Friday, June 25, 2004

PR berat pasangan capres di bidang telematika

Bisnis Indonesia, 25 Juni 2004

Atas desakan komunitas, pasangan capres-cawapres akhirnya bersedia memaparkan visi pembangunan telematika, bidang yang hampir terlupakan selama tiga pekan kampanye presiden.
Namun masih ada keraguan apakah visi yang disodorkan pasangan capres pada dialog yang rencananya digelar Senin, 28 Juni itu mampu menjawab berbagai masalah telematika nasional. Yang jelas, pekerjaan rumah presiden terpilih di bidang telematika sangatlah berat.

Keraguan itu terlihat dari kurang antusiasnya pasangan capres mengikuti dialog yang difasilitasi Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) ini. Hingga kemarin, baru tiga dari lima pasangan memberikan konfirmasi yakni Hamzah Haz - Agum Gumelar, Amien Rais - Siswono dan SBY - Jusuf Kalla. Lalu visi seperti apa yang diharapkan dari pasangan capres tersebut ?

"Pertama adanya sebuah pemahaman mengenai betapa vital dan strategisnya peran telematika," tandas pakar telematika dari Universitas Indonesia Heru Sutadi. Seperti yang dikatakan Sekjen PBB Kofi A. Annan dalam ulang tahun ke-139 International Telecommunication Union (ITU), bahwa sektor telematika memiliki peran sangat penting dalam mengatasi kemiskinan, melestarikan lingkungan dan menjadi penggerak ekonomi dunia.

Peran telematika, lanjut Heru, semakin penting sejalan dengan program UNDP untuk memajukan pembangunan yang berpusat pada manusia (people center development). Seperti diketahui, sejak 2001 technology achievement index (TAI) menjadi indikator dalam menghitung human development index (HDI). Indiaktor yang lain adalah penetrasi telepon tetap, pengguna telepon selular, Internet serta temuan-temuan yang di-patent-kan terkait dengan teknologi.

Berdasarkan indikator tersebut, bagaimana kondisi di Indonesia? Faktanya, dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, penetrasi Internet hingga 2003 hanya mencapai 8 juta pengguna dan diperkirakan meningkat menjadi 12 juta tahun ini. Menurut catatan Bisnis, saat ini masih terdapat 43.000 dari 70.000 desa di Indonesia yang belum terjangkau fasilitas telekomunikasi dasar.

Dari data tersebut, jelas Indonesia masih menghadapi masalah kesenjangan akses telematika. Ironisnya, dari sisi teknologi negara ini tidak ketinggalan dari Eropa atau AS sekalipun. Ini terlihat dari masuknya teknologi code division multiple access (CDMA), jaringan seluler generasi ketiga (3G), dan layanan broadband. Disinilah terlihat tidak adanya kebijakan yang jelas untuk memperluas infrastruktur.

Departemen Telematika

Diluar masalah infrastruktur yang menyebabkan kesenjangan digital, Pemerintah sebenarnya cukup perhatian terhadap pembangunan telematika. Terutama setelah era reformasi bergulir dengan dibentuknya Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) berdasarkan Keppres No. 50/2000. Setahun kemudian, Presiden Gus Dur menelurkan Inpres No. 6/2001 tentang Pembangunan dan Pendayagunaan Telematika.

Di era pemerintahan Megawati, instruksi Gus Dur untuk mengembangkan telematika sesuai Kerangka kebijakan Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika diperkuat dengan Inpres 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Inpres ini dinilai sebagai titik awal upaya pemerintah untuk benar-benar memanfaatkan telematika di lingkungannya sebagai upaya memangkas birokrasi dan menciptakan transparansi sesuai cita-cita reformasi.

Pemerintah pun berupaya memperluas manfaat telematika untuk mendongkrak sektor ekonomi, antara lain dengan menelurkan RUU yang mengatur Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di bidang hukum, aktivitas di dunia maya juga dilindungi melalui RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (TiPiTI). Aktivitas telematika yang sarat dengan data berbentuk digital juga dijamin melalaui UU Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang disusul UU Hak Cipta.

Singkat kata, kebijakan Pemerintah untuk membangun telematika nasional cukup ideal, paling tidak suprastrukturnya sudah memadai. Namun pelaksanaannya ibarat langit dan bumi.

"Seperti keberadaan TKTI yang setiap pergantian kabinet, ganti menteri, berpindah-pindah bahkan sempat menghilang, mengindikasikan tidak adanya blue print mau dibawa ke mana," tutur Heru Sutadi.

Proyek lawas yang juga gagal adalah Nusantara-21 dan sistem informasi manajemen nasional sekitar tahun 1983 yang ditangani BPPT. Hingga kini, dua RUU Cyberlaw masih tersangkut dan belum jelas kapan akan diundangkan. Maraknya pembajakan peranti lunak dan aksi cyberfraud membuat semakin Indonesia terkucil dari aktivitas e-commerce.

Masalah lain adalah kenaikan tarif telepon, polemik perijinan penggunaan frekuensi 2,4GHz, lahirnya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang dipertanyakan netralitasnya.

Menurut Koordinator ICT Watch Donny Budi Utoyo, kegagalan melaksanakan kebijakan tersebut mencerminkan tidak adanya keinginan politik dari pemerintah sendiri.

Terlepas dari kurangnya keinginan politik, ternyata suprastruktur pembangunan telematika nasional menyisakan satu kekurangan, yakni ketiadaan lembaga atau instansi tunggal yang mengkoordinasikan semua kegiatan dibawah satu atap.

Selama ini, kegiatan telematika nasional dilaksanakan secara terpisah oleh tiga instansi, yakni Kementrian Kominfo, Ditjen Pos dan Telekomunikasi serta Depperindag. Koordinasi antar ketiganya sangat lemah walaupun sudah ada TKTI.

Tanpa adanya satu Departemen Khusus, maka nasib industri yang terkait dengan telematika juga tidak jelas ke mana arahnya. Untuk itu, wacana pembentukan Departemen Telematika, perlu ditanyakan pada capres dan cawapres mendatang.

Menurut Ketua FTII Teddy Sukardi, negara negara berkembang lain pada umumnya sudah memiliki Menteri Teknologi Informasi atau Menteri Telematika. Menteri ini berfokus pada program yang mendorong pemanfaatan telematika di semua sektor. "Sebab menerapkan telematika ini banyak kendala yang multi dimensional (budaya kerja, investasi, regulasi, Tanpa dorongan serius sangat sulit diharapkan bisa mengejar ketertinggalan," tandasnya.


No comments: