Friday, August 06, 2004

Kompetisi telekomunikasi, independensi setengah hati

Bisnis Indonesia/6 Agustus 2004

Kompetisi di sektor telekomunikasi di Indonesia kini sudah benar-benar terjadi. Bahkan yang lebih nyata soal kompetisi itu adalah di layanan telepon seluler. Dengan kasat mata, kita bisa melihat operator telepon seluler kini berlomba-lomba memenangkan persaingan dengan menawarkan berbagai layanan yang menarik, termasuk soal tarif. Kiat itu tidak terlepas dari upaya untuk mempertahankan loyalitas konsumennya.
Era kompetisi yang terjadi di sektor telekomunikasi itu tidak terlepas dari lahirnya UU No. 39/1999. Namun untuk kali ini, fokus pembahasan bukan pada kompetisi berkenaan dengan layanan produk atau jumlah pelanggan yang telah dicapai, akan tetapi keberadaan regulator di dalam struktur organisasi operator telekomunikasi.
Walau era kompetisi di sektor telekomunikasi telah dicanangkan di Indonesia, namun dalam praktiknya banyak persoalan-persoalan yang bertentangan dengan nafas kompetisi, profesionalisme dan semangat prinsip-prinsip good corporate governance.
Penulis menyoroti persoalan yang terjadi di dua operator telekomunikasi besar di Indonesia masing-masing PT Indonesia Satellite Corp. Tbk (Indosat) dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Kalau bisa dikatakan bahwa ada persaingan antara kedua perusahaan itu, penulis bisa menilai bahwa persaingan itu telah 'dimenangkan' oleh Indosat terhadap rival utamanya Telkom.
Kenapa begitu?. Itu bisa terlihat dalam struktur organisasi di tubuh perusahaan telekomunikasi tersebut. Dewan Komisaris Indosat yang berjumlah sembilan orang ternyata memiliki dua anggota Komisaris yang dirangkap pejabat penting regulator. Umar Rusdi yang selain sebagai Komisaris Indosat, juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan R.I. (Dephub) dan Roes Aryawidjaya sebagai Komisaris Indosat menjabat pula sebagai Deputi Menteri BUMN Bidang Telekomunikasi, Pertambangan, Energi dan Industri Strategis.
Dalam skala yang lebih rendah karena posisi pejabat yang dirangkap bukanlah penentu adalah Telkom. Dewan Komisaris Telkom yang berjumlah lima orang di mana dua anggotanya memiliki pula jabatan rangkap. Anggito Abimanyu sebagai Komisaris Telkom "hanya" menjabat rangkap sebagai Kepala Badan Analisa Fiskal Departemen Keuangan R.I. dan Gatot Trihargo menjabat pula sebagai Staf Khusus Menteri BUMN.
Menabrak regulasi
Langkah Djamhari Sirat merelakan posisinya sebagai Komisaris Utama Telkom merupakan hal yang perlu diteladani. Karena sebagai Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Dephub yang ex-officio adalah Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) maka dirinya tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai direksi atau komisaris pada operator telekomunikasi. Lalu mengapa hal ini tidak diikuti oleh para kolega Djamhari Sirat di Dephub.
Undang-Undang R.I. Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) secara tegas melarang adanya rangkap jabatan untuk anggota Direksi dan Dewan Komisaris BUMN. Pasal 25 UU BUMN menyebutkan bahwa "Anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap sebagai (a.) anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; (b.) jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/lembaga pemerintah pusat dan daerah; dan/atau (c.) jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Anggota dewan komisaris BUMN dilarang pula untuk menjabat rangkap sebagaimana diatur pada Pasal 33 UU BUMN. Alasan dilarangnya dilakukan jabatan rangkap adalah sebagaimana termuat pada penjelasan Pasal 33 UU BUMN yaitu agar anggota Komisaris benar-benar mencurahkan segala tenaga pikirannya dan/atau perhatian secara penuh pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan BUMN serta menghindari timbulnya benturan kepentingan.
UU BUMN mengamanatkan bahwa BUMN wajib dikelola dengan profesional dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Namun sangat disayangkan UU BUMN yang merupakan karya agung (master piece) pengaturan BUMN di Indonesia ternyata diimplementasikan dengan setengah hati.
Selain tentunya hal dimaksud dapat dimungkinkan karena adanya kelemahan yang signifikan dari UU BUMN sehingga ketentuan UU BUMN dapat diabaikan begitu saja. UU BUMN yang berjumlah 95 pasal ternyata tidak satu pun pasal mengatur mengenai sanksi yang dapat diberikan jika ada ketentuan UU BUMN yang dilanggar, sungguh sangat ironis.
Good corporate governance
Dirangkapnya jabatan dimaksud selain bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ternyata juga tidak sejalan dengan semangat good corporate governance. Transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness), pertanggung-jawaban (responsibility) dan kemandirian (independency) merupakan prinsip-prinsip utama good corporate governance. (OECD, Corporate Governance, April 1998 dan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada BUMN)
Good corporate governance pada dasarnya mengupayakan untuk dapat dihindarinya benturan kepentingan (conflict of interests) dari setiap organ perusahaan yaitu pemegang saham, direksi dan komisaris. Komisaris yang memiliki benturan kepentingan seharusnya wajib untuk tidak turut serta dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan dewan komisaris.
Sehingga akibatnya komisaris dimaksud tidak efektif dalam melakukan tugasnya, padahal menurut Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan.
Posisi komisaris sebagai perwakilan atau kuasa dari pemegang saham untuk memberikan arahan dan mengawasi kinerja Direksi dapatlah dipahami. Pemerintah R.I. tentu memiliki hak untuk mengawasi jalannya perusahaan BUMN dengan menempatkan wakil-wakilnya di dewan komisaris. Departemen Keuangan R.I. yang bertindak sebagai wakil pemilik aset negara dan Kementrian BUMN yang bertindak sebagai pembina BUMN tidaklah keliru untuk menempatkan pejabatnya pada posisi Komisaris di BUMN-BUMN.
Namun bila anggota Komisaris kemudian berasal dari pejabat penting regulator maka hal dimaksud tentu dapat menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interests).
Lalu jika begitu adanya, untuk apa dipertahankan anggota komisaris yang berpotensi memunculkan benturan kepentingan (conflict of interests). Secara kondisi logis tentu sangat sulit untuk memisahkan antara dua jabatan yang sifatnya saling bertentangan.
Kaki yang satu berpijak sebagai regulator dan satu kaki yang lainnya berpijak sebagai operator. Belum lagi bila terjadi moral hazard di mana sang komisaris mengkomodasi kepentingan perusahaannya pada aturan main yang dibuat pada saat dirinya berperan sebagai regulator. Jadi mau dibawa kemana kompetisi telekomunikasi di Indonesia.
Oleh Danrivanto BudhijantoPengamat Telekomunikasi dan Dosen FH Unpad

No comments: