Wednesday, April 13, 2005

Bentuk Bisnis TNI

Selasa, 12 April 2005 20:45:00
http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=194183&kat_id=23

Laporan: Muhamad Nurcholis


Jakarta-RoL -- Hasil kajian The Ridep (Research and Development) Institute menyebutkan sebagian besar bisnis TNI AL berbentuk yayasan dan koperasi.

Yayasan yang dimaksud memiliki sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran, perikanan, perdagangan umum, kargo dan laut, perbankan, perkayuan, transportasi, forwarder dan ekspedisi laut, dan sebagainya. ''Dari 29 usaha dari yayasan AL yang berorientasi bisnis, 16 di antaranya memang sudah dijual, enam aset segera menyusul, sedangkan empat lainya akan dipertahankan,'' ujar salah satu peneliti The Ridep Institute, Mochamad Nurhasim, kepada Republika di Jakarta, Selasa (12/4).

Kajian itu juga mengungkapkan Yayasan Bumiyamca yang dikelola TNI AL, memiliki 36 perusahaan yang bergerak di beragam sektor usaha. Di antaranya, Perusahan Jala Bhakti Yashbum Holding Company, Pelayaran Admiral Lines, Trisila Laut (transportasi penyeberangan dengan 32 feri), Yala Mina Yashburn (perikanan), Yala Gada (perdagangan umum), EMKL Yala Gita Dwi (kargo laut), Bhumyamca Sekawan (kawasan industri Cilandak dan properti), Yala Trada (perdagangan umum), Sekolah Hang Tuah (pendidikan), Samudra Gunadharma (konstruksi), dan PBM Adi Gunung Persada (transportasi).

Sayangnya, banyak perusahaan yang dikelola TNI AL itu, kata Hasyim, kurang memberi keuntungan yang baik. Ini terjadi karena pengelolaan bisnis mereka kurang profesional, dan kurang adanya mitra usaha pendukung guna mengembangkan bisnis dalam skala besar. ''Ke-16 yayasan dan beberapa perusahaan yang disebut di atas, hanya mendapat keuntungan 7 miliar setahun.''

Sementata TNI AD ada Yayasan Kartika Eka Paksi yang menaungi 52 jenis usaha. Diantaranya, PT Tri Usaha Bhakti (general trading), PT Adhi Kartika Satria (distributor elpiji), PT Cilegon Fabrikator (industri), PT Indo Treba Tengah Palm Oil, plywood (logging), ITCI Kartika Utama, Numeransi Sakti Indonesia, Artha Graha (perbankan), Kartika Plaza Hotel, PT Kobame Kopertindo (Graha Shopping Center (Mall), KMP Tribuana (Logging Konsession) yang juga bergerak di bidang Metanol Distributiondengan PT Pertamina.

Selain itu, ada Yayasan Darma Putra Kostrad memiliki 22 jenis usaha industri, diantaranya Pakarti Yoga (trading), Astra Basic Industri (trading), Rail Industrial State, Asuransi Beringin Sejahtera, Asuransi Wahana Tata, Indosoez Indonesia Bank, dan perusahaan lainnya.

Monday, April 04, 2005

'Target SST agar ditetapkan'

Bisnis Indonesia, 4/4/05

JAKARTA (Bisnis): Serikat Karyawan (Sekar) PT Telkom meminta pemerintah menetapkan target jumlah satuan sambungan telepon (SST) yang lebih tegas kepada setiap operator terkait pelaksanaan restrukturisasi di sektor telekomunikasi.
Wartono Purwanto, Ketua Sekar Telkom, menandaskan komitmen pemerintah untuk memajukan sektor telekomunikasi dengan mulai memberlakukan duopoli sebagai sasaran antara menuju multioperator sudah positif dan perlu didukung semua pihak.

Meski demikian, kata dia, untuk memacu semua operator agar membangun basis pelanggannya sendiri pemerintah perlu menetapkan target jumlah yang lebih tegas agar tujuan untuk meningkatkan penetrasi telekomunikasi bisa dicapai.

"Teledensitas kita masih rendah sehingga jumlah satuan sambungan yang harus dibangun layak diperhitungkan. Basis pelanggan adalah nilai unggul dari sebuah operator telekomunikasi," ujarnya akhir pekan lalu.

Pernyataan Sekar Telkom itu menanggapi Pengumuman Menteri Komunikasi dan Informatika No. 92/M.Kominfo/2005 tanggal 1 April 2005 tentang Penerapan kode akses sambungan langsung jarak jauh (SLJJ).

Sekar Telkom, tandas dia, menyambut positif keputusan Menteri Kominfo tersebut dan sangat memahami sulitnya posisi Menteri Kominfo dalam mengambil keputusan yang tepat tentang kode akses SLJJ.

Meskipun masih perlu dicermati implementasinya, menurut pandangan Sekar, dengan mempertimbangkan kompleksitas persoalan yang dihadapi, apa yang diputuskan oleh Menteri Kominfo mungkin yang paling bisa diterima oleh semua pihak saat ini.

Sementara itu, manajemen Telkom menyatakan kode akses untuk telepon SLJJ pelanggannya tetap seperti yang ada saat ini. Mundarwiyarso, juru bicara Telkom, menyatakan BUMN itu belum menggunakan kode akses 017 untuk SLJJ sehingga pelanggan tetap menggunakan kode awalan 0 untuk melakukan panggilan jarak jauh.

"Misalkan untuk ke Jakarta tetap menggunakan 021, ke Bandung 022, ke Surabaya 031, dan seterusnya. Jadi tidak ada yang berubah."

Telkom, lanjutnya, mengimbau pengguna jasa telekomunikasinya untuk tidak mengganti kartu nama, kertas surat, atau bentuk administrasi apa pun yang terkait nomor telepon karena tidak ada yang berubah. (jha/swi)

Sunday, April 03, 2005

Audit Lisensi dan Frekuensi 3G

Senin, 04 April 2005


Kompas

SAYA prihatin dengan kekisruhan yang ditimbulkan Cyber Access (CAC) dengan berita 9 Maret 2005 "Hutchison Telecom to Acquire 60% Stake In Cyber Access, Indonesia" (http://www. tmcnet.com). Komisi V DPR jelas melarang CAC menjual saham. Asmiaty Rasyid dan Komisi V meminta mencabut lisensi dan tender sampai Menteri Sofyan Djalil pun pusing (Koran Tempo, 24 Maret 2005) dan menyatakan Cyber Access milik Charoen Phokpand sebagai "license broker" (http:// www.jeffooi.com, 14 Maret 2005).

Suasana memanas, akhirnya Menteri Sofyan Djalil menyatakan bahwa pemerintah akan mengaudit lisensi frekuensi. Sialnya, ditambah pernyataan incumbent untuk memperoleh alokasi frekuensi 3G (Kompas, 21 Maret 2005). Bahkan incumbent mengklaim penurunan nilai saham karenanya (Kompas, 18 Maret 2005). Bagaimana nilai saham tidak turun kalau quality of service belum baik?

Semoga pernyataan pemerintah (c.q. Menkominfo) tidak ditunggangi, tidak dimanfaatkan, dan tidak membodohi rakyat awam Indonesia.

Pemerintah tampaknya mencampuradukkan antara teknologi komunikasi (3G) dan alokasi frekuensi. Dua hal berbeda cukup jauh, kebetulan disatukan dalam lisensi 3G yang diberikan ke CAC. Pemerintah perlu mempertajam, apakah ingin mengaudit lisensi penyelenggaraan operasinya atau mengaudit frekuensi operasinya? Incumbent jelas dan eksplisit meminta frekuensinya.

M>small 2small 0< kita lihat satu per satu. Teknologi 3G ada beberapa (http://www.mrvfone.com.au/vfone/3g/), yaitu GSM (WCDMA) di 2 GHz, CDMA 1X EV-DO (1,9 GHz), dan yang akan datang SCDMA (2 GHz). Perlu dicatat bahwa teknologi yang digunakan di Flexi, StarOne, dan Mobile-8/Fren, yaitu CDMA 1X, di kenal sebagai teknologi 2,75 GHz yang tak jauh dari 3G dan tinggal mengaktifkan beberapa fiturnya untuk menjadi 3G. Dalam kalimat sederhana, sebetulnya Flexi, StarOne, dan Mobile-8/Fren sudah 3G ready. Memang mereka tidak memperoleh lisensi penyelenggara 3G, tetapi teknologinya 3G ready. Telkomsel pun berusaha mengembangkan GSM ke 3G (Bisnis Indonesia, 3 November 2004).

Jika pemerintah ingin bertindak tegas dan adil mengaudit lisensi penyelenggara 3G, tidak bisa hanya mengaudit CAC, Excelcom, dan Lippo Telecom. Pemerintah harus mengaudit operator seluler maupun Fixed Wireless Access (FWA) yang non-3G, tetapi 3G ready.

Isu kedua adalah frekuensi. Mari kita lihat apa alokasi frekuensi 3G? Di Amerika Serikat, FCC (http://www.fcc.gov/3G/) sedang berusaha menetapkan alokasi frekuensi 3G pada pita frekuensi 1710-1770 MHz dan 2110-2170 MHz (2x60MHz). Dunia selain Amerika Serikat (http://www.3g-generation.com /3g_spectrum.htm) menggunakan alokasi yang agak berbeda, yaitu 1890-2025 MHz, yang tumpang tindih dengan teknologi UMTS TDD dan DECT. Sedangkan frekuensi 2110-2200 MHz yang tumpang tindih dengan teknologi UMTS FDD, dan frekuensi 2500-2690 MHz yang ada hari ini tumpang tindih dengan IndoVision.

Pertanyaannya, apakah benar hanya tiga operator saja di Indonesia yang menggunakan alokasi frekuensi 3G? Jelas pada pita frekuensi 1885-2025 MHz (lebar 140MHz), 2110-2200 MHz (lebar 90MHz), dan 2500-2690 MHz (lebar 190MHz) tidak mungkin hanya digunakan oleh tiga operator seperti yang diklaim beberapa pakar dan pemerintah.

Jelas dan eksplisit di web TelkomFlexi (http://www.telkomflexi.com) maupun forum diskusi TelkomFlexi (http://www. plasa.com/phpBB2/woltlab/wbboard/main.php) bahwa TelkomFlexi menggunakan frekuensi 1,9 GHz yang merupakan frekuensi 3G sejak tahun 2002!

D>small 2small 0< kumpulan informasi yang diperoleh berbagai sumber yang lumayan akurat dapat disimpulkan, pertama, saat ini paling tidak ada delapan operator yang memperoleh tambahan frekuensi 3G secara langsung, bahkan, kedua, Telkom dan Indosat sudah memperoleh frekuensi 3G sejak tahun 2002.

Gambaran kondisi lisensi serta frekuensi 3G di Indonesia adalah sebagai berikut. Ada beberapa operator sudah beroperasi dan memperoleh tambahan frekuensi 3G setelah operasi, yaitu Telkom (FWA TelkomFlexi CDMA 1X 1,9 GHz) dan Indosat (FWA StarOne CDMA 1X 1,9 GHz) tahun 2002. Sedangkan NTS di 2 GHz tahun 2004. Tahun 2000, TelkomSel, Excelcom, dan Indosat memperoleh 1,8 GHz. Tahun 2004, Excelcom memperoleh tambahan untuk TDD di 2 GHz.

Ada pula perusahaan yang sudah mendapatkan lisensi dan frekuensi 3G, tetapi belum beroperasi, yaitu WIN (1,9 GHz), Primasel (1,9 GHz), dan termasuk CAC (2 GHz). Beberapa catatan tambahan, WIN memperoleh lisensi komunikasi data (bukan seluler) dan frekuensi 3G di tahun 2001. Primasel memperoleh lisensi seluler dan frekuensi 3G di tahun 2004. Sedangkan CAC memperoleh lisensi seluler dan frekuensi 3G di tahun 2003.

Beberapa saran implementasi auditing jika pemerintah (Kominfo) ingin mengaudit. Audit semua penerima frekuensi 3G secara adil dan transparan, termasuk Telkom, Telkomsel, Indosat, Cyber Access, NTS, Excelcom, Primasel, dan WIN. Tidak adil jika audit hanya salah satu operator saja. Audit harus melibatkan seluruh operator yang sudah beroperasi. Sialnya, kemungkinan ini memberikan dampak negatif pada industri telekomunikasi keseluruhan.

K>small 2small 0< tujuan pemerintah hanya ingin tahu mengapa pengusaha makanan ayam dan agribisnis, seperti Charoen Phokpand (http://www.cpthailand. com), dapat mendapatkan lisensi 3G, karena operator seluler justru dilarang turut tender 3G. Karena itu, sebaiknya audit fokus pada CAC saja supaya tidak meresahkan operator dan investor yang memang sudah memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

Pemerintah jangan mengaudit karena ingin unjuk gigi, mencari sensasi dan popularitas, yang pada akhirnya detrimental bagi industri telekomunikasi. Jangan pula melakukan audit karena lobi-lobi perorangan atau instansi tertentu.

Pemerintah (c.q. Menkominfo) harus bersikap tegas agar desas-desus tidak berkembang lebih jauh. Apakah hanya CAC atau semua operator akan diaudit, harus secara tegas dan eksplisit dikatakan.

Tentu cerita akan lebih menarik kalau dilakukan audit juga pada Ditjen Postel. Termasuk audit mekanisme modern licensing dari Ditjen Postel yang memungkinkan CAC memperoleh izin penyelenggaraan padahal tidak terdengar operasinya. Keberadaan lisensi operasional CAC yang menyebabkan kemudahan dalam "menjual kecap".

Dr Onno W Purbo, Penulis Teknologi Informasi Independen, Mantan Dosen ITB