Tuesday, June 01, 2004

Sektor Migas dalam APBN: Opo Tumon?

MI 31 Mei 2004

Dradjad H. Wibowo, Dosen STIE Perbanas

KETIKA masih duduk di bangku sekolah dasar, saya senang membaca rubrik Opo Tumon di Penyebar Semangat, sebuah majalah berbahasa Jawa. Opo Tumon merupakan ungkapan ketidakpercayaan akan sesuatu yang aneh, lucu, dan kadang-kadang sulit diterima akal sehat.

Redaktur Opo Tumon tampaknya perlu mempertimbangkan Departemen Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian BUMN, BP Migas dan PT Pertamina masuk rubrik ini.

Mengapa demikian? Karena untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikatakan mengalami kerugian neto kalau harga minyak naik. Lucunya, dua pejabat eselon satu Departemen Keuangan memberikan angka kerugian APBN yang berbeda. Yang satu Rp700-800 miliar per kenaikan harga minyak US$1, yang lainnya lagi Rp1,2 triliun.

Tidak kepalang tanggung, Ketua Panitia Anggaran DPR dan Pertamina ikut-ikutan kor soal 'APBN rugi' ini. Angka subsidi bahan bakar minyak (BBM) diberitakan membengkak menjadi Rp30-36 triliun. Pertamina pun disebutkan mengalami kesulitan likuiditas.

Ini masih ditambah kelucuan lain. Saya diberi tahu seorang mantan menteri kalau dalam sidang kabinet sempat dibahas kesulitan likuiditas dalam APBN. Para menteri diminta menghemat. Uniknya, Menteri Keuangan justru mengumumkan kebijakan fiskal sangat populis, yang biasanya langsung masuk kotak. Yaitu, pemberian gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan penghapusan utang kredit usaha tani (KUT). Semuanya dalam bulan kampanye pemilihan presiden (Pilpres), setelah partai yang memerintah anjlok drastis suaranya dalam Pemilu 5 April lalu.

Semua cerita di atas sulit diterima akal sehat, dan layak masuk Opo Tumon. Untuk itu, mari kita lihat dampak kenaikan harga minyak terhadap APBN. Secara sederhana, selama Indonesia masih net exporter dari minyak (maksudnya volume ekspor lebih besar daripada impor), APBN memperoleh tambahan penerimaan neto dari kenaikan harga minyak. APBN baru rugi kalau kita menjadi net importer.

Departemen Keuangan menyebut APBN rugi, jadi kita sudah net importer. Departemen ESDM dan BP Migas menyebut kita masih net exporter, jadi mestinya APBN untung. Apa karena APBN kesulitan likuiditas sehingga Departemen Keuangan langsung mengatakan rugi? Apa karena takut disalahkan maka ESDM dan BP Migas mengatakan sebaliknya? Atau mereka khawatir apabila UU Migas yang sangat liberal, fragmentatif, dan merugikan sektor migas tersebut dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi dalam judicial review?

Hitung-hitungan saya, Departemen Keuangan terlalu mendramatisasi masalah. Katakanlah produksi minyak tetap 1,15 juta barel per hari (bph) seperti dalam APBN yang 40,9% diekspor. Impor diperkirakan menyumbang 34,6% terhadap konsumsi domestik. Ini menghasilkan surplus 110 ribu bph.

Katakanlah, asumsi harga minyak di APBN menjadi US$30 per barel. Sementara harga internasional diasumsikan US$40/barel. Lalu, naikkan asumsi kurs rupiah dari 8.700 menjadi 9.000/US$. Setelah dikombinasikan dengan proporsi impor dan produksi domestik dalam konsumsi BBM nasional, diperoleh estimasi biaya produksi minyak untuk konsumsi dalam negeri sebesar US$0.25 per liter.


No comments: