Wednesday, June 02, 2004

Komposisi Bagi Hasil KPS Rugikan Negara

>Jumat, 14 Desember 2001

Jakarta, Kompas
Perubahan komposisi bagi hasil antara pemerintah dan perusahaan kontrak production sharing (KPS), dari 85:15 menjadi 65:35, berpotensi merugikan negara. Demikian diutarakan oleh pengamat perminyakan Kurtubi di Jakarta, Kamis (13/12).

Ia mengungkapkan itu menanggapi pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro yang mengungkapkan bahwa pemerintah melalui Departemen ESDM pada tahun 2002 telah memutuskan menawarkan 17 wilayah kerja di lepas pantai (off shore) dan daratan (on shore).

Untuk perjanjian kontrak baru ini, pemerintah menawarkan insentif sebesar 35 persen bagi yang berminat. Blok-blok tersebut meliputi 14 blok di kawasan lepas pantai kawasan timur Indonesia dan tiga di kawasan lepas pantai kawasan barat Indonesia. Pemberian insentif lebih besar ini dimaksudkan untuk merangsang investasi lebih banyak lagi.

Menurut Kurtubi, komposisi baru yang ditawarkan tersebut menimbulkan potensi kerugian bagi negara, karena anjloknya bagian hasil penjualan minyak atau gas untuk pemerintah. Menurut Kurtubi, pemerintah terlalu banyak memberikan insentif untuk merangsang masuknya investor migas.

Padahal, untuk mendatangkan investor masalahnya adalah bagaimana memperlakukan investor saat melakukan eksplorasi yang belum pasti akan memberikan hasil kepada kontraktor.

Menurut dia, dalam Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas yang baru), kontraktor memang sudah dibebani berbagai kewajiban, meskipun baru pada tahap eksplorasi. Di antaranya, kewajiban bea cukai saat memasukkan peralatan dan membayar iuran eksplorasi yang sebelumnya tidak pernah ada.

"Saat ini memang menjadi beban berat bagi kontraktor, pembebanan biaya pada masa eksplorasi sudah merupakan momok. Jika ingin menarik investor, kenapa mekanisme tersebut tidak dihapuskan, seperti halnya tatanan yang sebelumnya," ujar Kurtubi.

Kondisi eksplorasi

Ketika ditanya bahwa yang ditawarkan adalah blok laut dalam, Kurtubi menegaskan, dirinya memang sepakat kalau blok tersebut mendapat insentif. Namun, komposisi 65:35 masih perlu dievaluasi, karena sudah wajar kalau pemerintah mendapat 75 persen.

Mengenai minimnya data menyangkut blok sehingga diperlukan insentif tambahan untuk blok baru tersebut, Kurtubi mengatakan, sebenarnya Selat Sulawesi dan Selat Malaka sudah dipercayai memiliki kandungan minyak dan gas, sehingga tidak perlu bagian pemerintah harus dipangkas menjadi 65 persen.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Amin Moeis (F-PDIP) yang dimintai komentarnya, mengatakan, meskipun pemerintah sudah menetapkan bagi hasil dari 17 blok yang ditawarkan tahun 2002, setiap kontrak wilayah kerja baru yang akan dibuat pemerintah tetap harus mendapat persetujuan DPR.

Menurut Emir, dalam kontrak baru tersebut harus dipelajari, apakah penghasilan pemerintah 65 persen itu sudah dikurangi dengan pajak atau iuran yang diperoleh pemerintah saat eksplorasi, sehingga akhirnya pendapatan pemerintah sama saja jumlahnya dengan pendapatannya ketika komposisi bagi hasil masih 85-15 persen.

Emir sendiri menilai wajar jika kontraktor yang melakukan eksplorasi di laut dalam mendapat insentif lebih besar. Sebab, kalau eksplorasi di laut dalam, investasi dan risiko yang ditanggung jauh lebih besar ketimbang melakukan eksplorasi di daratan. (boy)

No comments: