Wednesday, June 02, 2004

Sarapan Pagi Bersama : Kurtubi. Tragis, Indonesia Menjadi Negara Pengimpor Minyak

Rabu, 21 Mei 2003, 7:31 WIB

Pengamat perminyakan Kurtubi menilai beralihnya Indonesia menjadi negara pengimpor minyak bumi tahun depan adalah kenyataan tragis. Solusinya, potong segala kendala birokrasi dan disinsentif terhadap investor.

Hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Selasa (20/5), antara Direktur Utama Pertamina Baihaki Hakim dengan Komisi VIII di Gedung DPR, Senayan, Jakarta menunjukkan kemampuan produksi minyak nasional sebanyak 1,2 juta barel per hari tak mampu mencukupi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional 1 juta barel tiap hari. Jumlah kemampuan produksi sebesar di atas, lalu, masih dikurangi 40 persen sebagai hak kontraktor bagi hasil (KPS). "Memang itu tidak mencukupi," kata Kurtubi saat dihubungi KCM, Selasa.

Masalah tersebut masih ditambah dengan ketidakmampuan menemukan cadangan dan lapangan minyak baru dalam lima tahun terakhir, papar Baihaki. Beberapa ladang minyak seperti West Seno di Sulawesi, tambah Baihaki, baru mencapai puncak pada 2005 mendatang.

Mencermati kenyataan itu, Kurtubi berpandangan faktor gangguan keamanan bukanlah sandungan bagi investasi di sektor hulu yang diakuinya memang tidak ada selama lima tahun ke belakang. Buktinya, di negara-negara seperti Kolombia, Nigeria, Pantai Gading dan Benin serta Angola yang penuh dengan konflik bersenjata, investasi bidang perminyakan tetap marak. "Saya memang tidak sepenuhnya sepakat dengan alasan keamanan tersebut," ucap Kurtubi.

Kendati demikian, Kurtubi menunjuk, penyebab utama ketiadaan investasi di sektor hulu adalah ketidakpastian usaha di sektor migas pada UU Migas nomor 22/2001. "Di situ ada pasal-pasal kontroversi yang menjadi disinsentif terhadap investor," kata Kurtubi.

Atas hal itu, Kurtubi lalu melakukan perbandingan dengan UU Migas sebelumnya yakni UU Migas nomor 8/1971. Pada UU Migas terbaru, investor sudah dibebani pajak dan berbagai kewajiban pada periode eksplorasi. "Waktu eksplorasi kan investor baru mencari minyak. Belum tentu dapat," tutur Kurtubi.

Lalu, dari segi birokrasi, Badan Pelaksana (BP) Migas bentukan UU Migas baru malahan memperpanjang rantai birokrasi. "Padahal, tadinya cukup satu atap di Pertamina," terang Kurtubi.

Kini, dalam pemaparan Kurtubi, investor harus melewati Direktorat Jenderal Migas saat akan mengikuti tender. Sesudah itu, saat harus menandatangi kontrak kerja sama (KKS) atau kontrak bagi hasil investor harus berhadapan dengan BP Migas. Terakhir, investor pun terbatas geraknya saat harus menjual minyak. Lagi-lagi BP Migas berperan.

"Nah, karena halangan-halangan itulah, dampaknya terasa sekarang," tegas Kurtubi yang menekankan perlunya UU Migas diamandemen. (prim)

No comments: