Wednesday, June 02, 2004

DPR minta APBN tetap direvisi Daerah tuntut bagi hasil migas

2 Juni 2004

JAKARTA (Bisnis): Di tengah kesulitan pemerintah mempertahankan asumsi APBN 2004, sejumlah daerah penghasil migas menuntut pencairan dana bagi hasil migas bagian daerah kuartal IV 2003 dan kuartal I 2004 senilai Rp2,77 triliun.
Tuntutan itu disampaikan Ketua Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) Jusuf S.K., karena pencairan dana tersebut sudah terlambat dua bulan dari jadwal semestinya.

"Sampai saat ini belum ada satu pun kabupaten di Indonesia yang menerima realisasi bagi hasil migas tersebut," ujar Jusuf yang juga Walikota Tarakan,Kaltim, di Jakarta, kemarin.

Pencairan dana bagi hasil migas kuartal I tahun ini seharusnya paling lambat disalurkan pada April 2004. Sesuai Berita Acara Sidang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), penyaluran dana bagi hasil kuartal I/2004 itu paling lambat diterima daerah sekitar 21-26 April.

Pada 2002, realisasi bagi hasil migas ke daerah mencapai Rp11,1 triliun, tahun lalu turun menjadi Rp10,7 triliun, sedangkan pada 2004 diperkirakan Rp9,1 triliun.

Bupati Musi Banyuasin, Sumsel, Alex Noerdin menambahkan dana bagi hasil migas itu masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dengan persentase sekitar 50%-60% dari APBD kabupaten tersebut.

Alex menilai pemerintah tidak transparan atas alasan keterlambatan realisasi bagi hasil itu. Padahal, lanjutnya, keterlambatan itu menyebabkan banyak proyek di daerah terbengkalai, bahkan harus ditunda.

FKDPM, menurut Jusuf, sudah mengirim surat kepada Menteri Keuangan c.q. Dirjen Anggaran yang meminta agar pemerintah segera mendistribusikan dana bagi hasil tersebut. Tetapi, lanjutnya, sampai saat ini belum ditanggapi.

Di lain pihak, kata Alex, pemda berkeberatan jika harus membantu menanggung membengkaknya subsidi BBM 2004.

"Tidak ada dalam UU bahwa subsidi BBM juga menjadi tanggung jawab dari daerah penghasil migas."

Menkeu Boediono sebelumnya menyatakan kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional memang berpeluang meningkatkan penerimaan, tetapi juga menambah pengeluaran dalam APBN, terutama bertambahnya subsidi BBM dan bagi hasil migas yang diserahkan ke daerah-daerah.

Bahkan disebutkan subsidi BBM dapat melampaui Rp40 triliun jika harga minyak berkisar US$35 per barel.

Perkiraan subsidi ini jauh lebih tinggi dari target subsidi APBN 2004 yang ditetapkan Rp14 triliun dengan asumsi harga minyak US$22 per barel.

Meski begitu, Sidang Kabinet Terbatas Senin memutuskan tidak merivisi APBN 2004 dan akan dijalankan sesuai UU APBN, dengan catatan pemerintah menghemat pos belanja serta konsumsi minyak.

DPR pertanyakan

Panitia Anggaran DPR kemarin tetap meminta besaran asumsi dalam APBN Perubahan 2004 disesuaikan dengan perkembangan ekonomi.

Poltak Sitorus, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR, mengatakan pemerintah sebaiknya memanfaatkan mekanisme penyesuaian atas APBN sehingga lebih realistis dengan perkembangan perekonomian yang diwarnai dengan lonjakan harga minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah.

"Nanti tetap kami bicarakan dengan pemerintah [APBN-P]. Kalau diputuskan [APBN] tidak perlu direvisi juga perlu diperjelas bagian mana yang tidak perlu, tapi sekali lagi nanti akan kami bahas lagi."

Menurut dia, jika mencermati perkembangan harga minyak yang mencapai US$41/ barel, sebaiknya asumsi APBN dikaji ulang.

"Produksi minyak mungkin juga diubah karena pemerintah mengatakan kilang minyak cuma mampu di bawah 1,072 juta bph jadi lebih rendah [di bawah target APBN 2004 sekitar 1,15 juta bph," kata Poltak.

Di tempat terpisah, Kasubdit Statistik Ekspor BPS Dantes Simbolon mengatakan windfall profit dalam penjualan minyak dari luar kacamata anggaran sebenarnya praktis tidak dinikmati Indonesia.

Pada April 2004, menurut dia, volume ekspor minyak mentah turun 12% dari bulan sebelumnya, pada saat yang sama harga komoditas itu mencapai US$33,65 per barel. Harga ini lebih tinggi dibandingkan dengan pada Maret yang masih US$33,16 per barel.

Penurunan volume ekspor di tengah kenaikan harga minyak mentah, kata Dantes, hanya menambah perolehan ekspor senilai US$463 juta, lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang masih US$529 juta.

"Dari transaksi shipment-nya memang ada yang US$40 per barel, ada juga US$32 per barel tapi kebanyakan US$33,65. Produksi melemah karena kemampuan kilang minyak juga menurun. Jadi gain-nya almost flat."

Dia mengatakan keuntungan ekspor minyak yang relatif tipis itu juga masih harus didistribusikan sebagai bagi hasil daerah dan subsidi BBM sehingga praktis tidak menambah penerimaan anggaran. (luz/dle

No comments: