Friday, June 04, 2004

"Clearinghouse" untuk Telekomunikasi

Kamis, 17 Juli 2003 / kompas

Asmiati Rasyid

PELAKSANAAN kliring trafik telekomunikasi yang dikenal sebagai clearinghouse sepertinya telah begitu mendesak, dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 84/2002. Di KM itu regulator mengharapkan sistem ini telah bisa beroperasi 18 bulan sejak keputusan menteri ditetapkan pada bulan Oktober 2002.

MENARIK untuk dicermati, pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Telkom belum lama ini diumumkan pendapatan dari transaksi interkoneksi naik 200 persen dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai Rp 3,02 triliun. Artinya, jika interkoneksi dikelola dengan benar, dengan semangat kompetisi yang sehat, akan saling menguntungkan bukan hanya bagi incumbent.

Interkoneksi merupakan keterhubungan jaringan antara operator yang berbeda, baik secara fisik maupun virtual. Dengan demikian, pelanggan suatu operator dapat berkomunikasi dengan pelanggan operator lainnya, malahan bisa mengakses layanan operator lain.

Interkoneksi juga dapat dikembangkan dalam bentuk pemanfaatan bersama (sharing) elemen-elemen prasarana telekomunikasi. Terutama elemen jaringan akses yang secara teknis maupun ekonomis tidak laik untuk duplikasi, yang masuk kategori essential facilities, seperti saluran kabel bawah tanah, menara BTS, atau sistem billing.

Pasal 25 Undang-Undang (UU) Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 mencantumkan hak setiap operator mendapat interkoneksi dari operator lain dan wajib memberi interkoneksi bila diminta. Operator besar wajib memberi interkoneksi operator-operator baru (new entrances) secara adil, transparan, dan tanpa diskriminasi untuk mendukung kompetisi yang sehat.

Dengan dibukanya kompetisi sektor telekomunikasi dengan jumlah operator semakin banyak, pelaksanaan clearinghouse (CH) menjadi langkah strategis di tingkat operasional. Bukan saja untuk menjaga harmonisasi dan sinkronisasi antaroperator, tetapi juga meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, mengatasi perselisihan transaksi interkoneksi antaroperator yang sering terjadi.

Konsep CH sudah lama dipakai pada transaksi finansial perbankan maupun pasar modal, transaksi kliring antarbank atau antarsekuritas dilakukan oleh suatu lembaga kliring. Pada sektor telekomunikasi, konsep ini sangat bermanfaat untuk mempermudah transaksi interkoneksi antaroperator, yaitu untuk proses kliring transaksi interkoneksi incoming, transaksi interkoneksi outgoing, maupun transit dari suatu operator ke operator lainnya.

Makin banyak operator dengan teknologi yang berbeda-beda, maka pelaksanaan interkoneksi akan semakin kompleks, baik secara teknis maupun nonteknis. Lewat CH, semua data interkoneksi akan tercatat secara akurat mengikuti standar yang ditentukan, proses penyelesaian (settlement) maupun rekonsiliasi dapat dilakukan lebih cepat. Pembagian pendapatan interkoneksi antaroperator tergantung skenario penyambungan suatu panggilan dan struktur penarifan yang berlaku.

Sampai saat ini, perjanjian interkoneksi dilakukan secara langsung antara dua operator (bilateral). Bisa dibayangkan, jumlah perjanjian yang harus dipersiapkan oleh PT Telkom selaku operator besar yang wajib memberi interkoneksi kepada semua operator baru.

Perjanjian interkoneksi biasanya mengatur mekanisme pembagian pendapatan interkoneksi berdasarkan skenario panggilan yang mungkin terjadi. Setiap operator biasanya melakukan pencatatan sendiri (call data record), baik panggilan keluar (outgoing) maupun masuk (incoming). Rekaman data panggilan ditempatkan di gerbang masing-masing di setiap titik interkoneksi (point of interconnection/PoI).

Permasalahannya, sering kali terjadi perselisihan karena hasil pencatatan operator berbeda, bisa saja karena parameter yang berbeda antara satu operator dengan operator lainnya yang bersifat teknis lapangan. Misalnya karena sentral yang dipergunakan tidak sama.

Proses penyelesaian perselisihan (financial settlement) berbiaya tinggi dan menghabiskan banyak waktu karena berlarut-larut dan harus dilakukan secara bilateral antaroperator yang berselisih. Kinerja operator terganggu jika masalah interkoneksi tidak diatasi.

Penerapan CH diharapkan menjadi solusi penyelesaian trafik interkoneksi multioperator yang efektif dan ekonomis. Perhitungan pembagian pendapatan didasarkan pada satu format data standar, diproses dengan metode yang benar sehingga menghasilkan suatu yang data akurat untuk tagihan kepada masing-masing operator.

Sebagai contoh, tahun 1993 Federal Communication Commission (FCC), regulator di Amerika Serikat, mendirikan NECA (National Exchange Carrier Association). NECA menjadi penyelenggara kliring trafik interkoneksi antaroperator lokal untuk menekan biaya sistem billing (penagihan) dan menghindari terjadinya double sharing. Operator lokal yang berjumlah lebih dari 1.300 dibagi tiga, masing-masing punya wakil di NECA. Tahun 1996 FCC menunjuk NeoStar dengan layanan CARE (Costumer Account Record Exchange) sebagai pelaksana CH.

Dengan sistem ini, setiap pelanggan berhak dan bebas memilih operator SLJJ dan operator SLI. Pelanggan wajib diberi informasi tarif oleh setiap operator secara transparan sehingga bisa memilih operator yang paling mereka sukai sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dengan adanya CH, kecurangan operator bisa diatasi, seperti kasus pemblokiran SLI Indosat oleh Telkom saat ini.

Penerapan CH berkembang terus, juga untuk bisnis lain. AT&T Global Clearinghouse (GCH) menjadi penyedia CH pertama internet service provider (ISP) untuk layanan VoIP, yang memiliki 100 anggota di dunia. Sistem yang disediakan AT&T mendukung semua platform VoIP dan protocol signalling sehingga memberikan pilihan routing yang sangat fleksibel untuk mendapatkan tarif sesuai dengan kebutuhan bisnis pelanggannya.

Lewat alat monitor mutu layanan real-time, keandalan jaringan GCH bisa dimonitor setiap saat. Anggota GCH dapat melihat tarif yang berlaku di setiap negara tujuan dan melihat faktur secara on-line.

Penerapan di Indonesia

Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 84 Tahun 2002, Dirjen Postel akan menunjuk pihak ketiga menjalankan fungsi kliring trafik telekomunikasi. Penunjukan dilakukan secara transparan lewat tender terbuka (beauty contest).

Prinsipnya, penyelenggaraannya bukan mencari laba semata agar tidak membebani masyarakat selaku pemakai. Operator diwajibkan membayar, tetapi sebatas menjaga kelangsungan operasional CH saja. Perlu dikaji, apakah pembayaran dilakukan berdasarkan volume trafik atau dari total pendapatan interkoneksi operator, agar tidak menambah beban operasional operator yang akan menjadi beban pelanggan.

Pemilihan teknologi juga perlu dicermati karena peralatan telekomunikasi yang terpasang di Indonesia sangat kompleks dan beragam dari vendor berbeda sehingga satu sama lain tidak jalan.

Ada beberapa alternatif penerapannya.

Pertama, membangun sistem baru secara utuh, dengan membangun gerbang pada setiap PoI yang akan menghubungkan semua trafik interkoneksi dari dan ke semua operator. Investasi sangat besar, tetapi keandalan sistem akan terjamin.

Kedua, memanfaatkan perangkat sistem billing yang dimiliki operator. Tetapi perlu standardisasi dan kalibrasi CDR (call data record) agar akurasi data terjamin dan mempermudah proses data berikutnya. Dengan pendekatan ini, investasi untuk CH bisa ditekan.

Ketiga, memanfaatkan sistem perangkat dari salah satu operator yang ada, misalnya, PT Telkom. Perlu dipertanyakan, apakah operator lain akan setuju berkaitan dengan transparansi tersebut.

Perlu dipertimbangkan kembali rencana pelaksanaan CH seperti yang diinginkan pemerintah. Pasal 3 Ayat (2) Kepmen No 84/2002 mewajibkan semua operator menyerahkan CDR yang akurat kepada pelaksana kliring yang ditunjuk pemerintah.

Pada kondisi sekarang, apalagi badan regulasi mandiri (independent regulatory body/IRB) belum terbentuk, apakah para operator mau menyerahkan CDR-nya kepada pihak ketiga? Selain masalah kerahasiaan dan keamanan data operator, juga soal investasi besar sistem billing berikut SDM masing-masing.

Sebelum pelaksanaan CH yang direncanakan pemerintah beroperasi 18 bulan setelah kepmen ditetapkan sejak Oktober 2002, ada baiknnya dipertimbangkan solusi lain yang mungkin lebih laik. Untuk mempercepat proses settlement dan rekonsiliasi transaksi interkoneksi antaroperator, sebaiknya dibuat sistem on-line billing system yang terpadu yang dikelola langsung para operator. Di sini tidak ada pihak ketiga seperti konsep CH pemerintah.

Fungsi utama regulator di sini adalah untuk menstandardisasi format dan mengalibrasi CDR masing-masing operator, sehingga kemungkinan terjadinya deviasi bisa diperkecil. Artinya, setiap operator tetap bertanggung jawab terhadap akurasi data mereka masing-masing untuk memperkecil terjadinya dispute.

Asmiati Rasyid Pendiri Pusat Studi Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Staf Pengajar Sekolah Tinggi Manajemen Bandung

No comments: