Wednesday, June 02, 2004

Perjanjian Tukar Produk Caltex dan KPS ConocoPhilips Harus Dihentikan

Selasa, 02 Desember 2003

Jakarta, Kompas - Perjanjian pertukaran produk gas dan minyak antara ConocoPhilips dan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) harus segera dihentikan karena sangat merugikan negara. Kerugian itu, yakni dari sisi CPI karena pengembalian biaya yang telah dikeluarkan (cost recovery) menjadi mahal dan karena minyak dihargai dengan gas.

Demikian ditegaskan pengamat perminyakan Kurtubi kepada wartawan di Jakarta, Senin (1/12). Kurtubi mengatakan, jika kesepakatan itu dibatalkan maka negara dapat terhindar dari kerugian.

Dalam perjanjian itu, menurut Kurtubi, dari pihak CPI membutuhkan gas untuk menaikkan minyak dari perut bumi. Namun, gas yang harus dibayar oleh CPI kepada ConocoPhilips, dibandingkan dengan harga minyak. Sehingga hal itu berdampak nilai gas yang dipakai menjadi relatif mahal. Apalagi, standar minyak mentah yang dipakai adalah harga ekspor.

"Karena nilainya besar, otomatis pendapatan negara berkurang dari produksi minyak Caltex. Sebab, biaya produksi minyak menjadi lebih besar karena gas dinilai lebih mahal," ujar Kurtubi.

Sebaliknya, dari sisi ConocoPhilips, harga jual gas ke CPI menjadi penerimaan perusahaan asal Amerika Serikat tersebut. Padahal, bagian itu menjadi hak pemerintah sesuai rumusan pembagian kontrak produksi gas. Negara dirugikan, karena dengan perjanjian itu, bagian negara menjadi lebih kecil. Sebenarnya pembagiannya untuk produksi minyak tetapi menggunakan sistem gas.

Oleh karena itu, Kurtubi mendesak pemerintah agar segera mengembalikan sistem pembagian minyak dan gas, sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi, pembagian hasil setiap lapangan migas harus sesuai dengan aturan yang berlaku.

Bisa diubah

Kurtubi mengatakan, perjanjian antara CPI dan ConocoPhilips bisa saja diubah jika kedua pihak sepakat. Apalagi, jika terbukti negara dirugikan oleh kesepakatan itu.

"Karena terbukti pelaksanaan dari perjanjian itu merugikan pemerintah di belakang hari, maka bisa saja diubah. Apalagi masalah pemanfaatan gas belum diatur dalam satu peraturan kontrak migas," ujar Kurtubi.

Alasan bahwa negara diuntungkan karena akhirnya gas dapat dimanfaatkan, menurut Kurtubi tidak dapat digunakan untuk menghindari pembatalan perjanjian itu. Alasan dia, gas ConocoPhilips akhirnya mendapat pasar di Singapura.

Kepastian hukum

Supramu Santosa, mantan Vice President Asamera yang merupakan perusahaan pemilik lapangan gas ketika perjanjian pertukaran produk minyak dan gas dengan CPI dibuat, mengatakan, perjanjian tidak bisa diubah. Sebab kesepakatan itu, merupakan kontrak 20 tahun.

Supramu yang kini menjabat CEO StarEnergy, mengatakan pada saat kesepakatan itu dibuat, Asamerah membangun infrastruktur senilai 600 juta dollar AS agar CPI tidak membakar minyak mentahnya. Dalam perjalanan waktu, akhirnya lapangan gas itu menjadi milik ConocoPhilips.

"Dulu kita paksakan Caltex untuk memakai gas agar minyaknya tidak perlu dibakar. Jadi negara diuntungkan jika melihat secara luas," ujar Supramu. (BOY)


Selasa, 02 Desember 2003




Perjanjian Tukar Produk Caltex dan KPS ConocoPhilips Harus Dihentikan

Jakarta, Kompas - Perjanjian pertukaran produk gas dan minyak antara ConocoPhilips dan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) harus segera dihentikan karena sangat merugikan negara. Kerugian itu, yakni dari sisi CPI karena pengembalian biaya yang telah dikeluarkan (cost recovery) menjadi mahal dan karena minyak dihargai dengan gas.


Demikian ditegaskan pengamat perminyakan Kurtubi kepada wartawan di Jakarta, Senin (1/12). Kurtubi mengatakan, jika kesepakatan itu dibatalkan maka negara dapat terhindar dari kerugian.

Dalam perjanjian itu, menurut Kurtubi, dari pihak CPI membutuhkan gas untuk menaikkan minyak dari perut bumi. Namun, gas yang harus dibayar oleh CPI kepada ConocoPhilips, dibandingkan dengan harga minyak. Sehingga hal itu berdampak nilai gas yang dipakai menjadi relatif mahal. Apalagi, standar minyak mentah yang dipakai adalah harga ekspor.

"Karena nilainya besar, otomatis pendapatan negara berkurang dari produksi minyak Caltex. Sebab, biaya produksi minyak menjadi lebih besar karena gas dinilai lebih mahal," ujar Kurtubi.

Sebaliknya, dari sisi ConocoPhilips, harga jual gas ke CPI menjadi penerimaan perusahaan asal Amerika Serikat tersebut. Padahal, bagian itu menjadi hak pemerintah sesuai rumusan pembagian kontrak produksi gas. Negara dirugikan, karena dengan perjanjian itu, bagian negara menjadi lebih kecil. Sebenarnya pembagiannya untuk produksi minyak tetapi menggunakan sistem gas.

Oleh karena itu, Kurtubi mendesak pemerintah agar segera mengembalikan sistem pembagian minyak dan gas, sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi, pembagian hasil setiap lapangan migas harus sesuai dengan aturan yang berlaku.

Bisa diubah

Kurtubi mengatakan, perjanjian antara CPI dan ConocoPhilips bisa saja diubah jika kedua pihak sepakat. Apalagi, jika terbukti negara dirugikan oleh kesepakatan itu.

"Karena terbukti pelaksanaan dari perjanjian itu merugikan pemerintah di belakang hari, maka bisa saja diubah. Apalagi masalah pemanfaatan gas belum diatur dalam satu peraturan kontrak migas," ujar Kurtubi.

Alasan bahwa negara diuntungkan karena akhirnya gas dapat dimanfaatkan, menurut Kurtubi tidak dapat digunakan untuk menghindari pembatalan perjanjian itu. Alasan dia, gas ConocoPhilips akhirnya mendapat pasar di Singapura.

Kepastian hukum

Supramu Santosa, mantan Vice President Asamera yang merupakan perusahaan pemilik lapangan gas ketika perjanjian pertukaran produk minyak dan gas dengan CPI dibuat, mengatakan, perjanjian tidak bisa diubah. Sebab kesepakatan itu, merupakan kontrak 20 tahun.

Supramu yang kini menjabat CEO StarEnergy, mengatakan pada saat kesepakatan itu dibuat, Asamerah membangun infrastruktur senilai 600 juta dollar AS agar CPI tidak membakar minyak mentahnya. Dalam perjalanan waktu, akhirnya lapangan gas itu menjadi milik ConocoPhilips.

"Dulu kita paksakan Caltex untuk memakai gas agar minyaknya tidak perlu dibakar. Jadi negara diuntungkan jika melihat secara luas," ujar Supramu. (BOY)


No comments: