Wednesday, June 02, 2004

Waspadai Kepentingan Asing dalam RUU Migas 2001

Senin, 23 Juli 2001

Jakarta, Kompas
Wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, harus mewaspadai kepentingan perusahaan minyak asing yang mendompleng pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas 2001 yang sedang dibahas Komisi VIII DPR RI untuk mengganti UU Migas Nomor 8 Tahun 1971. Sebab perusahaan asing yang sudah mendominasi sektor hulu di industri migas Indonesia, ingin juga menguasai sektor hilir.

Hal tersebut diutarakan pengamat perminyakan, Dr Kurtubi menanggapi adanya kepentingan asing dalam RUU Migas 2001 ketika dihubungi, Minggu (22/7). Kurtubi menegaskan, bahwa RUU Migas 2001, merupakan permainan dari perusahaan minyak kelas dunia internasional yang ingin menguasai lebih jauh industri migas di Indonesia.

Menurut Kurtubi, di dalam teori ekonomi perminyakan memang disebutkan bahwa industri minyak hanya efisien jika bisnis dikuasai dari hulu hingga ke hilir. Makanya, perusahaan asing yang sudah menguasai sebagian besar sektor hulu merasa tinggal selangkah untuk menguasai sektor hilir.

"Kalau mereka bisa masuk ke sektor hilir, maka perusahaan asing akan merasa betul-betul sudah efisien. Mereka menjadi sangat efisien, jika crude oil yang dihasilkan bisa langsung diolah pada kilang sendiri dan dijual sendiri melalui pompa bensin sendiri," ujar Kurtubi.

Ketika ditanya bagaimana bisa mengetahui hal tersebut, Kurtubi mengatakan untuk tahu secara pasti, kepentingan tersebut masuk dari IMF melalui Letter of Intent (LoI) dengan meminta diadakan liberalisasi minyak di Indonesia. Kepentingan negara donor ada di belakang LoI, yang ingin merebut pasar sebanyak 210 juta jiwa di Indonesia.

Salah satu contoh perusahaan asing yang frustasi karena tidak bisa masuk ke sektor hilir di Indonesia adalah perusahaan BP yang memiliki kilang di Singapura dengan kapasitas 250.000 barrel/hari. Karena lama menunggu perubahan aturan pada sektor hilir di Indonesia, perusahaan ini berniat menjual kilang tersebut.

Ketika disinggung apakah industri asing bisa bersaing dengan harga Pertamina yang disubsidi pemerintah, Kurtubi mengatakan dalam waktu singkat, nyaris tidak bisa masuk karena baru menguntungkan kalau harga premiun di Indonesia Rp 3.500 per liter. Namun dengan adanya pasal dalam RUU Migas 2001 bahwa fasilitas Pertamina bisa digunakan bersama, sudah merupakan subsidi tersendiri bagi perusahaan asing.

Kurtubi mengatakan, dengan adanya fakta tersebut, dirinya sangat tidak yakin pemerintah ingin membesarkan Pertamina menjadi perusahaan dunia. Sebaliknya, oknum di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sudah sejak lama ingin menghancurkan Pertamina dengan menjadikan sebagai perusahaan kecil-kecil.

Menurut Kurtubi, RUU Migas 2001 sebenarnya sama dengan RUU Migas 1999 yang sudah pernah ditolak oleh anggota DPR ketika diusulkan oleh pemerintah. RUU Migas 2001 sebenarnya hanya cetak ulang dari RUU Migas 1999, namun kurang mendapat sorotan karena situasi politik membuat perhatian tertuju pada Sidang Istimewa MPR. (boy)