Tuesday, June 29, 2004

Intelektual di Belakang Capres

Media 28Juni 04

Denny JA; Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Jakarta

APAKAH telah terjadi pengkhianatan intelektual? Ini pertanyaan paling hot di kalangan akademisi, insan pers, politikus, dan publik luas saat ini. Beberapa intelektual publik yang cukup dikenal ditengarai berada di belakang capres tertentu.

Karena politik tidak hanya menyangkut persoalan praktis, tapi juga masalah visi, misi, perspektif, nilai, platform, dan strategi, sangat lumrah jika para intelektual terlibat dalam pemilu presiden. Antara capres dan sang intelektual mungkin terbina hubungan yang saling menguntungkan. Dalam bahasa biologi, hubungan itu bersifat simbiose mutualistis.

Kehadiran intelektual menambah bobot pemikiran para capres. Kehadiran para pemikir itu juga memperluas pilihan dan mempertajam strategi kebijakan capres. Sementara kedekatan dengan capres, membuat banyak gagasan intelektual itu masuk ke dalam pertimbangan kebijakan. Akibatnya, gagasan itu tidak hanya mengawang, tapi punya kaki dan punya potensi terealisasi.

Ada intelektual yang secara terang benderang mengumumkan pemihakannya. Rizal Sukma dari CSIS secara terbuka berada di Amien Rais Center. Ekonom seperti Derajat Wibowo dan Didik J Rachbini bahkan secara resmi menjadi calon legislatif Partai Amanat Nasional.

Namun, banyak pula keterlibatan intelektual itu sembunyi-sembunyi. Sebagian disebabkan oleh status mereka sendiri selaku pegawai negeri. Pemihakan pada salah satu capres dengan mudah dapat dituduh berpolitik praktis, dan melanggar prinsip netralitas pegawai negeri. Sebagian juga tak ingin berterus terang karena memang hubungan sang intelektual dan capres itu lebih kepada perkawanan yang personal. Tak ada kesepakatan mereka pada gagasan tertentu. Sebagian lain punya alasan lebih personal yang tak kita ketahui.

Respons publik atas keterlibatan intelektual juga beragam. Banyak yang main pukul rata. Pemikir yang hanya membela satu capres segera diklaim sebagai bagian dari pengkhianatan intelektual. Tuduhan yang lebih kasar lagi, mereka dianggap telah menggadaikan ilmu pengetahuan untuk menunjang kekuasaan.

Namun, banyak pula yang memberikan apresiasi. Intelektual itu juga warga negara yang boleh memilih dan berpihak. Mereka yang jelas-jelas mengungkapkan keberpihakannya pada capres tertentu lebih dihargai. Sementara intelektual yang masih 'malu-malu kucing' dianggap masih ingin mencari jalan aman, mengesankan diri netral, padahal sudah partisan.

-o0o-

Suka atau tidak, masih kuat tumbuh mitos dalam dunia intelektual Indonesia. Para pemikir, akademisi, sekaligus intelektual publik dianggap sebagai resi yang harus berumah di atas angin. Mereka harus berdiri di atas semua golongan. Ketika politik praktis memecah, intelektual itu justru harus tetap netral untuk merangkum kembali pecahan politik praktis.

Di Amerika Serikat, yang sudah lebih dari seratus tahun dengan pemilu presiden, punya tradisi intelektual yang berbeda. Malah sangat aneh jika ada intelektual publik yang tidak berpihak. Sejauh ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh sang intelektual sangat terkait langsung dengan kebijakan publik, saat itu sang intelektual harus mengambil posisi kepada partai, atau capres.

Katakanlah ada intelektual yang sangat peduli dengan homoseksualitas. Sang intelektual itu jelas harus bersikap, apakah ia prohomoseksual, ataukah antihomoseksual? Jika ia prohomoseksual maka ia sejalan dengan platform Partai Demokrat. Jika antihomoseksual, maka ia sejalan dengan Partai Republik. Jika sang intelektual sangat concern dengan isu itu, mau tak mau ia ikut berpropaganda bagi partai yang memperjuangkan gagasannya. Ia juga akan berkampanye bagi capres yang punya gagasan sama.

Bagaimana mungkin sang intelektual harus berumah di atas angin atau netral jika ia sangat peduli pada gagasan itu? Bukankah harus ada undang-undang yang dibuat, baik yang pro atau yang anti-homoseksual? Bukankah akan ada kebijakan yang harus dirumuskan bagi kurikulum sekolah? Jika sang intelektual tidak aktif, undang-undang dan kebijakan yang dirumuskan mungkin akan bertentangan dengan gagasannya.

Hal yang sama dialami oleh ekonom misalnya. Sang ekonom yang concern dengan kaum miskin dan pengangguran harus pula mengambil sikap atas pajak bagi orang kaya. Apakah sebaiknya pajak dinaikkan agar pemerintah semakin banyak dana untuk program subsidi bagi rakyat miskin. Atau sebaliknya, pajak buat orang kaya dikurangi sehingga lebih banyak dana sang pengusaha itu untuk investasi. Pada gilirannya, investasi itu menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.

Ekonom yang peduli dengan kebijakan pajak akhirnya harus memihak. Sang ekonom tak bisa netral, berumah di atas angin, dan membela keduanya, baik yang ingin menaikkan pajak ataupun menurunkan pajak. Jika ingin menaikkan pajak untuk memperbesar subsidi, ia akan mendukung Partai Demokrat. Jika ingin mengurangi pajak agar pengusaha lebih banyak dana untuk investasi, ia akan membela Partai Republik.

-o0o-

Di Indonesia, partai dan capres belum benar-benar bergerak berdasarkan program, platform, dan isu. Umumnya capres masih bicara pada tataran normatif. Perbedaan program capres yang satu dengan yang lainnya sulit ditemukan. Apalagi mereka sangat tahu bahwa mayoritas publik memilih capres tidak karena programnya. Lalu mengapa bersusah payah menjual program?

Justru karena program yang tak pasti itu, sebagian intelektual juga memberi dukungan yang hanya setengah terbuka. Sebagai profesional, dukungan intelektual seharusnya memang kepada nilai, platform, dan program. Dukungan itu bukan kepada orang karena orang dapat mengkhianati program yang dijanjikannya sendiri. Karena program tak kunjung detail, akibatnya yang menonjol dari sang intelektual itu adalah dukungan setengah hati dan setengah sembunyi kepada capres.

Sepuluh tahun atau lima belas tahun dari sekarang, tradisi intelektual di Indonesia akan berubah. Mitos intelektual harus berumah di atas angin, harus netral, berdiri di atas semua golongan akan semakin ditinggalkan. Ketika para capres sudah mulai dapat dibedakan platformnya, pemihakan intelektual akan semakin terbuka. Mereka tak perlu lagi sembunyi-sembunyi.***


Sunday, June 27, 2004

Intelektual di Belakang Capres

Senin, 28 Juni 2004

OPINI

media indonesia

Denny JA; Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Jakarta

APAKAH telah terjadi pengkhianatan intelektual? Ini pertanyaan paling hot di kalangan akademisi, insan pers, politikus, dan publik luas saat ini. Beberapa intelektual publik yang cukup dikenal ditengarai berada di belakang capres tertentu.

Karena politik tidak hanya menyangkut persoalan praktis, tapi juga masalah visi, misi, perspektif, nilai, platform, dan strategi, sangat lumrah jika para intelektual terlibat dalam pemilu presiden. Antara capres dan sang intelektual mungkin terbina hubungan yang saling menguntungkan. Dalam bahasa biologi, hubungan itu bersifat simbiose mutualistis.

Kehadiran intelektual menambah bobot pemikiran para capres. Kehadiran para pemikir itu juga memperluas pilihan dan mempertajam strategi kebijakan capres. Sementara kedekatan dengan capres, membuat banyak gagasan intelektual itu masuk ke dalam pertimbangan kebijakan. Akibatnya, gagasan itu tidak hanya mengawang, tapi punya kaki dan punya potensi terealisasi.

Ada intelektual yang secara terang benderang mengumumkan pemihakannya. Rizal Sukma dari CSIS secara terbuka berada di Amien Rais Center. Ekonom seperti Derajat Wibowo dan Didik J Rachbini bahkan secara resmi menjadi calon legislatif Partai Amanat Nasional.

Namun, banyak pula keterlibatan intelektual itu sembunyi-sembunyi. Sebagian disebabkan oleh status mereka sendiri selaku pegawai negeri. Pemihakan pada salah satu capres dengan mudah dapat dituduh berpolitik praktis, dan melanggar prinsip netralitas pegawai negeri. Sebagian juga tak ingin berterus terang karena memang hubungan sang intelektual dan capres itu lebih kepada perkawanan yang personal. Tak ada kesepakatan mereka pada gagasan tertentu. Sebagian lain punya alasan lebih personal yang tak kita ketahui.

Respons publik atas keterlibatan intelektual juga beragam. Banyak yang main pukul rata. Pemikir yang hanya membela satu capres segera diklaim sebagai bagian dari pengkhianatan intelektual. Tuduhan yang lebih kasar lagi, mereka dianggap telah menggadaikan ilmu pengetahuan untuk menunjang kekuasaan.

Namun, banyak pula yang memberikan apresiasi. Intelektual itu juga warga negara yang boleh memilih dan berpihak. Mereka yang jelas-jelas mengungkapkan keberpihakannya pada capres tertentu lebih dihargai. Sementara intelektual yang masih 'malu-malu kucing' dianggap masih ingin mencari jalan aman, mengesankan diri netral, padahal sudah partisan.

-o0o-

Suka atau tidak, masih kuat tumbuh mitos dalam dunia intelektual Indonesia. Para pemikir, akademisi, sekaligus intelektual publik dianggap sebagai resi yang harus berumah di atas angin. Mereka harus berdiri di atas semua golongan. Ketika politik praktis memecah, intelektual itu justru harus tetap netral untuk merangkum kembali pecahan politik praktis.

Di Amerika Serikat, yang sudah lebih dari seratus tahun dengan pemilu presiden, punya tradisi intelektual yang berbeda. Malah sangat aneh jika ada intelektual publik yang tidak berpihak. Sejauh ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh sang intelektual sangat terkait langsung dengan kebijakan publik, saat itu sang intelektual harus mengambil posisi kepada partai, atau capres.

Katakanlah ada intelektual yang sangat peduli dengan homoseksualitas. Sang intelektual itu jelas harus bersikap, apakah ia prohomoseksual, ataukah antihomoseksual? Jika ia prohomoseksual maka ia sejalan dengan platform Partai Demokrat. Jika antihomoseksual, maka ia sejalan dengan Partai Republik. Jika sang intelektual sangat concern dengan isu itu, mau tak mau ia ikut berpropaganda bagi partai yang memperjuangkan gagasannya. Ia juga akan berkampanye bagi capres yang punya gagasan sama.

Bagaimana mungkin sang intelektual harus berumah di atas angin atau netral jika ia sangat peduli pada gagasan itu? Bukankah harus ada undang-undang yang dibuat, baik yang pro atau yang anti-homoseksual? Bukankah akan ada kebijakan yang harus dirumuskan bagi kurikulum sekolah? Jika sang intelektual tidak aktif, undang-undang dan kebijakan yang dirumuskan mungkin akan bertentangan dengan gagasannya.

Hal yang sama dialami oleh ekonom misalnya. Sang ekonom yang concern dengan kaum miskin dan pengangguran harus pula mengambil sikap atas pajak bagi orang kaya. Apakah sebaiknya pajak dinaikkan agar pemerintah semakin banyak dana untuk program subsidi bagi rakyat miskin. Atau sebaliknya, pajak buat orang kaya dikurangi sehingga lebih banyak dana sang pengusaha itu untuk investasi. Pada gilirannya, investasi itu menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.

Ekonom yang peduli dengan kebijakan pajak akhirnya harus memihak. Sang ekonom tak bisa netral, berumah di atas angin, dan membela keduanya, baik yang ingin menaikkan pajak ataupun menurunkan pajak. Jika ingin menaikkan pajak untuk memperbesar subsidi, ia akan mendukung Partai Demokrat. Jika ingin mengurangi pajak agar pengusaha lebih banyak dana untuk investasi, ia akan membela Partai Republik.

-o0o-

Di Indonesia, partai dan capres belum benar-benar bergerak berdasarkan program, platform, dan isu. Umumnya capres masih bicara pada tataran normatif. Perbedaan program capres yang satu dengan yang lainnya sulit ditemukan. Apalagi mereka sangat tahu bahwa mayoritas publik memilih capres tidak karena programnya. Lalu mengapa bersusah payah menjual program?

Justru karena program yang tak pasti itu, sebagian intelektual juga memberi dukungan yang hanya setengah terbuka. Sebagai profesional, dukungan intelektual seharusnya memang kepada nilai, platform, dan program. Dukungan itu bukan kepada orang karena orang dapat mengkhianati program yang dijanjikannya sendiri. Karena program tak kunjung detail, akibatnya yang menonjol dari sang intelektual itu adalah dukungan setengah hati dan setengah sembunyi kepada capres.

Sepuluh tahun atau lima belas tahun dari sekarang, tradisi intelektual di Indonesia akan berubah. Mitos intelektual harus berumah di atas angin, harus netral, berdiri di atas semua golongan akan semakin ditinggalkan. Ketika para capres sudah mulai dapat dibedakan platformnya, pemihakan intelektual akan semakin terbuka. Mereka tak perlu lagi sembunyi-sembunyi.***


Friday, June 25, 2004

PR berat pasangan capres di bidang telematika

Bisnis Indonesia, 25 Juni 2004

Atas desakan komunitas, pasangan capres-cawapres akhirnya bersedia memaparkan visi pembangunan telematika, bidang yang hampir terlupakan selama tiga pekan kampanye presiden.
Namun masih ada keraguan apakah visi yang disodorkan pasangan capres pada dialog yang rencananya digelar Senin, 28 Juni itu mampu menjawab berbagai masalah telematika nasional. Yang jelas, pekerjaan rumah presiden terpilih di bidang telematika sangatlah berat.

Keraguan itu terlihat dari kurang antusiasnya pasangan capres mengikuti dialog yang difasilitasi Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) ini. Hingga kemarin, baru tiga dari lima pasangan memberikan konfirmasi yakni Hamzah Haz - Agum Gumelar, Amien Rais - Siswono dan SBY - Jusuf Kalla. Lalu visi seperti apa yang diharapkan dari pasangan capres tersebut ?

"Pertama adanya sebuah pemahaman mengenai betapa vital dan strategisnya peran telematika," tandas pakar telematika dari Universitas Indonesia Heru Sutadi. Seperti yang dikatakan Sekjen PBB Kofi A. Annan dalam ulang tahun ke-139 International Telecommunication Union (ITU), bahwa sektor telematika memiliki peran sangat penting dalam mengatasi kemiskinan, melestarikan lingkungan dan menjadi penggerak ekonomi dunia.

Peran telematika, lanjut Heru, semakin penting sejalan dengan program UNDP untuk memajukan pembangunan yang berpusat pada manusia (people center development). Seperti diketahui, sejak 2001 technology achievement index (TAI) menjadi indikator dalam menghitung human development index (HDI). Indiaktor yang lain adalah penetrasi telepon tetap, pengguna telepon selular, Internet serta temuan-temuan yang di-patent-kan terkait dengan teknologi.

Berdasarkan indikator tersebut, bagaimana kondisi di Indonesia? Faktanya, dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, penetrasi Internet hingga 2003 hanya mencapai 8 juta pengguna dan diperkirakan meningkat menjadi 12 juta tahun ini. Menurut catatan Bisnis, saat ini masih terdapat 43.000 dari 70.000 desa di Indonesia yang belum terjangkau fasilitas telekomunikasi dasar.

Dari data tersebut, jelas Indonesia masih menghadapi masalah kesenjangan akses telematika. Ironisnya, dari sisi teknologi negara ini tidak ketinggalan dari Eropa atau AS sekalipun. Ini terlihat dari masuknya teknologi code division multiple access (CDMA), jaringan seluler generasi ketiga (3G), dan layanan broadband. Disinilah terlihat tidak adanya kebijakan yang jelas untuk memperluas infrastruktur.

Departemen Telematika

Diluar masalah infrastruktur yang menyebabkan kesenjangan digital, Pemerintah sebenarnya cukup perhatian terhadap pembangunan telematika. Terutama setelah era reformasi bergulir dengan dibentuknya Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) berdasarkan Keppres No. 50/2000. Setahun kemudian, Presiden Gus Dur menelurkan Inpres No. 6/2001 tentang Pembangunan dan Pendayagunaan Telematika.

Di era pemerintahan Megawati, instruksi Gus Dur untuk mengembangkan telematika sesuai Kerangka kebijakan Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika diperkuat dengan Inpres 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Inpres ini dinilai sebagai titik awal upaya pemerintah untuk benar-benar memanfaatkan telematika di lingkungannya sebagai upaya memangkas birokrasi dan menciptakan transparansi sesuai cita-cita reformasi.

Pemerintah pun berupaya memperluas manfaat telematika untuk mendongkrak sektor ekonomi, antara lain dengan menelurkan RUU yang mengatur Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di bidang hukum, aktivitas di dunia maya juga dilindungi melalui RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (TiPiTI). Aktivitas telematika yang sarat dengan data berbentuk digital juga dijamin melalaui UU Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang disusul UU Hak Cipta.

Singkat kata, kebijakan Pemerintah untuk membangun telematika nasional cukup ideal, paling tidak suprastrukturnya sudah memadai. Namun pelaksanaannya ibarat langit dan bumi.

"Seperti keberadaan TKTI yang setiap pergantian kabinet, ganti menteri, berpindah-pindah bahkan sempat menghilang, mengindikasikan tidak adanya blue print mau dibawa ke mana," tutur Heru Sutadi.

Proyek lawas yang juga gagal adalah Nusantara-21 dan sistem informasi manajemen nasional sekitar tahun 1983 yang ditangani BPPT. Hingga kini, dua RUU Cyberlaw masih tersangkut dan belum jelas kapan akan diundangkan. Maraknya pembajakan peranti lunak dan aksi cyberfraud membuat semakin Indonesia terkucil dari aktivitas e-commerce.

Masalah lain adalah kenaikan tarif telepon, polemik perijinan penggunaan frekuensi 2,4GHz, lahirnya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang dipertanyakan netralitasnya.

Menurut Koordinator ICT Watch Donny Budi Utoyo, kegagalan melaksanakan kebijakan tersebut mencerminkan tidak adanya keinginan politik dari pemerintah sendiri.

Terlepas dari kurangnya keinginan politik, ternyata suprastruktur pembangunan telematika nasional menyisakan satu kekurangan, yakni ketiadaan lembaga atau instansi tunggal yang mengkoordinasikan semua kegiatan dibawah satu atap.

Selama ini, kegiatan telematika nasional dilaksanakan secara terpisah oleh tiga instansi, yakni Kementrian Kominfo, Ditjen Pos dan Telekomunikasi serta Depperindag. Koordinasi antar ketiganya sangat lemah walaupun sudah ada TKTI.

Tanpa adanya satu Departemen Khusus, maka nasib industri yang terkait dengan telematika juga tidak jelas ke mana arahnya. Untuk itu, wacana pembentukan Departemen Telematika, perlu ditanyakan pada capres dan cawapres mendatang.

Menurut Ketua FTII Teddy Sukardi, negara negara berkembang lain pada umumnya sudah memiliki Menteri Teknologi Informasi atau Menteri Telematika. Menteri ini berfokus pada program yang mendorong pemanfaatan telematika di semua sektor. "Sebab menerapkan telematika ini banyak kendala yang multi dimensional (budaya kerja, investasi, regulasi, Tanpa dorongan serius sangat sulit diharapkan bisa mengejar ketertinggalan," tandasnya.


Peran BRTI akan diakomodasi UU 36

25 Jun 2004

JAKARTA (Bisnis): Kewenangan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dalam mengatur penyelenggaraan layanan telekomunikasi di Indonesia.akan diperluas dengan dilakukannya amandemen atas UU No. 36/1999 tentang pertelekomunikasian.
Anggota BRTI Suryadi Azis mengatakan sampai saat ini ruang gerak BRTI sangat lemah dan terbatas karena badan tersebut hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan (KM 31/2003).

"Kami menerima banyak sekali keluhan masyarakat mengenai lemahnya kinerja BRTI, termasuk yang mempertanyakan independensi BRTI," ujar dia kemarin.

Dia menjelaskan dengan kondisi saat ini ruang gerak dan kekuatan yang dimiliki BRTI untuk menciptakan iklim usaha yang sehat di bidang telekomunikasi memang menjadi sangat terbatas.

Untuk itu, menurut Suryadi, saat ini telah dibentuk suatu tim khusus yang bertugas mengkaji seluruh aspek untuk memperkuat posisi dan ruang gerak BRTI.

Menurut dia, dengan hanya bermodalkan keputusan menteri, sampai saat ini ruang gerak BRTI memang menjadi sangat lemah.

Suryadi mengungkapkan bahwa sebetulnya sampai saat ini tugas BRTI hanya mengawasi layanan telekomunikasi yang dikompetisikan, yaitu penyelenggaraan layanan telepon. Sementara pengaturan layanan Internet dan multimedia sebetulnya belum menjadi wewenang BRTI.

Dengan dilakukannya amandemen UU 36/1999, diharapkan posisi BRTI secara jelas akan diatur dalam batang tubuh UU tersebut, tidak seperti sekarang.

Jika proses amandemen UU 36/1999 terlalu lama, maka dimungkinkan untuk dibuat suatu Peraturan Pemerintah (PP) terlebih dulu.

Dengan kondisi itu, maka ruang gerak BRTI diharapkan menjadi semakin luas dengan posisi yang semakin kuat, lanjut dia.

"Dengan otoritas yang lebih kuat, maka BRTI akan dapat lebih tegas dalam mengontrol pelaksanaan layanan telekomunikasi di Indonesia termasuk misalnya mengenakan sanksi kepada operator yang dinilai melakukan pelanggaran."

Berbagai kalangan cukup santer mengkritisi kinerja badan regulasi telekomunikasi yang diketuai dirjen pos dan telekomunikasi itu, bahkan sejak lembaga itu dibentuk. Kritik atas BRTI datang dari berbagai asosiasi, praktisi, pengamat masalah telematika, DPR, hingga KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha).

Enggartiasto Lukita, anggota komisi IV DPR mengatakan bahwa BRTI harus memiliki fungsi regulasi yang tegas, bukan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk menciptakan iklim usaha yang sehat di bidang telekomunikasi.

"Kalau disebutkan sebagai masa transisi, harus jelas agendanya. Mau sampai kapan?" ujar dia. (trd)



Dana Alokasi Khusus (DAK),

1. DAK adalah dana yang berasal dari APBN ang dialokasikan kepada daerah
tertentu untuk membiayai kebutuhan (sektor) tertentu.

2. Dasar hukum pengaturan DAK adalah; (i) UU 25 Tahun 1999, (ii) PP 104
Tahun 2000, (iii) Keputusan Menteri Keuangan, serta (iv) Keputusan Menteri
Teknis.

3. DAK dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu; (i) DAK Dana Reboisasi, dan
(ii) DAK Non Reboisasi.

4. Untuk tahun 2004, DAK Non Reboisasi terdiri dari; (i) Bidang
Pendidikan, (ii) Bidang Kesehatan, (iii) Bidang Perikanan dan Kelautan,
(iv) Bidang Infrastruktur, yang meliputi jalan dan irigasi, serta (v)
Bidang Sarana Pemerintahan.

5. Sesaui dengan ketentuan yang berlaku, kewenagan alokasi di lingkungan
pemeritah berada di Departemen Keuangan. Sedangkan penetapan alokasi ada
di DPR, sesaui dengan hak budget DPR.

6. Dari sisi pemerintah, pengalokasian ke daerah berdasarakan pada tiga
kriteria, yaitu; (i) kriteria umum, berupa kemampuan fiskal daerah, (ii)
kriteria khusus atau wilayah, sesuai dengan amanat UU daerah khusus untuk
aceh dan papau, (iii) kriteria teknis, disusuaikan dengam masing-masing
sektor, misalnya untuk bidang kesehatan menggunakan human poverty indeks,
bidang pendidikan menggunakan indeks kerusakan bangunan, dan seterusnya.

7. Sejauh pengamatan kami, peran Bappenas dalam hal DAK Non DR adalah
memberi pertimbangan kabijakan kepada Departemen Keuangan.Pertimbagan
kebijakan dimaksud meliputi agenda dan prioritas pembangunan, sebagaimana
tertuang dalam Repeta.

Demikian informasi yang kami ketahui terkait dengan DAK, terutama DAK Non
DR. Terima kasih.

Putu Riasa

The Digital Village. Fighting poverty with technology in India

http://www.businessweek.com/magazine/content/04_26/b3889003.htm

By Manjeet Kripalani



Among the grand gothic columns of Bangalore's colonial-era urban administration office, a couple dozen village dwellers neatly dressed in cotton shirts, sarongs, and turbans wait their turn at what looks like an automatic teller machine. But this machine isn't dispensing cash. Instead, farmers from nearby villages can use the terminal to see computerized copies of the deeds to the tiny patches of wheat, rice, and vegetables they till for a living. Once they've checked their information, they can get a printed copy of their records at a neighboring window for just 30 cents.

That's a big change. Until the records were computerized, the deeds were controlled by powerful village accountants. These men routinely charged poor farmers anywhere from $2 to $22 for a copy -- which they typically need two or three times a year when they ask banks for loans to pay for fertilizer, seeds, and crop insurance. Worse, some accountants would even collude with upper-caste landlords to steal the land by writing over the original names and then tricking illiterate, lower-caste farmers into signing away their property by putting their thumbprints on the deeds.

Five years ago, the Karnataka state government launched a program to computerize the land records of 6.7 million farmers in 30,000 villages. Two years later, all 20 million deeds had been digitized and filed along with information such as the land's productive capacity and any loans that use the property as collateral. Today, the information is available in Kannada, the local language, through 200 government-owned computer kiosks in administrative offices across the state. Muniratnama, a cheerful 45-year-old farmer, traveled 15 kilometers from her village to Bangalore for a copy of her land record so she could get a loan to replant her 1.6 hectares. The new system, she says, is far better than the old way. "The village accountant was corrupt," she says wit h disgust. "He'd delay making any changes, and he made mistakes, too."

Computerizing land records may not seem like much of an achievement; most developed countries did it years ago. But in rural India, where the majority of people are semi-literate and live in remote communities unconnected by road or phone, it's almost a revolution. "With equal access to information, a lower-caste person now has the same privileges as an upper-caste person," says Rajiv Chawla, who oversaw the $3.7 million program, called Bhoomi -- which means "land" in both Hindi and Kannada. In Karnataka alone, for instance, deed fraud once cost poor farmers $20 million a year; today, the problem has been virtually wiped out, according to the World Bank. With all the information digitized, land reform -- which had slowed because limited access to records made it hard to prove ownership -- could now be restarted. And the data can be mined for commercial information: A tractor maker, aiming to better target its marketing efforts, recently asked for the names of communities where most farms are larger than four hectares. Soon, says Chawla, the government will begin charging for that sort of information. Even now, though, the Bhoomi program earns $2.6 million a year from the 30 cents fees.

Such initiatives add up to a digital turning point for India. For the past decade, the country's high-tech sector has boomed, with outsourcing companies and software shops popping up like mushrooms in tech capitals such as Bangalore and Hyderabad. But that growth has largely left India's 700 million impoverished villagers, slum dwellers, and tenant farmers just as poor as their forefathers were for centuries. Jobs are scarce, cash is scarcer, and simply getting water is an immense daily challenge. This hu ge gulf between India's thriving elite and its vast hinterland is one reason the ruling Bharatiya Janata Party lost the general election this spring. The victorious Congress Party has pledged to deliver prosperity to the masses -- a stupendously difficult task in India. Although the BJP planned to shell out $3 billion over the next three years to computerize government services across the nation, it will now fall to Congress to implement the plan and see that it improves the lives of ordinary Indians. "The government's challenge is to leverage India's technological and manpowe r potential to solve our problems of poverty and actually deliver services to the masses," says R. Chandrashekar, who oversees e-governance programs at India's Information Technology Ministry.

In the fight against poverty, the policymakers of Congress may find natural allies among the more altruistic of India's digital generation. Even before the BJP lost the election, many of the educated elite responsible for the success of India's tech and software houses -- or who have helped U.S. multinationals prosper -- decided to turn their energies to helping India's poor. Nasscom, the trade group for India's software houses, estimates that there are hundreds of such programs across India, many of them private initiatives, connected by a common theme: to find cheap, digital solutions to the problems pressing on the poor. They range from a "smart chip" payment card for the working poor to a diagnostic kit for isolated health clinics t o a successful e-commerce initiative that lets farmers buy supplies and get market information online. "it can act as a bridge between the rapidly growing new India and the lagging old India," says Nasscom President Kiran Karnik. "We have to figure a way to take these sparks and turn them into a prairie fire."

For a decade, such efforts were merely experiments -- small-scale, splintered acts of charity and attempts at business creation. And many have been hindered by government inertia or regulation. But some have become successful and are starting to look like valid business opportunities. Now, the entrepreneurs are starting to discover one another: India has this year been host to three conferences on the use of technology for development in rural societies. So far, most of these ventures have been funded with entrepreneurs' savings because venture capitalists see few prospects of early returns. With the number of success stories growing, though, Nasscom and the World Bank are planning a fund of up to $1 billion to support promising ideas. And other developing nations such as South Africa, Brazil, and Sri Lanka are closely watching India's progress to see whether the projects can be successfully replicated. "India could lead the world in creating the grassroots social experiments that could teach both India and other nations how to use technology for the common good," says Kenneth Keniston, a professor at the Massachusetts Institute of Technology who follows such experiments globally.



Stretching Resources

Many of these efforts are driven by the urge to profit: If a fraction of India's poor logged in or dialed up just once a day -- and paid a minuscule fee to a service provider for the privilege -- then the sheer mass could create a viable business. "If you can conceptualize the world's 4 billion poor as a market, rather than as a burden, they must be considered the biggest source of growth left in the world," says C.K. Prahalad, a leading management theorist who studies developing markets. Other pioneers are purely altruistic -- they want to break India's millennia-long curse of poverty.

It's an awesome curse, and at first look, it's hard to see how digital technology cooked up by some entrepreneurial do-gooders can relieve hunger or thirst or guarantee a better crop. No laptop, however cheap or durable, can compensate for India's lack of a nationwide power grid, or a comprehensive network of highways. But digital technology can deliver information -- information the rural poor desperately need -- about crop conditions, fertilizer prices, health care, and more. Reliable information can help India's poor stretch their resources -- to plant the right crops, deal with bureaucrats more effectively, operate on a level playing field with customers and merchants. The digital revolution in India is largely an information revolution.

Computer kiosks are at the center of all this. These are typically in the front room of an entrepreneur's home, with one or two pcs linked to the Internet via a satellite, phone, or wireless link. The country already has some 7,000 such kiosks, and more than 100 new ones pop up each week. By 2007 there could be as many as 300,000, estimates Nasscom. The giant Indian Tobacco Co. has taken the lead in this movement: The company has funded more than 4,000 kiosks so far, giving them to farmers in a bid to boost sales of everything from seeds to soap via its Web site, e-Choupal. But new players are emerging, offering eager entrepreneurs a chance to open kiosks as a business. N-Logue Communications, for instance, has adopted something of a franchise model. The company arranges a low-interest loan of $1,000 to buy a computer and install a wireless link to the Internet. Then it t eaches the kiosk owner its possibilities: Net-based education, computer training for local children, videoconferencing, photo work, and more.

These kiosks often become the hub of village activity. Take the one operated by Mahesh Patel, a soybean and cotton farmer from Korgala, a speck of a village in the central state of Madhya Pradesh. Although the only place Patel had ever seen a computer was in Bollywood blockbusters screened at the cinema in a nearby town, he jumped at the chance when Indian Tobacco offered him the Korgala kiosk three years ago. Since he gets a small cut of every sale ITC makes via his computer, Patel's monthly income has jumped to $380 from $220 before he got the kiosk. His three-room home is now often crowded with villagers: Early in the morning, Patel and fellow farmers gather to check soy oil prices in Kuala Lumpur and Chicago via the machine's satellite Internet connection before looking into the going rate on local markets. In the afternoon, village children hone their computer skills on the machine. And since the e-Choupal site offers all kinds of goods for sale, Patel's house has become a virtual village store. "I'm just a farmer, but I get a lot of respect in my village now," he says.

Today, entrepreneurs in India are looking to capitalize on the kiosk boom. Many are working on projects that could make kiosks more useful to villagers, or extend their reach to more isolated locales. "India is no longer just a laboratory for these experiments," says Allen Hammond, vice-president for innovation at the World Resources Institute in Washington. "It's out of the pilot stage and ready to scale up."

Some believe kiosks can help ordinary Indians get better access to health care. Already, a handful of rural clinics have satellite video and data links to city hospitals. But Sameer Sawarkar believes the kiosks can serve as part-time clinics as well. The 31-year-old engineering grad from the Indian Institute of Science in Bangalore remembered the lack of medical care in his home village. So in 2002 the former Motorola Inc. (MOT ) researcher joined some friends to develop a portable $200 diagnostic kit the size of a boombox that can check blood pressure, temperature, and pulse, take an electrocardiogram, and work as an electronic stethoscope. The machine can be plugged into kiosk computers to transfer diagnostic information to a city hospital. Sawarkar now has a deal with N-Logue to install them in some of its locations.



Handhelds and Wi-Fi

Others believe that handheld computers offer a way to extend the benefits of technology beyond the reach of typical desktops, or even laptops. Microsoft, for instance, is exploring the possibility of a $150 handheld device for the Bhoomi land records program, and the government of Andhra Pradesh has bought palmtops from Casio for school officials to keep attendance records. A high-profile Indian initiative is the Simputer, a simple, robust handheld computer that even illiterate farmers can use to pay bills, send e-mail, and keep records of their business using symbols or any of the 17 official Indian languages. It even has education programs in five languages and can turn text into speech. The device was developed under a public license not unlike the Linux operating system it uses. The professors at Bangalore's Indian Institute of Science who came up with the idea have posted the machine's plans on the Internet for anyone to use, and charge only $25,000 for a manufacturing license in India. One company, Bangalore-based Pico Peta, is selling the machines for $200 to $450. Simputers haven't exactly been jumping off the shelves. Since 2002, the Karnataka government has given Simputers to 200 village accountants and farmers to maintain its Bhoomi land record program. About 25 governments around the world have shown interest in the machines, and inside India Pico Peta has sold 200 more since March. But the promoters are optimistic, keeping their eye on a potential order for 9,000 more handhelds from the Karnataka government, as well as the possibility of sales to other India n states, which must have their land records computerized by 2006. "When we developed the Simputer, our aim was to bridge the digital divide," says Vinay Deshpande, a co-creator of the device. "Other [Western] companies did it for commercial purposes."

Anurag Gupta, meanwhile, has developed a payment card that can plug into either a handheld or a kiosk -- and make it easier for the poor to establish a credit history. Today, it can be tough for many Indians to get loans because they use cash to buy virtually everything, and few have bank accounts. Under Gupta's plan, poor Indians could establish a bank account linked to the card, which contains a smart chip with personal information. Gupta hopes to install card readers in public phone booths and distribute the readers to kiosk owners, who would accept the card as a form of payment for computer time. Cardholders could also use it to pay bills or buy goods online. Banks could then monitor the user's spending patterns and decide whether he or she is a good credit risk. Gupta, a slight, intense man who studied architecture, has been working on the idea for four years. It wil l finally launch commercially under the name "Zero" on July 7 in Andhra Pradesh with the backing of ICICI Bank. Says Gupta: "It's been a long slog, but we've finally got the support that'll bring success."

At the same time, Praveen Bhagwat wants to extend the reach of kiosks with Wi-Fi. Bhagwat, a former wireless researcher for IBM and Bell Laboratories in the U.S., returned to his native India to adapt the wireless standard for rural use. By rewriting some software and redesigning antennae, he made a system that could send signals some 23 kilometers rather than the 100 meters typical for standard Wi-Fi -- meaning that it could provide Internet and phone service to several adjoining villages or a large town. "It's just not economic for large companies to do this. They wouldn't make any money on it," say s 35-year-old Bhagwat. "We have to do it for ourselves."

Unfortunately, innovators often spend more time struggling against India's bureaucracy than they do coming up with products. Bhagwat, for instance, needed just a month to create his first Wi-Fi system. But then it took nine months to get permission to build six 12-meter towers between the city of Kanpur and neighboring Lucknow, and he still hasn't gotten a permit to extend the system. And P.G. Ponappa, N-Logue's chief executive, says getting permission to put government services such as income and birth certificates online routinely takes a year. The government's "intentions are good, but they're just too slow," he says.

Can these projects transform India? Not by themselves. But if, bit by bit, they can make India's poor a little healthier, a little richer, and a little more literate, the cumulative effect on the country's fortunes could be enormous. The poor are eager for a wave of digital change. Young people across the country -- even in many villages -- are familiar with computers and keen to learn how to use them. These days, education and computers are primary items in every rural family's budget. In the poor, dusty village of Shahpur in Uttar Pradesh, for instance, impoverished farmers save their rupees to send their children to school in the neighboring town of Barabanki. There they can study English and computers, which are considered key to prosperity. Among India's poor, there's no shortage of ambition to learn them both. And no shortage of ideas on how to harness technology to give the poor a fighting chance to improve themselves.



Monday, June 21, 2004

Terima Kasih Dishub Kota Pontianak

Rabu, 23 Juli 2003

pontianak post

SETELAH beberapa hari yang lalu, Dishub Kalbar mengeluarkan realease mengenai Penghentian izin Warung Telkom. Kini pihak Dishub Kota Pontianak mengeluarkan lagi pernyataan yang kami pikir sangat-sangat hebat, dengan judul Lalai Urus Izin Wartel, kiosphone dan jasa Postel terancam diputus.

Kami sebagai warga Kota Pontianak yang kebetulan berusaha di bidang yang maksud merasa heran mengenai pemberitaan di atas, serta ingin menanyakan hal-hal berikut :

1. Pemberitaan demikian menurut kami sangat rawan karena bisa mengundang aksi dari masyarakat, walaupun sebenarnya tidak demikian. Terutama jika ada penutupan usaha tentunya akan menciptakan pengangguran baru dan kami pikir Pemkot sangat tidak berdaya mengatasi masalah pengangguran ini. Atau apakah dishub Pontianak sudah memiliki program khusus untuk mengatasinya, ingat jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usaha ini lebih dari 1.000 orang.

2. Kami sebagai eks pengusaha eks kiospon (bukan Kiosphone), dalam kondisi sekarang sudah tidak ada lagi. Hal ini dikarenakan untuk masa sekarang sesuai dengan KM 46 tidak lagi menjadi pengusaha Kiospon maupun Wartel, melainkan adalah penyelenggara Warung Telkom, yang merupakan Outlet Eksklusif dari Telkom. Sehingga apakah sebagai outlet kami harus memiliki izin seperti yang dimiliki oleh perusahaan telekomunikasi ?

Berdasarkan paparan di atas dalam kesempatan ini kami sarankan hal-hal berikut :

1. Diimbau kepada para pengusaha Wartel dan Kiospon yang belum melakukan penandatanganan PKS baru, untuk segera melakukan penandatanganan PKS agar izinnya tidak diputus oleh Dishub Kota Pontianak. Sebab dari pemberitaan tersebut jelas bahwa yang menjadi sasaran kebijakan tersebut adalah pengusaha Wartel dan Kiospon, bukan penyelenggara warung Telkom.

2. Terima kasih Kepada Dishub Kota Pontianak atas pemahamannya tentang keberadaan Warung Telkom. Sebab kami sendiri memang tidak pernah tahu sebelumnya mengenai masalah perizinan yang sangat berbelit. Apalagi pengalaman kami sebagai penyelenggara Warung Telkom maupun pada masa sebelumnya sebagai pengusaha Kiospon sama sekali tidak pernah berhubungan dengan pihak Dishub.

Edwin P,

Penyelenggara WarKom in-Sanaq,

Jl. Silat Baru K. 33 Pontianak.

Komentar Penghentian Warung Telkom

Jumat, 11 Juli 2003

pontianak post

MEMBACA Polemik yang berkembang tentang larangan dari Dinas Perhubungan Kalbar tentang penghentian pelaksanaan Warung Telkom, kami sebagai salah satu pengelola Kiospon ingin memberikan komentar.

1. Kami sebagai pihak pengelola kiospon atau apapun namanya, selama ini tidak pernah merasa dirugikan dengan kebijakan-kebijakan dari PT Telkom, serta tidak pernah mendapatkan komplaen dari pelanggan mengenai SLI. Kalaupun di Wartel lain terjadi komplaen pelanggan mungkin frekuensinya sangat kecil dan tidak signifikan, sehingga secara matematis bisa diabaikan.

2. APWI Kalbar dan Kota seperti yang telah banyak dimuat diberbagai media cetak di Pontianak adalah demisioner dan kalaupun masih ada terus terang sampai saat ini juga kami tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan APWI bahkan nama APWI sendiri saja baru kami tahu dari kurun waktu belakangan ini.

3. Kontrak kerja kami atau PKS dengan PT Telkom adalah secara individu dan dilakukan secara sukarela. Artinya ada yang merasa keberatan dengan PKS dari PT Telkom tinggal batalkan saja PKS.

4. Perseteruan antara PT Telkom dan Indosat, tidak ada hubungan dengan kami. Sebaiknya diselesaikan ditingkat manajemen. Apalagi selama inipun kami tidak pernah berhubungan dengan Indosat.

Berdasarkan hal-hal di atas kami merasa sangat heran dengan adanya larangan dari Dishub mengenai penghentian PKS Warung Telkom. Ada kepentingan apa sebenarnya Dishub melakukan pelarangan ini? Perlu diketahui bahwa secara bisnis perubahan dari Wartel ke Warung Telkom sangat menguntungkan bagi kami, yaitu dari sharing 22,5 % menjadi 33 %.

Dalam kesempatan ini barangkali perlu kami sarankan sebaiknya pihak Dishub tidak masuk dalam wilayah konflik antara Telkom dan Indosat apalagi dengan membawa-bawa nama kami, biarlah persoalan ini dipecahkan oleh pihak manajemen kedua belah pihak. Dan barangkali lebih baik Dishub Kalbar fokus saja pada bidang kerjanya, masih banyak PR yang tidak selesai di Dishub Kalbar seperti Kendaraan sewa khusus misalnya.

Untuk pengusaha wartel atau warung Telkom yang merasa keberatan dengan PKS baru, saya pikir harus dengan lapang dada membatalkan PKS yang ada. Sebab kami yakin masih banyak orang lain yang bersedia dengan PKS.



Edwin P, SE, MM ,

Kiospon In-Sanaq,

Jl. Silat Baru Pontianak

Mengapa Harus Warung Telkom?

Selasa, 1 Juli 2003

pontianak post

SAYA heran membaca surat edaran dari Telkom yang sudah diterima oleh beberapa rekan pengusaha wartel di Kota Pontianak mengenai Warung Telkom yang deadline tanggal 1 Juli 2003. Bila wartel tidak mau be-PKS dengan menjadi Warung Telkom maka wartel-nya akan dicabut line telponnya dan harus bayar harga pasang baru serta dikenakan abodemen. Mengapa harus seperti ini? Apakah ini sebuah bentuk reformasi dalam bidang telekomunikasi?


Dimana Warung telekomunikasi yang dulu saya investasikan harus berubah menjadi warung Telkom. Apakah berarti wartel saya dibeli atau diambil alih oleh pihak Telkom? Apakah nanti ada warung Indosat? Warung Telkomsel? Warung Satelindo? atau warung lainnya?

Kenapa Telkom membuat kebijakan yang meresahkan pengusaha wartel menjadi tertekan dan bingung? Saya mengerti akan pihak Telkom dan Indosat sedang memperebutkan pangsa pasar telekomunikasi, tapi bukan berarti kami yang jadi sasaran kebijakan-kebijakan meresahkan seperti itu. Seharusnya pihak saya (Wartel) yang mendapatkan pelayanan serta fasilitas yang baik dan menguntungkan dari perusahaan-perusahaan telekomunikasi tersebut.

Untuk hal ini saya mohon agar pemerintah Kalimantan Barat dapat membantu koordinasi kedua perusahaan telekomunikasi tersebut agar saya beserta wartel lain dapat memberikan pelayanan sesuai dengan standar yang ada. Saya juga mengharapkan pengayoman dari pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang akan dibuat dari para perusahaan telekomunikasi baik Telkom maupun Indosat.


Ir. Subandi Abdul Asmanhudi,

Jl. Sultan Syahrir Gg. Morodadi no.35

Pontianak 78112


Sunday, June 20, 2004

Price war between Telkom and Indosat gets fiercer

Features - October 05, 2003


Rudijanto, Contributor, Jakarta Post

The launching of new international call service by state-controlled PT Telkom Tbk (Telkom) in August of this year signals the some real competition between two telecommunication giants, Telkom and PT Indosat Tbk (Indosat).

While the fight can be as tough as the one fought in the ring between Mike Tyson and Evander Holyfield, the competition itself should be more than mere entertainment for customers.

Telkom's newly launched 007 international calling service constitutes the a heavyweight challenger to the domination of Indosat and its subsidiary Satelindo in the international call business. If previously Indosat only faced poorly prepared weapons such as Voice Over Internet Protocol (VoIP), Telkom's 007 is a direct attack meant to capture Indosat's loyal customers.

Telkom's 007 is a clear line with comparable voice quality to Indosat's 001 and Satelindo's 008 international call services. Aside from its ability to connect customers to 256 countries, Telkom's 007 is much cheaper. The most frightening reality is that most of the international call users have been Telkom's fixed line telephone customers.

"We see there is a market for international calling. That is why after receiving the license to operate in this market, we've taken this opportunity to exploit this growing market," says Anwar Yake, Telkom's Retail Services Manager.

Prior to launching 007, Telkom had actually tested the waters with its 017 VoIP. Though officially packaged as VoIP, Telkom's 017 has voice quality only slightly below acceptable standards due to low compression applied by Telkom on its transmitted data.

While other VoIP services normally have had a minimum of success in transmitting faxed messages, Telkom guarantees that its 017 can deliver faxes. Offered at 40 percent below normal fixed line international calls on a flat-rate basis, Telkom's 017 has cut into the market share of the established players in this sector.

Many suspect that Telkom has deliberately used the low compression to enable its 017's voice quality to reach nearly the same level as that of the 001 or 008. For many, this constitutes a serious violation against VoIP criteria. Indosat and Satelindo still hold the exclusive rights to provide international call services.

"No, we have not violated any rules. We still use VoIP technology on 017. The fact that the voice quality is better than other VoIP services shows that we have improved our VoIP technology. Regarding how low or how high the compression that VoIP providers use is up to each provider's policy," says Anwar.

Though many are suspicious, but they cannot prove their suspicions. Even the Directorate General of Post and Telecommunications that has authority to uphold the VoIP regulation cannot prove Telkom's wrongdoing in its 017 VoIP operation.

"Of course, we have reminded Telkom on this matter but we have had difficulty proving their violations because we don't have tools that can prove it," says Head of Public Relation at the Directorate General of Post and Telecommunication.

The Directorate General's inaction against Telkom has led many to suspect government's tacit support of Telkom in winning the competition for the international call market. After all, Telkom is still a state-controlled telecommunications company that contributes significantly to the state budget.

After the privatization process, Indosat has changed its status to foreign-scheme investment company. Under this new status, Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. controls 41.94 percent of Indosat's shares. The investing public controls 43.94 percent and the Indonesian government owns 15 percent of the shares.

With such new ownership composition, one should no longer wonder about the apparent governmental favoritism for Telkom. If this allegation is true, Telkom with its strong control of the domestic fixed line telephone market, indeed, constitutes a real heavyweight challenger in the international call market.

Aware of Telkom's strength, Indosat has prepared for a tough fight to maintain its position in the international call market. To face attacks from VoIP providers, including Telkom's 017, Indosat operates its own VoIP Globalsave after receiving government licenses on April 26, 2003.

With the goal, among others, to win back its customers from other competitors, Indosat launched a promotion program. Under this promotion, the company offered discounted rates of up to 85 percent for 13 overseas destinations, including China, Japan and Singapore, South Korea, Germany and the Netherlands, from April 24 to June 30, 2003. The discount excluded calls to overseas mobile phones.

Indosat offers its VoIP Globalsave in two packages, namely pre-paid calling cards, and post-paid. The post-paid is subscription-based service that aims at providing more convenient service to customers. Under this scheme, customers only need to register their telephone numbers for activation.

Meanwhile, seemingly aimed at Telkom's 007 launching in August, Indosat's subsidiary Satelindo announced a new discount campaign at the end of July. Under the discount program, Satelindo's 008 offers up to 40 percent discounts to customers.

Prior to the new program discount, Satelindo has also launched post-paid Pass Call that offers discount up to 58 percent. Pass Call is not a VoIP product but it stems from Satelindo's calling card product with exactly the same voice quality as the company's 008.

Unlike VoIP that has had a small percentage of success in delivering fax messages, Satelindo's Pass Call can deliver fax messages. Being a clear channel service, Pass Call is positioned above VoIP in quality. The product is distributed through some agents.

The competition in the international call market certainly is getting tougher. Both VoIP providers and particularly Telkom's 007 cannot but grab certain percentages of Indosat's market share in this international call market.

But this tough competition in this market has long been anticipated after the implementation of Indonesia's new telecommunications law. The company has transformed itself from an international call provider into a fully integrated telecommunications provider.

The result of this transformation is that the company's revenue from international calls has sharply declined from 73 percent in 2000 to only less than 27.1 percent as of this year's first quarter. The biggest contribution to the company's total revenue came from its fast growing cellular sector with 55.4 percent of total revenue.

The fact that Indosat's main revenue source has gradually shifted to its fast growing cellular sector shows that the company views this international call sector as a sunset business. Under this transformation, Indosat sees its future more on other business lines, especially the cellular sector, rather than international call business.

Cendekiawan Jangan Jadi Mesin Politik

Senin, 21 Juni 2004

Semarang, Kompas - Seorang cendekiawan hendaknya tidak menjadi mesin politik tertentu karena jika sudah demikian maka ia akan sulit menjaga independensinya. Politik itu cenderung memecah masyarakat atau kelompok dan perpecahan merupakan pemusnahan nilai-nilai persaudaraan. Karena itu, seorang cendekiawan hendaknya juga bertindak sebagai pendakwah karena dakwah akan merekatkan bangsa.

Demikian dikatakan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafii Maarif dalam acara pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Ikatan Cendekiawan Musim se-Indonesia (ICMI) di Gedung Gradhika Bhakti Praja, kompleks Kantor Gubernur Provinsi Jawa Tengah di Semarang, Jumat (19/6).

"Jika ICMI akan menjadi perekat bangsa yang tercabik-cabik ini maka misi dakwah dan cendekiawan harus diutamakan, jangan menjadi mesin politik. Kedekatan ICMI dengan rezim yang telah tumbang sedikit banyak meredupkan sinarnya," kata Syafii yang juga Ketua Dewan Penasihat ICMI.

Dengan prinsip seperti itu, kata Syafii, Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tidak akan ikut dalam percaturan politik pemilihan presiden/wakil presiden. Meski mantan Ketua Umum DPP Muhammadiyah Amien Rais maju sebagai capres, Muhammadiyah bersikap netral, tidak akan mendukung salah satu capres/wapres, termasuk pasangan Amien Rais- Siswono Yudo Husodo.

"Sikap politik Muhammadiyah itu sikap dakwah. Artinya, memperbanyak sahabat dengan tidak mendukung salah satu calon presiden. Kalau selama ini dikatakan Muhammadiyah mendukung pencalonan Pak Amien, itu salah tafsir. Saya katakan, Muhammadiyah mendukung langkah Pak Amien dalam menegakkan dan menuntaskan reformasi. Saya tidak pernah menyebut soal dukungan (kepada Amien Rais sebagai capres)," jelas Syafii.

Soal anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota tim kampanye pasangan capres, menurut Syafii, itu merupakan hak individu anggota dan selama ini DPP Muhammadiyah tidak pernah melarang anggota untuk menjadi atau bergabung dengan tim kampanye calon presiden. Hanya saja, jika anggota Muhammadiyah bergabung dalam tim kampanye yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum, yang bersangkutan harus non-aktif. (ika)

'Duopoli telekomunikasi akan dievaluasi'

Selasa, 15 Juni 2004 8:37:13 AM

JAKARTA (Bisnis): Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) akan mengevaluasi duopoli penyelenggaraan layanan telekomunikasi di Indonesia, apabila target pemenuhan jaringan telepon tetap sampai akhir tahun ini tidak tercapai.
Anggota BRTI Suryadi Azis mengatakan sejak awal pemberian lisensi penyelenggaraan layanan telepon tetap kepada PT Telkom dan PT Indosat, kedua perusahaan itu diberi kewajiban untuk pengadaan sambungan telepon tetap baru di Indonesia hingga 1,95 juta SST hingga akhir 2004.

"Untuk tahun ini PT Indosat setidaknya harus membangun jaringan telepon tetap sebanyak 750.000 SST. Sementara PT Telkom pada awalnya mendapat kewajiban untuk menyediakan 1,4 juta SST sampai akhir tahun," ujar dia kepada Bisnis, kemarin.

Belakangan, target pengadaan sambungan telepon tetap oleh PT Telkom direvisi menjadi 1,2 juta SST sesuai dengan permintaan operator tersebut.

Kewajiban pengadaan sambungan telepon tersebut juga diberlakukan berkaitan dengan keluarnya keputusan pemerintah untuk rebalancing tariff sebesar 9% pada tahun ini.

Suryadi mengatakan pengadaan sambungan telepon tetap itu termasuk jenis telepon tetap kabel (fixed wireline) dan telepon fixed wireless access.

Andaikan target penyediaan sambungan telepon tidak tercapai, maka BRTI akan meminta kepada pemerintah agar mengevaluasi ulang sistem duopoli dalam penyelenggaraan layanan telepon di Indonesia.

"Kalau target pengadaan sambungan telepon tetap pada tahun ini tidak tercapai, kita akan mencari jalan keluar yang lain. Misalnya dengan memberikan lisensi penyelenggaraan telepon tetap kepada investor baru."

Andaikan dengan cara itu target pembangunan jaringan telepon tetap masih belum tercapai, kemungkinan investor asing akan diberikan kesempatan, lanjut dia.

Sampai dengan akhir tahun ini, PT Telkom menyanggupi untuk membangun 1,2 juta SST, termasuk untuk melayani daftar tunggu sambungan telepon fixed wireline yang mencapai 750.000 SST.

Sementara PT Indosat menyiapkan untuk tahap awal menyiapkan jaringan sebesar 700.000 sambungan. Layanan tersebut disiapkan di dua area, yaitu di Jabotabek serta di area Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, dan Malang.

Angka itu diluar rencana pembangunan jaringan FWA Star One yang dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga dan penyediaan sambungan telepon kabel i-Phone.

Tidak ekonomis

Suryadi mengakui untuk saat ini minat investor untuk mengembangkan jaringan telepon fixed wireline memang sudah tidak ekonomis lagi.

"Biaya investasi yang diperlukan untuk membangun jaringan fixed wireline saat ini bisa mencapai US$1.000 per sambungan. Sementara untuk membangun jaringan fixed wireless berbasis CDMA hanya US$100 per sambungan," ujar dia.

Menurut dia, karena keputusan investasi pada industri telekomunikasi masih menganut prinsip cost based, maka pembangunan jaringan fixed wireline memang menjadi kurang menarik bagi investor.

"Dengan struktur tarif seperti yang berlaku saat ini, maka investor menjadi kesulitan mencapai break event point (BEP) dalam mengembangkan jaringan fixed wireline."

Namun diakuinya bahwa kondisi tersebut sangat merugikan Indonesia karena pertumbuhan tingkat teledensitas menjadi sulit dicapai.

"Kecuali kalau biaya pembangunan jaringan telepon kabel yang baru bisa diatas perhitungan cost based."

Ketika ditanya apakah akan dilakukan lagi perubahan tarif telepon untuk merangsang pembangunan jaringan telepon fixed wireline, dia mengatakan hal itu merupakan salah satu alternatif yang perlu dipelajari lebih lanjut. "Pasti akan ada kajian untuk mengatasi solusi tersebut." (trd)


[back]

Dephub Targetkan Tahun 2010 Telepon Masuk ke Seluruh Pelosok

Rabu, 02 Juni 2004 12:46:21 PM / Suara Pembaruan

JAKARTA - Departemen Perhubungan (Dephub) menjanjikan hingga 2010, sebanyak 43.022 desa terpencil yang selama ini belum dapat menikmati sambungan telepon akan memiliki akses telepon. Diperkirakan dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya mencapai Rp 2,14 triliun.

"Saat ini dari 66.778 desa di seluruh Indonesia, 64,4 persennya belum memiliki akses telepon. Jumlahnya mencapai 43.022 desa. Tahun lalu sudah terealisasi 3.010 desa dengan dana subsidi dari APBN untuk USO (Universal Service Obligation/kewajiban pelayanan universal) sebesar Rp 45 miliar. Kami harapkan tahun ini pemerintah menyetujui dana USO sebesar Rp 90 miliar agar pembangunan di 3.500 desa terealisasi," tutur Direktur Telekomunikasi dan Informatika pada Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Dephub, Susilo Hartono di Jakarta, Senin (31/5).

Susilo menjelaskan, program USO itu merupakan salah satu tuntutan yang harus dilakukan setiap negara anggota Uni Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union/ ITU) termasuk Indonesia. Dalam pertemuan masyarakat telekomunikasi dunia, Desember 2003, disepakati hingga 2015, seluruh desa-desa di setiap negara anggota sudah tersedia telepon dan TI (teknologi informasi).

"Masalahnya, wilayah Indonesia besar sekali, kondisi alamnya berat dan dipisahkan laut. Tetapi tuntutan itu harus dilaksanakan," ujar Susilo. Upaya itu dilakukan melalui implementasi program USO di daerah tidak menguntungkan dan terpencil.

Saat ini sambungan telepon tetap di seluruh Indonesia hanya 7,28 juta satuan sambungan telepon (sst). Teledensitas (kepadatan telepon) di Jakarta per seratus penduduk sebesar 35 persen. Kemudian di area urban sebesar 11-25 persen, dan area rural 0,2 persen.

Selama ini pelaksanaan USO dilakukan dengan teknologi satelit atau dikenal dengan PFS (portable fixed satellite) dan VSat (very small aperture terminal).

Pada tahun 2003, dari 3.010 sst yang dipasang di 3.010 desa, untuk teknologi PFS sudah terpasang 2.975 sst dan teknologi VSat sebanyak 35 sst. "Sebenarnya target pembangunan USO tahun 2003 sebanyak 7.500 desa. Namun akibat keterbatasan dana dan waktu pembangunan, maka target itu tidak tercapai," tukas dia.

Menurut informasi yang diperoleh Pembaruan, saat ini Dephub sedang mengkaji rencana pengubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 tahun 2000 soal Pendapatan Negara Bukan Pajak di sektor perhubungan. Revisi itu akan mengatur kontribusi para penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi untuk pembangunan USO. Diharapkan revisi PP tersebut selesai tahun ini.

Disepakati, setiap operator dan juga penyedia jaringan memberikan 0,75 persen dari pendapatan perusahaan mereka untuk disetorkan ke kas negara. Namun dengan syarat, dana yang terkumpul itu 100 persen harus digunakan untuk pembangunan USO.

Mulai 2005 diharapkan kontribusi USO yang terkumpul sebesar Rp 266 miliar dan akan digunakan untuk pembangunan sambungan telepon di 4.500 desa. Satu desa mendapatkan satu sst. Kemudian tahun 2006 diharapkan dapat terkumpul Rp 294 miliar untuk 5.100 desa, 2007 senilai Rp 323 miliar untuk 6.000 desa dan tahun 2008 sebesar Rp 355 miliar untuk 6.500 desa.

Selanjutnya pada tahun 2009 untuk 7.000 desa dibutuhkan dana Rp 390 miliar, dan tahun 2010 dibutuhkan dana sebesar Rp 429 miliar untuk 7.390 desa. (Y-4) JAKARTA - Departemen Perhubungan (Dephub) menjanjikan hingga 2010, sebanyak 43.022 desa terpencil yang selama ini belum dapat menikmati sambungan telepon akan memiliki akses telepon. Diperkirakan dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya mencapai Rp 2,14 triliun.

"Saat ini dari 66.778 desa di seluruh Indonesia, 64,4 persennya belum memiliki akses telepon. Jumlahnya mencapai 43.022 desa. Tahun lalu sudah terealisasi 3.010 desa dengan dana subsidi dari APBN untuk USO (Universal Service Obligation/kewajiban pelayanan universal) sebesar Rp 45 miliar. Kami harapkan tahun ini pemerintah menyetujui dana USO sebesar Rp 90 miliar agar pembangunan di 3.500 desa terealisasi," tutur Direktur Telekomunikasi dan Informatika pada Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Dephub, Susilo Hartono di Jakarta, Senin (31/5).

Susilo menjelaskan, program USO itu merupakan salah satu tuntutan yang harus dilakukan setiap negara anggota Uni Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union/ ITU) termasuk Indonesia. Dalam pertemuan masyarakat telekomunikasi dunia, Desember 2003, disepakati hingga 2015, seluruh desa-desa di setiap negara anggota sudah tersedia telepon dan TI (teknologi informasi).

"Masalahnya, wilayah Indonesia besar sekali, kondisi alamnya berat dan dipisahkan laut. Tetapi tuntutan itu harus dilaksanakan," ujar Susilo. Upaya itu dilakukan melalui implementasi program USO di daerah tidak menguntungkan dan terpencil.

Saat ini sambungan telepon tetap di seluruh Indonesia hanya 7,28 juta satuan sambungan telepon (sst). Teledensitas (kepadatan telepon) di Jakarta per seratus penduduk sebesar 35 persen. Kemudian di area urban sebesar 11-25 persen, dan area rural 0,2 persen.

Selama ini pelaksanaan USO dilakukan dengan teknologi satelit atau dikenal dengan PFS (portable fixed satellite) dan VSat (very small aperture terminal).

Pada tahun 2003, dari 3.010 sst yang dipasang di 3.010 desa, untuk teknologi PFS sudah terpasang 2.975 sst dan teknologi VSat sebanyak 35 sst. "Sebenarnya target pembangunan USO tahun 2003 sebanyak 7.500 desa. Namun akibat keterbatasan dana dan waktu pembangunan, maka target itu tidak tercapai," tukas dia.

Menurut informasi yang diperoleh Pembaruan, saat ini Dephub sedang mengkaji rencana pengubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 tahun 2000 soal Pendapatan Negara Bukan Pajak di sektor perhubungan. Revisi itu akan mengatur kontribusi para penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi untuk pembangunan USO. Diharapkan revisi PP tersebut selesai tahun ini.

Disepakati, setiap operator dan juga penyedia jaringan memberikan 0,75 persen dari pendapatan perusahaan mereka untuk disetorkan ke kas negara. Namun dengan syarat, dana yang terkumpul itu 100 persen harus digunakan untuk pembangunan USO.

Mulai 2005 diharapkan kontribusi USO yang terkumpul sebesar Rp 266 miliar dan akan digunakan untuk pembangunan sambungan telepon di 4.500 desa. Satu desa mendapatkan satu sst. Kemudian tahun 2006 diharapkan dapat terkumpul Rp 294 miliar untuk 5.100 desa, 2007 senilai Rp 323 miliar untuk 6.000 desa dan tahun 2008 sebesar Rp 355 miliar untuk 6.500 desa.

Selanjutnya pada tahun 2009 untuk 7.000 desa dibutuhkan dana Rp 390 miliar, dan tahun 2010 dibutuhkan dana sebesar Rp 429 miliar untuk 7.390 desa. (Y-4)



Wednesday, June 16, 2004

Memahami kelemahan pembantu rumah Indonesia

========
http://utusan.com.my/utusan/archive.asp?y=2004&dt=0602&pub=utusan_malaysia&sec=rencana&pg=re_06.htm&arc=hive
=========

Oleh Nazarudin Zainun dan Soijah Likin

Berdasarkan kes Nirmala Bonat yang didakwa didera oleh majikannya, apa yang timbul dalam benak sesetengah pengamat ialah wujudnya masalah dalam komunikasi antara Nirmala dengan majikannya.

Majikannya menggunakan jurubahasa di mahkamah kerana tidak boleh memahami bahasa Malaysia ketika pertuduhan ke atasnya dibacakan. Ini bermakna majikannya tidak boleh bertutur dan memahami bahasa Malaysia. Nirmala pula berasal dari Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di wilayah itu juga tidak fasih berbahasa Indonesia, apatah lagi bahasa Inggeris.

Lantas timbullah persoalan bagaimana mereka berkomunikasi? Dari sudut antropologi di sini timbulnya masalah - lain disuruh lain dibuat. Apabila berkali-kali melakukan kesalahan sama maka kesabaran majikan pun hilang. Dalam kes ini sangat dikesalkan, majikan bertindak tidak sesuai dengan akal sihat.

Kehidupan pembantu rumah yang mundur dan miskin di kampung halaman menyebabkan mereka jauh dari dunia moden. Apa yang ditemui di rumah majikan adalah benda-benda yang pertama kali mereka lihat, dengar dan tahu. Jadi tidak hairanlah jika majikan perlu mengajar berkali-kali untuk menggunakan alat-alat elektrik. Apatah lagi jika alat-alat tersebut diperkenal dengan menggunakan istilah Inggeris, maka bertambahlah kebingungan mereka. Itu baru mengenal peralatan dapur belum lagi cara menggunakannya.

Perlu diingatkan bahawa kehidupan desa di Indonesia bukan seperti kehidupan di kampung-kampung di Malaysia. Apa yang ada di dalam rumah orang bandar boleh dikatakan sama atau hampir sama dengan apa yang ada di rumah orang kampung. Jika tidak sama sekalipun tetapi benda-benda yang asas pasti ada.

Malahan ada di kalangan mereka yang masih tidak mempunyai bekalan elektrik di rumah, ini sudah pasti memberikan gambaran kepada kita satu keadaan kosong pengetahuan tentang elektrik dan kegunaannya.

Untuk mengatasi masalah kebingungan ini, kita perlu berusaha sedikit untuk sama-sama membantu meningkatkan kefahaman mereka. Tidak salah jika kita mengalah dengan memahami bahasa mereka. Oleh kerana sebahagian besar majikan rakyat Malaysia berpendidikan adalah lebih mudah untuk kita memahami pembantu rumah berbanding mereka memahami majikan.

Jangan harapkan pembantu rumah boleh memasak mengikut menu kita, bukan mereka tidak pandai memasak tetapi kemiskinan menjadikan mereka miskin pengetahuan dan pengalaman. Tidak keterlaluan jika dikatakan terdapat orang Indonesia dari kampung yang tidak tahu makan ayam dan ikan kerana mereka tidak pernah memakannya. Meskipun mereka membela ayam tapi ayam dipelihara untuk dijual bagi membeli beras. Sebenarnya mereka bukan cerewet bila tidak makan itu dan ini, kerana apa yang kita makan adalah benda-benda yang mereka tidak tahu dan tidak pernah rasa makanan itu.

Cara makan orang Indonesia sebenarnya cukup mudah berbanding orang Malaysia yang perlu banyak lauk-pauk. Makanan seharian mereka cukup sekadar tempe, tauhu, keropok dan untuk golongan berada pula mungkin agak sama dengan sajian makanan kita di Malaysia.

Biasanya pembantu rumah Indonesia di negaranya, tidak bekerja setelah waktu Maghrib. Majoriti orang Indonesia makan sebelum Maghrib jadi selepas waktu itu, pembantu rumah bebas daripada tugas. Sebahagian daripada tugas rumah tangga diambil alih oleh majikan.

Pada waktu tersebut pembantu rumah akan keluar dan berjumpa dengan pembantu rumah yang lain untuk berbual-bual sambil makan bakso di halaman rumah atau di tepi-tepi jalan.

Tetapi ramai majikan di Malaysia tidak sedemikian. Terdapat pembantu yang bekerja 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu. Setelah seharian mengurus rumah dan anak adalah wajar untuk pembantu rumah memiliki waktunya sendiri setiap hari.

Ini penting untuk kesegaran fizikal dan mental agar esoknya pembantu rumah boleh memulakan kerja dengan sihat dan ceria. Kalau majikan terus memberikan kerja malahan waktu malam pun anak-anak disuruh tidur bersama pembantu rumah, bagaimana mereka mampu bekerja dengan cergas keesokannya kerana tidak cukup tidur dan rehat.

Keadaan ini mempengaruhi emosi dan fizikal pembantu rumah. Inilah yang mencetuskan faktor anak didera, pembantu malas, lesu, bergayut di telefon atau asyik tonton TV. Perlu disedari majikan (suami dan isteri) apabila telah berada di rumah, ambillah semula tugas rumah tangga terutamanya mengurus anak dan suami atau isteri.

Suami juga sama-sama membantu isteri untuk mengurus anak dan rumah tangga. Kebiasaannya, suami lepas tangan dan kerja yang biasanya boleh dilakukan berubah menjadi tidak tahu apabila ada pembantu rumah seperti mencuci kereta dan menyediakan susu anak. Sehingga ada kalangan anak memanggil pembantu rumah mereka sebagai emak dan ibu.

Jika ada waktu atau kelapangan, buat kerja bersama-sama atau meringankan kerja pembantu rumah, janganlah majikan hanya menjerit dan mengarah itu dan ini. Menguruskan rumah tangga dan menjaga anak bukanlah tugas yang mudah, tetapi cukup memenatkan apalagi anak-anak yang suka meragam.

Pembantu rumah bukan robot yang tidak ada perasaan dan bukan juga Badang yang kuat bertenaga, tetapi adalah makhluk yang sama dengan kita, ada rasa penat, letih, marah, suka, gembira, lapar dan dahaga. Mereka juga memerlukan apa yang kita perlukan seperti rehat, tidur, bercakap, bergembira dan berkawan.

Malahan pembantu-pembantu rumah ialah manusia dewasa yang ada rasa malu dan tertekan, jadi hindarkanlah memarahi dan mengherdik mereka di depan anak atau suami atau isteri. Kalau ada yang tidak puas hati bawalah bercakap dengan baik dan berhemah sesuai dengan taraf masyarakat kita yang dikatakan lebih moden dan terpelajar.

Sesungguhnya adalah tidak rugi untuk kita cuba memahami latar belakang dan watak pembantu rumah terlebih dahulu sebelum mengambil seseorang untuk bekerja dengan kita.

Sebagai orang yang beragama, tidak kira apa agama pun mempunyai ajaran yang sama - buat baik dibalas baik, buat jahat akan dapat balasan yang setimpal.

Dengan demikian, sebenarnya bukan penambahan syarat-syarat yang ketat pengambilan pembantu rumah yang sangat diperlukan pada masa ini, tetapi pemahaman kita terhadap calon pembantu rumah. Semakin kita memahami mereka maka sebenarnya kita semakin memudahkan diri dan keluarga.

- Dr. Nazarudin Zainun ialah Pensyarah Sejarah Asia Tenggara (Indonesia) Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia (USM), Pulau Pinang.

- Soijah Likin ialah ahli antropologi bebas dan pengamat sosial masalah pekerja wanita Indonesia di Malaysia.

Friday, June 04, 2004

Otoda dan Kemampuan PT Telkom

Kamis, 17 Juli 2003 / kompas

SEBAGAI perusahaan bisnis murni, wajar saja kalau PT Telkom memiliki urutan prioritas mana saja kawasan yang akan dibangun fasilitas telekomunikasi. Prioritasnya adalah daerah yang dianggap berpotensi untuk mengembalikan modal dalam waktu lebih singkat sehingga daerah-daerah yang tidak potensial mereka ke sampingkan untuk sementara waktu.

Ketidakmampuan PT Telkom secara finansial membuat satu daerah tidak masuk dalam urutan prioritas padahal pemerintah setempat sangat membutuhkan, membuat daerah menjadi tidak sabar. Mereka akhirnya membangun sendiri fasilitas telekomunikasi, tanpa mencari tahu sebelumnya mengenai aturan-aturan yang membatasi, syarat-syarat yang harus dipenuhi, teknologi yang digunakan, dan sebagainya.

Pada dasarnya mereka ingin membebaskan wilayahnya dari keterisoliran dalam masalah telekomunikasi, selain diwarnai oleh semangat otonomi daerah. Kawasan yang kaya lebih memperhatikan kebutuhan warganya ketimbang aturan di tingkat lebih tinggi lagi, dengan asumsi pembangunan fasilitas telekomunikasi (fastel) itu memang hanya untuk kepentingan setempat. Tak terlintas dalam pemikiran ketika akan membangun, kemungkinan interkoneksi dengan jaringan PT Telkom, atau PT Indosat, sebagai operator yang diakui berdasarkan aturan perundangan.

Akibatnya, ada jaringan yang dibangun, tetapi lalu tidak bisa masuk ke jaringan PT Telkom, sebab pemerintah kabupaten tidak berstatus operator sebagaimana diatur Undang-Undang No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Kebanyakan pemerintah kabupaten berpikiran bahwa membangun fastel bisa begitu saja lalu tersambung ke jaringan operator yang ada, apakah itu PT Telkom atau PT Indosat, seperti halnya menyambungkan kabel listrik atau jalan raya.

Apalagi investor atau kontraktor pembangun jaringan telekomunikasi tidak memberi informasi jelas mengenai aturan main dalam pertelekomunikasian karena hanya mencari keuntungan. Mereka umumnya cuma menawarkan kecanggihan teknologi, walau karena ketidaktahuan pemerintah setempat, acapkali teknologi yang ditawarkan merupakan teknologi usang. Saat ini, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, misalnya, sudah membangun fastel dengan teknologi CDMA versi IS-95 yang di dunia justru sudah mulai ditinggalkan karena sudah ada generasi terbaru, CDMA 2000-1X. Kabupaten Kutai Timur malah membangun fastel dengan teknologi nirkabel PHS (personal handyphone system) yang di negara penciptanya, Jepang, sudah masuk ke museum sejak awal dekade lalu. PHS pernah dicoba diterapkan di Jakarta dan Surabaya dan PT Telkom sudah membeli perangkatnya, tetapi tidak pernah dijalankan dan perangkatnya membusuk tertumpuk saja di gudang hingga saat ini.

Tak ada yang meragukan teknologi CDMA yang justru lebih bagus yang mampu menampilkan suara yang lebih jernih dibanding GSM. Tetapi, mengembangkan teknologi yang sudah ditinggalkan memiliki risiko sendiri, yang ketika ada masalah dengan perangkatnya tak ada lagi pabrik yang membuat suku cadangnya. Kalaupun pemakai lalu memesan satu suku cadang perangkat itu, pabrik akan membuatnya sebagai pesanan khusus sehingga harganya akan sangat mahal, bisa-bisa mendekati biaya untuk membangun teknologi yang terbaru.

Teknologi telekomunikasi berkembang sangat cepat dan siklusnya makin lama makin singkat sehingga dalam merancang pembangunan jaringan telekomunikasi, harus dilihat roadmap ke depan. Apakah vendor atau prinsipalnya akan tetap menyediakan teknologi lanjutan atau tidak, sebab hal ini berkait erat dengan investasi dan kesinambungan layanan.

KABUPATEN Kutai Kartanegara merupakan contoh menarik dari semangat otonomi daerah, kemampuan finansial pemerintah kabupaten yang demikian tinggi, dan rencana pembangunan PT Telkom. Kutai selama ini merupakan daerah "terbelakang" karena hasil alamnya tersedot ke pusat dan mereka hanya mendapat bagian yang sangat sedikit sehingga tak bisa mengembangkan diri.

Orang selama ini mengenal Tenggarong hanya sebagai kota tua kecil di sudut Kalimantan Timur yang punya sejarah kerajaan yang berbudaya tinggi. Ada bukti sejarah berupa Keraton Kutai di tepi Sungai Mahakam yang membuat orang membayangkan betapa jaya dan makmurnya Kutai masa lalu.

Kini kejayaan Kutai sudah kembali, pembangunan berjalan pesat yang bahkan mengalahkan pembangunan di seantero provinsi, bahkan di Tanah Air. Kutai pun menjadi sorotan, pusat perhatian, dan panutan pemerintahan setingkat, dan apa yang dilakukan Bupati H Syaukani HR seolah jadi pedoman bagi bupati lain dari seluruh Indonesia. "Dialah sebenar-benarnya rajanya para bupati, raja di Kutai," ujar seorang petinggi tingkat provinsi Kalimantan Timur.

Sementara daerah lain harus puas dengan terus bermimpi, Kutai mampu mewujudkan mimpi-mimpinya karena ia sudah muncul sebagai kabupaten terkaya di Indonesia. Itu sebabnya, mimpi untuk membuka keterasingan kawasan pedalaman tak sulit bagi Kutai Kartanegara untuk membuatnya nyata.

Tahun 2002 lalu, begitu Bupati Syaukani mencanangkan Kutai Kartanegara bebas isolasi telekomunikasi, mereka segera membangun jaringan-rencananya-di 14 kecamatan di wilayahnya. Bupati mengambil keputusan membangun fastel ini hanya karena PT Telkom tidak mampu membangun sampai ke pedesaan di tengah hutan karena mereka nilai tidak produktif. PT Telkom memang sudah membangun, tetapi di daerah kaya di Kutai Kartanegara, misalnya di Muarabadak, Samboja, dan Sanga-sanga, selain Tenggarong; tidak di Tabang yang terkucil.

Biayanya tidak tanggung-tanggung, ada yang mengatakan sampai Rp 35,5 miliar untuk 3.000 satuan sambungan, atau Rp 11 juta lebih per SST (satuan sambungan telepon). Jumlah ini cukup mahal, mengingat hitungan Kepala PT Telkom Divisi Regional VI Kalimantan Arief Yahya, pembangunan fastel di Kalimantan sekitar 600 dollar AS per SST, atau sekitar Rp 5 juta.

Tetapi Dr Didi Marzuki, Kepala Kantor Pengolahan Data Elektronik yang bertanggung jawab dalam proyek ini mengatakan, saat ini baru terbangun 500 SST dengan biaya Rp 17,5 miliar. Cukup besar, karena biaya pembangunan fastel untuk 3 kecamatan itu-Tabang, Tenggarong Seberang, dan Loa Kulu-termasuk biaya membangun sentral telepon otomat (STO) untuk 3.000 SST.

Jumlah 3.000 SST untuk 498.000 penduduk Kutai Kartanegara tidak banyak, tak sampai 0,6 persen, tetapi kata Didi, "Sementara jumlahnya cukup, yang penting isolasi bisa dibuka dan pembangunan diratakan". Karenanya, yang mendapat prioritas adalah kantor-kantor pemerintahan, kantor kepala desa, kantor aparat keamanan, dan fasilitas umum.

Dikatakan, pemerintah kabupaten tertarik membangun fastel karena kontraktornya bersedia memberikan teknologi telekomunikasi yang menurut pandangan awam sangat canggih. Teknologi WLL (wireless local loop) yang ditawarkan adalah CDMA (code division multiple access) yang tidak hanya menyalurkan suara seperti telepon saat ini.

Kata Didi, WLL-CDMA yang dibangun selain menyalurkan suara bisa juga untuk transmisi data dan layanan multimedia. Dengan teknologi ini, bisa dilakukan video conference atau konferensi jarak jauh sambil tatap muka lewat video. "Dan Bupati Syaukani sangat ingin fasilitas konferensi video ini," ujar Dr Didi.

Bisa dimaklumi, karena kabupaten yang berbatasan dengan negeri jiran Malaysia (Sabah dan Serawak) itu alamnya sangat keras, sulit ditempuh karena berbukit, hutan lebat dan tak banyak jalan raya. Penduduk yang sedikit menyebar di kawasan yang berbatasan dengan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat itu, yang fasilitas umumnya terbatas. "Tak ada listrik, kalaupun ada hanya menyala malam hari," katanya pula.

Ada kelemahan dalam kebijakan pembangunan fastel ini karena kontraktornya, PT Yuta Mitra Mandiri, hanya bertindak sebagai pembangun dan proses selanjutnya diserahkan kepada pemkab. Ternyata masalah justru muncul di sini, ketika pemerintah lewat perusahaan daerah ingin mengelola, sebab secara peraturan perundangan hal itu tidak dimungkinkan karena mereka bukan operator.

Kesulitan muncul ketika mereka ingin menyambung ke saluran PT Telkom sehingga bisa terbuka ke dunia luar, tetapi PT Telkom menolak. Telkom tidak mungkin memberikan fasilitas interkoneksi, seperti halnya kepada PT Indosat atau kepada semua operator telepon seluler karena mereka semua adalah operator.

Kata PT Telkom, ujar Didi, untuk bisa digunakan, semua peralatan yang sudah dibangun harus diserahkan (dihibahkan) dan dioperasikan oleh PT Telkom dan penghasilannya menjadi hak PT Telkom. Bupati sendiri berharap, kalau tidak bisa dioperasikan oleh perusahaan daerah, anggap saja sebagai wartel besar yang mendapat bagian penghasilan, biar cuma sedikit.

Menurut Arief Yahya, tidak sulit memenuhi permintaan pemerintah kabupaten itu. Namun, karena status mereka bukan operator, paling oleh PT Telkom jaringan yang sudah dibangun akan diperlakukan sebagai sentral PABX (private automatic branch exchange-sentral telepon otomat untuk kepentingan sendiri) seperti yang digunakan di gedung perkantoran atau hotel-hotel.

Dengan cara memperlakukan sebagai PABX pun perangkat yang sudah dibangun itu masih harus dipasangi alat lain lagi, karena tidak begitu saja match, akibat teknologi yang digunakan berbeda. "Seperti kalau Pentium IV harus jadi Pentium II," kata Arief.

Sebegitu jauh, PT Telkom sudah menawarkan sertio (serah terima operasi) yang berbentuk hibah peralatan itu kepada PT Telkom yang kemudian akan mengoperasikannya sebagai peralatan BUMN itu. Kalau pemerintah setempat ingin mendapat penghasilan dari fastel itu, mereka bisa menaikkan (mark up) tarif sendiri karena yang masuk ke PT Telkom sebesar tarif resmi. Kata Arief Yahya, "Sertio memang the only way, dan untuk bagi hasil (share), bisa dibicarakan".

Hingga saat ini, jaringan telekomunikasi yang dibangun Kutai Kartanegara itu sudah bisa dihubungi dari jaringan PT Telkom, tetapi tidak bisa menelepon ke luar, kecuali ke sesama mereka. PT Telkom pun sudah memberi pengenal dengan nomor awal 669 xxx sebagai office code supaya dikenal oleh jaringan PT Telkom.

Menurut Didi Marzuki, pemerintah Kabupaten Kartanegara membentuk tim yang diketuai Sekretaris Kabupaten Eddy Subandi yang aktif melakukan penjajakan lebih jauh. Tim ini mencoba mencari jalan bagaimana agar fastel yang dibangun dapat bermanfaat dan memberi pendapatan kepada daerah.

Mereka melakukan penjajakan tidak cuma kepada PT Telkom, tetapi juga ke operator lain, PT Indosat lalu yang menyambut dengan antusias. "Indosat memberi penawaran yang lebih fleksibel," ujar Didi, meski diakui Indosat masih belum punya lisensi untuk SLJJ (sambungan langsung jarak jauh). Perusahaan penanaman modal asing itu baru akan mendapat izin SLJJ Agustus 2003 ini, sementara Kutai justru lebih banyak akan memanfaatkan SLJJ untuk menghubungi perangkat pemerintahan di daerah-daerahnya.

Menanggapi hal ini Direktur Telepon Tetap PT Indosat Emil Soedarmo mengatakan, PT Indosat akan membantu agar sarana yang dibangun Kutai Kartanegara bisa segera dioperasikan. Kemungkinannya memang peralatan itu dioperasikan atas nama PT Indosat, namun sejauh itu belum ada deal bisnis antara Indosat dan Kutai. "Kami baru memberikan konsultasi dan bantuan teknis," katanya.

Emil mengatakan, Indosat bisa melakukan kerja sama karena sudah mendapat izin resmi sebagai operator lokal. Namun demikian, ia berharap pemerintah di daerah seharusnya membangun fasilitas telekomunikasi seperti kalau membangun prasarana. "Karena itu,, jangan dianggap sebagai bisnis, melainkan bentuk pelayanan kepada warganya seperti halnya mereka membangun jalan," kata mantan Direktur TPI itu. (HW)

"Clearinghouse" untuk Telekomunikasi

Kamis, 17 Juli 2003 / kompas

Asmiati Rasyid

PELAKSANAAN kliring trafik telekomunikasi yang dikenal sebagai clearinghouse sepertinya telah begitu mendesak, dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 84/2002. Di KM itu regulator mengharapkan sistem ini telah bisa beroperasi 18 bulan sejak keputusan menteri ditetapkan pada bulan Oktober 2002.

MENARIK untuk dicermati, pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Telkom belum lama ini diumumkan pendapatan dari transaksi interkoneksi naik 200 persen dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai Rp 3,02 triliun. Artinya, jika interkoneksi dikelola dengan benar, dengan semangat kompetisi yang sehat, akan saling menguntungkan bukan hanya bagi incumbent.

Interkoneksi merupakan keterhubungan jaringan antara operator yang berbeda, baik secara fisik maupun virtual. Dengan demikian, pelanggan suatu operator dapat berkomunikasi dengan pelanggan operator lainnya, malahan bisa mengakses layanan operator lain.

Interkoneksi juga dapat dikembangkan dalam bentuk pemanfaatan bersama (sharing) elemen-elemen prasarana telekomunikasi. Terutama elemen jaringan akses yang secara teknis maupun ekonomis tidak laik untuk duplikasi, yang masuk kategori essential facilities, seperti saluran kabel bawah tanah, menara BTS, atau sistem billing.

Pasal 25 Undang-Undang (UU) Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 mencantumkan hak setiap operator mendapat interkoneksi dari operator lain dan wajib memberi interkoneksi bila diminta. Operator besar wajib memberi interkoneksi operator-operator baru (new entrances) secara adil, transparan, dan tanpa diskriminasi untuk mendukung kompetisi yang sehat.

Dengan dibukanya kompetisi sektor telekomunikasi dengan jumlah operator semakin banyak, pelaksanaan clearinghouse (CH) menjadi langkah strategis di tingkat operasional. Bukan saja untuk menjaga harmonisasi dan sinkronisasi antaroperator, tetapi juga meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, mengatasi perselisihan transaksi interkoneksi antaroperator yang sering terjadi.

Konsep CH sudah lama dipakai pada transaksi finansial perbankan maupun pasar modal, transaksi kliring antarbank atau antarsekuritas dilakukan oleh suatu lembaga kliring. Pada sektor telekomunikasi, konsep ini sangat bermanfaat untuk mempermudah transaksi interkoneksi antaroperator, yaitu untuk proses kliring transaksi interkoneksi incoming, transaksi interkoneksi outgoing, maupun transit dari suatu operator ke operator lainnya.

Makin banyak operator dengan teknologi yang berbeda-beda, maka pelaksanaan interkoneksi akan semakin kompleks, baik secara teknis maupun nonteknis. Lewat CH, semua data interkoneksi akan tercatat secara akurat mengikuti standar yang ditentukan, proses penyelesaian (settlement) maupun rekonsiliasi dapat dilakukan lebih cepat. Pembagian pendapatan interkoneksi antaroperator tergantung skenario penyambungan suatu panggilan dan struktur penarifan yang berlaku.

Sampai saat ini, perjanjian interkoneksi dilakukan secara langsung antara dua operator (bilateral). Bisa dibayangkan, jumlah perjanjian yang harus dipersiapkan oleh PT Telkom selaku operator besar yang wajib memberi interkoneksi kepada semua operator baru.

Perjanjian interkoneksi biasanya mengatur mekanisme pembagian pendapatan interkoneksi berdasarkan skenario panggilan yang mungkin terjadi. Setiap operator biasanya melakukan pencatatan sendiri (call data record), baik panggilan keluar (outgoing) maupun masuk (incoming). Rekaman data panggilan ditempatkan di gerbang masing-masing di setiap titik interkoneksi (point of interconnection/PoI).

Permasalahannya, sering kali terjadi perselisihan karena hasil pencatatan operator berbeda, bisa saja karena parameter yang berbeda antara satu operator dengan operator lainnya yang bersifat teknis lapangan. Misalnya karena sentral yang dipergunakan tidak sama.

Proses penyelesaian perselisihan (financial settlement) berbiaya tinggi dan menghabiskan banyak waktu karena berlarut-larut dan harus dilakukan secara bilateral antaroperator yang berselisih. Kinerja operator terganggu jika masalah interkoneksi tidak diatasi.

Penerapan CH diharapkan menjadi solusi penyelesaian trafik interkoneksi multioperator yang efektif dan ekonomis. Perhitungan pembagian pendapatan didasarkan pada satu format data standar, diproses dengan metode yang benar sehingga menghasilkan suatu yang data akurat untuk tagihan kepada masing-masing operator.

Sebagai contoh, tahun 1993 Federal Communication Commission (FCC), regulator di Amerika Serikat, mendirikan NECA (National Exchange Carrier Association). NECA menjadi penyelenggara kliring trafik interkoneksi antaroperator lokal untuk menekan biaya sistem billing (penagihan) dan menghindari terjadinya double sharing. Operator lokal yang berjumlah lebih dari 1.300 dibagi tiga, masing-masing punya wakil di NECA. Tahun 1996 FCC menunjuk NeoStar dengan layanan CARE (Costumer Account Record Exchange) sebagai pelaksana CH.

Dengan sistem ini, setiap pelanggan berhak dan bebas memilih operator SLJJ dan operator SLI. Pelanggan wajib diberi informasi tarif oleh setiap operator secara transparan sehingga bisa memilih operator yang paling mereka sukai sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dengan adanya CH, kecurangan operator bisa diatasi, seperti kasus pemblokiran SLI Indosat oleh Telkom saat ini.

Penerapan CH berkembang terus, juga untuk bisnis lain. AT&T Global Clearinghouse (GCH) menjadi penyedia CH pertama internet service provider (ISP) untuk layanan VoIP, yang memiliki 100 anggota di dunia. Sistem yang disediakan AT&T mendukung semua platform VoIP dan protocol signalling sehingga memberikan pilihan routing yang sangat fleksibel untuk mendapatkan tarif sesuai dengan kebutuhan bisnis pelanggannya.

Lewat alat monitor mutu layanan real-time, keandalan jaringan GCH bisa dimonitor setiap saat. Anggota GCH dapat melihat tarif yang berlaku di setiap negara tujuan dan melihat faktur secara on-line.

Penerapan di Indonesia

Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 84 Tahun 2002, Dirjen Postel akan menunjuk pihak ketiga menjalankan fungsi kliring trafik telekomunikasi. Penunjukan dilakukan secara transparan lewat tender terbuka (beauty contest).

Prinsipnya, penyelenggaraannya bukan mencari laba semata agar tidak membebani masyarakat selaku pemakai. Operator diwajibkan membayar, tetapi sebatas menjaga kelangsungan operasional CH saja. Perlu dikaji, apakah pembayaran dilakukan berdasarkan volume trafik atau dari total pendapatan interkoneksi operator, agar tidak menambah beban operasional operator yang akan menjadi beban pelanggan.

Pemilihan teknologi juga perlu dicermati karena peralatan telekomunikasi yang terpasang di Indonesia sangat kompleks dan beragam dari vendor berbeda sehingga satu sama lain tidak jalan.

Ada beberapa alternatif penerapannya.

Pertama, membangun sistem baru secara utuh, dengan membangun gerbang pada setiap PoI yang akan menghubungkan semua trafik interkoneksi dari dan ke semua operator. Investasi sangat besar, tetapi keandalan sistem akan terjamin.

Kedua, memanfaatkan perangkat sistem billing yang dimiliki operator. Tetapi perlu standardisasi dan kalibrasi CDR (call data record) agar akurasi data terjamin dan mempermudah proses data berikutnya. Dengan pendekatan ini, investasi untuk CH bisa ditekan.

Ketiga, memanfaatkan sistem perangkat dari salah satu operator yang ada, misalnya, PT Telkom. Perlu dipertanyakan, apakah operator lain akan setuju berkaitan dengan transparansi tersebut.

Perlu dipertimbangkan kembali rencana pelaksanaan CH seperti yang diinginkan pemerintah. Pasal 3 Ayat (2) Kepmen No 84/2002 mewajibkan semua operator menyerahkan CDR yang akurat kepada pelaksana kliring yang ditunjuk pemerintah.

Pada kondisi sekarang, apalagi badan regulasi mandiri (independent regulatory body/IRB) belum terbentuk, apakah para operator mau menyerahkan CDR-nya kepada pihak ketiga? Selain masalah kerahasiaan dan keamanan data operator, juga soal investasi besar sistem billing berikut SDM masing-masing.

Sebelum pelaksanaan CH yang direncanakan pemerintah beroperasi 18 bulan setelah kepmen ditetapkan sejak Oktober 2002, ada baiknnya dipertimbangkan solusi lain yang mungkin lebih laik. Untuk mempercepat proses settlement dan rekonsiliasi transaksi interkoneksi antaroperator, sebaiknya dibuat sistem on-line billing system yang terpadu yang dikelola langsung para operator. Di sini tidak ada pihak ketiga seperti konsep CH pemerintah.

Fungsi utama regulator di sini adalah untuk menstandardisasi format dan mengalibrasi CDR masing-masing operator, sehingga kemungkinan terjadinya deviasi bisa diperkecil. Artinya, setiap operator tetap bertanggung jawab terhadap akurasi data mereka masing-masing untuk memperkecil terjadinya dispute.

Asmiati Rasyid Pendiri Pusat Studi Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Staf Pengajar Sekolah Tinggi Manajemen Bandung

"Clearinghouse" dan Sarang Penyamun

Kamis, 17 Juli 2003 / kompas

Indra Gunawan

CLEARINGHOUSE sudah sejak lama diributkan orang, pro dan kontra masih terus terjadi. Sampai sekarang ada sekelompok orang yang mendorong agar segera diwujudkan, tetapi ada kelompok lainnya yang berpandangan bahwa lembaga ini tidak perlu ada dahulu. Sebenarnya apa dan bagaimana CH itu?

Clearinghouse (CH) adalah sebuah lembaga yang ditujukan untuk menjembatani antarpenyelenggara jasa telekomunikasi dan umumnya mengurusi billing antara para penyelenggara jasa telekomunikasi. Tetapi, CH juga bertugas menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul di antara mereka.

Beberapa hal yang menjadi tugas CH selain mengurusi billing data adalah menyiapkan persetujuan roaming sekaligus mengurusi segala aspeknya seperti negosiasi, pendokumentasian, dan beberapa hal administrasi lainnya. Dalam gambar di atas menunjukkan bahwa jaringan operator yang dikunjungi mengirimkan file TAP (transferred account procedure), yang merupakan keluaran dari billing system, kepada CH.

Untuk menghindari kesalahan yang terjadi, validation report dikirimkan kembali. Dan, file yang diterima diteruskan kepada operator jaringan asal dan berdasarkan data tersebut, operator jaringan yang dikunjungi melakukan penagihan kepada jaringan asal atas penggunaan jaringan mereka oleh pelanggan jaringan asal.

Lembaga CH sangat menarik banyak pihak karena besarnya putaran uang yang terjadi di bisnis ini. Jika sekarang ada sekitar 13 juta pelanggan selular dengan asumsi ARPU (average revenue per user) mereka Rp 130 ribu, maka putaran uang setiap bulan di bisnis ini mencapai Rp 1,69 triliun. Jika untuk jasa ini CH mendapatkan fee sebesar 1 persen, maka setiap bulan dia akan mendapatkan pemasukan Rp 16,9 miliar, ongkang-ongkang kaki saja.

Pertanyaannya sekarang, siapakah yang seharusnya duduk di lembaga tersebut? Jika lembaga pemerintah mengurusinya, apakah kita yakin pada kredibilitas aparat kita?

Sementara jika kita serahkan kepada swasta, siapa yang paling layak untuk mendapatkan uang "empuk" ini? Salah-salah, akan semakin menyuburkan KKN dan aliran uang suap di pemerintahan.

JIKA kita cermati, yang paling berkepentingan dengan billing antaroperator adalah operator itu sendiri. Untung dan rugi yang muncul karena selisih perhitungan di antara mereka sesungguhnya yang terkena dampak langsung adalah operator tersebut.

Untuk itu CH sektor telekomunikasi sebaiknya juga dilakukan oleh para operator itu sendiri (stakeholder-nya adalah para pemain sendiri). Dan jangan lupa agar proses pencatatan di masing-masing operator dapat dilakukan dengan kualitas yang sama, maka billing system yang digunakan juga harus memiliki keandalan yang sama dan sebaiknya dikontrol oleh lembaga CH ini.

Billing system yang baik dan sama akan mengurangi masalah yang muncul akibat dari perbedaan perhitungan. Fee yang diterima oleh CH akan dikembalikan untuk meningkatkan layanan telekomunikasi secara menyeluruh yang selain digunakan untuk biaya operasi sehari-hari.

Pemanfaatannya juga dapat dilewatkan melalui USO (universal service obligation) yang ditujukan untuk pembangunan sarana telekomunikasi di daerah-daerah terpencil yang sedikit diminati para investor. Caranya dengan memberikan insentif kepada para operator yang mau membangun sarana telekomunikasi di daerah rural tersebut. Jika lebih dari satu operator yang berminat, proses lelang dapat dilakukan dengan memberikan kemenangan kepada pihak yang meminta subsidi terkecil.

Sangat berbahaya jika lembaga CH dioperasikan oleh orang-orang yang tidak kredibel, tidak berintegritas. Bisa saja mereka dapat proyek ini hanya karena kedekatan hubungan dengan kekuasaan sehingga kemungkinan CH sebagai sarang penyamun akan terwujud.

Pengaruh incumbent (pemain lama) dengan kekuatannya yang besar juga dapat mengendalikan fungsi lembaga ini karena itu ketegasan dan kemandirian regulator tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Ini yang juga harus menjadi fokus perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meskipun keberadaan KPPU masih seperti singa ompong, banyak dari semua kasus yang maju ke pengadilan mengalami kekalahan.

Jika melihat kondisi saat ini, cukup beralasan kalau para operator ragu dan justru khawatir dengan dibentuknya lembaga CH ini oleh pemerintah. Mereka masih cukup senang dengan selisih perhitungan antaroperator diselesaikan sendiri. Karena dengan ketidakmandirian pemerintah, yang selain regulator juga pemain, akan sangat menyulitkan operator lain.

Dengan kondisi pemerintah yang masih belum mandiri, tampaknya tidak ada alasan untuk menjadikan pemerintah sebagai stakeholder dari CH ini karena hanya akan menambah kasus KKN saja.

Sementara itu, jika stakeholder-nya para pemain itu sendiri, kemungkinan besar masalah akan muncul jika berhadapan dengan incumbent.

Para pemain lainnya akan terpaksa menurut saja kemauan incumbent ini daripada dihadapkan pilihan tidak dapat tersambung dengan jaringannya.

Indra Gunawan Pengamat Telekomunikasi Berdomisili di Jakarta