Tuesday, August 17, 2004

RAPBN 2005 untuk Pemerintah dan DPR Baru

Rabu, 18 Agustus 2004 /kompas

* Anggito Abimanyu
PADA tanggal 16 Agustus 2004, pemerintah telah menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN tahun 2005 beserta dokumen Nota Keuangan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, penyusunan RAPBN 2005 menggunakan format baru yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. RAPBN 2005 juga punya makna transisi karena dibahas oleh pemerintah dan DPR sekarang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR baru.
KARENA dalam masa transisi, pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR telah sepakat bahwa RAPBN 2005 harus memberikan ruang yang cukup bagi pemerintah dan DPR hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 untuk menentukan prioritas kebijakan dalam APBN 2005.
DPR dan pemerintah sekarang bertanggung jawab untuk menghindari kemungkinan terjadinya kevakuman dalam pengelolaan keuangan negara karena belum adanya UU APBN yang merupakan landasan hukum bagi setiap pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan negara. Di samping itu, tentu melanjutkan konsolidasi fiskal yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2000.
Asumsi dasar
Dengan situasi tersebut, maka pemerintah dan Panitia Anggaran telah sepakat terhadap asumsi dasar dan besaran pokok yang menjadi dasar perhitungan RAPBN 2005. Di antaranya, sasaran pertumbuhan ekonomi 2005 adalah 5,4 persen. Nilai tukar rupiah diperkirakan tetap stabil dalam kisaran Rp 8.600 per dollar AS.
Stabilitas nilai tukar rupiah ini merupakan salah satu faktor utama yang memengaruhi tingkat inflasi dan suku bunga dalam negeri. Sasaran laju inflasi 2005 diperkirakan dapat dikendalikan pada tingkat 5,5 persen. Asumsi inflasi ini lebih rendah dari 2004 sebagaimana yang tercantum dalam APBN 2004 sebesar 6,5 persen.
Sejalan dengan perkiraan inflasi tersebut, dengan mempertimbangkan masih adanya risiko ketidakpastian, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulan diperkirakan 6,5 persen dalam tahun 2005.
Asumsi harga minyak ditetapkan dengan mengingat perkembangan penawaran dan permintaan yang mulai normal dalam tahun 2005. Pemerintah dan Panitia Anggaran sepakat untuk mengasumsikan harga minyak Indonesia (ICP) berada pada tingkat 24 dollar AS per barrel. Sementara itu, produksi minyak Indonesia dalam tahun 2005 diperkirakan mencapai sekitar 1,125 juta barrel per hari.
Pendapatan negara dan kebijakan perpajakan baru
Berdasarkan asumsi-asumsi ekonomi makro yang telah disepakati dan berbagai kebijakan yang akan ditempuh, pendapatan negara dan hibah direncanakan Rp 377,9 triliun atau naik Rp 28 triliun (8 persen) dari tahun 2004. Sumber penerimaan negara terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 297,5 triliun dan penerimaan bukan pajak Rp 79,6 triliun.
Angka tersebut berarti sekitar 78,7 persen dari total penerimaan negara dan hibah bersumber dari penerimaan perpajakan, dan sekitar 21,1 persen bersumber dari penerimaan bukan pajak. Peran penerimaan perpajakan semakin signifikan dalam pendapatan negara. Untuk itu, upaya yang sudah dimulai di bidang ini perlu ditingkatkan. Rasio penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio juga meningkat dari 11,9 persen tahun 2000 menjadi 13,6 persen dalam APBN 2004.
Pada saat ini pemerintah sedang mempersiapkan amandemen UU Perpajakan untuk dibahas dengan DPR dan diharapkan bisa efektif tahun 2005.
Rancangan amandemen UU Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dimaksudkan untuk melanjutkan langkah-langkah pembaruan kebijakan perpajakan (tax policy reform) dan modernisasi serta reformasi administrasi perpajakan (tax administration reform).
Dengan RUU tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim lebih kondusif bagi pemulihan dunia usaha dan investasi serta pada gilirannya pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan. Dengan RUU tersebut, pemerintah akan mengusulkan serangkaian kebijakan mengurangi beban wajib pajak, antara lain kenaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar 300 persen, penurunan tarif PPh dalam lima tahun, penyederhanaan tarif, memperbaiki prosedur, menghilangkan hambatan, dan meningkatkan kepatuhan perpajakan. Peningkatan penerimaan negara dari UU baru dapat dipetik mulai tahun 2006 ke atas.
Di samping itu, dilakukan pula penyempurnaan administrasi perpajakan yang meliputi (i) mengelola basis data perpajakan melalui program single identification number (SIN-nomor identifikasi tunggal), (ii) perluasan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Khusus Wajib Pajak (WP) Besar, KPP WP Menengah, dan KPP WP Kecil, (iii) mengembangkan sistem pembayaran pajak dan penyampaian surat pemberitahuan (SPT) secara online, serta (iv) memperbaiki manajemen pemeriksaan pajak.
Sementara langkah penyempurnaan administrasi kepabeanan meliputi (i) kelanjutan prakarsa fasilitasi perdagangan dan (ii) prakarsa pemberantasan penyelundupan dan undervaluation. Di bidang cukai rokok, pemerintah akan tetap melanjutkan kebijakan yang ada sekarang serta terus melanjutkan upaya-upaya administratif berupa pemberantasan rokok palsu dan rokok dengan pita palsu.
Sehubungan dengan barang kena cukai (BKC), dalam RAPBN 2005, pemerintah telah mengusulkan pengenaan cukai terhadap kaset, CD, VCD, DVD, dan LD untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pembajakan barang- barang tersebut. Di samping dapat dipergunakan untuk pembatasan, pengenaan cukai juga sebagai instrumen pengawasan barang-barang dengan risiko pembajakan.
Terhadap beberapa usulan keberatan dari para pihak, diupayakan untuk diakomodir dan beban cukai tersebut nantinya tidak memberatkan konsumen. Yang utama adalah upaya pengawasan dan penegakan hukum secara terpadu.
Belanja negara terpadu
Seperti telah disinggung di depan, UU No 17/2003 mengamanatkan dimulainya penerapan sistem penganggaran terpadu yang melebur anggaran rutin dan pembangunan dalam satu format anggaran. Penggabungan belanja rutin (meliputi gaji, pemeliharaan, perjalanan dinas, dan belanja barang) dengan belanja pembangunan diharapkan mengurangi tumpang tindih alokasi.
Pemerintah dan DPR baru diharapkan dapat melanjutkan proses konsolidasi tersebut, karena proses ini memerlukan waktu dan kerja sama dengan instansi pemerintah dan mitranya, komisi-komisi di DPR. Pemerintah yakin bahwa upaya ini akan dapat menghemat dan mengurangi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di bidang keuangan negara. Hasil optimalnya akan dirasakan dalam jangka menengah. Komposisi belanja pemerintah pusat pada tahun 2005 dan perbandingannya di tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 1.
Kebijakan strategis seperti di bidang belanja pegawai, subsidi BBM, dan belanja daerah akan diserahkan ke pemerintah yang akan datang. Sesuai dengan pandangan dan titik tolak pemikiran seperti itu, maka alokasi belanja pegawai khususnya gaji pegawai negeri sipil (PNS) dalam RAPBN 2005 yang sedang disusun diperhitungkan meningkat sesuai dengan kebijakan di tahun 2004.
Demikian pula dengan belanja barang. Dalam RAPBN 2005 dengan format baru, alokasi untuk belanja pegawai adalah Rp 61,2 triliun dan belanja barang adalah Rp 32,3 triliun. Anggaran belanja pegawai dalam tahun 2005 direncanakan meningkat 3,9 persen. Dalam rancangan awal, dengan jumlah tersebut setidaknya akan dapat dipertahankan pendapatan nominal aparatur negara. Selain itu, dalam rangka menjaga tingkat kesejahteraan aparatur negara setelah memasuki masa pensiun, pemerintah juga akan mengkaji kembali persyaratan dan besar manfaat tunjangan hari tua (THT) pegawai negeri.
Di samping itu, pemerintah juga menganggarkan pembayaran bunga utang sebesar Rp 64,0 triliun, terdiri atas bunga utang dalam negeri Rp 38,8 triliun dan bunga utang luar negeri Rp 25,1 triliun. Keseluruhan beban bunga utang itu menunjukkan penurunan 2,6 persen dari bunga utang tahun 2004, yang terutama dipengaruhi oleh lebih rendahnya beban pembayaran bunga utang dalam negeri terkait dengan perkiraan lebih rendahnya suku bunga SBI tiga bulan dalam tahun mendatang.
Selanjutnya, dalam rangka mendukung pembangunan nasional, dianggarkan belanja modal Rp 42,7 triliun, yang berarti jumlahnya bertambah 8,6 persen dari anggaran yang sama tahun 2004. Belanja modal tersebut akan dipergunakan untuk kegiatan investasi sarana dan prasarana pembangunan, yaitu dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta belanja modal fisik lainnya.
Dalam tahun 2005 dianggarkan subsidi BBM, listrik, pangan, pupuk, kredit program, dan kepada BUMN pelaksana jasa layanan umum (PSO) Rp 33,6 triliun, yang menunjukkan peningkatan 26,3 persen dari anggarannya tahun 2004.
Dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah pusat, sebesar Rp 264,9 triliun dialokasikan kepada sekitar 53 kementerian/lembaga. Dari sejumlah kementerian/lembaga tersebut, prioritas pertama adalah Kementerian Pertahanan dan Keamanan, kedua Pendidikan, ketiga Prasarana Wilayah, keempat Kepolisian, dan kelima Kesehatan, sesuai dengan prioritas kebijakan pembangunan nasional.
Dalam format lama dikenal anggaran pembangunan, tetapi mulai tahun 2005 pos belanja tersebut sudah dilebur dan ditempatkan sesuai dengan jenis belanja yang lebih tepat. Tabel 2 menunjukkan konversi eks anggaran belanja pembangunan dengan format baru. Dari Rp 74,7 triliun nominal anggaran pembangunan yang telah disepakati bersama, yang merupakan unsur "pembangunan" adalah belanja modal Rp 42,7 triliun, belanja sosial Rp 14,2 triliun, sedangkan lainnya, belanja pegawai Rp 2,0 triliun dan belanja barang Rp 13,6 triliun.
Belanja daerah
Di bidang belanja daerah, langkah-langkah kebijakan yang diusulkan tahun 2005, antara lain, dengan dasar UU No 25/1999, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) diarahkan untuk memperkecil ketimpangan keuangan antara pusat dan daerah, serta antardaerah dengan tetap menjaga netralitas fiskal.
Dalam RAPBN tahun 2005, belanja untuk daerah dianggarkan Rp 129,9 triliun, terdiri dari dana perimbangan Rp 123,4 triliun serta dana otonomi khusus dan penyesuaian Rp 6,5 triliun. Alokasi DAU disepakati 25,5 persen dari penerimaan dalam negeri neto atau Rp 88,1 triliun. Formula DAU yang sekarang berlaku tetap dijadikan dasar perhitungan dengan upaya- upaya perbaikan akurasi data. Alokasi DBH adalah Rp 31,2 triliun, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 4,1 triliun.
Dalam RAPBN 2005 juga ditingkatkan peranan dan alokasi DAK secara selektif dan bertahap, dengan tetap memperhatikan prioritas nasional. Pemerintah dan Panitia Anggaran juga telah sepakat mengalihkan dana dekonsentrasi ke DAK secara bertahap ke sektor-sektor yang kewenangannya telah berada di daerah.
Pembiayaan anggaran dan beban utang
Berdasarkan rencana anggaran pendapatan negara dan belanja negara tersebut, RAPBN 2005 akan mengalami defisit sekitar Rp 16,9 triliun atau 0,8 persen dari PDB (lihat Tabel 3). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada APBN 2004, yakni Rp 24 triliun atau 1,2 persen dari PDB.
Penurunan besaran defisit dan rasionya terhadap PDB tahun 2005 mencerminkan besarnya kesungguhan dan komitmen pemerintah dalam melanjutkan program dan langkah- langkah konsolidasi fiskal untuk memantapkan upaya peningkatan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability).
Meskipun besaran defisit anggaran RAPBN 2005 lebih rendah dari sasaran defisit anggaran APBN 2004, tantangan yang dihadapi di sisi pembiayaan tidaklah semakin ringan. Pembiayaan yang perlu disediakan tidak hanya untuk menutupi defisit APBN semata-mata, tetapi juga untuk memenuhi kewajiban pembayaran cicilan pokok utang dalam negeri dan utang luar negeri yang akan jatuh tempo tahun 2005, dalam jumlah yang makin besar. Kebutuhan pembiayaan akan diupayakan dapat dipenuhi dari sumber-sumber pembiayaan dalam dan luar negeri.
Dalam RAPBN 2005, pembiayaan anggaran yang bersumber dari dalam negeri direncanakan mencapai Rp 66,7 triliun. Pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri ini direncanakan berasal dari penggunaan saldo rekening pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia. Pemanfaatan dana dari berbagai pos tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan pembiayaan anggaran, dan dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap pelaksanaan program moneter.
Sementara itu, pembiayaan anggaran yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri lainnya direncanakan Rp 57,7 triliun. Jumlah ini berasal dari, pertama, hasil privatisasi BUMN dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan kedua, penerbitan Surat Utang Negara (SUN).
Dalam hal penerbitan SUN, sesuai dengan kesepakatan pemerintah dengan DPR, pemerintah diberi fleksibilitas dalam hal jangka waktu maupun denominasi mata uangnya dengan mempertimbangkan faktor kondisi pasar, biaya, pengelolaan risiko, dan kebutuhan pembiayaan.
Pembiayaan anggaran yang berasal dari sumber-sumber pinjaman luar negeri (bruto) pada tahun 2005 direncanakan Rp 26,6 triliun (sekitar 3,1 miliar dollar AS). Rencana penarikan pinjaman luar negeri tahun 2005 itu terdiri dari pinjaman program dan proyek. Penarikan pinjaman program dan proyek diharapkan terutama dari pinjaman yang telah disepakati dengan donor, yang direncanakan dapat dicairkan tahun 2005.
Pada tahun 2005, seperti tahun 2004, pemerintah tidak merencanakan menjadwalkan pembayaran utang luar negeri seperti dalam Paris Club I, II, dan III. Dalam tahun 2003, pemerintah telah mengakhiri program dengan Dana Moneter Internasional (IMF) sehingga tidak lagi memenuhi syarat untuk mendapatkan penjadwalan melalui Paris Club.
Dalam tahun 2005, sebagaimana tahun 2004, pemerintah dan Panitia Anggaran telah sepakat membayar pokok utang luar negeri secara penuh. Pada tahun 2004 dan 2005 rencana penarikan utang baru jauh lebih kecil ketimbang kewajiban pembayaran utang sehingga stok utang luar negeri menurun secara signifikan. Secara keseluruhan rasio stok utang pemerintah terhadap PDB nominal akan menurun dari sekitar 60,1 persen tahun 2004 menjadi sekitar 54,0 persen tahun 2005.
RAPBN 2005 sungguh amat penting karena direncanakan dalam suasana transisi pemerintah dan DPR sekarang ke yang baru. Meskipun dalam masa transisi, kiranya wajar untuk tetap dapat dijaga kesehatan APBN dengan sasaran penurunan defisit dan beban utang sebagai prioritas. Ruang untuk melakukan stimulus tetap ada, baik dari sisi penerimaan perpajakan maupun ekspansi belanja modal.
Dan keseimbangan di antara keduanya tersebut harus dicari. Apabila APBN terlalu ketat, akan menghambat stimulus ekonomi. Sebaliknya, jika terlalu longgar, akan mengganggu stabilitas moneter dan juga membutuhkan pembiayaan untuk menopangnya, dan pada saat ini sumbernya tidak banyak. Terhadap pilihan tersebut, hak untuk melakukan perubahan- perubahan APBN 2005 sesuai dengan prioritas kebijakan fiskalnya sepenuhnya ada di tangan pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2004. RAPBN 2005 setelah menjadi UU sepenuhnya ada di tangan pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2004.
*Kepala Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan




No comments: