunak, di antaranya buatan Microsoft, terkait dengan cost of ownership.

Oleh karena itu, menggunakan peranti lunak bajakan tetaplah melanggar hukum.

Persoalannya kini jalan keluar harus diupayakan demi ribuan tenaga kerja yang bergantung pada usaha warnet serta jutaan pelajar dan mahasiswa yang menggunakannya.

”Open source”

Aplikasi berbasis open source merupakan jawaban atas persoalan yang kembali muncul. ”Selain perlu ada contoh warnet open source, harus diciptakan pula infrastruktur untuk replikasinya,” kata Teddy.

Pakar teknologi komunikasi dan informasi Onno W Purbo berpendapat, open source harus dikenalkan sejak jenjang SMP/SMA.

Menurut dia, tidak sedikit orang Indonesia terkenal di kalangan komunitas open source. Sebagian aktif mengisi situs web open source.

”Mewujudkan aplikasi komputer yang murah sebenarnya mudah, tergantung pemerintahnya saja,” paparnya.

Salah satu yang disayangkan, pemimpin negeri ini justru mendekatkan diri dengan industri peranti lunak dunia yang mengklaim hak kepemilikan (proprietary) yang bermarkas di Redmont, Amerika Serikat.

Tampaknya Indonesia perlu belajar dari Thailand, yang intensif mengembangkan produk aplikasi komputer berbasis open source.

Kalau saja Agus tinggal di Thailand, ia tidak perlu lagi pucat mendengar kata ”razia”.(Gesit Ariyanto)

Wednesday, April 13, 2005

Bentuk Bisnis TNI

Selasa, 12 April 2005 20:45:00
http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=194183&kat_id=23

Laporan: Muhamad Nurcholis


Jakarta-RoL -- Hasil kajian The Ridep (Research and Development) Institute menyebutkan sebagian besar bisnis TNI AL berbentuk yayasan dan koperasi.

Yayasan yang dimaksud memiliki sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran, perikanan, perdagangan umum, kargo dan laut, perbankan, perkayuan, transportasi, forwarder dan ekspedisi laut, dan sebagainya. ''Dari 29 usaha dari yayasan AL yang berorientasi bisnis, 16 di antaranya memang sudah dijual, enam aset segera menyusul, sedangkan empat lainya akan dipertahankan,'' ujar salah satu peneliti The Ridep Institute, Mochamad Nurhasim, kepada Republika di Jakarta, Selasa (12/4).

Kajian itu juga mengungkapkan Yayasan Bumiyamca yang dikelola TNI AL, memiliki 36 perusahaan yang bergerak di beragam sektor usaha. Di antaranya, Perusahan Jala Bhakti Yashbum Holding Company, Pelayaran Admiral Lines, Trisila Laut (transportasi penyeberangan dengan 32 feri), Yala Mina Yashburn (perikanan), Yala Gada (perdagangan umum), EMKL Yala Gita Dwi (kargo laut), Bhumyamca Sekawan (kawasan industri Cilandak dan properti), Yala Trada (perdagangan umum), Sekolah Hang Tuah (pendidikan), Samudra Gunadharma (konstruksi), dan PBM Adi Gunung Persada (transportasi).

Sayangnya, banyak perusahaan yang dikelola TNI AL itu, kata Hasyim, kurang memberi keuntungan yang baik. Ini terjadi karena pengelolaan bisnis mereka kurang profesional, dan kurang adanya mitra usaha pendukung guna mengembangkan bisnis dalam skala besar. ''Ke-16 yayasan dan beberapa perusahaan yang disebut di atas, hanya mendapat keuntungan 7 miliar setahun.''

Sementata TNI AD ada Yayasan Kartika Eka Paksi yang menaungi 52 jenis usaha. Diantaranya, PT Tri Usaha Bhakti (general trading), PT Adhi Kartika Satria (distributor elpiji), PT Cilegon Fabrikator (industri), PT Indo Treba Tengah Palm Oil, plywood (logging), ITCI Kartika Utama, Numeransi Sakti Indonesia, Artha Graha (perbankan), Kartika Plaza Hotel, PT Kobame Kopertindo (Graha Shopping Center (Mall), KMP Tribuana (Logging Konsession) yang juga bergerak di bidang Metanol Distributiondengan PT Pertamina.

Selain itu, ada Yayasan Darma Putra Kostrad memiliki 22 jenis usaha industri, diantaranya Pakarti Yoga (trading), Astra Basic Industri (trading), Rail Industrial State, Asuransi Beringin Sejahtera, Asuransi Wahana Tata, Indosoez Indonesia Bank, dan perusahaan lainnya.

Monday, April 04, 2005

'Target SST agar ditetapkan'

Bisnis Indonesia, 4/4/05

JAKARTA (Bisnis): Serikat Karyawan (Sekar) PT Telkom meminta pemerintah menetapkan target jumlah satuan sambungan telepon (SST) yang lebih tegas kepada setiap operator terkait pelaksanaan restrukturisasi di sektor telekomunikasi.
Wartono Purwanto, Ketua Sekar Telkom, menandaskan komitmen pemerintah untuk memajukan sektor telekomunikasi dengan mulai memberlakukan duopoli sebagai sasaran antara menuju multioperator sudah positif dan perlu didukung semua pihak.

Meski demikian, kata dia, untuk memacu semua operator agar membangun basis pelanggannya sendiri pemerintah perlu menetapkan target jumlah yang lebih tegas agar tujuan untuk meningkatkan penetrasi telekomunikasi bisa dicapai.

"Teledensitas kita masih rendah sehingga jumlah satuan sambungan yang harus dibangun layak diperhitungkan. Basis pelanggan adalah nilai unggul dari sebuah operator telekomunikasi," ujarnya akhir pekan lalu.

Pernyataan Sekar Telkom itu menanggapi Pengumuman Menteri Komunikasi dan Informatika No. 92/M.Kominfo/2005 tanggal 1 April 2005 tentang Penerapan kode akses sambungan langsung jarak jauh (SLJJ).

Sekar Telkom, tandas dia, menyambut positif keputusan Menteri Kominfo tersebut dan sangat memahami sulitnya posisi Menteri Kominfo dalam mengambil keputusan yang tepat tentang kode akses SLJJ.

Meskipun masih perlu dicermati implementasinya, menurut pandangan Sekar, dengan mempertimbangkan kompleksitas persoalan yang dihadapi, apa yang diputuskan oleh Menteri Kominfo mungkin yang paling bisa diterima oleh semua pihak saat ini.

Sementara itu, manajemen Telkom menyatakan kode akses untuk telepon SLJJ pelanggannya tetap seperti yang ada saat ini. Mundarwiyarso, juru bicara Telkom, menyatakan BUMN itu belum menggunakan kode akses 017 untuk SLJJ sehingga pelanggan tetap menggunakan kode awalan 0 untuk melakukan panggilan jarak jauh.

"Misalkan untuk ke Jakarta tetap menggunakan 021, ke Bandung 022, ke Surabaya 031, dan seterusnya. Jadi tidak ada yang berubah."

Telkom, lanjutnya, mengimbau pengguna jasa telekomunikasinya untuk tidak mengganti kartu nama, kertas surat, atau bentuk administrasi apa pun yang terkait nomor telepon karena tidak ada yang berubah. (jha/swi)

Sunday, April 03, 2005

Audit Lisensi dan Frekuensi 3G

Senin, 04 April 2005


Kompas

SAYA prihatin dengan kekisruhan yang ditimbulkan Cyber Access (CAC) dengan berita 9 Maret 2005 "Hutchison Telecom to Acquire 60% Stake In Cyber Access, Indonesia" (http://www. tmcnet.com). Komisi V DPR jelas melarang CAC menjual saham. Asmiaty Rasyid dan Komisi V meminta mencabut lisensi dan tender sampai Menteri Sofyan Djalil pun pusing (Koran Tempo, 24 Maret 2005) dan menyatakan Cyber Access milik Charoen Phokpand sebagai "license broker" (http:// www.jeffooi.com, 14 Maret 2005).

Suasana memanas, akhirnya Menteri Sofyan Djalil menyatakan bahwa pemerintah akan mengaudit lisensi frekuensi. Sialnya, ditambah pernyataan incumbent untuk memperoleh alokasi frekuensi 3G (Kompas, 21 Maret 2005). Bahkan incumbent mengklaim penurunan nilai saham karenanya (Kompas, 18 Maret 2005). Bagaimana nilai saham tidak turun kalau quality of service belum baik?

Semoga pernyataan pemerintah (c.q. Menkominfo) tidak ditunggangi, tidak dimanfaatkan, dan tidak membodohi rakyat awam Indonesia.

Pemerintah tampaknya mencampuradukkan antara teknologi komunikasi (3G) dan alokasi frekuensi. Dua hal berbeda cukup jauh, kebetulan disatukan dalam lisensi 3G yang diberikan ke CAC. Pemerintah perlu mempertajam, apakah ingin mengaudit lisensi penyelenggaraan operasinya atau mengaudit frekuensi operasinya? Incumbent jelas dan eksplisit meminta frekuensinya.

M>small 2small 0< kita lihat satu per satu. Teknologi 3G ada beberapa (http://www.mrvfone.com.au/vfone/3g/), yaitu GSM (WCDMA) di 2 GHz, CDMA 1X EV-DO (1,9 GHz), dan yang akan datang SCDMA (2 GHz). Perlu dicatat bahwa teknologi yang digunakan di Flexi, StarOne, dan Mobile-8/Fren, yaitu CDMA 1X, di kenal sebagai teknologi 2,75 GHz yang tak jauh dari 3G dan tinggal mengaktifkan beberapa fiturnya untuk menjadi 3G. Dalam kalimat sederhana, sebetulnya Flexi, StarOne, dan Mobile-8/Fren sudah 3G ready. Memang mereka tidak memperoleh lisensi penyelenggara 3G, tetapi teknologinya 3G ready. Telkomsel pun berusaha mengembangkan GSM ke 3G (Bisnis Indonesia, 3 November 2004).

Jika pemerintah ingin bertindak tegas dan adil mengaudit lisensi penyelenggara 3G, tidak bisa hanya mengaudit CAC, Excelcom, dan Lippo Telecom. Pemerintah harus mengaudit operator seluler maupun Fixed Wireless Access (FWA) yang non-3G, tetapi 3G ready.

Isu kedua adalah frekuensi. Mari kita lihat apa alokasi frekuensi 3G? Di Amerika Serikat, FCC (http://www.fcc.gov/3G/) sedang berusaha menetapkan alokasi frekuensi 3G pada pita frekuensi 1710-1770 MHz dan 2110-2170 MHz (2x60MHz). Dunia selain Amerika Serikat (http://www.3g-generation.com /3g_spectrum.htm) menggunakan alokasi yang agak berbeda, yaitu 1890-2025 MHz, yang tumpang tindih dengan teknologi UMTS TDD dan DECT. Sedangkan frekuensi 2110-2200 MHz yang tumpang tindih dengan teknologi UMTS FDD, dan frekuensi 2500-2690 MHz yang ada hari ini tumpang tindih dengan IndoVision.

Pertanyaannya, apakah benar hanya tiga operator saja di Indonesia yang menggunakan alokasi frekuensi 3G? Jelas pada pita frekuensi 1885-2025 MHz (lebar 140MHz), 2110-2200 MHz (lebar 90MHz), dan 2500-2690 MHz (lebar 190MHz) tidak mungkin hanya digunakan oleh tiga operator seperti yang diklaim beberapa pakar dan pemerintah.

Jelas dan eksplisit di web TelkomFlexi (http://www.telkomflexi.com) maupun forum diskusi TelkomFlexi (http://www. plasa.com/phpBB2/woltlab/wbboard/main.php) bahwa TelkomFlexi menggunakan frekuensi 1,9 GHz yang merupakan frekuensi 3G sejak tahun 2002!

D>small 2small 0< kumpulan informasi yang diperoleh berbagai sumber yang lumayan akurat dapat disimpulkan, pertama, saat ini paling tidak ada delapan operator yang memperoleh tambahan frekuensi 3G secara langsung, bahkan, kedua, Telkom dan Indosat sudah memperoleh frekuensi 3G sejak tahun 2002.

Gambaran kondisi lisensi serta frekuensi 3G di Indonesia adalah sebagai berikut. Ada beberapa operator sudah beroperasi dan memperoleh tambahan frekuensi 3G setelah operasi, yaitu Telkom (FWA TelkomFlexi CDMA 1X 1,9 GHz) dan Indosat (FWA StarOne CDMA 1X 1,9 GHz) tahun 2002. Sedangkan NTS di 2 GHz tahun 2004. Tahun 2000, TelkomSel, Excelcom, dan Indosat memperoleh 1,8 GHz. Tahun 2004, Excelcom memperoleh tambahan untuk TDD di 2 GHz.

Ada pula perusahaan yang sudah mendapatkan lisensi dan frekuensi 3G, tetapi belum beroperasi, yaitu WIN (1,9 GHz), Primasel (1,9 GHz), dan termasuk CAC (2 GHz). Beberapa catatan tambahan, WIN memperoleh lisensi komunikasi data (bukan seluler) dan frekuensi 3G di tahun 2001. Primasel memperoleh lisensi seluler dan frekuensi 3G di tahun 2004. Sedangkan CAC memperoleh lisensi seluler dan frekuensi 3G di tahun 2003.

Beberapa saran implementasi auditing jika pemerintah (Kominfo) ingin mengaudit. Audit semua penerima frekuensi 3G secara adil dan transparan, termasuk Telkom, Telkomsel, Indosat, Cyber Access, NTS, Excelcom, Primasel, dan WIN. Tidak adil jika audit hanya salah satu operator saja. Audit harus melibatkan seluruh operator yang sudah beroperasi. Sialnya, kemungkinan ini memberikan dampak negatif pada industri telekomunikasi keseluruhan.

K>small 2small 0< tujuan pemerintah hanya ingin tahu mengapa pengusaha makanan ayam dan agribisnis, seperti Charoen Phokpand (http://www.cpthailand. com), dapat mendapatkan lisensi 3G, karena operator seluler justru dilarang turut tender 3G. Karena itu, sebaiknya audit fokus pada CAC saja supaya tidak meresahkan operator dan investor yang memang sudah memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

Pemerintah jangan mengaudit karena ingin unjuk gigi, mencari sensasi dan popularitas, yang pada akhirnya detrimental bagi industri telekomunikasi. Jangan pula melakukan audit karena lobi-lobi perorangan atau instansi tertentu.

Pemerintah (c.q. Menkominfo) harus bersikap tegas agar desas-desus tidak berkembang lebih jauh. Apakah hanya CAC atau semua operator akan diaudit, harus secara tegas dan eksplisit dikatakan.

Tentu cerita akan lebih menarik kalau dilakukan audit juga pada Ditjen Postel. Termasuk audit mekanisme modern licensing dari Ditjen Postel yang memungkinkan CAC memperoleh izin penyelenggaraan padahal tidak terdengar operasinya. Keberadaan lisensi operasional CAC yang menyebabkan kemudahan dalam "menjual kecap".

Dr Onno W Purbo, Penulis Teknologi Informasi Independen, Mantan Dosen ITB

Friday, March 18, 2005


THis is the invitation from University of Manchester Posted by Hello

Thread debat BBM ala intelektual

Jumat, 18 Maret 2005



Kenaikan Harga BBM
Model LPEM dan Bukti Empiris Sebuah Tanggapan

Muhammad Chatib Basri

Saya amat menikmati tulisan yang disampaikan teman sekolah saya, Iman Sugema (IS), di Harian Kompas (17/3/2005). Dalam ilmu logika, bila seseorang mengemukakan sebuah penalaran yang salah dan ia sendiri tidak melihat kesalahannya, penalaran ini disebut paralogis. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari hal ini adalah memperdebatkannya sehingga kita bisa melihat kesalahan yang tidak kita lihat sebelumnya. Ada beberapa komentar saya mengenai tanggapan IS.
PERTAMA, ada kemajuan yang berarti dalam diskusi kebijakan publik kita. Saya sulit membayangkan dalam beberapa tahun lalu, bagaimana argumentasi akademik dari dasar pengambilan kebijakan didiskusikan secara terbuka. Baik studi Ihksan, Dartanto, Usman (LPEM) maupun Oktaviani, keduanya menggunakan basis akademik dalam mengambil kesimpulannya. Ini adalah kemajuan besar.
Mereka yang mempelajari ekonomi politik kebijakan di Indonesia tahu: proses ini nyaris absen dalam periode-periode sebelumnya. Sayangnya tulisan yang amat baik dari IS ditutup dengan kesimpulan soal ideologi dan etika yang mempertanyakan kredibilitas lembaga. Di sini saya kira IS terjebak pada kesesatan logika yang disebut argumentum ad hominem, di mana ketimbang mengkritik argumentasinya, yang dikritik justru kredibilitas orang atau lembaganya. Menyedihkan bila seorang akademisi terjebak dalam kesesatan logika ini.
Kedua, kedua penelitian ini dibangun di atas dasar teori dan hipotesa yang baik. Pertanyaannya: jika dua model mengenai soal yang sama datang dengan kesimpulan yang berbeda, maka mana yang paling mendekati "kebenaran relatif"?
Oktaviani menyatakan persentase penduduk miskin meningkat, sedangkan Ikhsan sebaliknya.
DALAM risalahnya yang berjudul The Methodology of Positive Economics, pemenang Nobel Ekonomi, Milton Friedman, menulis model ekonomi hanya dapat diterima jika ia konsisten dengan fakta atau bukti empiris. Lebih jauh ia berargumentasi: teori atau model tidak bisa disimpulkan benar hanya karena model itu konsisten dengan bukti empiris, namun teori atau model dapat dikatakan salah jika ia tidak konsisten dengan bukti empirisnya.
Sayangnya dampak dari kenaikan harga BBM tahun 2005 ini belum tersedia sehingga tidak dapat disimpulkan kebenaran model. Namun, kita dapat mempelajari pola sebelumnya. Kenaikan harga BBM pernah dilakukan Januari 2002 dan 2003. Oleh karena itu, kita dapat menguji arah prediksi model dengan ex post data (data yang sudah terjadi). Tentu besaran angkanya akan berbeda, namun polanya akan sama- karena kebijakannya sama.
Pada tahun 2002 dan 2003, pemerintah menaikkan harga BBM dengan tingkat rata-rata 54 persen dan 21 persen (rata-rata sederhana). Kenaikan harga BBM ini tentu akan menimbulkan inflasi, yang pada gilirannya akan menurunkan daya beli. Daya beli yang turun, bila tidak dikompensasi, akan meningkatkan kemiskinan. Oktaviani-dalam tabel yang ditayangkan Kompas (14/3/2005)- menunjukkan bahwa dampak inflasi "dengan" dan "tanpa" kompensasi adalah 2,97 persen dan 3,02 persen.
LPEM menunjukkan dampak inflasinya adalah 0,7 persen sampai 1,2 persen. Bank Dunia memperkirakan dampaknya 1,2 persen sampai 2,2 persen. SMERU setelah saya konfirmasi tidak melakukan studi ini. Yang ada hanyalah studi tentang penggunaan dana kompensasi. Sudarno Sumarto dari SMERU kebetulan adalah partner diskusi LPEM dalam studi ini.
Sekarang mari kita lihat data empirisnya: inflasi bulan Januari 2002 adalah 1,99 persen, Februari 1,5 persen, dan Maret -0,02 persen. Bagaimana dengan 2003?
Inflasi bulan Januari 2003 adalah 0,8 persen, Februari 0,2 persen, dan Maret -0,23 persen. Artinya, inflasi meningkat pada bulan ketika harga BBM dinaikkan, dan kemudian mengalami penurunan-bahkan deflasi-pada dua bulan setelahnya. Angka itu juga bicara bahwa inflasi yang terjadi relatif rendah.
SAYA kira ketiga model di atas memiliki arah yang konsisten dengan bukti empiris (walau Oktaviani muncul dengan angka yang jauh lebih tinggi dari data empiris, di mana mencapai tiga persen setelah kompensasi). Bagaimana dengan dampaknya pada kemiskinan?
Oktaviani, seperti dikutip Kompas (14/3/2005), menunjukkan, walau telah dilakukan penyaluran dana kompensasi dengan asumsi itu efektif, tepat sasaran, dan tidak mengalami kebocoran, tetap tak akan mengurangi rakyat miskin. Bahkan, daya beli masyarakat tetap menurun karena inflasinya lebih besar dari kenaikan pendapatan. Sebaliknya Ikhsan berargumentasi bahwa persentase penduduk miskin akan meningkat karena adanya kenaikan harga BBM, namun akan menurun jika diberikan dana kompensasi.
Bagaimana bukti empirisnya? Tingkat kemiskinan menurut BPS adalah 18,2 persen (2002), 17,4 persen (2003), dan 16,6 persen (2004). Artinya, tingkat kemiskinan terus mengalami penurunan-walaupun pada tahun-tahun itu pemerintah menaikkan harga BBM sebesar rata-rata 54 persen dan 21 persen, serta memberikan dana kompensasi.
Di sini ada konsistensi antara arah prediksi model LPEM dan data empirisnya. Sebaliknya, arah prediksi Oktaviani bertentangan dengan bukti empiris. Jika kita kembali kepada metodologi Friedman tadi, kita bisa melihat: ada kemungkinan model LPEM benar, tetapi tidak ada bukti empiris bahwa model Oktaviani benar.
Amat naif bila menyimpulkan bahwa model LPEM pasti benar, alasannya penurunan kemiskinan pada tahun 2002-2004 mungkin disebabkan oleh hal-hal lain di luar dana kompensasi, misalnya pertumbuhan ekonomi atau peningkatan upah riil. Artinya, model LPEM punya probabilitas untuk benar, sekaligus juga salah.
Namun, yang jelas: tidak ada bukti empiris yang mendukung model Oktaviani. Dengan cara berpikir metodologis ini kita bisa meletakkan penilaian kita lebih tenang, dingin proporsional, dan menghindari kesesatan argumentum ad hominem yang dilakukan IS.
Ketiga, IS mengkritik model Ikhsan, Dartanto, dan Usman karena menggunakan dua model independen secara bertahap, yaitu model CGE dan model sistem persamaan permintaan/pengeluaran rumah tangga. Menurut IS, pendekatan seperti ini kurang lazim. Saya kira IS perlu mempelajari lebih hati-hati literatur tentang ini. Studi paling depan dalam model kemiskinan yang dilakukan oleh Francois Bourgoignon, Anne-Sophie Robilliard, dan Sherman Robinson justru menggunakan metode dua tahap yang disebut micro-macro model simulation.
Di sini digunakan CGE untuk makro, kemudian dampaknya pada kemiskinan menggunakan micro-simulation. Metode dua tahap justru digunakan untuk mengatasi dua kelemahan metode satu tahap: pertama, CGE lebih memfokuskan diri pada angka aggregat sektoral (output, upah, tenaga kerja) dan memiliki keterbatasan dalam deskripsi rinci penduduk miskin, seperti dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional.
Kedua, dalam model satu tahap ada banyak asumsi eksogen yang harus dibuat untuk kelompok rumah tangga, yang tak konsisten dengan bukti historis. Saya kira justru di sinilah alasan mengapa studi Ikhsan cs konsisten dengan bukti empiris di masa lalu.
Keempat, saya terkejut membaca argumen IS yang menyatakan bahwa Ikhsan hanya menghitung dampak pendapatan. Jika IS memahami konsep compensating variation (CV) dengan benar, maka selama tingkat kepuasan (utility) awal dapat dikembalikan ke posisi sebelum kenaikan harga BBM melalui kompensasi, tidak ada masalah. Perbedaan bundel konsumsi pada tingkat kepuasan awal tidak akan mengubah tingkat kepuasan. Sebagai ekonom, saya kira IS harus memahami teori dasar ini dengan baik.
Lepas dari hal-hal itu, ada dua hal penting yang dinyatakan dengan sangat baik oleh IS. Pertama, jika efek jangka pendek dari reaksi masyarakat mengalami overshooting, dampaknya pada penduduk miskin akan jauh lebih parah daripada yang diperkirakan model. Saya kira ini benar dan kita harus berhati-hati dengan kemungkinan ini, walau ini hanya terjadi dalam jangka pendek.
Kedua, soal efektivitas dana kompensasi. Saya kira di sinilah persoalan kita. Itu sebabnya isu yang seharusnya diangkat adalah bagaimana mengawasi dana kompensasi sehingga tepat sasaran di tengah korupsi yang masif ini. Pengawasan tak bisa diserahkan kepada pemerintah. Pengawasan harus dilakukan oleh masyarakat, mahasiswa, LSM, dan DPR. Di sini kita harus melangkah bersama. Akhirnya, saya sangat menikmati perdebatan dengan IS.
M Chatib Basri Direktur Riset LPEM-FEUI



Kamis, 17 Maret 2005



Benarkah Kajian yang Dibuat LPEM?

Iman Sugema

SAYA merasa lega dan excited ketika bangun pagi mendapati tulisan Mohamad Ikhsan (setelah ini saya singkat dengan inisial MI) tentang "Kajian LPEM soal Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan" dimuat di Kompas (16/3/2005). Terlebih dahulu saya ucapkan selamat kepada LPEM-FEUI yang telah secara terbuka mengungkapkan kajian mereka kepada publik setelah lama ditunggu-tunggu. Terus terang inilah rujukan tertulis pertama yang disampaikan kepada publik oleh LPEM-FEUI.
Sebelumnya saya telah berusaha mencari dokumen laporan hasil penelitian tersebut secara langsung kepada MI. Seminggu yang lalu lewat pembicaraan telepon, MI menjelaskan kepada saya tentang "kajian" tersebut, dari mulai dasar teori, model, data yang digunakan, sampai hasil akhirnya. Apa yang dia ungkapkan kurang lebih sama dengan yang termuat di harian Kompas, tak lebih dan tak kurang.
Tulisan di Kompas dan tiga buah tabel yang dikirimkan MI kepada saya akan saya jadikan satu-satunya sumber "resmi" yang dikeluarkan oleh LPEM. Waktu itu saya sempat meminta laporan penelitian akhir dalam bentuk soft atau hard copy untuk sekadar mencari tahu apa sebetulnya isi penelitian tersebut. Tentu dari situ kita bisa mengevaluasi kenapa teman-teman di LPEM-FEUI berkesimpulan bahwa kebijakan harga BBM dan kompensasi akan bersifat welfare improving.
Terus terang, sebagai akademisi, kesimpulan tersebut sangat menarik karena cukup berbeda dengan kesimpulan dari lembaga-lembaga lainnya seperti Smeru, Brighten Institute, dan INDEF sendiri.
Saya sendiri tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membaca laporan tersebut karena MI sendiri menegaskan bahwa laporan tersebut belum ditulis dalam bentuk apa pun. Yang ada hanya tabulasi seperti yang saya peroleh melalui e-mail. Oleh karena itu, pemahaman saya terhadap riset tersebut terbatas pada tiga sumber: tulisan di Kompas, tabel, dan pembicaraan telepon.
Untuk itu saya mohon maaf kepada pembaca Kompas karena saya belum bisa memberikan ulasan yang lengkap dan mendasar terhadap riset yang dilakukan lembaga penelitian ekonomi tertua di Indonesia tersebut. Informasi yang tersedia masih relatif sangat terbatas. Untuk sekarang, saya akan membahasnya dari dua sisi saja, modelling dan asumsi dasar.
Model
Dari tulisan di Kompas jelas bahwa MI menggunakan dua model independen secara bertahap, yaitu model CGE dan model sistem persamaan permintaan/pengeluaran rumah tangga. Dikatakan independen karena satu dan lainnya masing-masing berbeda dan tidak diintegrasikan dalam satu model secara utuh.
Model CGE hanya digunakan untuk mengestimasi dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi. Dari hasil simulasi ini diperoleh informasi mengenai pergerakan harga barang-barang lainnya dan kemudian informasi ini dipakai untuk mengestimasi dampaknya terhadap pola konsumsi. Karena harga-harga meningkat, konsumsi secara umum akan turun dan begitu pun kesejahteraan masyarakat. Tingkat kemiskinan kemudian meningkat menjadi 16,5 persen. Namun, setelah dilakukan kompensasi raskin plus SPP, kemiskinan turun menjadi 13,7 persen. Artinya, program kompensasi bersifat welfare improving.
Pendekatan pemodelan bertahap seperti ini terus terang kurang lazim. Biasanya dalam model CGE, secara otomatis informasi mengenai dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan bisa dihitung secara langsung. Dengan menggunakan model CGE, Rina Oktaviani, staf pengajar di Departemen Ekonomi FEM-IPB, mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang dampak kenaikan harga BBM dan kompensasi.
Kesimpulan akhirnya adalah bahwa kalaupun kompensasi tersebut efektif seratus persen, tetap saja tingkat kemiskinan tidak berkurang. Dampak negatif kenaikan harga BBM masih jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak positif kompensasi. Kenaikan harga BBM menyebabkan aktivitas perekonomian menurun secara umum dan upah riil unskilled labor menurun secara drastis. Kita tahu bahwa orang miskin pada umumnya masuk ke kategori pekerja yang tidak terampil. Artinya, kenaikan harga BBM tidak hanya menyebabkan semakin besarnya kemiskinan, tetapi juga memperlebar disparitas pendapatan antara pekerja terampil dan tidak terampil. Inilah yang tidak tampak dan tidak dielaborasi lebih lanjut oleh LPEM.
Saya kira hanya ada dua kemungkinan mengapa LPEM melakukan pendekatan yang tidak lazim tersebut.
Pertama, modelnya sudah outdated sehingga tidak memungkinkan dilakukannya simulasi yang lengkap dan komprehensif. Kalau ini yang terjadi, publik sangat berhak untuk melakukan pengujian terhadap model tersebut. Publik harus tahu bahwa model yang digunakan sebagai pijakan bagi kebijakan pemerintah adalah model yang terbaik dan bisa dipercaya output-nya.
Kedua, mungkin model CGE LPEM menghasilkan kesimpulan yang "tidak diharapkan" oleh para peneliti dan pemesannya. Kemungkinan ini bisa terjadi manakala kesimpulan akhirnya mirip (walaupun tidak sama betul) dengan hasil simulasi oleh Rina Oktaviani, yang saya sebutkan di atas. Kalau ini yang terjadi, yang menjadi masalah adalah ideologi dan etika. Untuk hal ini, saya serahkan saja kepada publik untuk menilainya.
Kelemahan lainnya adalah ketidakjelasan dalam estimasi dampak terhadap inflasi dan kemiskinan. Hal ini karena dalam artikelnya, MI hanya memaparkan penjelasan "logis": inflasi meningkat, kemiskinan meningkat, dan kompensasi menurunkan kemiskinan.
Kalau benar model yang digunakan adalah sistem persamaan permintaan, maka harus dibedakan dua hal: efek substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi terjadi karena masyarakat mengubah pola konsumsinya-sebagai contoh adalah konsumsi beras diganti dengan jagung dan gaplek. Informasi ini sangat penting karena menyangkut status gizi orang miskin yang dalam jangka panjang akan memengaruhi produktivitas. Efek pendapatan adalah naik turunnya konsumsi akibat perubahan dalam pendapatan riil. Tampaknya, dalam tabel dan tulisan di Kompas, MI terkesan hanya memperhitungkan efek pendapatan. Kalau ada efek substitusinya, saya harapkan hal ini dibahas secara detail.
Model CGE LPEM juga tidak bisa membedakan efek jangka panjang dan jangka pendek. Model ini cukup problematik karena hanya memperhitungkan perpindahan dari satu keseimbangan (tanpa kebijakan) ke keseimbangan baru (dengan kebijakan). Tak ada kejelasan bagaimana sebetulnya proses perpindahan tersebut.
Proses tersebut sangat penting karena kemungkinan efek jangka pendeknya akan underestimated. Kalau efek jangka pendeknya mengalami overshooting, jelas bahwa dampaknya terhadap orang miskin akan lebih parah daripada yang diperkirakan oleh model.
Asumsi dasar
Dalam melakukan simulasi kebijakan, seorang pemodel selalu dihadapkan pada persoalan bahwa model yang dibangunnya hanyalah merepresentasikan sebagian kecil fenomena ekonomi yang terjadi sesungguhnya di masyarakat. Model sangatlah bersifat mekanis, sedangkan masyarakat bersifat dinamis dan agak sulit diprediksi. Oleh karena itu, sering dilakukan analisis skenario: worst case dan best case. Dari tabel melalui e-mail, saya mendapatkan kesan bahwa hal ini tidak pernah dilakukan LPEM.
Kita coba lihat kenyataannya. Dari hasil Susenas akan tampak bahwa penerima raskin ternyata hanya 25 persen tergolong orang miskin. Jumlah beras yang diterima mereka bukan 20 kilogram per keluarga, tetapi hanya lima kilogram. Harga yang harus dibayar bukan Rp 1.000 per kilogram, tetapi sekitar Rp 1.140 per kilogram. Artinya, tingkat efektivitas penyaluran raskin hanya kurang lebih 6 persen. Apakah lazim kalau kita mengasumsikan tingkat efektivitas 100 persen?
Dari makalah presentasi Menko Perekonomian terlihat bahwa angka yang digunakan adalah berdasarkan tingkat efektivitas 100 persen. Ini berarti telah terjadi kesalahan persepsi di kalangan pengambil kebijakan bahwa skema kompensasi betul-betul mengangkat orang miskin. Kesalahannya sederhana: Pak Menteri mendapatkan angka yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Ulasan di atas hanya merepresentasikan keresahan saya mengenai proses pengambilan keputusan yang sama sekali tidak hati-hati. Untuk itu saya mengundang publik untuk melakukan diskusi terbuka antarlembaga riset.
Iman Sugema Direktur INDEF



Rabu, 16 Maret 2005



Kajian LPEM soal Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan

Mohamad Ikhsan

SEBAGAI bagian dari tanggung jawab kepada publik, kami ingin menjelaskan bagaimana metodologi perhitungan dampak kemiskinan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak.
Penelitian ini dimulai sejak tahun 2000 hingga 2003 pada saat Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) diminta baik oleh Kantor Menteri Koordinator Perekonomian dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyiapkan kajian tentang dampak makro bahan bakar minyak (BBM). Kajian dimulai dari sekadar analisis sangat sederhana dengan melihat perbedaan harga domestik dan luar negeri dan distribusi penerima subsidi BBM. Metodologi ini kami sempurnakan setelah mendapatkan feedback dari pertanyaan di daerah saat kami melakukan sosialisasi, termasuk dalam melihat dampaknya terhadap rumah tangga, khususnya rumah tangga miskin.
Bagaimana dampak pada kemiskinan dihitung?
Dalam melakukan analisis ini kami menggunakan baik pendekatan computable general equilibrium (CGE) maupun pendekatan sistem permintaan yang dikembangkan oleh Prof Angus Deaton dari Princeton University. Sumber data yang digunakan sepenuhnya berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) yang menjadi dasar perhitungan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Dampak harga baik secara langsung maupun tidak langsung digunakan hasil dari model CGE sehingga sudah memperhitungkan dampak tambahan inflasi akibat kenaikan harga BBM. Dengan menggunakan elastisitas permintaan yang diestimasi secara terpisah, hasil perhitungan dampak harga ini kemudian dimasukkan dalam suatu sistem persamaan yang merupakan hasil optimasi konsumen dalam memaksimumkan tingkat kesejahteraan dengan kendala anggaran. Kenaikan harga tentu akan mengakibatkan penurunan daya beli. Dampak ini sangat bervariasi tergantung pola konsumsi dan sensitivitas dari harga masing-masing komoditas terhadap kenaikan harga BBM.
Secara keseluruhan, kita lihat beban kenaikan harga BBM hingga tingkat pendapatan menengah atas cenderung meningkat lebih dari proporsional dan menurun lagi-walaupun masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok 40 persen terbawah. Hal ini sejalan dengan kenaikan porsi pengeluaran BBM terhadap total pendapatan. Secara logis kemudian, tingkat kemiskinan meningkat, yaitu dari 16,2 persen menjadi 16,5 persen. Simulasi kami menunjukkan peningkatan indeks kemiskinan yang terjadi untuk tahun 2005 lebih kecil daripada tahun 2002 atau 2003 (pada saat kenaikan dibatalkan) karena kenaikan harga kali ini tidak diikuti dengan kenaikan harga listrik.
Tingkat kemiskinan kemudian mengalami penurunan tatkala kelompok termiskin mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar dari kebutuhan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama. Hal itu seperti sebelum kenaikan harga BBM, yaitu dari 16,2 persen menjadi 13,7 persen. Pendekatan ini dalam teori ekonomi mikro dikenalkan dengan pendekatan Compensating Variation.
Tanpa menggunakan model sekalipun kita bisa menghitung dampak kemiskinan secara logis.
Kita ambil rumah tangga yang pengeluarannya sama dengan garis kemiskinan. Berdasarkan Susenas 2002, garis kemiskinan rata-rata sekitar Rp 114.000 per kapita per bulan. Untuk mendapatkan nilai garis kemiskinan tahun 2005, kita hitung dengan akumulasi inflasi selama tiga tahun, yaitu 6 persen per tahun. Perhitungan ini menghasilkan garis kemiskinan baru sebesar Rp 135.000 per kapita per bulan.
Supaya aman dengan memperhitungkan dampak inflasi tambahan, kita mark-up garis kemiskinan setelah harga BBM dinaikkan saja menjadi Rp 150.000 per kapita per bulan, atau kira-kira Rp 650.000 per keluarga per bulan. Kenaikan harga BBM nonminyak tanah sebetulnya hanya meningkatkan biaya per rumah tangga hanya Rp 6.500 per bulan. Apabila biaya transportasi diperhitungkan lagi, total pengeluaran meningkat sekitar Rp 12.000 per bulan per keluarga.
Lalu karena keluarga ini mendapatkan beras untuk keluarga miskin (raskin) 20 kilogram dan membayar hanya Rp 1.000 per kilogram, keluarga ini secara implisit mendapat transfer sebesar 20 x (Rp 2.800 - Rp 1.000) = Rp 36.000 per bulan. Kalaupun beras yang diterima hanya 10 kilogram, transfer yang diterima adalah Rp 18.000 per bulan dan jumlahnya masih lebih besar dari kenaikan biaya tersebut.
Dengan menggunakan raskin saja, keluarga ini telah overcompensated (kompensasi yang lebih besar). Apalagi kalau ditambahkan dengan kompensasi pendidikan yang berkisar Rp 25.000 hingga Rp 160.000 per bulan dan tabungan pengeluaran kesehatan, karena berdasarkan Susenas 2002 dan di-mark up untuk tahun 2005 kira-kira sekitar Rp 20.000 per bulan per keluarga. Harap dicatat pula simulasi di atas hanya memperhitungkan kompensasi beras plus SPP (hanya kira-kira sepertiga dari subsidi pendidikan yang direncanakan).
Jelaslah kemudian akibat transfer yang diperoleh kenaikan harga BBM tadi, pendapatan keluarga miskin mengalami kenaikan dan mendorong mereka keluar dari garis kemiskinan. Mengingat jarak rata-rata pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan (poverty gap) di Indonesia tidak terlalu besar- karena mayoritas pendapatan mereka berada di sekitar garis kemiskinan-maka akan banyak keluarga miskin yang bisa terangkat.
Akan tetapi, bukan berarti tidak ada keluarga yang mengalami turun status menjadi miskin akibat kenaikan harga BBM ini karena rumah tangga ini tidak eligible, atau bisa dipilih untuk mendapatkan kompensasi. Ingat simulasi menunjukkan indeks kemiskinan meningkat hampir 0,5 persen atau 1 juta rumah tangga yang berubah menjadi miskin. Namun, secara netto jumlah yang terangkat lebih besar dibandingkan dengan yang mengalami penurunan statusnya.
Siapa yang dimenangkan dan dikalahkan akibat kebijakan ini?
Kami juga melakukan simulasi untuk melihat dampak distribusi pendapatan subsidi BBM. Secara logis mengingat distribusi subsidi BBM lebih banyak dinikmati kelompok keluarga mampu, sehingga pencabutan subsidi akan memperbaiki distribusi pendapatan, tetapi meningkatkan kemiskinan. Pencabutan subsidi dengan kompensasi akan memperbaiki distribusi pendapatan, sekaligus penurunan tingkat kemiskinan.
Yang paling dimenangkan dari kebijakan ini adalah rumah tangga miskin yang mendapatkan kompensasi dan yang paling dirugikan sebetulnya kelompok pendapatan menengah, yaitu kelompok kelas pendapatan 40 persen sampai 60 persen teratas. Kalau mereka membayar pajak pendapatan rumah tangga ini sebetulnya sudah terkompensasi dengan kenaikan pendapatan tidak kena pajak sebesar 300 persen sejak Januari 2005.
Yang sebetulnya memerlukan tambahan proteksi adalah rumah tangga yang sebelum kebijakan ini diberlakukan tergolong nyaris miskin, terutama di daerah perkotaan. LPEM sejak awal meminta agar coverage raskin diperluas bukan hanya mencakup rumah tangga miskin berdasarkan kriteria BPS, tetapi rumah tangga di atasnya. Kalau kita khawatir akan dikorupsi oleh aparat pemerintah, serahkan ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melakukannya.
Beberapa LSM telah melakukan profesi ini menyalurkan beras dari WFP dengan baik. Penambahan volume untuk mendapatkan beras akibat perluasan cakupan ini akan mengangkat harga gabah dan akan membantu menggiatkan ekonomi pedesaan. Sayang kemudian saran ini kalah dengan program-program lain di luar pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur pedesaan. Akan tetapi, masih mungkin berubah karena yang dikemukakan selama ini adalah hanya usulan pemerintah. DPR masih mungkin mengubahnya.
Isunya sebetulnya bagaimana memastikan agar program kompensasi ini sampai ke sasaran. Jika tidak, kelompok miskinlah yang akan menjadi korban.
Mohamad Ikhsan Kepala LPEM Universitas Indonesia

Sunday, March 06, 2005

rangkaian BBM vs iklan Freedom Institute di Kompas

Senin, 07 Maret 2005



Freedom Institute dan BBM
Oleh Amir Effendi Siregar
PERDEBATAN tentang iklan Freedom Institute dan kenaikan BBM menjadi kian hangat ketika Rizal Mallarangeng memberikan tanggapannya (Kompas, 3/3). Saya mencoba melihatnya dari sebuah sudut pandang berbeda.
Saya terkejut saat membaca iklan Freedom Institute dengan judul besar, isinya mendukung kenaikan harga BBM yang merupakan kebijakan publik dengan argumen sederhana (mungkin karena iklan). Sikap ini didukung sejumlah nama besar, sebagian di antaranya saya kenal baik. "Ada sesuatu yang salah!", itu yang muncul dalam pikiran saya seketika.
Freedom Institute yang saya kenal adalah organisasi nonpemerintah. Lembaga ini merupakan bagian dari civil society. Para pendukung yang termuat dalam iklan, sebagian besar adalah para intelektual dan aktivis civil society. Dalam perspektif liberal, konsep civil society yang merupakan koreksi terhadap pandangan liberal ortodoks, meletakkan civil society sebagai penyeimbang antara masyarakat pasar/pengusaha dan negara.
Apabila kita melihatnya sebagai sebuah segitiga, pada sebuah sudut segitiga ada negara dengan seluruh perangkatnya, yaitu pemerintah, badan legislatif, dan sebagainya. Di sudut kedua ada pelaku usaha dan masyarakat pasar. Di sudut ketiga ada civil society yang melakukan aktivitas sebagai penyeimbang dan berpandangan kritis terhadap negara dan masyarakat usaha, semuanya ditujukan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Civil society ini terdiri dari berbagai kelompok dan aliran, amat heterogen, tetapi posisi dan sikapnya jelas, bukan bagian dari negara dan pelaku usaha, selalu mandiri dan seharusnya tidak dapat dikooptasi, baik oleh negara maupun pengusaha. Sementara itu dalam perspektif struktural, radikal, atau marxis, kelompok ini mengorganisasi dirinya dan mewujud dalam aksi sosial kolektif, melakukan kritik keras dan melawan dominasi pasar, mencoba memperbesar peranan institusi publik, mencoba menggabungkan prinsip humanisme liberal, kebebasan liberal dengan sosialisme.
Posisi media, umumnya mirip civil society. Dalam alam demokrasi, ia harus independen. Apabila bersifat propagandis atau bagian kekuasaan, jangan heran bila media kehilangan pembaca.
Dilihat dari kedua perspektif itu, pemasangan iklan Freedom Institute amat tidak tepat, tidak terlihat kesadaran akan posisi di mana berpijak. Iklan itu memperlihatkan posisi dan lembaganya ada pada pemerintah. Mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah, sama sekali tidak menunjukkan daya kritis terhadap kebijakan pemerintah yang seharusnya diambil oleh civil society. Sebenarnya, posisi dapat lebih cantik dan kritis bila iklan memuat dan menganjurkan publik untuk mengawasi dan memonitor secara intensif pelaksanaan dana kompensasi. Atau menganjurkan dana kompensasi dipercepat dan diawasi ketat meski secara implisit langkah ini adalah dukungan terhadap kenaikan harga BBM.
Rizal Mallarangeng dalam tulisannya mengatakan, "Freedom Institute dan 36 tokoh yang namanya tercantum sebagai pendukung iklan itu tidak dikendalikan pemerintah", tetapi banyak dari kita yang tahu persis, paling tidak ada dua nama dari pendukung adalah orang pemerintah. Belum lagi bila kita bertanya, "Adakah orang pemerintah yang memberi bantuan untuk iklan?". Yang jelas, posisi yang diambil adalah pemerintah, bukan sebagai bagian civil society. Bila demikian, bukankah lebih baik membuat Kelompok Pendukung Kenaikan Harga BBM, yang ada dalam koordinasi pemerintah.
SEDIH, ketika negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, secara internal sudah mengubah pandangan liberal ortodoks menjadi neoliberal, dengan memberi peran lebih besar terhadap negara untuk mengatur masyarakatnya (intervensi negara secara terbatas) setelah resesi tahun 1930, tetapi saat berhadapan dengan dunia luar, khususnya dunia ketiga, prinsip pandangan liberal ortodoks dengan imperialisme ekonomi dan militer masih dijalankan.
Tahun 1930-an saat terjadi resesi, banyak pemikir dan intelektual merasa kapitalisme adalah sistem yang gagal dan bergerak ke perencanaan ekonomi terpusat (centrally planned economy) baru kemudian dapat bangkit dari depresi.
John Maynard Keynes muncul dengan gagasan perlunya intervensi negara secara terbatas untuk menjaga dan menyelamatkan sistem kaplitalisme dengan ekonomi pasarnya. Kapitalisme dan ekonomi pasar selamat antara lain lewat intervensi dengan memotong bunga dan meningkatkan defisit anggaran melawan resesi. Hal ini terus diperbaiki sesuai perkembangan zaman, antara lain dengan pajak progresif dan undang-undang antimonopoli, peran negara dan institusi publik diperbesar. Sayang, saat negara-negara kapitalis berhadapan dan melakukan ekspansi terhadap dunia luar, khususnya dunia ketiga, prinsip dan pandangan liberal ortodoks dengan imperialisme ekonomi yang justru digunakan. Hal inilah yang harus mendapat perhatian serius dari para ekonom dan pembuat kebijakan ekonomi kita.
IHWAL kenaikan harga BBM, saya bukan ekonom, tetapi saya bisa membaca buku, artikel dan bertanya kepada para ekonom dari kedua pihak yang juga saya kenal. Saya mendapat informasi dan analisis dari ekonom, baik yang mendukung maupun yang menolak kenaikan harga BBM. Kedua pihak mempunyai argumen dan data empiris yang masuk akal, yang semuanya dapat dibaca lewat media massa. Tidak ada kebenaran mutlak memang. Kebenaran itu relatif.
Akhirnya saya mencoba bertanya secara sederhana kepada diri sendiri, "Apakah kenaikan harga BBM menyusahkan saya yang berpenghasilan sebagai pimpinan beberapa media?" Saya menjawab sendiri "Tidak!" Lantas siapa yang menjadi susah dengan kenaikan harga BBM kini? Jawabnya pasti sopir bajaj, sopir angkutan kota, penumpang bus kota, penumpang angkutan kota, rakyat kecil yang harga kebutuhan pokoknya naik, dan mempertahankan hidup dari hari ke hari. Nanti ada dana kompensasi! Kapan? Sebulan, dua bulan lagi, sementara itu dia butuh makan hari ini! Pada saat sama kita mengetahui, banyak pejabat negara dan pengusaha yang utangnya macet. Negara ini dikenal negara terkorup di dunia dengan jumlah koruptor amat sedikit, mungkin jauh lebih sedikit dari negara paling bersih di dunia. Atau dalam kata-kata lain "negara terkorup tanpa koruptor". Belum lagi kita bicara tentang tidak efisiennya badan usaha negara, dan lain lagi yang menyebabkan kita mengurut dada. Tidak adakah jalan lain yang lebih baik?
Bung Rizal dalam bagian akhir tulisannya mengatakan, "...jika kaum penentang pengurangan subsidi BBM dapat mengorganisasikan diri, menggalang dana, dan benar-benar meyakini kebenaran gagasannya, harian Kompas pasti tidak akan keberatan jika mereka ingin memasang iklan, dua halaman penuh sekalipun".
Ini tantangan menarik. Menurut saya, jika para penentang pengurangan subsidi BBM, termasuk rakyat yang merasa sengsara dan aktivis yang menentang kenaikan harga BBM dapat mengorganisasikan, menggalang dana, dan meyakini kebenarannya, perlawanan harus dilakukan. Untuk itu tidak perlu iklan. Pemberitaan yang ditulis berbagai media secara independen yang bisa menjadi puluhan bahkan ratusan halaman, belum lagi termasuk pemberitaan media elektronik, jauh lebih bermakna dan bermartabat daripada iklan yang bersifat propagandis.
Amir Effendi Siregar Pengajar Jurusan Komunikasi Fisipol UGM; Sekjen Serikat Penerbit Suratkabar (SPS)



Senin, 07 Maret 2005



Dunia Intelektual dan Dagang
Oleh M Fadjroel Rachman
KEBIJAKAN publik tidak lahir di kuburan atau ruang hampa sosial. Karena lahir dalam ruang sosial, berarti tiap kebijakan publik berhadapan dengan tarik-menarik kepentingan ekonomi-politik.
Umumnya, kekuatan ekonomi-politik yang paling dominanlah yang memenangi kebijakan publik yang bakal dijalankan pemerintah.
Sungguh menyesatkan apabila 36 intelektual itu mendukung kebijakan publik menaikkan harga BBM dengan memistifikasi kepentingan ekonomi-politik dominan yang berkuasa. Kata Rizal Mallarangeng, "Kami jelas berpihak, namun lebih pada gagasan dan kebijakan tertentu yang kami anggap baik," ("Kaum Intelektual, BBM, dan Iklan Freedom Institute", Kompas 3/3). Publik bertanya, mengapa gagasan dan kebijakan publik yang lebih baik ditolak. Pertama, dari subsidi bunga rekapitalisasi perbankan Rp 600 triliun-sebagian besar dimiliki bankir dan konglomerat hitam-yang pada 2004 mencapai Rp 41,275 triliun dan RAPBN 2005 sebesar Rp 38,844 triliun (Tabel Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Belanja 2004-2005).
Kedua, dari pembayaran Rp 46 triliun pokok dan Rp 24,375 triliun bunga utang luar negeri (2004) serta bunga utang luar negeri Rp 25,142 triliun (RAPBN 2005), juga mengintensifkan tawaran moratorium. Ketiga dari harta KKN Soeharto dan keluarga, senilai 15-40 miliar dollar AS (Tranparency International) atau 60 miliar dollar AS (Times). Keempat, intensifikasi dan ekstensifikasi pajak serta mengurangi korupsi birokrasi perpajakan. Wajib pajak (WP) badan dan perorangan berjumlah 5 persen dari populasi pada 2004 membayar Rp 239,5 triliun. Naikkan WP menjadi 20 persen dari populasi dengan perhitungan pajak progresif baru, dan meminimalkan kebocoran, pada 2005 target pajak melampaui Rp 259,5 triliun. Kelima, audit dan efisiensi Pertamina, dari kontrak, ekspor, impor, hingga distribusi. Ini akan menyelamatkan triliunan rupiah tiap tahun.
Ini hanya beberapa alternatif yang diajukan intelektual, akademisi, dan publik tetapi tidak dijadikan pilihan kebijakan pemerintah karena tidak sesuai kepentingan kekuatan ekonomi-politik yang kini mendominasi birokrasi dan legislatif.
Politisi, pengusaha, dan dagang
Di Indonesia kini negara bukan lagi sekadar eksekutif/representasi pemilik kapital, tetapi pemilik kapital sudah merepresentasi kepentingan sendiri, langsung mengendalikan kebijakan negara melalui legislatif/eksekutif. Para politikus-pengusaha menyadari, eksekutif/birokrasi adalah real centers of state power. Ditambah penguasaan atas legislatif melengkapi pengendalian, kebijakan eksekutif tidak akan dibatalkan parlemen.
Contoh pemilik kapital yang sudah membuktikan munculnya elemen politik baru: politisi-pengusaha (business-politician) dan entitas politik baru: negara-dagang (merchant-state), di antaranya Jusuf Kalla, Grup Bukaka, Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Presiden. Agung Laksono, mantan Presiden Direktur ANTV, Grup Hasmuda, Ketua DPR, dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Aburizal Bakrie, Grup Bakrie dan Bumi Resources, Menteri Koordinator Perekonomian. Surya Paloh, Media Grup (Metro TV), Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar. Fahmi Idris, Grup Kodel, Ketua Partai Golkar, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Tentu tidak sulit menyebut puluhan pengusaha dari beragam partai politik yang duduk di legislatif eksekutif dari pusat, provinsi, hingga kabupaten (M Fadjroel Rachman, "Bangkitnya Negara-Dagang", Koran Tempo, 19/2).
Konglomerasi domestik pribumi
Dalam "Bangkitnya Negara-Dagang", penulis bertanya darimana datangnya "kesadaran subyektif" pengusaha mengendalikan negara dengan menjadi politisi-pengusaha? Indonesia: The Rise of Capital (Richard Robison, 1986) buku klasik ekonomi-politik yang meneliti fraksi kapital di bawah Orba, perkembangan, dan perannya dalam dinamika pembentukan politik totalitarisme Orba. Robison "menemukan" fraksi kapital dominan yang membentuk struktur ekonomi-politik Indonesia, tahun 1980-an.
Pertama, kapital internasional melalui utang (IGGI, IBRD, G to G Loans) dan foreign direct investment (Jepang, AS, Taiwan, Hongkong, Eropa). Kedua, kapital BUMN. Ketiga, kapital ABRI (TNI/Polri). Keempat, kapital konglomerasi pribumi dan nonpribumi. Kini, fraksi kapital dominan tetap serupa, meski ada pemain di dalam fraksi kapital berubah atau berganti nama, misalnya, IGGI menjadi CGI, ditopang IMF.
Konglomerasi pribumi yang menjadi politisi-pengusaha-semua dibesarkan Orba-adalah fraksi kapital yang memenangi pertarungan antarfraksi dominan kapital Orba. Tahun 1980-an fraksi kapital yang bermuara ke Soeharto dan keluarga unggul, ditopang fraksi kapital ABRI. Kini, politisi-pengusaha yang mengendalikan negara dari fraksi kapital konglomerasi pribumi semi-Soeharto dan semi-ABRI, mengatasi fraksi kapital konglomerasi Soeharto, nonpribumi, dan ABRI.
Bukan tidak ada subsidi
Politik negara kesejahteraan meyakini, warga negara menjadi miskin dan menganggur karena tidak dijamin hak ekonomi dan sosialnya. Jadi, bila kini jumlah rakyat miskin adalah 60 persen dari populasi dan penganggur 45 persen dari 100 juta angkatan kerja, jelas bukan karena tidak mendapat dana kompensasi BBM, tetapi tidak dilindungi negara hak ekonomi dan sosialnya. Alih-alih menyejahterakan rakyat, kenaikan harga BBM memicu kebutuhan pokok dan mengurangi kesejahteraan. Karena rata-rata pengeluaran rumah tangga, untuk makanan 64,1 persen, pendidikan 2,40 persen, kesehatan 2,07 persen, dan 31,52 persen untuk transportasi, sandang, dan papan (BPS, 2004). Tentu bila kesejahteraan warga, hak ekonomi dan sosialnya dimapankan lebih dulu, kenaikan BBM-bahkan dengan menolkan semua subdidi BBM sekalipun-bukan masalah bagi masyarakat.
Mengapa kebijakan publik pencabutan subsidi BBM yang dilakukan bukan alternatif lain? Dengan uraian itu, jelas kebijakan publik tidak mengganggu kepentingan oligarki ekonomi-politik yang berkuasa, tidak menghambat akumulasi kapital politisi-pengusaha dan masa depan negara-dagang. Jadi, bukan karena gagasan dan kebijakan ini baik, seperti ditulis Rizal Mallarangeng. Kalaupun ada keresahan, tiap pertentangan kepentingan antara publik dengan politisi-pengusaha akan disetarakan sebagai pertentangan negara versus masyarakat sipil yang berujung pada represivitas negara.
Keterlibatan Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir dalam kekuasaan, jelas keberpihakan intelektual organik (The Gramsci Reader, 2000) kepada si tertindas. Sama sekali bukan perselingkuhan intelektual dengan oligarki ekonomi- politik yang berpuluh tahun merugikan rakyat dengan ekonomi rente, pengisapan, dan KKN. Para intelektual istana seharusnya jujur mengaku berpihak kekuatan ekonomi-politik dominan. Pengakuan ini penting sebab pengkhianatan intelektual harus dinilai bukan lagi karena melanggar syarat ideal intelektual Julien Benda (La Trahison des Clercs, 1927), tetapi dinilai dari tanggungjawab keberpihakannya secara moral, politik, dan hukum Publik akan menilai, apakah mereka akan seperti intelektual Orba, selama 32 tahun berpartisipasi menyengsarakan rakyat, tetapi melarikan diri dan tidak mau bertanggung jawab secara moral, politik, dan hukum, ketika Orba runtuh. Karena itu, berani beriklan, berani berpihak, berani bertanggung jawab di kemudian hari.
M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)
Senin, 07 Maret 2005



Selingkuh Freedom Institute?
Oleh Sulfikar Amir
SELINGKUH itu indah", begitu bunyi frase yang sempat populer di Jakarta. Selingkuh bagai fenomena "wajar", yang bagi kalangan tertentu dianggap rekreasi yang menantang. Tetapi, wajarkah bagi intelektual untuk melakukan selingkuh dengan pemegang kekuasaan?
Pertanyaan ini menjadi penting dalam kontroversi iklan Freedom Institute yang mendukung kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Lepas dari tujuan "mulia", iklan itu "selain membujuk masyarakat" juga untuk "meyakinkan dan mendorong pemerintah untuk segera dan tidak ragu mengambil kebijakan tepat" (Rizal Mallarangeng, Kompas 3/3), aroma selingkuh mudah merebak ke publik. Ada dua faktor yang menggoda kita mengambil kesimpulan selingkuh.
Pertama, koneksi antara Freedom Institute dan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, pengusaha besar yang juga penyandang dana Freedom Institute. Oleh karena itu, tidak sulit untuk melacak kepentingan apa yang bermain di sini. Se-freedom apa pun Freedom Institute, pengaruh Aburizal atas sikap dan dukungan pusat studi ini tentu tidak dapat dinafikan begitu saja.
Kedua, aliran ideologi. Freedom Institute adalah salah satu kantung liberalis di Indonesia. Ini terlihat dari orientasi pemikiran Direktur Freedom Institute Rizal Mallarangeng, liberalis tulen yang menulis disertasi tentang dinamika gagasan liberalisme ekonomi di Indonesia. Karena itu, tidak heran jika kenaikan harga BBM yang didukung Rizal dan rekan-rekan dimaknai sebagai bentuk kemenangan kaum liberal ("Kenaikan BBM, Kemenangan Neoliberal", Kompas 3/3).
Semenarik apa pun kesimpulan yang dapat diambil dari relasi kekuasaan dan kepentingan yang ada dalam kasus iklan Freedom Institute tidak mudah untuk menjawab pertanyaan apakah Freedom Institute telah berselingkuh atau tidak. Kalaupun benar, dana iklan Freedom Institute yang berbiaya besar (Effendi Gazali, "(Maaf) Tak Mampu Beriklan", 2/3) itu berasal dari Aburizal, "pemilik" Freedom Institute, itu belum cukup menjelaskan apakah selingkuh atau, seperti kata Rizal, pemihakan pada gagasan.
RIZAL menegaskan, "selingkuh" kaum intelektual adalah hal wajar. Dikemukakan beberapa nama seperti Condy Rice dan Henry Kissinger. Bahkan, Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir pun dianggap ber-"selingkuh" dengan kekuasaan. Hati-hati dengan klaim ini.
Pertama, kita harus bisa memisahkan kaum profesional dan kaum intelektual. Kaum profesional adalah pengguna pengetahuan yang cenderung bersikap taken for granted dengan pengetahuan yang dimiliki. Sementara kaum intelektual adalah penghasil pengetahuan yang senantiasa bersikap kritis dan reflektif terhadap bentuk dan implikasi dari pengetahuan.
Kedua, kita harus bisa memberi batasan antara intelektual dan politisi. Mencampuradukkan keduanya akan membuat pemahaman kita ambivalen.
Namun, lepas dari catatan kecil ini, apa yang disampaikan Rizal sebagai respons terhadap tuduhan selingkuh adalah indikasi bagaimana bingungnya kaum intelektual di Indonesia tentang posisinya di masyarakat. Apakah kaum intelektual harus steril dari jaringan kekuasaan? Apakah pengetahuan sebagai cultural capital kaum intelektual harus benar-benar murni dari berbagai kepentingan? Jika semua tuntutan netralitas dan obyektivitas menjadi syarat bagi sebuah intelektualisme, apakah itu dapat terjadi atau hanya sekedar utopia?
Dalam tulisan "Cendekiawan Bukan Malaikat" (Kompas, 15/12) saya jelaskan, bagaimanapun dan di mana pun juga kaum intelektual senantiasa bersinggungan dengan kekuasaan. Berbagai bentuk pengetahuan yang dihasilkan kelas terdidik ini tidak pernah lepas dari pengaruh kepentingan yang datang melalui berbagai saluran politik, sosial, ekonomi, atau budaya. Tetapi, harus dicatat, kekuasaan yang berhimpit pada kaum intelektual tidak harus dilihat semata-mata dalam makna represif dan otoritatif. Kekuasaan itu adalah aliran energi yang memungkinkan interaksi antara elemen masyarakat terjadi secara dinamis dan harmonis.
Mungkin inilah yang ingin dilakukan Freedom Institute dengan menjadikan iklan sebagai media kekuasaan yang dinamis. Oleh karena itu, Rizal menantang kaum penentang kenaikan harga BBM untuk membuat iklan serupa. Tantangan ini sedikit naif karena protes dan demonstrasi menentang kebijakan itu terjadi di mana-mana. Kaum intelektual penentang kebijakan BBM tidak perlu menghabiskan ratusan juta rupiah untuk menunjukkan sikapnya. Tetapi, yang lebih penting untuk dicermati adalah bagaimana kekuasaan intelektual itu dimainkan Freedom Institute.
Jika kembali kepada prinsip bahwa kaum intelektual senantiasa bersikap kritis dan reflektif terhadap pengetahuan dan konsekuensinya bagi masyarakat, dukungan Freedom Institute terhadap kebijakan BBM yang diekspos secara mewah adalah tindakan tergesa-gesa. Apa pun logika dan argumen yang digunakan serta secanggih apa pun model ekonomi yang dipakai dalam mengambil kebijakan harga BBM, sebagai lembaga studi yang independen selayaknya Freedom Institute bersikap kritis dan reflektif terhadap keputusan pemerintah dan tidak mendahului reaksi publik terhadap kebijakan itu.
Dukungan secara terbuka justru menimbulkan pertanyaan tujuan iklan itu. Apakah dengan adanya dukungan itu membuat masyarakat mau mengerti dan menerima kebijakan kenaikan BBM saat mereka menghadapi realitas hidup yang kian sulit akibat kebijakan itu? Lain halnya jika Freedom Institute adalah think tank resmi pemerintah yang melakukan penelitian kebijakan yang akan diambil pemerintah. Jika ini yang terjadi, dukungan Freedom Institute tidak akan menjadi masalah. Namun, Freedom Institute adalah lembaga studi independen. Oleh karena itu, terasa janggal jika sebuah lembaga independen memberi dukungan penuh pada kebijakan pemerintah lepas dari setuju-tidaknya mereka pada kebijakan itu. Kaum intelektual memang tidak pernah lepas dari faktor kekuasaan, tetapi apa yang ditunjukkan Freedom Institute adalah bentuk submissive terhadap pihak otoritas.
APAKAH Freedom Institute telah berselingkuh?
Selingkuh atau tidak sebenarnya tidak relevan lagi jika kita melihat fenomena ini secara lebih luas. Hebohnya kasus iklan Freedom Institute tidak hanya bukti, bagaimana carut- marutnya proses pembuatan kebijakan yang terlalu bertumpu pada pandangan sepihak pemerintah, tetapi juga menunjukkan bagaimana kaum intelektual kikuk saat berhadapan dengan sumber-sumber kekuasaan yang berasal dari birokrasi dan pemilik modal.
Ini bukan soal pilihan "rasional" kaum intelektual, tetapi sebuah kondisi struktural dari sejarah panjang relasi antara kaum elite terdidik dengan pemegang otoritas publik. Kaum intelektual masa kini adalah jelmaan kaum priayi masa lalu yang merupakan subordinasi kaum penguasa. Oleh karena itu, tantangan kaum intelektual masa kini adalah mencari sosok jati diri yang otonom dan lepas dari bayang-bayang masa lalu. Dengan begitu, kaum intelektual dapat menggunakan kekuasaannya secara bijaksana.
Sulfikar Amir Kandidat Doktor di Dept Science and Technology Studies, Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York



Jumat, 04 Maret 2005



Maaf, Tidak Mampu Beriklan
Oleh Budiarto Danujaya
SEPARUH kebenaran adalah separuh kebohongan, begitu bunyi sebuah petatah-petitih Hindu lama, yang kiranya masih masuk akal sampai di abad postmo ini.
Seperti halnya rentetan iklan sosialisasi rencana kenaikan harga BBM, tanggapan Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng (Kompas, 3/3) penuh kebenaran sebagian sehingga betapapun tampil menawan, namun cenderung menyesatkan (misleading). Mencoba memperluas persoalan, kecenderungan ini juga menyangkut iklan sosialisasi kenaikan BBM yang ditayangkan media elektronik, jadi bukan sekadar iklan dukungan Freedom Institute yang dipergunjingkan itu.
Kecenderungan ini menyangkut baik konteks ekonomis kebijakan maupun konteks politis bentuk dan cara penyampaiannya yang disebutnya bisa "menjadi instrumen demokrasi dan pendidikan politik yang sehat".
TERLEPAS dari hasil penelitian LPEM-FEUI, kiranya mudah dimengerti jika tiap bentuk kebijakan harga majemuk untuk produk yang sama akan menghadirkan pasar yang ditandai kink-curve dan rawan penyelewengan. Berbagai kisah black-market, termasuk di negeri ini, dengan gamblang menunjukkan. Namun, justru mulai di sinilah argumen keengganan memberi subsidi karena rawan penyelewengan itu qua logic menunjukkan ketidakruntutan. Kebijakan BBM baru tetap menduakan harga dalam negeri untuk beberapa jenis produk, dan tak menghapus total subsidi sehingga tetap ada perbedaan harga dengan di luar negeri. Artinya, tugas pemerintah untuk mengatasi kerawanan penyelewengan juga tak berkurang.
Yang ingin dikatakan di sini bukan agar subsidi bahkan harus dihapus total. Tetapi, subsidi adalah sebentuk kebijakan, yang karena menyangkut alokasi otoritatif nilai yang bersangkut paut dengan orang banyak kemudian lebih merupakan sebuah keputusan politis. Jadi, sebuah pilihan yang terlepas dari sudah diperhitungkan untung-ruginya secara ekonomis, termasuk ekses negatifnya, mungkin tetap dipilih karena pertimbangan lain yang lebih komprehensif menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam konteks ini kerawanan menuntut pengamanan dan bukan penghindaran kebijakan.
Menilik itu, berbagai kepelikan yang kini harus dipertimbangkan seyogianya juga sudah harus dipertimbangkan saat kebijakan subsidi BBM mulai ditempuh beberapa dasawarsa lalu. Barangkali penalaran semacam inilah yang menimbulkan tudingan bahwa yang kini terjadi lebih merupakan perubahan haluan ekonomi ketimbang tinjauan ulang pragmatika sebuah kebijakan.
Kecurigaan semacam inilah yang membuat kata neoliberalisme mudah terlontar dari pakar dan demonstran. Mungkin karena mengingatkan penghapusan dan pengurangan tunjangan sosial di negara kesejahteraan (welfare states) yang bangkrut akibat perubahan ekonomi global.
DALAM konteks ekonomi, kehidupan sebuah masyarakat barangkali bisa diibaratkan bejana berhubungan. Kebijakan suatu sektor senantiasa mengandaikan berbagai konsekuensi logis (bahkan mungkin seakan tak logis) pada hal-hal maupun sektor-sektor lain. Karena itu, pertanyaannya, sungguhkah penurunan subsidi BBM dan pengalihannya pada subsidi-subsidi langsung secara kumulatif agregatnya akan lebih menguntungkan rakyat kecil (dan mengurangi keuntungan kaum pengusaha dan berpunya), seperti termaktub dalam iklan itu?
Rasanya, tak terlihat kesulitan berarti untuk menimpakan kenaikan harga BBM pada biaya produksi perusahaan berskala industrial, toh kenaikan ini menimpa rata semua pengusaha sehingga tak mengurangi daya saing produk mereka, sekurangnya untuk pasar dalam negeri. Demikian pula dalam mengompensasi tunjangan transportasi bagi para eksekutif, ketimbang para buruhnya, yang mungkin harus menunggu keputusan Upah Minimum Regional (UMR) baru, yang entah kapan diupayakan. Sementara itu, sejak skandal besar Jaring Pengaman Sosial (JPS) kita sebaliknya tahu betapa rawannya bentuk-bentuk subsidi langsung.
Barangkali di sinilah kebenaran argumentatif iklan-iklan itu menjadi sepihak, dan legitimasinya lebih ditopang permainan citra memanfaatkan kekuatan presensi dan repetisi media massa. Kecenderungan itu bahkan kadang amat vulgar. Sebagai contoh, iklan sosialisasi kenaikan BBM di televisi yang memanfaatkan popularitas Mat "Bajaj Bajuri" Solar. Dengan bahasa vulgar diimajikan, mendukung subsidi BBM berarti mendukung orang kaya bermobil Mercedes Benz.
Bukan saja iklan ini manipulatif karena Mercedes Benz harus memakai Pertamax yang harganya sudah naik sejak dua bulan lalu justru saat iklan itu baru mulai ditayangkan. Iklan ini juga fasis karena menghalalkan cara-cara kotor untuk memenangkan citra publik, tanpa berpikir panjang telah mengobarkan kembali sentimen SARA, yang tidak punya landasan obyektif. Aneh, di masa lalu rakyat dengan gampang dituduh subversif jika sedikit saja menyebut kelas sosial apalagi memakai isu SARA, sementara kini justru pemerintah yang memakainya!
MEMIHAK pada satu sisi dari sebuah isu publik yang pada dasarnya masih bisa diperdebatkan, seperti dinyatakan Rizal, memang sah dalam sebuah masyarakat demokratis. Tetapi, dalam politik nyata sehari-hari, masalah demokrasi tak selalu tentang perbedaan pendapat hakiki, yang saking sulitnya dipertemukan lalu merupakan masalah pilihan. Demokrasi kadang sekadar soal kesetiaan terus-menerus merawat prosedur bersama.
Cita-cita ideal demokrasi, baik persamaan, maupun kebebasan seperti pada demokrasi liberal, adalah hal-hal yang tak kepalang sulit dicapai. Karena itu, belakangan orang lebih suka berteori mengenai democracy to come, melihatnya sebagai sebentuk idealisasi, sebuah arah yang harus terus digapai sekaligus takkan pernah tercapai sepenuhnya. Setiap bentuk demokrasi selalu mengandaikan kondisi kemungkinan (possibility) pencapaiannya, sekaligus kondisi ketidakmungkinan (impossibility) pencapaiannya (Chantal Mouffe: 1993). Dengan demikian, yang lebih penting adalah menyadari antagonisme sebagai bagian inheren demokrasi dan senantiasa merawat (termasuk selalu memperdebatkan kembali) prosedur bersama menuju arah ideal itu.
Dalam konteks ini menjadi jelas, pemasangan iklan Freedom Institute, terlebih iklan-iklan sosialisasi kenaikan BBM di televisi, secara prosedural melanggar fairness (tidak adil) dan karena itu jauh dari "menjadi instrumen demokrasi dan pendidikan politik yang sehat". Misalnya, pernyataan bahwa Kompas mempunyai "prinsip bahwa semua mendapat perlakuan sama, termasuk mengiklankan pendapat tentang satu atau beberapa isu publik", merancukan kesan.
Pertama, setahu saya belum pernah ada aturan di lingkungan pers yang mengharuskan media memberi hak jawab iklan seperti pada berita, sehingga meski setiap pihak boleh beriklan, tidak berarti dia tidak harus membayar. Atau kedua, seakan pihak media, dalam hal ini Kompas, berkewajiban memuat iklan jawaban karena memuat iklan itu. Hal ini jelas merupakan sebuah pengalihan tanggung jawab yang tak masuk akal.
Dengan demikian, ketidakadilan proseduralnya adalah memaksa pihak lain yang merasa risih, padahal tak berkepentingan langsung dengan persoalan terpaksa mengeluarkan biaya menanggapi. Bayangkan, iklan BBM itu ditayangkan di segenap stasiun selama dua bulan dengan belasan repetisi tiap hari, berapa biaya tanggapannya?
MENYAMAKAN iklan semacam ini dengan iklan sampo rasanya tak bertanggung jawab. Iklan ini menyangkut rancangan sebuah kebijakan publik, sehingga bersangkutan dengan alokasi otoritatif nilai yang akan berdampak bagi kehidupan masyarakat. Jelas, dalam definisi politik yang paling sederhana pun, domain persoalannya adalah politik karena akan mempunyai kekuatan otoritatif -memaksa- segenap masyarakat untuk mematuhinya. Ada lambang negara, ada kebijakan dan peraturan pemerintah, tapi belum pernah ada sampo negara atau sabun pemerintah.
Mengatakan bahwa kebiasaan beriklan semacam ini lazim di Amerika Serikat, rasanya tak membuat analogi ini bangkit dari kubangan lumpurnya. Berbagai peristiwa semacam penyerbuan Irak seharusnya menginsafkan kita bahwa AS sebagai wujud ideal masyarakat demokrasi tinggal mitos yang diwariskan Alexis de Toqueville di tahun 1834.
Cara berpikir semacam ini mengingatkan kita pada praktik postmodern, seperti digambarkan Jean-Francois Lyotard (2001), yang melihat techno-science mutakhir sebagai mak comblang bagi menghablurnya aneka perbedaan domain konvensional mengenai yang kuat, adil, dan benar. Ketidaksepadanan nyata antara permainan denotatif (dengan salah/benar sebagai pemilahannya yang relevan), permainan preskriptif (adil/tak adil) dan permainan teknis (efisien/tak efisien) konvensional bak bermuara ke satu domain yang sama.
Performativitas techno-science tak lagi sekadar berbicara soal efisiensi belaka, tetapi juga lewat kekuatan presensi dan repetisi terus-menerus meningkatkan kemampuan memproduksi bukti, sekurangnya meningkatkan kesempatan dan kemampuan menjadi (baca: dianggap) "benar" dan adil. Bahkan, seakan juga mengukuhkan kembali "realitas".
Sehari-hari kita, misalnya, telah menjadi saksi bagaimana kekuatan teknologi media global, memaksakan dan mengubah pandangan kita tentang berbagai nilai, mulai yang benar, yang adil, bahkan yang cantik. Mulai keabsahan penyerbuan Irak, kebenaran program restrukturisasi IMF, sampai kecantikan bibir memble Angelina Jolie. Rupanya, sejak pemilu terakhir para politikus kita mulai beger dengan kekuatan techno-science ini, khususnya media televisi.
Jadi, gamblang, terlepas dari pro-kontra kebijakan kenaikan BBM sendiri, tidakkah yang menggelisahkan adalah sikap dan cara kita memenangkannya di ruang publik? Karena itu, lebih dari sekadar karena tidak mampu, seharusnya kita juga tidak mau melakukan cara-cara seperti itu. Ini jelas sebuah masalah pilihan.
Budiarto Danujaya Pengamat Sosial



Kamis, 03 Maret 2005



Kaum Intelektual, BBM, dan Iklan Freedom Institute
* Tanggapan atas Tanggapan
Oleh Rizal Mallarangeng
TAK terduga, iklan yang dipasang Freedom Instutite (Kompas, 26/2) ditanggapi berbagai pihak dengan antusias, setuju maupun tidak. Bahkan berbagai komentar yang ada, baik di Kompas maupun dalam talkshow televisi dan milis internet, mungkin sama serunya dengan diskusi tentang penghapusan subsidi BBM itu sendiri.
Effendi Gazali benar, iklan itu adalah sebuah breakthrough ("Maaf, Tak Mampu Beriklan", Kompas, 2/3). Dalam sejarah Indonesia, belum pernah terjadi sejumlah intelektual, pengusaha, profesional, dan aktivis bersatu mendukung sebuah kebijakan dan mengiklankannya sehalaman penuh. Sesuatu yang baru, apalagi dengan isu yang hangat dan aktual, tentu mengundang pro dan kontra. Hal ini dapat dipahami dan harus disambut dengan tangan terbuka.
Mengenai isinya, berbagai komentar menyinggung tiga hal: substansi argumen penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM), bentuk, dan tokoh yang menyampaikan (iklan dan peran intelektual). Saya akan menanggapinya satu per satu, namun sebelumnya saya ingin mengatakan satu hal.
Freedom Institute dan 36 tokoh yang namanya tercantum sebagai pendukung iklan itu tidak dikendalikan pemerintah. Selain membujuk masyarakat, kami justru ingin meyakinkan dan mendorong pemerintah untuk segera dan tidak ragu mengambil kebijakan yang tepat demi masa depan bersama yang lebih baik.
Pemimpin kadang dihadapkan pada aneka pilihan yang dilematis. Kebijakan yang harus dilakukan perlu dan baik, namun tidak populer. Dalam situasi semacam ini kami memilih peran sebagai push factor, betapapun terbatasnya, demi meyakinkan dan secara tidak langsung membesarkan hati pemerintah untuk segera mengambil keputusan dan menghadapi konsekuensinya.
To govern is to choose, kata Charles de Gaulle. Kini pemerintah sudah mengambil keputusan, dan saya mengangkat topi atas keberanian semacam ini.
Argumen moral-ekonomi
Substansi argumen yang ada dalam iklan itu pada dasarnya bersifat konvensional. Tidak ada yang baru di dalamnya. Aspek moralnya telah ditulis dengan baik oleh Franz Magnis-Suseno ("Jangan Tunda Pencabutan Subsidi BBM", Kompas, 14/1) dan penjelasan teknis-ekonomisnya dibahas berkali-kali oleh M Chatib Basri dan Anggito Abimanyu di harian ini.
Pada intinya, argumen kami mulai dengan sebuah fakta: sebagai konsekuensi dari harga minyak dunia yang terus melambung, subsidi terus membengkak, jauh melebihi rencana semula yang "hanya" Rp 19 triliun. Tanpa pengurangan, subsidi bisa melewati angka Rp 70 triliun tahun ini (atau hampir setara dengan Rp 200 miliar per hari). Dengan pengurangan rata-rata 29 persen sekalipun, sebagaimana sudah diputuskan pemerintah, negara masih mengeluarkan Rp 100 miliar lebih per hari, atau Rp 39,8 triliun setahun, untuk menyangga harga BBM.
Bagi kami, subsidi pada tingkat tertentu tetap perlu, terutama terhadap mereka yang membutuhkan uluran tangan. Namun, apakah dana subsidi BBM yang demikian besar benar-benar tepat dan perlu? Apakah negara sanggup terus menanggungnya? Apakah subsidi mendorong perilaku ekonomi yang hemat dan rasional?
Ternyata tidak. Memang, ada beberapa penanggap yang mengkritik angka dan hasil penelitian LPEM-FEUI yang ada dalam iklan itu. Ini masalah serius. Salah satu argumen kami bersandar pada hasil penelitian empiris yang menunjukkan, subsidi BBM lebih menguntungkan mereka yang relatif lebih mampu dan kaum yang paling miskin justru kurang menikmatinya.
Jika para pengkritik bisa memperlihatkan kekeliruan penelitian ini, sanggahan mereka akan lebih kuat. Sayang, berbagai tanggapan yang ada hanya berkisar pada tingkat abstraksi dan dugaan bahwa penelitian itu menyesatkan. Jika memang keliru, mana buktinya? Apakah ada penelitian alternatif yang menunjukkan bahwa faktanya justru berbeda dan berlawanan?
Selain itu, beberapa penanggap juga mengingatkan, persoalan di negeri ini begitu banyak dan beragam, mulai dari korupsi, inkompetensi, dan pemborosan lainnya. Bahkan dana kompensasi yang diusulkan pemerintah sebesar Rp 17,8 triliun mungkin tidak akan luput dari penyalahgunaan dan prosedur birokrasi yang berbelit-belit. Menurut mereka, kami seharusnya juga peduli dan memerhatikan hal-hal seperti itu.
Saya setuju dan bersimpati dengan pendapat demikian. Namun, Prof Widjojo Nitisastro benar saat ia berkata sekian tahun lalu bahwa di Indonesia hal-hal yang baik hanya dapat dilakukan one step at a time. Semua persoalan negeri kita harus dihadapi dan diselesaikan. Namun, yang kini bisa dilakukan, lakukan dulu. Setelah itu, kita dorong lagi pemerintah untuk melakukan hal-hal baik lainnya.
Kaum intelektual
Kami jelas berpihak, namun lebih pada gagasan dan kebijakan tertentu yang kami anggap baik. Masalah pemihakan semacam ini memang menjadi tema klasik yang kadang membingungkan di kalangan intelektual.
Namun, persoalannya sebenarnya sederhana. Semua tergantung substansi pemihakan sendiri, bukan pada wadah atau bentuk pengungkapan. Gagasan atau kebijakan pemerintah bisa benar, bisa salah. Demikian pula gagasan seorang ilmuwan, aktivis, atau mereka yang mengklaim diri sebagai pejuang kaum tertindas. Tidak ada satu pihak pun yang berhak mengklaim bahwa merekalah pemegang kebenaran terakhir. Hal inilah yang harus diperhatikan Abd Rohim Ghazali (Menyoal "Iklan Layanan Pemerintah", 2/3) dan Agus Surono ("BBM dan Iklan Freedom Institute", 1/3).
Jika memang kebijakan pengurangan subsidi baik bagi ekonomi Indonesia, mengapa kita harus ribut soal posisi profesi dan peran kaum intelektual? Mengapa untuk menjadi intelektual harus dalam posisi yang senantiasa berseberangan dengan pihak yang memegang kekuasaan?
Condy Rice dan Henry Kissinger: keduanya adalah bagian dari kaum intelektual dan, sebagai menteri luar negeri adikuasa, bahkan menyatu dengan kekuasaan sendiri. Kita tentu boleh menentang ide atau kebijakan mereka. Namun, agak aneh jika kita mempersoalkan bahwa mereka adalah cendekiawan yang berselingkuh. Mereka yakin pada ide-ide tertentu, dan berusaha menggunakan apa yang ada di sekitarnya, termasuk kekuasaan, untuk mewujudkannya.
Sederet nama besar dalam sejarah kita juga melakukan hal yang sama. Bahkan Indonesia didirikan oleh kaum intelektual yang "berselingkuh" dengan kekuasaan: Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir. Mereka percaya pada ide-ide tertentu tentang sebuah negeri yang ideal dan mengabdikan hidup mereka untuk mewujudkannya, jika perlu dengan menjadi presiden dan perdana menteri.
Iklan
Effendi Gazali adalah seorang ahli komunikasi. Menurut dia, iklan Freedom Institute adalah "bentuk komunikasi politik yang tidak strategik bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya". Selain itu, "iklan itu juga menunjukkan ’compang- camping’-nya ruang publik kita".
Soal strategis dan efektif atau tidak, saya tidak memiliki kapasitas profesional untuk menilai iklan itu. Namun, jika begitu banyak yang menanggapi, termasuk Effendi sendiri (tulisannya menggunakan judul yang cerdas dan memikat), buat saya it is not bad at all. Bukankah tujuan iklan, salah satunya, memang untuk mencari, dan mencuri perhatian?
Namun, adakah pemaksaan di sana? Apakah Effendi sendiri terpaksa atau harus membaca dan memercayai iklan itu? Apakah pada dirinya format penyampaian pendapat dalam bentuk iklan mengandung unsur ketidakadilan dan pemaksaan, dan karena itu membuat ruang publik kita compang- camping? Kalau betul, apa argumennya?
Setahu saya, di harian Kompas tidak ada kebijakan redaksi yang hanya memajukan pendapat tertentu. Pengkritik maupun pendukung kebijakan subsidi BBM mendapat tempat sama. Yang penting, prinsip bahwa semua mendapat perlakuan sama, termasuk mengiklankan pendapat tentang satu atau beberapa isu publik.
Dalam hal yang terakhir ini saya percaya, jika kaum penentang pengurangan subsidi BBM dapat mengorganisasikan diri, menggalang dana, dan benar- benar meyakini kebenaran gagasannya, harian Kompas pasti tidak akan keberatan jika mereka ingin memasang iklan, dua halaman penuh sekalipun.
Di negeri-negeri demokratis lainnya, hal demikian lazim terjadi. The Washington Post dan The New York Times, dua koran paling berpengaruh di AS, sering memuat perdebatan soal kebijakan dalam bentuk iklan yang dipasang oleh tokoh maupun organisasi dari segala kalangan, seperti pengusaha, pengacara, ilmuwan, aktivis dan semacamnya.
Tidak seperti iklan sampo, iklan semacam itu disajikan tidak dalam warna-warni menyala, dilengkapi potret wanita cantik. Namun, seperti iklan sampo, ia ingin menyampaikan sesuatu, mencuri perhatian, dan mengajak orang untuk percaya pada pesan yang disampaikan.
Akhirnya, semua terpulang pada sidang pembaca. Mereka harus berpikir sendiri dan menimbang-nimbang. Take it or leave it. Dalam hal inilah, iklan yang mengandung isu kebijakan dan gagasan yang kuat dapat menjadi instrumen demokrasi dan pendidikan politik yang sehat.
Rizal Mallarangeng Direktur Eksekutif Freedom Institute, Jakarta



Rabu, 02 Maret 2005



(Maaf) Tak Mampu Beriklan
Oleh Effendi Gazali
LUAR biasa iklan "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?" yang dipasang Freedom Institute (Kompas, 26/2). Iklan satu halaman penuh itu-normalnya- pasti bernilai ratusan juta!
Saya asumsikan (harap), satu per satu nama besar yang tercantum di sana sudah mendapat cetak biru (blueprint) iklan itu sebelum mereka menyatakan mendukung sepenuhnya. Karena, bagaimanapun juga, seperti tindakan pemihakan lainnya, bentuk iklan ini akan tercatat dalam sejarah hubungan antara politikus/pemerintah, peneliti/akademisi, dan praktisi media di Tanah Air (lihat antara lain analisis yang sudah diingatkan Garnham sejak 1983).
Artikel ini tidak bermaksud memprotes mereka atau iklan itu. Tulisan ini lebih berupaya menunjukkan, iklan itu tanpa disadari adalah sebuah bentuk komunikasi politik yang tidak strategik bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, iklan itu juga menunjukkan "compang-camping"-nya ruang publik kita (karena itu perlu dilengkapi tulisan ini dan pandangan-pandangan lain yang berbeda nantinya).
Komunikasi politik tak strategik
Sejauh yang saya ketahui, dalam khazanah komunikasi politik, iklan yang dipasang Freedom Institute itu mungkin dapat dimasukkan dalam Issue Advocacy Ad. Artinya lebih kurang: sebuah iklan yang mencoba mengadvokasi publik tentang isu-isu yang dianggap penting untuk kemaslahatan banyak orang. Persoalan pengurangan subsidi BBM yang menyangkut hajat hidup orang banyak jelas tergolong ke dalam kategori ini.
Persoalannya, ada kebiasaan di banyak negara, iklan jenis ini tidak lazim dipasang kelompok atau institusi yang punya hubungan dengan pemerintah atau pribadi-pribadi dalam pemerintah. Intinya, iklan ini seakan diperuntukkan sebagai wilayah bagi lembaga independen (betapa pun relatifnya soal "independensi" itu). Konsekuensinya, begitu iklan semacam ini keluar, apalagi penampilannya "mencolok mata", banyak pengamat dengan saksama pasti akan menelusuri keterkaitan si pemasang dengan pihak tertentu, khususnya dalam pemerintah atau di antara oposisi. Agus Surono (Kompas, 1/3) mencatat, Freedom Institute adalah lembaga yang secara penuh didanai Aburizal Bakrie yang juga Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu.
Tambahan lagi, penyampaian pandangan dalam bentuk iklan (bukan menulis opini atau upaya mendapatkan wawancara semacam spin doctor) menghasilkan dampak psikologis berbeda. Dia dapat dibaca sebagai extraordinary effort, keterdesakan, ketidakmampuan melawan pendapat umum yang lebih besar, serta simbol kekuatan dukungan keuangan luar biasa yang tak umum dimiliki LSM dan akademisi, atau berbagai cara baca lain. Saya berharap para rekan dengan nama besar yang ikut terpasang pada iklan itu pernah menyadari tentang kemungkinan interpretasi ke berbagai arah ini.
Ruang publik
Persoalan kedua menyangkut eksistensi dan wajah ruang publik kita. Di tengah berbagai diskusi kritis tentang konsep Habermas, tetap saja sebuah ruang publik yang berfungsi baik, tergantung pada (elemen-elemen): akses terhadap informasi yang tepat mengenai apa yang dilakukan berbagai institusi pemerintah, dan aneka kesempatan publik untuk terlibat deliberasi yang kritis dan rasional, yang kemudian memengaruhi opini publik serta pembentukan kebijakan dan tindakan pemerintah selanjutnya (lihat antara lain review Haas, Journal of Communication, Maret 2004).
Dalam konteks seperti itu, menarik untuk menyimak pendapat Rizal Mallarangeng (Kompas, 1/3), "Kalau orang boleh mengiklankan produknya seperti sampo, misalnya, mengapa kaum intelektual tidak boleh mengiklankan pikiran mereka? Iklan kan bermacam-macam, orang meninggal saja kalau sanggup, keluarganya bisa membeli space sampai satu halaman dan itu tidak masalah".
Soal intelektual boleh mengiklankan pikirannya, tentu wajar. Masalahnya, saya yakin Rizal sependapat, soal ruang publik tidak pas disimplifikasi seperti itu atau tak tepat dipadankan dengan iklan sampo. Sebagai contoh, Siwi Purwono, warga biasa di Tebet Timur Dalam 8/7 terus meneriakkan konsepnya bersama seorang pakar Pertamina tentang inefisiensi Pertamina serta soal windfall di rekening tertentu, yang dapat membuat subsidi menjadi nol persen. Kapan suaranya yang potensial untuk dibahas publik bisa terdengar sebagai pembanding iklan Freedom Institute?
Di luar ketidakadilan akses, mari kita simak bagian iklan itu yang berbunyi: "Selain itu rendahnya harga domestik dibanding harga internasional mendorong merebaknya penyelundupan BBM". Lihat juga lead iklan yang mengedepankan masalah penyelundupan minyak. Sulit bagi saya memahami hal ini sebagai sebuah alasan yang kritis dan cerdas. Saya bertanya-tanya apakah ini merupakan sebuah upaya pemaafan bagi ketidakmampuan pemerintah memberantas penyelundupan? Mengapa ketidakbecusan dalam memerangi penyelundup ditimpakan kepada pihak lain yang sama sekali tidak terkait kejahatan itu?
Penyampaian grafik bahwa program kompensasi akan mengurangi jumlah kaum miskin juga tidak memberi kesan sebagai hipotesis yang dibangun dengan alasan yang kritis dan cerdas. Ia sama sekali tidak menyertakan data berapa kemungkinan bocornya kompensasi itu, entah berdasarkan perhitungan masa lalu maupun perkiraan yang dipakai membangun hipotesis atau grafik itu.
Jadi, dalam display yang kita lihat pada iklannya, program kompensasi itu seakan dijalankan di negeri dengan tingkat korupsi dan penyimpangan yang relatif tidak bermasalah, misalnya, Singapura. Tambahan lagi, ada juga masalah manajemen isu yang terkesan "tidak fair". Isu inefisiensi Pertamina sama sekali tidak disinggung di situ.
Persoalan eksistensi dan wajah (isi) ruang publik kita mungkin bisa dikurangi jika dapat digagas suatu sistem di mana media kita mau bermurah hati atau diwajibkan memuat iklan dengan pandangan berbeda, katakanlah sebagai "Hak Jawab Publik". Mungkin Dewan Pers yang menjadi pemutus kapan hal itu dapat dibenarkan atas dasar desakan publik.
Akhirnya, tulisan ini mesti ditutup dengan menyatakan, apresiasi saya terhadap nama besar rekan-rekan dalam iklan itu sama sekali tidak berkurang. Meski caranya berbeda, kepedulian kita pada ujungnya tetap sama, seperti Haas dan para penulis tentang ruang publik yang dianalisisnya, yakni mengenai fungsi ruang publik itu dalam formulasi kebijakan selanjutnya. Dalam hal ini, kami, beberapa peneliti di Program Pascasarjana Komunikasi UI, yang menyebut diri "Salemba School", sering merasa gusar dengan istilah "sosialisasi". Menurut hemat kami, dalam civil society, yang jauh lebih penting dikedepankan adalah "konsultasi publik", bukan sosialisasi. Istilah "konsultasi publik"-lah yang menjamin bahwa ruang publik memang ada fungsinya dalam formulasi kebijakan pemerintah. Sedangkan sosialisasi, dalam konteks Indonesia, cenderung mengarah ke kebijakan Orde Baru, yang selalu buat dulu peraturannya lalu disosialisasikan agar publik mau (baca: mesti) menerimanya!
Apa boleh buat, atau maaf, Salemba School, seperti kebanyakan dari kita, belum merasa perlu menyampaikan pikiran dalam bentuk display khusus, sekaligus mengaku belum mampu beriklan.
Effendi Gazali Pengajar Pascasarjana Komunikasi UI; Research Associate di Radboud, Nijmegen University
Rabu, 02 Maret 2005



Menyoal "Iklan Layanan Pemerintah"
Oleh Abd Rohim Ghazali
IKLAN satu halaman penuh Freedom Institute, Center for Democracy, Nationalism, and Market Economy Studies, "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?" (Kompas, 26/2) menarik didiskusikan lebih lanjut. Alasannya, kalkulasi ekonomi yang dipaparkan sebagai materi iklan meski tampak amat rasional, belum tentu sesuai dengan realitas yang dibutuhkan masyarakat. Sepertinya masuk akal, tetapi dapat membawa akibat yang menyesatkan.
Idealnya, rasionalitas sejalan dengan kebutuhan masyarakat sehingga setiap problem yang dihadapi masyarakat bisa dikalkulasi dan dicari jalan keluarnya. Kenyataannya, problem yang dihadapi masyarakat selalu kompleks dan sulit bisa dipahami secara linear. Oleh karena itu, ketidaksesuaian antara rasionalitas dan kebutuhan masyarakat menjadi hal biasa. Jika yang rasional sejalan dengan realitas, tentu tak ada kritik terhadap paradigma Newtonian-Cartesian. Itu yang pertama.
Kedua, data hasil kajian LPEM-FEUI tentang dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia-yang disertakan untuk "membunyikan" materi iklan-amat potensial menipu khalayak. Pada faktanya, naik turunnya jumlah penduduk miskin di suatu negara, tak selalu terkait kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, apalagi hanya satu sektor (misalnya subsidi BBM). Menurut kajian Amartya Sen, ekonom asal India peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1998, grafik kesejahteraan (pertumbuhan ekonomi) justru terkait tinggi rendahnya kebebasan politik yang dinikmati rakyat dalam suatu negara. Menurut Sen, banyak kalangan salah paham mengenai kemiskinan, miskin hanya dipahami sebatas lack of income (kekurangan pendapatan). Padahal, kurangnya pendapatan hanya konsekuensi dari kurangnya kemampuan (lack of capability) dan kurangnya kesempatan (lack of opportunity). Seseorang menjadi miskin, menurut Sen, terutama karena kemampuan pada dirinya tak diberi ruang untuk diaktualisasikan. Pandangan Sen ini bukan hanya didasarkan hasil kajian di ruang akademis, tetapi studi empiris.
Ketiga, dalam iklan disebutkan, pengurangan subsidi BBM akan dikompensasikan untuk beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah. Ada kesan, beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah hanya bisa dilakukan dengan baik jika pemerintah mengurangi subsidi BBM. Padahal, kenyataan tidak demikian, karena semua itu adalah tugas pemerintah. Ada-tidaknya pengurangan subsidi BBM adalah kewajiban pemerintah menolong rakyatnya. Dan dalam melaksanakan kewajiban ini, perlu dicari cara yang kreatif tanpa harus menyakiti hati rakyat. Benarkah menaikkan harga BBM ibarat menelan pil yang terasa pahit tetapi menyembuhkan?
SELAIN ketiga hal itu, pencantuman sejumlah cendekiawan dan tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM)-antara lain Franz Magnis-Suseno, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Hamid Basyaib, dan Ulil Abshar-Abdalla-akan merugikan kredibilitas cendekiawan umumnya. Kalaupun yang disampaikan dalam iklan itu benar, apakah perlu mencantumkan nama cendekiawan sebagai penguat. Apalagi jika secara substantif isinya belum tentu benar.
Kita menginginkan cendekiawan dan LSM senantiasa menyuarakan kepentingan rakyat, meski kita yakin apa yang menjadi kepentingan rakyat-sebagaimana kepentingan pemerintah dan pemilik modal-belum tentu benar. Karena itu, kita bisa memahami dan tidak keberatan (malah senang) saat sejumlah cendekiawan dan LSM tercantum namanya dalam iklan layanan masyarakat.
Contoh, dalam kasus pertikaian antara Tempo versus Tommy Winata, kita senang saat banyak (aktivis) LSM dan cendekiawan yang membela Tempo meski belum tentu Tempo ada di pihak yang benar. Dalam hal ini, yang mereka bela bukan Tempo sebagai institusi, tetapi media yang bisa menyalurkan aspirasi masyarakat. Maka, ketika sejumlah cendekiawan dan aktivis LSM tercantum namanya dalam-meminjam istilah Farid Gaban-"iklan layanan pemerintah", tentu akan memunculkan kembali perdebatan klasik mengenai makna "pengkhianatan kaum intelektual".
Selain itu, pencantuman nama sejumlah cendekiawan pada "iklan layanan pemerintah" telah menjerumuskan mereka pada kerancuan berpikir yang disebut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1999) sebagai argumentum ad verecundian. Yakni berargumen dengan menggunakan otoritas, meski otoritas itu tidak relevan atau ambigu.
Mereka yang tercantum dalam iklan itu mempunyai otoritas tinggi (meski tidak semuanya) dalam bidang ilmu dan keahlian masing-masing: ada ahli filsafat, ahli hukum, pakar politik, pakar agama, dan lain-lain. Tetapi apa relevansi pencantuman nama mereka untuk iklan yang mendukung pengurangan subsidi BBM yang berarti legitimasi bagi keabsahan kenaikan harga BBM?
Memang, bisa saja diajukan argumen bahwa persoalan pengurangan subsidi BBM tidak hanya terkait masalah ekonomi, tetapi terkait hajat hidup orang banyak. Karena dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM itu menyentuh beragam kebutuhan masyarakat, maka para ahli di bidang filsafat, hukum, politik, dan kebudayaan ikut mendukungnya.
Jika demikian, berarti iklan itu telah menjebak mereka pada kesalahan berpikir yang lain, yakni fallacy of misplaced concretness (upaya mengonkretkan sesuatu yang pada dasarnya abstrak), dan fallacy of dramatic instance (penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum).
SEJAK iklan pengurangan subsidi BBM muncul di media, banyak kalangan mengkritiknya sebagai penyesatan opini publik. Karena dianggap menyesatkan, Departemen Komunikasi dan Informatika-yang menyampaikan iklan itu-dikecam keras dan menjadi sasaran demonstrasi aktivis mahasiswa. Tak hanya di ranah publik, di parlemen yang eksklusif pun kebijakan pengurangan subsidi BBM menyulut perdebatan. Beberapa anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) bahkan akan menggalang dukungan untuk mengajukan hak angket kepada pemerintah.
Sementara itu, sejak Desember 2004, harga-harga kebutuhan pokok beranjak naik, mulai 4 persen hingga 60 persen (Tempo Interaktif, 7/12/2004 dan 26/2/2005). Meski kenaikan harga itu tak selalu berkaitan dengan pengurangan subsidi BBM, namun kenaikan harga BBM sudah pasti akan berdampak langsung pada kenaikan harga bahan pokok dan tarif angkutan umum, dua hal yang menjadi kebutuhan sehari-hari rakyat di negeri ini.
Artinya, pengurangan subsidi BBM pasti akan semakin menyulitkan rakyat. Sementara kompensasinya (beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah) belum tentu bisa diwujudkan dengan benar. Karena itu, pemerintah harus kerja keras agar kompensasi kenaikan harga BBM tak sekadar menjadi angin surga di telinga rakyat. Masih banyaknya koruptor dan pejabat bermoral bejat di negeri ini, bukan tidak mungkin, akan menjadikan dana kompensasi sebagai lahan korupsi.
Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif MAARIF Institute; Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah



Selasa, 01 Maret 2005



BBM dan Iklan Freedom Institute
Oleh Agus Surono
HARI Sabtu (26/2/2005) Freedom Institute mengiklankan diri untuk mendukung pengurangan subsidi disertai sinopsis alasan. Pada kolom bawah tertera nama-nama para pendukung. Ada Andi Mallarangeng (Juru Bicara Presiden), Rizal Mallarangeng (Freedom Institute), M Chatib Basri, M Sadli (ekonom UI), Todung Mulya Lubis (pengacara), Goenawan Mohamad (budayawan), dan lain-lain.
Melihat nama-nama yang ada menunjukkan mereka adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas dan integritas.
Ada yang menarik dari iklan dukungan pengurangan subsidi BBM itu. Baru kali ini dalam sejarah BBM mendapatkan dukungan intelektual dan aktivis LSM. Hal ini tidak pernah terjadi dalam sejarah Orde Baru, zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, maupun Megawati.
Dalam sejarah Orde Baru kalangan intelektual justru kritis dan ada dalam posisi out sider dan tokoh LSM tidak berkutik, tetapi peran intelektual tetap mendominasi. Mafia Berkley menjadi contoh paling sahih.
Dalam tiga pemerintahan terakhir pascareformasi, masalah BBM tetap menjadi persoalan yang dilematis. Vis a vis tuntutan neoliberal dengan kenestapaan rakyat sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Dalam konteks Orde Baru intelektual yang masuk birokrasi kekuasaan cenderung terkooptasi. Tugasnya hanya menjadi tukang stempel atau mensahkan program-program kekuasaan. Contoh paling nyata adalah dikenalkannya model developmentalism sebagai model untuk mengonstruksi perkembangan negara, juga model yang akhirnya sekadar mengakumulasi kebangkrutan negara, model pembangunan yang sebenarnya diadaptasi tanpa dasar filosofi yang jelas. Dan seolah tidak mau tahu jika paham pembanguannisme sebenarnya hanya upaya Amerika Serikat dalam memenangkan perang dingin dan melokalisasi meluasnya sosialis-komunis versi Soviet.
Plus minus iklan itu
Apa yang dilakukan Freedom Institute dengan iklan itu dapat dipahami sebagai civic education bagi kita. Bahwa subsidi pada gilirannya harus dikurangi dan kalau mungkin dihapus karena dalam jangka waktu tertentu subsidi yang terus-menerus akan memberatkan negara. Dengan demikian, beban utang negara pun akan bertambah. Ini hanya akan mewariskan utang pada generasi berikut. Belum lagi subsidi yang selama ini ada ternyata banyak salah sasaran. Ini merupakan sebuah logika ekonomi yang bisa dipahami bersama.
Namun, apakah logika seperti itu paralel dengan problem keseharian masyarakat? Ini merupakan pertanyaan yang tidak sekadar perlu dijawab dengan kalkulasi statistik-kuantitatif yang cenderung menyederhanakan realitas seperti iklan Freedom Institute itu. Realitas menunjukkan, rencana kenaikan BBM masih menimbulkan pro dan kontra. Terlalu tergesa-gesa jika kemudian lembaga, orang perseorangan melakukan release publik yang bertujuan menyatakan afirmasinya.
Dengan demikian, apa yang dilakukan Freedom Institute dengan iklannya itu dapat dimaknai sebagai bentuk peneguhan, dukungan, bahkan bisa dimaknai sebagai pressure/intimidasi atau provokasi bagi publik.
Publik kritis dipastikan akan bertanya-tanya ada apa dengan para intelektual dan tokoh LSM yang secara vulgar mengiklankan diri mendukung pengurangan subsidi BBM. Terlebih iklan ini dilakukan atas Nama Freedom Institute yang notabene merupakan lembaga yang secara penuh didanai oleh Aburizal Bakrie yang juga Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu. Bukan bermaksud berprasangka yang berlebihan terhadap apa yang dilakukan Freedom Institute, tetapi tetap saja akan menimbulkan spekulasi bahkan stigmatisasi bahwa iklan yang dimuat satu halaman penuh itu sekadar pesanan dari penyandang dana.
Dengan demikian, jika kemudian iklan itu memunculkan kesan bahwa apa yang dilakukan sekelompok intelektual dan aktivis LSM ini adalah sekumpulan orang yang dengan sadar menjadi "juru bicara" pemerintahan sekarang, bisa menjadi sesuatu yang masuk akal.
Terlebih apa yang dijanjikan dengan pendidikan gratis dan pengobatan murah sebagai kompensasi atas dihapuskannya subsidi juga akan berjalan efektif. Apakah karena ketidaktepatan subsidi yang selama ini terjadi dengan serta-merta dapat dijadikan alasan untuk kemudian menghapus subsidi, sesuatu yang pasti masih mengundang kontroversi. Mengapa justru mereka tidak melihat di mana ketidaktepatan bantuan subsidi itu? Hal ini mengindikasikan jalan pintas dalam memahami persoalan.
Keberpihakan intelektual
Iklan Freedom Institute itu mengajak pada perdebatan tentang peran intelektual dan keperpihakannya. Menyitir teori Gramsci dengan Intelektual Organik, apa yang ada pada iklan beserta pendukungnya itu telah mencederai amanat rakyat. Dengan dalih dan dalil ekonomi membuat justifikasi pengurangan subsidi BBM sebagai sesuatu yang wajar.
Aroma perselingkuhan beberapa intelektual dan aktivis LSM menjadi amat kentara. Kerja sama antara intelektual dan tokoh LSM memang tidak dilarang. Tetapi kerja sama itu seyogianya tidak mematikan nalar kritis dan naluri kemanusiaan.
Sekiranya iklan itu juga dapat memotret peran intelektual dan tokoh LSM, akan diperoleh keterangan sebagai berikut. Pertama, adanya keterjarakan antara aktivitas intelektual dan kesenyataan persoalan masyarakat bawah.
Kedua, mungkin begitulah potret sebagian intelektual/aktivis LSM yang tidak kuasa menghadapi kekuasaan. Sebagaimana ditengarai Heru Nugroho dalam sebuah diskusi yang diberitakan Kompas beberapa hari lalu, LSM Indonesia jika tetap mempertahankan idealisme perjuangannya akan miskin karena tidak ada proyek
Ketiga, menunjukkan begitu kuatnya arus neoliberal dalam tokoh-tokoh pendukung maklumat itu, menjadi amat ironis bagaimana gelombang neoliberal yang terus-menerus dikoreksi dan dipertanyakan keadilannya oleh negara dunia ketiga justru mendapatkan tempatnya di sini. Jangan-jangan hal ini hanya karena merasa berutang budi saja.
Sebenarnya amat disayangkan apa yang dilakukan oleh iklan beserta para pendukungnya itu. Karena hal ini bisa dibaca sebagai bentuk penelingkungan proses demokrasi. Publik seolah didikte sekelompok orang yang memiliki akses media. Peran media telah dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan, satu hal yang semestinya diharamkan dalam era demokrasi.
Agus Surono Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Tinggal di Malang



Selasa, 01 Maret 2005



Kesusahan di Balik Kenaikan BBM
Oleh Susidarto
MENARIK mencermati iklan satu halaman pada Kompas (26/2/ 2005) lalu. Di sana, beberapa tokoh yang memiliki integritas yang tidak perlu dipertanyakan lagi mendukung kebijakan kenaikan harga BBM.
Dengan tajuk: "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM", para tokoh yang tergabung dalam dan disponsori oleh Freedom Institute ini pada intinya mendukung pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang berarti adalah mendukung pemerintah untuk menaikkan harga BBM yang selama ini senantiasa mengundang kontroversi tersendiri.
Maklum, dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM ini senantiasa meluas dan kompleks. Lihat saja fenomena yang terjadi. Belum lagi harga BBM dinaikkan, harga kebutuhan pokok sehari-hari langsung meroket naik. Penyebabnya, bisa efek psikologis, atau ada beberapa oknum/pihak yang berupaya "mencuri start" dalam kompetisi "kenaikan harga" sehingga tidak kecolongan dengan yang lain. Inilah fenomena yang riil, yang senantiasa terjadi pra, selama, dan pascakenaikan harga BBM.
Tak heran kalau resistensi segenap komponen masyarakat demikian besarnya. Ada pihak yang tidak setuju dengan kenaikan BBM ini, di antaranya adalah kalangan kampus/mahasiswa, pelaku industri dan penyedia jasa yang sarat dengan BBM, serta ada beberapa pihak yang setuju dan mendukung, salah satunya adalah Freedom Institute di atas. Semua wacana ini tentunya menyegarkan kita bersama. Namun, persoalan pengalihan subsidi yang berdampak pada kenaikan BBM ini ternyata tidaklah sesederhana yang kita duga bersama. Ada beberapa hal mendasar yang tampaknya perlu penanganan serius dari pemerintah.
Pemerintah dan kita semua sering menyederhanakan persoalan bahwa masalah yang dihadapi masyarakat hanya ada dua, yakni pendidikan dan kesehatan. Dan, kedua sektor itu pula yang selama ini ditekankan untuk mendapatkan pengalihan subsidi BBM. Kita tidak pernah berpikir bahwa perjuangan hidup yang paling berat sebenarnya adalah upaya masyarakat kecil untuk meniti kehidupan sehari-hari. Kebutuhan mendasar akan pangan, sandang, dan papan inilah yang sering luput dari perhatian kita.
Sektor pendidikan dan kesehatan, bagi masyarakat kecil memang sangat penting. Namun, jika kita telisik lebih mendalam, maka persoalan yang dihadapi masyarakat kecil tidaklah sesederhana itu. Bagi mereka, komponen biaya sekolah dan kesehatan, selama ini ternyata mengambil porsi yang tidak terlalu signifikan (kecil) jika dibandingkan dengan pengeluaran rutin untuk membeli berbagai bahan kebutuhan pokok sehari-hari.
Sebut saja misalnya, untuk membeli bahan-bahan keperluan sehari-hari seperti beras dan lauk-pauknya, transportasi, serta seabrek kebutuhan sehari-hari, ternyata jauh mengambil porsi yang tidak kecil. Dampak kenaikan harga kebutuhan pokok sehari-hari ini apabila dibandingkan dengan biaya pendidikan dan kesehatan tidaklah sebanding. Nah, fenomena inilah yang tampaknya perlu dipikirkan oleh pemerintah di balik pengalihan subsidi, yang mengakibatkan ketimpangan (distorsi) harga di pasar, dan berdampak pada beban di pundak masyarakat kecil.
Kenaikan harga berbagai barang dan jasa pascakenaikan BBM inilah yang semestinya menjadi isu penting, yang perlu dicarikan solusinya. Memang, fenomena ini merupakan "harga yang harus dibayar" oleh kita semua. Namun, jangan sampai beban masyarakat kecil justru semakin berat akibat kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok. Pemerintah harus berupaya mencarikan solusi untuk mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok untuk konsumsi sehari-hari dengan operasi pasar seperti beras murah, tarif bus murah, harga sandang murah, harga rumah murah dan sejenisnya. Upaya semacam ini justru jauh lebih penting daripada sekadar mengalihkan subsidi dari BBM ke sektor pendidikan dan kesehatan.
Inilah tampaknya pekerjaan rumah yang tidak ringan. Sebab, dari pengalaman kenaikan harga BBM lampau, senantiasa diikuti dengan kenaikan berbagai komoditas penting dan strategis, yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat kecil. Berbagai sektor produksi dan jasa yang berkorelasi langsung dengan BBM hampir dipastikan akan meroket biayanya. Sektor transportasi misalnya, jelas akan menaikkan tarif angkutan. Dengan demikian, biaya jasa transportasi yang murah meriah mungkin tinggal kenangan karena hampir semua moda transportasi baik darat, laut, maupun udara sarat bersentuhan dengan BBM.
Begitu pula dengan semua jenis industri yang menggunakan BBM sebagai penggerak produksinya, hampir dipastikan juga akan meningkat biaya produksinya. Pada gilirannya, output produksi tersebut, yakni komoditas yang dihasilkannya, juga akan meningkat harganya. Dengan demikian, biaya untuk membeli sandang sebagai output industri yang memakai BBM juga akan semakin meningkat tajam. Impian masyarakat kecil akan harga sandang yang murah mungkin tinggal kenangan belaka.
Pun dengan berbagai komoditas yang terkait (baik langsung maupun tidak langsung) dengan bahan bangunan, hampir dipastikan akan meningkat tajam. Nah, apabila bahan baku untuk membangun rumah saja meningkat, hampir bisa dipastikan harga rumah (tempat tinggal) akan semakin meningkat tajam. Dengan demikian, sami mawon alias sama saja, bahwa impian masyarakat kecil mendapatkan tempat tinggal (rumah) murah, juga tinggal impian belaka. Mereka akan gigit jari melihat begitu mahalnya harga rumah, akibat langsung dari kenaikan harga BBM ini. Pendek kata, kenaikan harga BBM akan membuat masyarakat kecil bertambah susah.
Mungkin, para tokoh dan cerdik pandai yang disponsori Freedom Institute tidak langsung terkena dampak kenaikan harga komoditas dan jasa tersebut. Dan, benar bahwa logika makroekonomi mengatakan bahwa subsidi BBM sebesar Rp 70 triliun bisa dialokasikan untuk membangun puskesmas dan sekolah. Namun ingat, hal yang paling mendasar sebenarnya yang perlu disentuh bahwa kehidupan masyarakat yang sudah miskin hendaknya tidak dibuat bertambah miskin akibat daya beli mereka yang semakin mengecil. Dengan demikian, persoalan pengurangan dan pengalihan subsidi tidaklah sesederhana itu.
Ekonomi yang semakin sehat memang perlu ditegakkan, termasuk pemberian subsidi yang tepat sasaran. Saya setuju bahwa lambat atau cepat, pengurangan subsidi BBM memang harus dikurangi karena tidak sehat. Selain itu, fenomena ini juga menyuburkan praktik penyelundupan dan juga pemborosan energi (BBM). Namun, isu yang mengemuka hendaknya tidak hanya sebatas kenaikan harga BBM, namun juga bagaimana upaya pemerintah untuk meredam gejolak harga yang demikian fantastis. Inilah pekerjaan rumah yang sudah membentang di depan kita.
Kita semua memang perlu belajar dari masa lampau. Jangan sampai kesalahan yang sama senantiasa berulang kembali. Bagaimana pengalihan subsidi sebesar Rp 70 triliun di atas bisa benar-benar membuat masyarakat miskin semakin berkurang seperti perhitungan LPEM UI. Rasa-rasanya, tidak cukup hanya dengan sekadar meningkatkan biaya kesehatan dan pendidikan. Masyarakat harus benar-benar diberdayakan dalam segala hal, terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itu saja kok, sangat sederhana.…
Susidarto Anggota Masyarakat Biasa yang Terpengaruh Kenaikan Harga BBM, Tinggal di Sleman, Yogyakarta