Wednesday, July 21, 2004

Kamis, 05 Februari 2004 /kompas

Pembenahan Pengelolaan Sektor Telekomunikasi

Asmiati Rasyid

NAIKNYA angka rencana investasi bidang telekomunikasi menjadi Rp 15 triliun tahun ini menunjukkan bangkitnya kembali bisnis telekomunikasi semenjak terjadinya krisis ekonomi. Prospek bisnisnya pun cukup menjanjikan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Indonesia memiliki potensi pangsa pasar yang besar karena dengan 8 juta pelanggan telepon tetap (PSTN), ditambah 18 juta pelanggan seluler, maka secara efektif baru sekitar 6 persen dari penduduk kita yang menikmati fasilitas telekomunikasi.
Infrastruktur telekomunikasi yang masih sangat minim menjadi daya tarik para investor swasta asing maupun dalam negeri. Malahan, pada kondisi ketidakpastian ekonomi selama ini pun investor asing tetap berebut masuk dan menguasai bisnis telekomunikasi kita. STT Telecom dari Singapura menguasai 42 persen saham PT Indosat dan sekaligus menguasai pasar telepon seluler serta memonopoli komunikasi internasional di negara kita.
Untuk mendukung dan melindungi persaingan yang sehat, pertama-tama perlu dievaluasi sejauh mana kerangka hukum, regulasi, dan kebijakan untuk mengantisipasi semua praktik-praktik antikompetisi. Terutama, perlindungan dari perilaku operator incumbent yang cenderung melakukan penyalahgunaan posisi dominannya, baik dari aspek penguasaan pasar maupun penguasaannya terhadap essential facilities.
Misalnya, tanpa adanya pengaturan interkoneksi yang benar, maka operator incumbent dapat melakukan diskriminasi harga interkoneksi atau mempersulit penyediaan interkoneksi. Operator dominan dapat saja melakukan predatory pricing untuk menghalangi masuknya pesaing baru atau malahan mematikan pesaing.
Di samping itu, dalam sektor telekomunikasi banyak hal lain yang dapat menimbulkan barrier to entry bagi operator baru, seperti tingginya investasi untuk jaringan akses, keterbatasan alokasi frekuensi, dan keterbatasan sistem penomoran. Penghalang untuk terciptanya persaingan yang sehat juga bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah atau regulator sendiri, misalnya pengaturan tarif yang tidak kondusif atau proses pemberian lisensi yang tidak transparan.
Dasar hukum untuk mendukung dan melindungi persaingan penyelenggaraan sektor telekomunikasi terdapat pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU No 5/1999 yang merupakan dasar hukum untuk larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang berlaku untuk semua sektor industri. Jika dikaji, UU No 5/1999 lebih menitikberatkan pada aturan main untuk para pelaku usaha. Misalnya, Pasal 25 UU tadi mencantumkan tolok ukur posisi dominan dan larangan terhadap penyalahgunaan posisi dominan tersebut, seperti membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.
Demikian juga aturan merger antar-operator yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat seperti yang dicantumkan pada Pasal 28 dan Pasal 29 UU No 5/1999. Ini karena merger dapat berdampak pada konsentrasi badan usaha atau konsentrasi kekuasaan ekonomi. Oleh karena itu, pada kasus merger Satelindo dan IM3 ke PT Indosat perlu dicermati lebih jauh komposisi kepemilikan saham atau adanya jabatan rangkap di tingkat direksi.
Pertanyaan selanjutnya, apakah tolok ukur dan aturan yang terdapat pada UU No 5/1999 sudah cukup untuk mendukung iklim persaingan sehat pada sektor telekomunikasi, mengingat dinamika perubahan pasar dan teknologi yang begitu cepat? UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi sama sekali tidak menyinggung definisi operator incumbent dan aturan untuk mengantisipasi perilaku operator incumbent, atau juga tolok ukur dan pengaturan terhadap operator dominan.
Pemahaman hukum
Lemahnya kerangka hukum dan regulasi ini berpotensi menimbulkan kecurangan persaingan usaha, baik yang dilakukan oleh operator incumbent maupun operator baru. Misalnya, akibat minimnya penyediaan infrastruktur telekomunikasi untuk publik dimanfaatkan oleh para operator telepon seluler untuk meraup keuntungan dari masyarakat.
Dengan kebijakan tarif yang berlaku, para investor berebut hanya pada segmen-segmen yang memberikan keuntungan besar saja yang dikenal dengan istilah cherry picking, seperti bisnis telepon seluler, VoIP, dan Internet. Sebagai gambaran, jumlah telepon seluler naik begitu cepat mencapai 500 persen lebih dibandingkan dengan posisi pada tahun 2000, sementara untuk jaringan telepon untuk layanan publik hanya naik sekitar 16 persen.
Kondisi ini diperparah oleh rendahnya penguasaan dan pemahaman akan hukum persaingan usaha dan etika bisnis para pelaku bisnis, personel di pemerintahan, maupun dari masyarakat selaku pengguna jasa. Tidak jarang ditemukan praktik-praktik kecurangan yang dilakukan antarpelaku bisnis, kecurangan pelaku bisnis terhadap konsumen, maupun kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak konsisten satu sama lain. Misalnya, isu-isu kecurangan persaingan usaha yang cukup santer kita dengar pada tahun lalu, seperti kasus pemblokiran sambungan SLI 001 yang dilakukan oknum PT Telkom di lapangan atau keluhan-keluhan akan sulitnya mendapatkan interkoneksi dari PT Telkom, tarif telepon seluler yang masih sangat mahal, atau proses pemberian lisensi VoIP yang menimbulkan banyak pertanyaan.
Mengingat telekomunikasi merupakan salah satu sektor industri strategis yang menyangkut kepentingan layanan publik, maka diperlukan langkah-langkah pembenahan untuk penyempurnaan kerangka hukum dan regulasi dengan tetap memerhatikan kondisi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat. Blueprint penyelenggaraan telekomunikasi yang ditetapkan pada tahun 1999 tentu perlu ditinjau kembali. Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan liberalisasi sektor telekomunikasi ini, suatu platform kebijakan kompetisi sektor ini perlu disiapkan untuk dijadikan dasar setiap kebijakan kompetisi (competition policy) sektor secara konsisten dan berkelanjutan.
Penyusunan platform ini sebaiknya melibatkan semua lembaga pemerintah dan lembaga independen lain, seperti BRTI dan KPPU, termasuk pimpinan negara. Tujuannya untuk menjamin sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan atau aturan agar tidak saling tumpang tindih atau tidak saling bertentangan, mulai dari kebijakan penanaman modal asing (PMA), kebijakan fiskal, kebijakan pengadaan barang dan jasa, kebijakan perdagangan, sampai kebijakan dan pengaturan pada level operasional untuk pengaturan lisensi, penggunaan frekuensi, dan penentuan tarif dasar telepon.
Pemberdayaan sektor
Pemerintah harus mampu melihat potensi sektor telekomunikasi untuk dijadikan penggerak sektor ekonomi nasional secara langsung maupun tidak langsung, seperti adanya transfer teknologi untuk meningkatkan kualitas SDM, menambah daya tarik investor untuk sektor industri pariwisata, pertambangan, dan juga untuk mendorong pengembangan industri software untuk aplikasi dan content.
Sebagai masukan, ada beberapa pemberdayaan sektor ini yang dapat dilakukan tanpa menunggu perubahan undang-undang yang berlaku.
Pertama, perbaikan kinerja pengelolaan sektor telekomunikasi untuk meningkatkan sumber pendapatan pemerintah, baik dari pajak maupun dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Perlu diakui secara jujur bahwa kinerja pemerintah dalam pengelolaan sektor ini masih sangat rendah.
Total pendapatan pemerintah dari biaya hak penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi dan Biaya Hak Penggunaan Frekuensi tahun 2003 hanya sekitar Rp 1,2 triliun saja (Kompas, Oktober 2003), jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh operator. Pada tahun 2003, jumlah pendapatan 4 operator besar seluler saja mencapai Rp 20 triliun, tetapi pendapatan pemerintah dari BHPtel itu hanya Rp 200 miliar. Sebagai bandingan, Pemerintah India menetapkan license-fee yang harus dibayar per tahun sebesar 12 persen dari total pendapatan untuk operator yang berbisnis di kota besar, 10 persen untuk kota-kota sedang, dan 8 persen di kota-kota kecil.
Kedua, penataan ulang struktur penyelenggaraan telekomunikasi yang dinilai sudah tidak mampu mengikuti perubahan bisnis dan teknologi telekomunikasi. Berdasarkan Pasal 7 UU No 36/1999 dan Pasal 3 PP No 52/2000, penyelenggaraan jaringan dipisahkan dari jasa telekomunikasi sehingga operator jaringan harus meminta izin baru lagi untuk setiap menggelar jasa baru. Padahal diketahui, jasa telekomunikasi itu merupakan produk dari teknologi jaringan yang selalu berkembang.
Ketiga, pemberdayaan BRTI sebagai badan regulator yang benar-benar independen dan profesional untuk mendukung kompetisi yang fair. Pembenahan mencakup dasar dan status hukum, tanggung jawab dan kewenangan, hubungan kerja dengan Menhub dan staf Ditjen Postel, sumber pendanaan BRTI, besarnya renumerasi anggota komite, serta masa tugas komite. Karenanya, perlu ditinjau kembali Kepmen No 31/2003 karena tidak sesuai dengan konsep pembentukan BRTI yang independen (Kompas, 17 April 2003).
Keempat, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan USO. Setiap negara memiliki tujuan dan strategi yang berbeda-beda dalam pelaksanaan USO. Rancangan kepmen untuk pelaksanaan USO dinilai kurang applicable karena pada kepmen itu pemerintah akan menunjuk penyelenggara tertentu untuk penyelenggaraan USO, sementara operator lain diwajibkan memberikan kontribusi berupa kompensasi USO.
Sebaiknya USO dibebankan langsung kepada operator yang dinilai memiliki pangsa pasar dominan, seperti Telkom, Telkomsel, dan Indosat. Pelaksanaannya biar mereka lakukan sendiri, tetapi formulasinya yang harus ditetapkan pemerintah.
Misalnya, 25 persen dari total rencana investasi harus dialokasikan untuk pembangunan di daerah kecil atau terpencil dan pelaksanaannya dilakukan pada waktu yang bersamaan. Dengan formula 3 in 1 itu, maka perkembangan pembangunan di daerah terpencil dapat dilakukan secara proporsional dan bersamaan agar tidak ketinggalan terus.

Asmiati Rasyid Pendiri Pusat Studi Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen Bandung

No comments: