Thursday, June 03, 2004

Wajarkah Tarif Telepon Lokal Naik Lagi?

Sabtu, 22 Mei 2004

Asmiati Rasjid

HITUNGAN matematis anggota Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia menyatakan, PT Telkom berhak menaikkan tarif telepon lokal dan abonemennya masing-masing 18 persen lagi asal tarif SLJJ diturunkan 27 persen. Wajarkah jika kebijakan ini dilakukan pemerintah?

Di sinilah sebenarnya dituntut pentingnya pemahaman hakikat persaingan usaha agar setiap kebijakan disesuaikan dengan realitas masyarakat. Realitas di sini adalah kemampuan masyarakat untuk menilai wajar atau tidak wajarnya hasil hitungan di atas kertas dengan kenyataan yang ada di masyarakat.

Pernyataan regulator itu sangat memprihatinkan, seperti yang dikutip Kompas, Kamis (13/5), karena baru saja, bulan April lalu tarif telepon dinaikkan sebesar 28 persen dan biaya abonemen naik 24 persen. Seperti diberitakan, kenaikan tarif tersebut dilakukan atas desakan operator dan demi kepentingan investor.

Mengingat PSTN (public service telephone networking) merupakan layanan telepon untuk publik, maka seyogianya kebijakan pengaturan tarifnya ditentukan berdasarkan pada daya beli masyarakat banyak. Karakteristik masyarakat, sangat sensitif terhadap kenaikan harga.

Hal inilah yang mungkin terlupakan oleh regulator yang baru dibentuk akhir tahun lalu itu. Diharapkan regulator tidak terperangkap dengan permainan angka-angka untuk mencapai cost-based dan penerapan konsep rebalancing.

Salah satu cara yang praktis adalah melakukan perbandingan daya beli masyarakat kita dengan daya beli masyarakat di negara lain. Misalnya, di Malaysia, pendapatan per kapita mencapai 8.920 dollar AS (GDP PPP, Bank Dunia, 2002). Pada Februari tahun 2002, setelah dilakukan rebalancing, tarif telepon lokal di Malaysia dinaikkan menjadi Rp 92 per menit.

Sementara di Indonesia, sekarang tarif telepon lokal telah mencapai Rp 125 per menit padahal pendapatan per kapita di negara kita hanya sekitar 3.300 dollar AS (GDP PPP, Bank Dunia). Artinya, tarif telepon yang berlaku sekarang ini sudah sangat mahal jika dibandingkan dengan tarif di Malaysia.

Apalagi jika benar ada kenaikan 18 persen lagi maka tarif telepon lokal akan menjadi Rp 150 per menitnya. Demikian juga, biaya abonemen yang sekarang Rp 28.700 akan naik menjadi sekitar Rp 33.866 di luar pajak 10 persen. Dengan pengaturan tarif yang berlaku sekarang ini saja maka sebagian besar masyarakat telah sangat terbebani karena daya beli masyarakat kita masih rendah.

Pertanyaannya, apakah pemerintah pernah memikirkan dampak kenaikan tarif telepon berkelanjutan seperti ini, yang akan menghambat perkembangan ekonomi dan kemajuan pendidikan dan peradaban masyarakat? Bagaimanapun kebutuhan akan komunikasi sangat penting di setiap aktivitas kehidupan manusia bukan saja di kota-kota, melainkan juga di desa-desa jika kita ingin memajukan bangsa ini.

Semestinya dasar kebijakan kenaikan tarif bukan hanya dilihat dari kepentingan investor atau operator saja tetapi dituntut kebijakan-kebijakan yang inovatif terutama pada masa transisi ini. Dengan demikian, kepentingan masyarakat selaku konsumen tetap terjaga sesuai dengan tujuan akhir liberalisasi.

Isu persaingan

Konsep penyeimbangan (rebalancing) tarif telepon lokal terhadap tarif telepon SLJJ sebenarnya ditujukan untuk mendukung iklim persaingan yang fair antarpelaku usaha. Pada dasarnya, rebalancing dilakukan untuk menghindari subsidi silang yang biasanya dilakukan oleh operator incumbent, karena ingin tetap mempertahankan posisi dominannya. Hal itu dilakukan dengan subsidi silang antara jasa yang telah dikompetisikan dengan jasa yang masih dimonopoli.

Ini ditujukan untuk menekan harga pesaing atau menyulitkan masuknya pesaing baru. Tetapi kasus yang terjadi di negara kita saat ini, rebalancing dilakukan untuk menghindari "pemanfaatan" oleh pemain baru (new entrances) terhadap penggunaan infrastruktur jaringan publik yang sudah dibangun dan dimiliki oleh pemerintah melalui BUMNnya.

Pemanfaatan ini terjadi karena lemahnya aturan interkoneksi dan regulasi tarif selama ini. Akibatnya, pemain-pemain baru seperti operator VoIP bisa menikmati keuntungan besar karena biaya interkoneksi ke jaringan akses PSTN sangat murah.

Rata-rata tarif VoIP 3 sen dollar AS atau sekitar Rp 250 per menit, tetapi biaya interkoneksi yang dibayarkan kepada operator incumbent hanya Rp 47,50. Akibatnya, pendapatan operator VoIP jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan PT Telkom yang memiliki jaringan. Demikian pula tarif interkoneksi operator seluler ke PSTN hanya Rp 97,50 per menit, padahal tarif layanan telepon seluler lokal yang dikenakan kepada pelanggan prabayar berkisar antara Rp 600 dan Rp 800 per menit.

Untuk mendukung persaingan yang sehat antaroperator, maka pemerintah menaikkan tarif telepon lokal agar biaya interkoneksi yang harus dibayarkan oleh operator lain kepada PT Telkom lebih besar. Dengan menaikkan tarif lokal pendapatan interkoneksi untuk Telkom akan naik, tetapi akibat langsung dari kebijakan ini tarif ritel telepon ke pelanggan PSTN pun jadi ikutan naik.

Kenaikan tarif interkoneksi

Terhitung tanggal 1 Mei lalu, PT Telkom mulai menaikkan tarif interkoneksi terminasi operator seluler ke jaringan lokal PSTN dari Rp 97,50 menjadi Rp 125 per menit. Akibat kenaikan itu Telkomsel juga menaikkan tarif ritel kepada pelanggannya (Kompas, Kamis 13/5). Padahal dengan tarif telepon seluler GSM yang berlaku sekarang ini, para operator seluler telah meraup keuntungan yang berlebihan (excessive profit margin) berkisar 25 persen - 35 persen. Di samping itu perlu dicermati di sini, Telkomsel adalah operator yang menduduki posisi dominan karena menguasai 53 persen pasar seluler. Dengan demikian Telkomsel dapat secara bebas menaikkan harga tanpa takut akan kehilangan pelanggannya.

Khusus untuk kasus di Indonesia, regulator mestinya lebih hati-hati dalam menerapkan rebalancing karena tarif telepon SLJJ yang berlaku selama ini sangat tinggi, jauh di atas biaya yang seharusnya. Ini terjadi akibat kebijakan menaikkan tarif SLJJ lebih mudah dibandingkan menaikkan tarif lokal.

Jika rebalancing dilakukan terus terhadap tarif SLJJ yang sudah telanjur sangat tinggi itu, bisa-bisa tarif lokal menjadi tidak wajar. Di sinilah pentingnya kebijakan dalam penentuan tarif untuk layanan publik, tidak bisa hanya berdasarkan hitungan-hitungan di atas kertas. Pemahaman akan historis dan kondisi realitas masyarakat sangat penting.

Di samping itu perlu diwaspadai strategi bisnis PT Telkom dalam menghadapi persaingan, terutama semenjak dibukanya layanan SLJJ. Bisa saja PT Telkom memang ingin menurunkan tarif SLJJ-nya untuk menghadapi pesaingnya, PT Indosat atau PT Excelcom yang juga telah membuka layanan SLJJ melalui jaringan backbone mereka masing-masing.

Perlu diingat bahwa untuk layanan telepon tetap lokal PT Telkom masih belum memiliki pesaing yang berarti, tetap menduduki posisi dominan. Telkom mengusai 98 persen pasar karena duopoli dengan Indosat belum efektif.

Jangan-jangan rebalancing hanya dijadikan alasan bagi PT Telkom untuk menghadapi persaingan, yaitu menurunkan tarif SLJJ tapi tarif lokal dinaikkan. Atau ini juga dilakukan Telkom untuk meningkatkan pendapatan interkoneksi dari trafik VoIP, karena bisa saja VoiP menyubstitusi layanan SLJJ karena harganya jauh lebih murah.

Jika tujuannya untuk mengatasi ketidakseimbangan pedapatan antaroperator agar mendukung iklim persaingan yang fair antarpelaku bisnis maka sebaiknya aturan tarif interkoneksi yang diperbaiki. Jadi, jangan tarif telepon lokal yang dinaikkan terus agar masyarakat tidak dibebani lagi.

Peran pemerintah

Penyediaan fasilitas telekomunikasi sebenarnya merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana halnya penyediaan jalan raya, air bersih, kereta api, dan listrik. Tadinya liberalisasi diharapkan dapat menjadi solusi untuk mempercepat penyediaan layanan telekomunikasi yang efektif dan efisien.

Kenyataannya, pembangunan infrastruktur publik bisa dikatakan hampir tidak tersentuh karena memang secara bisnis memang tidak menarik investor.

Pertanyaannya, apa benar kebijakan menaikan tarif akan menarik para investor? Untuk kenaikan sekarang ini, operator berjanji untuk membangun 1,4 juta satuan sambungan telepon (SST), apakah kewajiban kepada operator tersebut sebanding dengan beban kenaikan tarif yang ditanggung masyarakat? Apa penalti jika target tidak dicapai oleh operator? Dan bagaimana preseden dari kebijakan ini jika operator bisa menekan pemerintah terus-terusan untuk menaikan tarif. Lebih mendasar lagi, apakah dengan menaikkan tarif tersebut akan mendongkrak teledensitas?

Jika target pembangunan kedua operator tersebut hanya sekitar 2 juta SST setahun, bisa-bisa harus menunggu sampai seperempat abad untuk mencapai 20 persen teledensitas. Sementara kewajiban kontribusi untuk USO (universal service obligation) hanya 0,75 persen dari pendapatan operator per tahun. Padahal, ketersediaan infrastruktur merupakan hal mutlak untuk mencapai tujuan liberalisasi dengan terwujudnya iklim kompetisi yang kondusif.

Akibat minimnya infrastruktur selama ini, masyarakat menjadi sasaran empuk pelaku bisnis telekomunikasi. Misalnya, masyarakat terpaksa bayar tarif telepon seluler yang sampai saat sekarang masih sangat mahal dirasakan.

Untuk mengatasi masalah ini, di samping investor, peran pemerintah tetap sangat dibutuhkan untuk menjalankan kembali tanggung jawabnya untuk membangun infrastruktur publik. Jika ditargetkan pada tahun 2015 teledensitas harus mencapai 20 persen, minimum jumlah yang harus dibangun 50 juta SST.

Dengan proyeksi kemampuan Telkom dan Indosat, jelas target pembangunan tersebut tidak akan pernah tercapai. Minimum 50 persen dari target tersebut harus dibangun oleh pemerintah sendiri.

Oleh karena itu, perlu dipikirkan kebijakan yang bisa menyelesaikan pokok permasalahan. Pertama, bagaimana caranya pemerintah mendapatkan dana. Ini agar pembangunan infrastruktur publik tidak diserahkan sepenuhnya kepada swasta dan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dilakukan secara paralel. Misalnya sebagian setoran dari PT Telkom kepada pemerintah dialokasikan kembali untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi.

Kedua, perlu pemisahan kebijakan yang menyangkut kepentingan layanan untuk publik dari kebijakan untuk segmen-segmen yang bisa dibuka untuk persaingan secara penuh. Ini dapat saja dilakukan selama masa transisi sampai infrastruktur publik mencapai minimum kebutuhan yang layak, 20 persen dari jumlah penduduk sesuai rekomendasi International Telecommunications Union (ITU).

Misalnya, untuk mengevaluasi kembali kebijakan penghapusan subsidi untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Dengan jumlah telepon yang masih sangat minim ini, diharapkan ada kebijakan khusus dari Bank Dunia untuk mengejar ketinggalan pengembangan infrastruktur telekomunikasi di negara kita ini.

Oleh karena itu, diharapkan pemerintah, khususnya pimpinan negara seyogianya mampu memandang potensi sektor ini sebagai sektor strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, untuk menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, dan infrastruktur untuk mencerdaskan bangsa. Diharapkan pimpinan negara yang terpilih besok ini memiliki visi dan misi yang jelas untuk menjadikan pengembangan sektor ini sebagai program kerja utama kabinetnya.

Asmiati Rasyid Pendiri Pusat Studi Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen Bandung

No comments: