Tuesday, June 29, 2004

Intelektual di Belakang Capres

Media 28Juni 04

Denny JA; Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Jakarta

APAKAH telah terjadi pengkhianatan intelektual? Ini pertanyaan paling hot di kalangan akademisi, insan pers, politikus, dan publik luas saat ini. Beberapa intelektual publik yang cukup dikenal ditengarai berada di belakang capres tertentu.

Karena politik tidak hanya menyangkut persoalan praktis, tapi juga masalah visi, misi, perspektif, nilai, platform, dan strategi, sangat lumrah jika para intelektual terlibat dalam pemilu presiden. Antara capres dan sang intelektual mungkin terbina hubungan yang saling menguntungkan. Dalam bahasa biologi, hubungan itu bersifat simbiose mutualistis.

Kehadiran intelektual menambah bobot pemikiran para capres. Kehadiran para pemikir itu juga memperluas pilihan dan mempertajam strategi kebijakan capres. Sementara kedekatan dengan capres, membuat banyak gagasan intelektual itu masuk ke dalam pertimbangan kebijakan. Akibatnya, gagasan itu tidak hanya mengawang, tapi punya kaki dan punya potensi terealisasi.

Ada intelektual yang secara terang benderang mengumumkan pemihakannya. Rizal Sukma dari CSIS secara terbuka berada di Amien Rais Center. Ekonom seperti Derajat Wibowo dan Didik J Rachbini bahkan secara resmi menjadi calon legislatif Partai Amanat Nasional.

Namun, banyak pula keterlibatan intelektual itu sembunyi-sembunyi. Sebagian disebabkan oleh status mereka sendiri selaku pegawai negeri. Pemihakan pada salah satu capres dengan mudah dapat dituduh berpolitik praktis, dan melanggar prinsip netralitas pegawai negeri. Sebagian juga tak ingin berterus terang karena memang hubungan sang intelektual dan capres itu lebih kepada perkawanan yang personal. Tak ada kesepakatan mereka pada gagasan tertentu. Sebagian lain punya alasan lebih personal yang tak kita ketahui.

Respons publik atas keterlibatan intelektual juga beragam. Banyak yang main pukul rata. Pemikir yang hanya membela satu capres segera diklaim sebagai bagian dari pengkhianatan intelektual. Tuduhan yang lebih kasar lagi, mereka dianggap telah menggadaikan ilmu pengetahuan untuk menunjang kekuasaan.

Namun, banyak pula yang memberikan apresiasi. Intelektual itu juga warga negara yang boleh memilih dan berpihak. Mereka yang jelas-jelas mengungkapkan keberpihakannya pada capres tertentu lebih dihargai. Sementara intelektual yang masih 'malu-malu kucing' dianggap masih ingin mencari jalan aman, mengesankan diri netral, padahal sudah partisan.

-o0o-

Suka atau tidak, masih kuat tumbuh mitos dalam dunia intelektual Indonesia. Para pemikir, akademisi, sekaligus intelektual publik dianggap sebagai resi yang harus berumah di atas angin. Mereka harus berdiri di atas semua golongan. Ketika politik praktis memecah, intelektual itu justru harus tetap netral untuk merangkum kembali pecahan politik praktis.

Di Amerika Serikat, yang sudah lebih dari seratus tahun dengan pemilu presiden, punya tradisi intelektual yang berbeda. Malah sangat aneh jika ada intelektual publik yang tidak berpihak. Sejauh ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh sang intelektual sangat terkait langsung dengan kebijakan publik, saat itu sang intelektual harus mengambil posisi kepada partai, atau capres.

Katakanlah ada intelektual yang sangat peduli dengan homoseksualitas. Sang intelektual itu jelas harus bersikap, apakah ia prohomoseksual, ataukah antihomoseksual? Jika ia prohomoseksual maka ia sejalan dengan platform Partai Demokrat. Jika antihomoseksual, maka ia sejalan dengan Partai Republik. Jika sang intelektual sangat concern dengan isu itu, mau tak mau ia ikut berpropaganda bagi partai yang memperjuangkan gagasannya. Ia juga akan berkampanye bagi capres yang punya gagasan sama.

Bagaimana mungkin sang intelektual harus berumah di atas angin atau netral jika ia sangat peduli pada gagasan itu? Bukankah harus ada undang-undang yang dibuat, baik yang pro atau yang anti-homoseksual? Bukankah akan ada kebijakan yang harus dirumuskan bagi kurikulum sekolah? Jika sang intelektual tidak aktif, undang-undang dan kebijakan yang dirumuskan mungkin akan bertentangan dengan gagasannya.

Hal yang sama dialami oleh ekonom misalnya. Sang ekonom yang concern dengan kaum miskin dan pengangguran harus pula mengambil sikap atas pajak bagi orang kaya. Apakah sebaiknya pajak dinaikkan agar pemerintah semakin banyak dana untuk program subsidi bagi rakyat miskin. Atau sebaliknya, pajak buat orang kaya dikurangi sehingga lebih banyak dana sang pengusaha itu untuk investasi. Pada gilirannya, investasi itu menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.

Ekonom yang peduli dengan kebijakan pajak akhirnya harus memihak. Sang ekonom tak bisa netral, berumah di atas angin, dan membela keduanya, baik yang ingin menaikkan pajak ataupun menurunkan pajak. Jika ingin menaikkan pajak untuk memperbesar subsidi, ia akan mendukung Partai Demokrat. Jika ingin mengurangi pajak agar pengusaha lebih banyak dana untuk investasi, ia akan membela Partai Republik.

-o0o-

Di Indonesia, partai dan capres belum benar-benar bergerak berdasarkan program, platform, dan isu. Umumnya capres masih bicara pada tataran normatif. Perbedaan program capres yang satu dengan yang lainnya sulit ditemukan. Apalagi mereka sangat tahu bahwa mayoritas publik memilih capres tidak karena programnya. Lalu mengapa bersusah payah menjual program?

Justru karena program yang tak pasti itu, sebagian intelektual juga memberi dukungan yang hanya setengah terbuka. Sebagai profesional, dukungan intelektual seharusnya memang kepada nilai, platform, dan program. Dukungan itu bukan kepada orang karena orang dapat mengkhianati program yang dijanjikannya sendiri. Karena program tak kunjung detail, akibatnya yang menonjol dari sang intelektual itu adalah dukungan setengah hati dan setengah sembunyi kepada capres.

Sepuluh tahun atau lima belas tahun dari sekarang, tradisi intelektual di Indonesia akan berubah. Mitos intelektual harus berumah di atas angin, harus netral, berdiri di atas semua golongan akan semakin ditinggalkan. Ketika para capres sudah mulai dapat dibedakan platformnya, pemihakan intelektual akan semakin terbuka. Mereka tak perlu lagi sembunyi-sembunyi.***


No comments: