Wednesday, July 21, 2004

Forum TelekomunikasiEdisi 138, Juli 2004 Telkom Operator Yang BerhasilKuasai Jaringan

Besarnya PT Telkom di jaringan telekomunikasi dalam negeri, bukan berarti BUMN itu satu-satunya operator telekomunikasi di negeri. Saat ini boleh jadi BUMN satu itu masih teratas.

Sampai saat ini hanya Telkom yang mempunyai jaringan terbesar di dalam negeri. Kalau ada operator lain, mau masuk ke sektor itu, harus baik-baik dengan Telkom, karena sudah bisa dipastikan bakal numpang jaringn. Memang ada Indosat, namun sejak pemerintah melepas 51 persen sahamnya kepada Singapura Telecommunication, otomatis Indosat bukan lagi BUMN tapi bagian dari PMA. Yang benar-benar BUMN dan menguasai jaringan telekomunikasi dalam negeri adalah PT Telkom.

Dengan demikian, Telkom tetap saja "berkuasa", karena belum ada operator lain yang memiliki jaringan seluas Telkom. Karena itu, terkadang Telkom terkesan egois dan memaksakan kehendak, baik dalam hal pelayanan maupun keinginannya menaikan tarif.

Hal lain yang sampai saat ini belum terpecahkan ialah soal kode akses, sehingga ada dugaan terjadinya blocking kode akses milik Indosat pada warung-warung telekomunikasi milik Telkom. Dugaan ini juga yang menyeret Telkom harus berurusan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Setidaknya itu yang diakui pengamat bisnis telekomunikasi juga ketua Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI), Sridjanto Tjokrosudarmo. Kendati demikian, dugaan pemblokiran itu, diakui belum sempat menimbulkan protes dari konsumen secara langsung. Karena soal kode akses, sebenarnya soal persaingan dagang antara PT Telkom dan PT Indosat.

Kendati dalam dugaan itu secara tidak langsung merugikan konsumen, APWI mengakui terjadi praktik pemblokiran sambungan langsung internasional (SLI) terhadap kode akses 001 dan 008 milik PT Indosat Tbk, khususnya melalui Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan pemilik Warung Telkom di seluruh Indonesia.

"Kami dari APWI yang dimintai keterangan sebagai saksi oleh KPPU pada 11 Maret 2004, telah menjelaskan dan telah disodorkan bukti-bukti tentang adanya pembatasan kode akses oleh Telkom," Srijanto.

KPPU sendiri sampai akhir Juni 2004 dijadwalkan melakukan pemeriksaan lanjutan yang dilakukan oleh Majelis Komisi KPPU, setelah sebelumnya diperiksa oleh sebuah tim. Eskalasi ini, menurut Direktur Komunikasi KPPU, Murman Budijanto sebelumnya, terjadi karena ternyata dugaan pelanggaran itu tidak terjadi di sejumlah perusahaan dan hotel besar di beberapa kota besar, tetapi justru terjadi di level pelayanan publik, wartel di seluruh Indonesia.

Srijanto mengungkapkan, praktik ini marak terjadi sejak 2000-2002 dan diperkirakan hingga saat ini hal itu terjadi, khususnya untuk wartel, seolah dipaksa menandatangani PKS sesuai Keputusan Direksi (KD) No 39/2003.

"Jika pemilik wartel tak bersedia, maka untuk melanjutkan usahanya dianggap seperti memulai usaha baru, sehingga ada biaya pasang baru segala. Sampai saat ini, dari sekitar 300 ribu anggota APWI, baru sekitar tiga puluh ribu yang telah menandatangani PKS ini," kata Srijanto.

Konsep PKS ini bagi Telkom dianggap seperti waralaba sehingga bentuk usaha ini menjadi Warung Telkom, meski dengan akronim yang sama yakni Wartel. "Konsekuensinya, harus ikut kemauan Telkom. Ini wajar, karena telah ada kesepakatan kedua belah pihak dan yang dijual juga harus produk Telkom."


Tak Ada Pilihan
Bila mengacu kepada ketentuan dagangan antara Telkomdengan mitra bisnis, sebenarnya pengelola Wartel tak punya pilihan, kecuali menerima semua keinginan PT Telkom. Yaitu melayani pelanggannya menggunakan produk jasa PT Telkom.

Kenyataan ini harus dihadapi pengelola wartel. Walau diketahui, sebenarnya, didalam internal Telkom itu sendiri dalam mengeluarkan peraturan terjadi benturan antara ketentuan yang satu dengan yang lain. Seperti pada KD 39/2003 pasal 15 Bab I tentang sifat layanan telekomunikasi umum.

Disebutkan, pada pasal itu dijelaskan tentang ketentuan normally open yang secara harfiah berarti, suatu layanan jasa telekomunikasi dapat langsung diakses oleh publik tanpa harus meminta persetujuan terlebih dulu kepada PT Telkom selaku penyedia jaringan.

"Berdasarkan, fakta-fakta itu, jelas ada upaya pembatasan akses telekomunikasi yang melanggar UU No 39/1999 tentang Telekomunikasi, khususnya pasal 18 tentang larangan adanya upaya-upaya yang mengarah pada pemblokiran atau pembatasan akses telekomunikasi," katanya.

Sebagai ketua Umum APWI, Srijanto mengusulkan kepada KPPU agar dalam melakukan pemeriksaan, rujukan perundangan jangan hanya kepada UU No 5/1999, tapi juga harus mengacu kepada UU No 39/1999 tentang Telekomunikasi. Akan jadi bumerang bagi KPPU bila hanya mengacu kepada UU No.5/99, karena yang diselidiki dugaan pemblokiran adala soal teknologi telekomunikasi, dimana ada undang-undangnya sendiri.

"Saya sudah usulkan itu, tapi ditolak, saya bilang, bagaimana KPPU bisa mengetahui ada pemblokiran bila tak menggunakan UU yang mengatur soal telekomunikasi. Artinya, jika rujukannya hanya UU No 5/1999 maka sanksinya selain denda, juga pemutusan atau pencabutan suatu perjanjian yang dapat menghambat persaingan usaha sehat," katanya.

Dalam ketetuan itu, bila terbukti maka ada kata "sanksi dan pencabutan izin usaha". Apakah KPPU bisa mencabut izin usaha PT Telkom. Sebab yang bisa melakukan adalah lembaga yang memberikan izin dan bukan KPPU. Sementara fungsi KPPU dalam konteks ini hanya sebagai lembaga yang tak lebih dari memberikan rekomendasi kepada instansi terkait, yang didasarkan hasil kesimpulan penyeledikan majelis komisi.

Bila demikian, apakah KPPU bekerja dan bertindak dalam melakukan pengawasan hanya sebagai wasit. Karena dalam koridor hukum, pada akhirnya, hanya sanksi mopral yang dijatuhkan. "Dia meminta saran, saya menyampaikan usul, agar juga menggunakan UU No.39/99, tentang telekomunikasi, tapi ditolak, yah terserah. karena saya pikir, tanpa menggunakan UU itu KPPU tak banyak berbuat, kecuali hanya memberikan rekomendasi, tak lebih dari itu," tambahnya. (S-2)

No comments: