Friday, June 04, 2004

Otoda dan Kemampuan PT Telkom

Kamis, 17 Juli 2003 / kompas

SEBAGAI perusahaan bisnis murni, wajar saja kalau PT Telkom memiliki urutan prioritas mana saja kawasan yang akan dibangun fasilitas telekomunikasi. Prioritasnya adalah daerah yang dianggap berpotensi untuk mengembalikan modal dalam waktu lebih singkat sehingga daerah-daerah yang tidak potensial mereka ke sampingkan untuk sementara waktu.

Ketidakmampuan PT Telkom secara finansial membuat satu daerah tidak masuk dalam urutan prioritas padahal pemerintah setempat sangat membutuhkan, membuat daerah menjadi tidak sabar. Mereka akhirnya membangun sendiri fasilitas telekomunikasi, tanpa mencari tahu sebelumnya mengenai aturan-aturan yang membatasi, syarat-syarat yang harus dipenuhi, teknologi yang digunakan, dan sebagainya.

Pada dasarnya mereka ingin membebaskan wilayahnya dari keterisoliran dalam masalah telekomunikasi, selain diwarnai oleh semangat otonomi daerah. Kawasan yang kaya lebih memperhatikan kebutuhan warganya ketimbang aturan di tingkat lebih tinggi lagi, dengan asumsi pembangunan fasilitas telekomunikasi (fastel) itu memang hanya untuk kepentingan setempat. Tak terlintas dalam pemikiran ketika akan membangun, kemungkinan interkoneksi dengan jaringan PT Telkom, atau PT Indosat, sebagai operator yang diakui berdasarkan aturan perundangan.

Akibatnya, ada jaringan yang dibangun, tetapi lalu tidak bisa masuk ke jaringan PT Telkom, sebab pemerintah kabupaten tidak berstatus operator sebagaimana diatur Undang-Undang No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Kebanyakan pemerintah kabupaten berpikiran bahwa membangun fastel bisa begitu saja lalu tersambung ke jaringan operator yang ada, apakah itu PT Telkom atau PT Indosat, seperti halnya menyambungkan kabel listrik atau jalan raya.

Apalagi investor atau kontraktor pembangun jaringan telekomunikasi tidak memberi informasi jelas mengenai aturan main dalam pertelekomunikasian karena hanya mencari keuntungan. Mereka umumnya cuma menawarkan kecanggihan teknologi, walau karena ketidaktahuan pemerintah setempat, acapkali teknologi yang ditawarkan merupakan teknologi usang. Saat ini, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, misalnya, sudah membangun fastel dengan teknologi CDMA versi IS-95 yang di dunia justru sudah mulai ditinggalkan karena sudah ada generasi terbaru, CDMA 2000-1X. Kabupaten Kutai Timur malah membangun fastel dengan teknologi nirkabel PHS (personal handyphone system) yang di negara penciptanya, Jepang, sudah masuk ke museum sejak awal dekade lalu. PHS pernah dicoba diterapkan di Jakarta dan Surabaya dan PT Telkom sudah membeli perangkatnya, tetapi tidak pernah dijalankan dan perangkatnya membusuk tertumpuk saja di gudang hingga saat ini.

Tak ada yang meragukan teknologi CDMA yang justru lebih bagus yang mampu menampilkan suara yang lebih jernih dibanding GSM. Tetapi, mengembangkan teknologi yang sudah ditinggalkan memiliki risiko sendiri, yang ketika ada masalah dengan perangkatnya tak ada lagi pabrik yang membuat suku cadangnya. Kalaupun pemakai lalu memesan satu suku cadang perangkat itu, pabrik akan membuatnya sebagai pesanan khusus sehingga harganya akan sangat mahal, bisa-bisa mendekati biaya untuk membangun teknologi yang terbaru.

Teknologi telekomunikasi berkembang sangat cepat dan siklusnya makin lama makin singkat sehingga dalam merancang pembangunan jaringan telekomunikasi, harus dilihat roadmap ke depan. Apakah vendor atau prinsipalnya akan tetap menyediakan teknologi lanjutan atau tidak, sebab hal ini berkait erat dengan investasi dan kesinambungan layanan.

KABUPATEN Kutai Kartanegara merupakan contoh menarik dari semangat otonomi daerah, kemampuan finansial pemerintah kabupaten yang demikian tinggi, dan rencana pembangunan PT Telkom. Kutai selama ini merupakan daerah "terbelakang" karena hasil alamnya tersedot ke pusat dan mereka hanya mendapat bagian yang sangat sedikit sehingga tak bisa mengembangkan diri.

Orang selama ini mengenal Tenggarong hanya sebagai kota tua kecil di sudut Kalimantan Timur yang punya sejarah kerajaan yang berbudaya tinggi. Ada bukti sejarah berupa Keraton Kutai di tepi Sungai Mahakam yang membuat orang membayangkan betapa jaya dan makmurnya Kutai masa lalu.

Kini kejayaan Kutai sudah kembali, pembangunan berjalan pesat yang bahkan mengalahkan pembangunan di seantero provinsi, bahkan di Tanah Air. Kutai pun menjadi sorotan, pusat perhatian, dan panutan pemerintahan setingkat, dan apa yang dilakukan Bupati H Syaukani HR seolah jadi pedoman bagi bupati lain dari seluruh Indonesia. "Dialah sebenar-benarnya rajanya para bupati, raja di Kutai," ujar seorang petinggi tingkat provinsi Kalimantan Timur.

Sementara daerah lain harus puas dengan terus bermimpi, Kutai mampu mewujudkan mimpi-mimpinya karena ia sudah muncul sebagai kabupaten terkaya di Indonesia. Itu sebabnya, mimpi untuk membuka keterasingan kawasan pedalaman tak sulit bagi Kutai Kartanegara untuk membuatnya nyata.

Tahun 2002 lalu, begitu Bupati Syaukani mencanangkan Kutai Kartanegara bebas isolasi telekomunikasi, mereka segera membangun jaringan-rencananya-di 14 kecamatan di wilayahnya. Bupati mengambil keputusan membangun fastel ini hanya karena PT Telkom tidak mampu membangun sampai ke pedesaan di tengah hutan karena mereka nilai tidak produktif. PT Telkom memang sudah membangun, tetapi di daerah kaya di Kutai Kartanegara, misalnya di Muarabadak, Samboja, dan Sanga-sanga, selain Tenggarong; tidak di Tabang yang terkucil.

Biayanya tidak tanggung-tanggung, ada yang mengatakan sampai Rp 35,5 miliar untuk 3.000 satuan sambungan, atau Rp 11 juta lebih per SST (satuan sambungan telepon). Jumlah ini cukup mahal, mengingat hitungan Kepala PT Telkom Divisi Regional VI Kalimantan Arief Yahya, pembangunan fastel di Kalimantan sekitar 600 dollar AS per SST, atau sekitar Rp 5 juta.

Tetapi Dr Didi Marzuki, Kepala Kantor Pengolahan Data Elektronik yang bertanggung jawab dalam proyek ini mengatakan, saat ini baru terbangun 500 SST dengan biaya Rp 17,5 miliar. Cukup besar, karena biaya pembangunan fastel untuk 3 kecamatan itu-Tabang, Tenggarong Seberang, dan Loa Kulu-termasuk biaya membangun sentral telepon otomat (STO) untuk 3.000 SST.

Jumlah 3.000 SST untuk 498.000 penduduk Kutai Kartanegara tidak banyak, tak sampai 0,6 persen, tetapi kata Didi, "Sementara jumlahnya cukup, yang penting isolasi bisa dibuka dan pembangunan diratakan". Karenanya, yang mendapat prioritas adalah kantor-kantor pemerintahan, kantor kepala desa, kantor aparat keamanan, dan fasilitas umum.

Dikatakan, pemerintah kabupaten tertarik membangun fastel karena kontraktornya bersedia memberikan teknologi telekomunikasi yang menurut pandangan awam sangat canggih. Teknologi WLL (wireless local loop) yang ditawarkan adalah CDMA (code division multiple access) yang tidak hanya menyalurkan suara seperti telepon saat ini.

Kata Didi, WLL-CDMA yang dibangun selain menyalurkan suara bisa juga untuk transmisi data dan layanan multimedia. Dengan teknologi ini, bisa dilakukan video conference atau konferensi jarak jauh sambil tatap muka lewat video. "Dan Bupati Syaukani sangat ingin fasilitas konferensi video ini," ujar Dr Didi.

Bisa dimaklumi, karena kabupaten yang berbatasan dengan negeri jiran Malaysia (Sabah dan Serawak) itu alamnya sangat keras, sulit ditempuh karena berbukit, hutan lebat dan tak banyak jalan raya. Penduduk yang sedikit menyebar di kawasan yang berbatasan dengan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat itu, yang fasilitas umumnya terbatas. "Tak ada listrik, kalaupun ada hanya menyala malam hari," katanya pula.

Ada kelemahan dalam kebijakan pembangunan fastel ini karena kontraktornya, PT Yuta Mitra Mandiri, hanya bertindak sebagai pembangun dan proses selanjutnya diserahkan kepada pemkab. Ternyata masalah justru muncul di sini, ketika pemerintah lewat perusahaan daerah ingin mengelola, sebab secara peraturan perundangan hal itu tidak dimungkinkan karena mereka bukan operator.

Kesulitan muncul ketika mereka ingin menyambung ke saluran PT Telkom sehingga bisa terbuka ke dunia luar, tetapi PT Telkom menolak. Telkom tidak mungkin memberikan fasilitas interkoneksi, seperti halnya kepada PT Indosat atau kepada semua operator telepon seluler karena mereka semua adalah operator.

Kata PT Telkom, ujar Didi, untuk bisa digunakan, semua peralatan yang sudah dibangun harus diserahkan (dihibahkan) dan dioperasikan oleh PT Telkom dan penghasilannya menjadi hak PT Telkom. Bupati sendiri berharap, kalau tidak bisa dioperasikan oleh perusahaan daerah, anggap saja sebagai wartel besar yang mendapat bagian penghasilan, biar cuma sedikit.

Menurut Arief Yahya, tidak sulit memenuhi permintaan pemerintah kabupaten itu. Namun, karena status mereka bukan operator, paling oleh PT Telkom jaringan yang sudah dibangun akan diperlakukan sebagai sentral PABX (private automatic branch exchange-sentral telepon otomat untuk kepentingan sendiri) seperti yang digunakan di gedung perkantoran atau hotel-hotel.

Dengan cara memperlakukan sebagai PABX pun perangkat yang sudah dibangun itu masih harus dipasangi alat lain lagi, karena tidak begitu saja match, akibat teknologi yang digunakan berbeda. "Seperti kalau Pentium IV harus jadi Pentium II," kata Arief.

Sebegitu jauh, PT Telkom sudah menawarkan sertio (serah terima operasi) yang berbentuk hibah peralatan itu kepada PT Telkom yang kemudian akan mengoperasikannya sebagai peralatan BUMN itu. Kalau pemerintah setempat ingin mendapat penghasilan dari fastel itu, mereka bisa menaikkan (mark up) tarif sendiri karena yang masuk ke PT Telkom sebesar tarif resmi. Kata Arief Yahya, "Sertio memang the only way, dan untuk bagi hasil (share), bisa dibicarakan".

Hingga saat ini, jaringan telekomunikasi yang dibangun Kutai Kartanegara itu sudah bisa dihubungi dari jaringan PT Telkom, tetapi tidak bisa menelepon ke luar, kecuali ke sesama mereka. PT Telkom pun sudah memberi pengenal dengan nomor awal 669 xxx sebagai office code supaya dikenal oleh jaringan PT Telkom.

Menurut Didi Marzuki, pemerintah Kabupaten Kartanegara membentuk tim yang diketuai Sekretaris Kabupaten Eddy Subandi yang aktif melakukan penjajakan lebih jauh. Tim ini mencoba mencari jalan bagaimana agar fastel yang dibangun dapat bermanfaat dan memberi pendapatan kepada daerah.

Mereka melakukan penjajakan tidak cuma kepada PT Telkom, tetapi juga ke operator lain, PT Indosat lalu yang menyambut dengan antusias. "Indosat memberi penawaran yang lebih fleksibel," ujar Didi, meski diakui Indosat masih belum punya lisensi untuk SLJJ (sambungan langsung jarak jauh). Perusahaan penanaman modal asing itu baru akan mendapat izin SLJJ Agustus 2003 ini, sementara Kutai justru lebih banyak akan memanfaatkan SLJJ untuk menghubungi perangkat pemerintahan di daerah-daerahnya.

Menanggapi hal ini Direktur Telepon Tetap PT Indosat Emil Soedarmo mengatakan, PT Indosat akan membantu agar sarana yang dibangun Kutai Kartanegara bisa segera dioperasikan. Kemungkinannya memang peralatan itu dioperasikan atas nama PT Indosat, namun sejauh itu belum ada deal bisnis antara Indosat dan Kutai. "Kami baru memberikan konsultasi dan bantuan teknis," katanya.

Emil mengatakan, Indosat bisa melakukan kerja sama karena sudah mendapat izin resmi sebagai operator lokal. Namun demikian, ia berharap pemerintah di daerah seharusnya membangun fasilitas telekomunikasi seperti kalau membangun prasarana. "Karena itu,, jangan dianggap sebagai bisnis, melainkan bentuk pelayanan kepada warganya seperti halnya mereka membangun jalan," kata mantan Direktur TPI itu. (HW)

No comments: