Sunday, March 06, 2005

rangkaian BBM vs iklan Freedom Institute di Kompas

Senin, 07 Maret 2005



Freedom Institute dan BBM
Oleh Amir Effendi Siregar
PERDEBATAN tentang iklan Freedom Institute dan kenaikan BBM menjadi kian hangat ketika Rizal Mallarangeng memberikan tanggapannya (Kompas, 3/3). Saya mencoba melihatnya dari sebuah sudut pandang berbeda.
Saya terkejut saat membaca iklan Freedom Institute dengan judul besar, isinya mendukung kenaikan harga BBM yang merupakan kebijakan publik dengan argumen sederhana (mungkin karena iklan). Sikap ini didukung sejumlah nama besar, sebagian di antaranya saya kenal baik. "Ada sesuatu yang salah!", itu yang muncul dalam pikiran saya seketika.
Freedom Institute yang saya kenal adalah organisasi nonpemerintah. Lembaga ini merupakan bagian dari civil society. Para pendukung yang termuat dalam iklan, sebagian besar adalah para intelektual dan aktivis civil society. Dalam perspektif liberal, konsep civil society yang merupakan koreksi terhadap pandangan liberal ortodoks, meletakkan civil society sebagai penyeimbang antara masyarakat pasar/pengusaha dan negara.
Apabila kita melihatnya sebagai sebuah segitiga, pada sebuah sudut segitiga ada negara dengan seluruh perangkatnya, yaitu pemerintah, badan legislatif, dan sebagainya. Di sudut kedua ada pelaku usaha dan masyarakat pasar. Di sudut ketiga ada civil society yang melakukan aktivitas sebagai penyeimbang dan berpandangan kritis terhadap negara dan masyarakat usaha, semuanya ditujukan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Civil society ini terdiri dari berbagai kelompok dan aliran, amat heterogen, tetapi posisi dan sikapnya jelas, bukan bagian dari negara dan pelaku usaha, selalu mandiri dan seharusnya tidak dapat dikooptasi, baik oleh negara maupun pengusaha. Sementara itu dalam perspektif struktural, radikal, atau marxis, kelompok ini mengorganisasi dirinya dan mewujud dalam aksi sosial kolektif, melakukan kritik keras dan melawan dominasi pasar, mencoba memperbesar peranan institusi publik, mencoba menggabungkan prinsip humanisme liberal, kebebasan liberal dengan sosialisme.
Posisi media, umumnya mirip civil society. Dalam alam demokrasi, ia harus independen. Apabila bersifat propagandis atau bagian kekuasaan, jangan heran bila media kehilangan pembaca.
Dilihat dari kedua perspektif itu, pemasangan iklan Freedom Institute amat tidak tepat, tidak terlihat kesadaran akan posisi di mana berpijak. Iklan itu memperlihatkan posisi dan lembaganya ada pada pemerintah. Mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah, sama sekali tidak menunjukkan daya kritis terhadap kebijakan pemerintah yang seharusnya diambil oleh civil society. Sebenarnya, posisi dapat lebih cantik dan kritis bila iklan memuat dan menganjurkan publik untuk mengawasi dan memonitor secara intensif pelaksanaan dana kompensasi. Atau menganjurkan dana kompensasi dipercepat dan diawasi ketat meski secara implisit langkah ini adalah dukungan terhadap kenaikan harga BBM.
Rizal Mallarangeng dalam tulisannya mengatakan, "Freedom Institute dan 36 tokoh yang namanya tercantum sebagai pendukung iklan itu tidak dikendalikan pemerintah", tetapi banyak dari kita yang tahu persis, paling tidak ada dua nama dari pendukung adalah orang pemerintah. Belum lagi bila kita bertanya, "Adakah orang pemerintah yang memberi bantuan untuk iklan?". Yang jelas, posisi yang diambil adalah pemerintah, bukan sebagai bagian civil society. Bila demikian, bukankah lebih baik membuat Kelompok Pendukung Kenaikan Harga BBM, yang ada dalam koordinasi pemerintah.
SEDIH, ketika negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, secara internal sudah mengubah pandangan liberal ortodoks menjadi neoliberal, dengan memberi peran lebih besar terhadap negara untuk mengatur masyarakatnya (intervensi negara secara terbatas) setelah resesi tahun 1930, tetapi saat berhadapan dengan dunia luar, khususnya dunia ketiga, prinsip pandangan liberal ortodoks dengan imperialisme ekonomi dan militer masih dijalankan.
Tahun 1930-an saat terjadi resesi, banyak pemikir dan intelektual merasa kapitalisme adalah sistem yang gagal dan bergerak ke perencanaan ekonomi terpusat (centrally planned economy) baru kemudian dapat bangkit dari depresi.
John Maynard Keynes muncul dengan gagasan perlunya intervensi negara secara terbatas untuk menjaga dan menyelamatkan sistem kaplitalisme dengan ekonomi pasarnya. Kapitalisme dan ekonomi pasar selamat antara lain lewat intervensi dengan memotong bunga dan meningkatkan defisit anggaran melawan resesi. Hal ini terus diperbaiki sesuai perkembangan zaman, antara lain dengan pajak progresif dan undang-undang antimonopoli, peran negara dan institusi publik diperbesar. Sayang, saat negara-negara kapitalis berhadapan dan melakukan ekspansi terhadap dunia luar, khususnya dunia ketiga, prinsip dan pandangan liberal ortodoks dengan imperialisme ekonomi yang justru digunakan. Hal inilah yang harus mendapat perhatian serius dari para ekonom dan pembuat kebijakan ekonomi kita.
IHWAL kenaikan harga BBM, saya bukan ekonom, tetapi saya bisa membaca buku, artikel dan bertanya kepada para ekonom dari kedua pihak yang juga saya kenal. Saya mendapat informasi dan analisis dari ekonom, baik yang mendukung maupun yang menolak kenaikan harga BBM. Kedua pihak mempunyai argumen dan data empiris yang masuk akal, yang semuanya dapat dibaca lewat media massa. Tidak ada kebenaran mutlak memang. Kebenaran itu relatif.
Akhirnya saya mencoba bertanya secara sederhana kepada diri sendiri, "Apakah kenaikan harga BBM menyusahkan saya yang berpenghasilan sebagai pimpinan beberapa media?" Saya menjawab sendiri "Tidak!" Lantas siapa yang menjadi susah dengan kenaikan harga BBM kini? Jawabnya pasti sopir bajaj, sopir angkutan kota, penumpang bus kota, penumpang angkutan kota, rakyat kecil yang harga kebutuhan pokoknya naik, dan mempertahankan hidup dari hari ke hari. Nanti ada dana kompensasi! Kapan? Sebulan, dua bulan lagi, sementara itu dia butuh makan hari ini! Pada saat sama kita mengetahui, banyak pejabat negara dan pengusaha yang utangnya macet. Negara ini dikenal negara terkorup di dunia dengan jumlah koruptor amat sedikit, mungkin jauh lebih sedikit dari negara paling bersih di dunia. Atau dalam kata-kata lain "negara terkorup tanpa koruptor". Belum lagi kita bicara tentang tidak efisiennya badan usaha negara, dan lain lagi yang menyebabkan kita mengurut dada. Tidak adakah jalan lain yang lebih baik?
Bung Rizal dalam bagian akhir tulisannya mengatakan, "...jika kaum penentang pengurangan subsidi BBM dapat mengorganisasikan diri, menggalang dana, dan benar-benar meyakini kebenaran gagasannya, harian Kompas pasti tidak akan keberatan jika mereka ingin memasang iklan, dua halaman penuh sekalipun".
Ini tantangan menarik. Menurut saya, jika para penentang pengurangan subsidi BBM, termasuk rakyat yang merasa sengsara dan aktivis yang menentang kenaikan harga BBM dapat mengorganisasikan, menggalang dana, dan meyakini kebenarannya, perlawanan harus dilakukan. Untuk itu tidak perlu iklan. Pemberitaan yang ditulis berbagai media secara independen yang bisa menjadi puluhan bahkan ratusan halaman, belum lagi termasuk pemberitaan media elektronik, jauh lebih bermakna dan bermartabat daripada iklan yang bersifat propagandis.
Amir Effendi Siregar Pengajar Jurusan Komunikasi Fisipol UGM; Sekjen Serikat Penerbit Suratkabar (SPS)



Senin, 07 Maret 2005



Dunia Intelektual dan Dagang
Oleh M Fadjroel Rachman
KEBIJAKAN publik tidak lahir di kuburan atau ruang hampa sosial. Karena lahir dalam ruang sosial, berarti tiap kebijakan publik berhadapan dengan tarik-menarik kepentingan ekonomi-politik.
Umumnya, kekuatan ekonomi-politik yang paling dominanlah yang memenangi kebijakan publik yang bakal dijalankan pemerintah.
Sungguh menyesatkan apabila 36 intelektual itu mendukung kebijakan publik menaikkan harga BBM dengan memistifikasi kepentingan ekonomi-politik dominan yang berkuasa. Kata Rizal Mallarangeng, "Kami jelas berpihak, namun lebih pada gagasan dan kebijakan tertentu yang kami anggap baik," ("Kaum Intelektual, BBM, dan Iklan Freedom Institute", Kompas 3/3). Publik bertanya, mengapa gagasan dan kebijakan publik yang lebih baik ditolak. Pertama, dari subsidi bunga rekapitalisasi perbankan Rp 600 triliun-sebagian besar dimiliki bankir dan konglomerat hitam-yang pada 2004 mencapai Rp 41,275 triliun dan RAPBN 2005 sebesar Rp 38,844 triliun (Tabel Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Belanja 2004-2005).
Kedua, dari pembayaran Rp 46 triliun pokok dan Rp 24,375 triliun bunga utang luar negeri (2004) serta bunga utang luar negeri Rp 25,142 triliun (RAPBN 2005), juga mengintensifkan tawaran moratorium. Ketiga dari harta KKN Soeharto dan keluarga, senilai 15-40 miliar dollar AS (Tranparency International) atau 60 miliar dollar AS (Times). Keempat, intensifikasi dan ekstensifikasi pajak serta mengurangi korupsi birokrasi perpajakan. Wajib pajak (WP) badan dan perorangan berjumlah 5 persen dari populasi pada 2004 membayar Rp 239,5 triliun. Naikkan WP menjadi 20 persen dari populasi dengan perhitungan pajak progresif baru, dan meminimalkan kebocoran, pada 2005 target pajak melampaui Rp 259,5 triliun. Kelima, audit dan efisiensi Pertamina, dari kontrak, ekspor, impor, hingga distribusi. Ini akan menyelamatkan triliunan rupiah tiap tahun.
Ini hanya beberapa alternatif yang diajukan intelektual, akademisi, dan publik tetapi tidak dijadikan pilihan kebijakan pemerintah karena tidak sesuai kepentingan kekuatan ekonomi-politik yang kini mendominasi birokrasi dan legislatif.
Politisi, pengusaha, dan dagang
Di Indonesia kini negara bukan lagi sekadar eksekutif/representasi pemilik kapital, tetapi pemilik kapital sudah merepresentasi kepentingan sendiri, langsung mengendalikan kebijakan negara melalui legislatif/eksekutif. Para politikus-pengusaha menyadari, eksekutif/birokrasi adalah real centers of state power. Ditambah penguasaan atas legislatif melengkapi pengendalian, kebijakan eksekutif tidak akan dibatalkan parlemen.
Contoh pemilik kapital yang sudah membuktikan munculnya elemen politik baru: politisi-pengusaha (business-politician) dan entitas politik baru: negara-dagang (merchant-state), di antaranya Jusuf Kalla, Grup Bukaka, Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Presiden. Agung Laksono, mantan Presiden Direktur ANTV, Grup Hasmuda, Ketua DPR, dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Aburizal Bakrie, Grup Bakrie dan Bumi Resources, Menteri Koordinator Perekonomian. Surya Paloh, Media Grup (Metro TV), Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar. Fahmi Idris, Grup Kodel, Ketua Partai Golkar, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Tentu tidak sulit menyebut puluhan pengusaha dari beragam partai politik yang duduk di legislatif eksekutif dari pusat, provinsi, hingga kabupaten (M Fadjroel Rachman, "Bangkitnya Negara-Dagang", Koran Tempo, 19/2).
Konglomerasi domestik pribumi
Dalam "Bangkitnya Negara-Dagang", penulis bertanya darimana datangnya "kesadaran subyektif" pengusaha mengendalikan negara dengan menjadi politisi-pengusaha? Indonesia: The Rise of Capital (Richard Robison, 1986) buku klasik ekonomi-politik yang meneliti fraksi kapital di bawah Orba, perkembangan, dan perannya dalam dinamika pembentukan politik totalitarisme Orba. Robison "menemukan" fraksi kapital dominan yang membentuk struktur ekonomi-politik Indonesia, tahun 1980-an.
Pertama, kapital internasional melalui utang (IGGI, IBRD, G to G Loans) dan foreign direct investment (Jepang, AS, Taiwan, Hongkong, Eropa). Kedua, kapital BUMN. Ketiga, kapital ABRI (TNI/Polri). Keempat, kapital konglomerasi pribumi dan nonpribumi. Kini, fraksi kapital dominan tetap serupa, meski ada pemain di dalam fraksi kapital berubah atau berganti nama, misalnya, IGGI menjadi CGI, ditopang IMF.
Konglomerasi pribumi yang menjadi politisi-pengusaha-semua dibesarkan Orba-adalah fraksi kapital yang memenangi pertarungan antarfraksi dominan kapital Orba. Tahun 1980-an fraksi kapital yang bermuara ke Soeharto dan keluarga unggul, ditopang fraksi kapital ABRI. Kini, politisi-pengusaha yang mengendalikan negara dari fraksi kapital konglomerasi pribumi semi-Soeharto dan semi-ABRI, mengatasi fraksi kapital konglomerasi Soeharto, nonpribumi, dan ABRI.
Bukan tidak ada subsidi
Politik negara kesejahteraan meyakini, warga negara menjadi miskin dan menganggur karena tidak dijamin hak ekonomi dan sosialnya. Jadi, bila kini jumlah rakyat miskin adalah 60 persen dari populasi dan penganggur 45 persen dari 100 juta angkatan kerja, jelas bukan karena tidak mendapat dana kompensasi BBM, tetapi tidak dilindungi negara hak ekonomi dan sosialnya. Alih-alih menyejahterakan rakyat, kenaikan harga BBM memicu kebutuhan pokok dan mengurangi kesejahteraan. Karena rata-rata pengeluaran rumah tangga, untuk makanan 64,1 persen, pendidikan 2,40 persen, kesehatan 2,07 persen, dan 31,52 persen untuk transportasi, sandang, dan papan (BPS, 2004). Tentu bila kesejahteraan warga, hak ekonomi dan sosialnya dimapankan lebih dulu, kenaikan BBM-bahkan dengan menolkan semua subdidi BBM sekalipun-bukan masalah bagi masyarakat.
Mengapa kebijakan publik pencabutan subsidi BBM yang dilakukan bukan alternatif lain? Dengan uraian itu, jelas kebijakan publik tidak mengganggu kepentingan oligarki ekonomi-politik yang berkuasa, tidak menghambat akumulasi kapital politisi-pengusaha dan masa depan negara-dagang. Jadi, bukan karena gagasan dan kebijakan ini baik, seperti ditulis Rizal Mallarangeng. Kalaupun ada keresahan, tiap pertentangan kepentingan antara publik dengan politisi-pengusaha akan disetarakan sebagai pertentangan negara versus masyarakat sipil yang berujung pada represivitas negara.
Keterlibatan Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir dalam kekuasaan, jelas keberpihakan intelektual organik (The Gramsci Reader, 2000) kepada si tertindas. Sama sekali bukan perselingkuhan intelektual dengan oligarki ekonomi- politik yang berpuluh tahun merugikan rakyat dengan ekonomi rente, pengisapan, dan KKN. Para intelektual istana seharusnya jujur mengaku berpihak kekuatan ekonomi-politik dominan. Pengakuan ini penting sebab pengkhianatan intelektual harus dinilai bukan lagi karena melanggar syarat ideal intelektual Julien Benda (La Trahison des Clercs, 1927), tetapi dinilai dari tanggungjawab keberpihakannya secara moral, politik, dan hukum Publik akan menilai, apakah mereka akan seperti intelektual Orba, selama 32 tahun berpartisipasi menyengsarakan rakyat, tetapi melarikan diri dan tidak mau bertanggung jawab secara moral, politik, dan hukum, ketika Orba runtuh. Karena itu, berani beriklan, berani berpihak, berani bertanggung jawab di kemudian hari.
M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)
Senin, 07 Maret 2005



Selingkuh Freedom Institute?
Oleh Sulfikar Amir
SELINGKUH itu indah", begitu bunyi frase yang sempat populer di Jakarta. Selingkuh bagai fenomena "wajar", yang bagi kalangan tertentu dianggap rekreasi yang menantang. Tetapi, wajarkah bagi intelektual untuk melakukan selingkuh dengan pemegang kekuasaan?
Pertanyaan ini menjadi penting dalam kontroversi iklan Freedom Institute yang mendukung kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Lepas dari tujuan "mulia", iklan itu "selain membujuk masyarakat" juga untuk "meyakinkan dan mendorong pemerintah untuk segera dan tidak ragu mengambil kebijakan tepat" (Rizal Mallarangeng, Kompas 3/3), aroma selingkuh mudah merebak ke publik. Ada dua faktor yang menggoda kita mengambil kesimpulan selingkuh.
Pertama, koneksi antara Freedom Institute dan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, pengusaha besar yang juga penyandang dana Freedom Institute. Oleh karena itu, tidak sulit untuk melacak kepentingan apa yang bermain di sini. Se-freedom apa pun Freedom Institute, pengaruh Aburizal atas sikap dan dukungan pusat studi ini tentu tidak dapat dinafikan begitu saja.
Kedua, aliran ideologi. Freedom Institute adalah salah satu kantung liberalis di Indonesia. Ini terlihat dari orientasi pemikiran Direktur Freedom Institute Rizal Mallarangeng, liberalis tulen yang menulis disertasi tentang dinamika gagasan liberalisme ekonomi di Indonesia. Karena itu, tidak heran jika kenaikan harga BBM yang didukung Rizal dan rekan-rekan dimaknai sebagai bentuk kemenangan kaum liberal ("Kenaikan BBM, Kemenangan Neoliberal", Kompas 3/3).
Semenarik apa pun kesimpulan yang dapat diambil dari relasi kekuasaan dan kepentingan yang ada dalam kasus iklan Freedom Institute tidak mudah untuk menjawab pertanyaan apakah Freedom Institute telah berselingkuh atau tidak. Kalaupun benar, dana iklan Freedom Institute yang berbiaya besar (Effendi Gazali, "(Maaf) Tak Mampu Beriklan", 2/3) itu berasal dari Aburizal, "pemilik" Freedom Institute, itu belum cukup menjelaskan apakah selingkuh atau, seperti kata Rizal, pemihakan pada gagasan.
RIZAL menegaskan, "selingkuh" kaum intelektual adalah hal wajar. Dikemukakan beberapa nama seperti Condy Rice dan Henry Kissinger. Bahkan, Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir pun dianggap ber-"selingkuh" dengan kekuasaan. Hati-hati dengan klaim ini.
Pertama, kita harus bisa memisahkan kaum profesional dan kaum intelektual. Kaum profesional adalah pengguna pengetahuan yang cenderung bersikap taken for granted dengan pengetahuan yang dimiliki. Sementara kaum intelektual adalah penghasil pengetahuan yang senantiasa bersikap kritis dan reflektif terhadap bentuk dan implikasi dari pengetahuan.
Kedua, kita harus bisa memberi batasan antara intelektual dan politisi. Mencampuradukkan keduanya akan membuat pemahaman kita ambivalen.
Namun, lepas dari catatan kecil ini, apa yang disampaikan Rizal sebagai respons terhadap tuduhan selingkuh adalah indikasi bagaimana bingungnya kaum intelektual di Indonesia tentang posisinya di masyarakat. Apakah kaum intelektual harus steril dari jaringan kekuasaan? Apakah pengetahuan sebagai cultural capital kaum intelektual harus benar-benar murni dari berbagai kepentingan? Jika semua tuntutan netralitas dan obyektivitas menjadi syarat bagi sebuah intelektualisme, apakah itu dapat terjadi atau hanya sekedar utopia?
Dalam tulisan "Cendekiawan Bukan Malaikat" (Kompas, 15/12) saya jelaskan, bagaimanapun dan di mana pun juga kaum intelektual senantiasa bersinggungan dengan kekuasaan. Berbagai bentuk pengetahuan yang dihasilkan kelas terdidik ini tidak pernah lepas dari pengaruh kepentingan yang datang melalui berbagai saluran politik, sosial, ekonomi, atau budaya. Tetapi, harus dicatat, kekuasaan yang berhimpit pada kaum intelektual tidak harus dilihat semata-mata dalam makna represif dan otoritatif. Kekuasaan itu adalah aliran energi yang memungkinkan interaksi antara elemen masyarakat terjadi secara dinamis dan harmonis.
Mungkin inilah yang ingin dilakukan Freedom Institute dengan menjadikan iklan sebagai media kekuasaan yang dinamis. Oleh karena itu, Rizal menantang kaum penentang kenaikan harga BBM untuk membuat iklan serupa. Tantangan ini sedikit naif karena protes dan demonstrasi menentang kebijakan itu terjadi di mana-mana. Kaum intelektual penentang kebijakan BBM tidak perlu menghabiskan ratusan juta rupiah untuk menunjukkan sikapnya. Tetapi, yang lebih penting untuk dicermati adalah bagaimana kekuasaan intelektual itu dimainkan Freedom Institute.
Jika kembali kepada prinsip bahwa kaum intelektual senantiasa bersikap kritis dan reflektif terhadap pengetahuan dan konsekuensinya bagi masyarakat, dukungan Freedom Institute terhadap kebijakan BBM yang diekspos secara mewah adalah tindakan tergesa-gesa. Apa pun logika dan argumen yang digunakan serta secanggih apa pun model ekonomi yang dipakai dalam mengambil kebijakan harga BBM, sebagai lembaga studi yang independen selayaknya Freedom Institute bersikap kritis dan reflektif terhadap keputusan pemerintah dan tidak mendahului reaksi publik terhadap kebijakan itu.
Dukungan secara terbuka justru menimbulkan pertanyaan tujuan iklan itu. Apakah dengan adanya dukungan itu membuat masyarakat mau mengerti dan menerima kebijakan kenaikan BBM saat mereka menghadapi realitas hidup yang kian sulit akibat kebijakan itu? Lain halnya jika Freedom Institute adalah think tank resmi pemerintah yang melakukan penelitian kebijakan yang akan diambil pemerintah. Jika ini yang terjadi, dukungan Freedom Institute tidak akan menjadi masalah. Namun, Freedom Institute adalah lembaga studi independen. Oleh karena itu, terasa janggal jika sebuah lembaga independen memberi dukungan penuh pada kebijakan pemerintah lepas dari setuju-tidaknya mereka pada kebijakan itu. Kaum intelektual memang tidak pernah lepas dari faktor kekuasaan, tetapi apa yang ditunjukkan Freedom Institute adalah bentuk submissive terhadap pihak otoritas.
APAKAH Freedom Institute telah berselingkuh?
Selingkuh atau tidak sebenarnya tidak relevan lagi jika kita melihat fenomena ini secara lebih luas. Hebohnya kasus iklan Freedom Institute tidak hanya bukti, bagaimana carut- marutnya proses pembuatan kebijakan yang terlalu bertumpu pada pandangan sepihak pemerintah, tetapi juga menunjukkan bagaimana kaum intelektual kikuk saat berhadapan dengan sumber-sumber kekuasaan yang berasal dari birokrasi dan pemilik modal.
Ini bukan soal pilihan "rasional" kaum intelektual, tetapi sebuah kondisi struktural dari sejarah panjang relasi antara kaum elite terdidik dengan pemegang otoritas publik. Kaum intelektual masa kini adalah jelmaan kaum priayi masa lalu yang merupakan subordinasi kaum penguasa. Oleh karena itu, tantangan kaum intelektual masa kini adalah mencari sosok jati diri yang otonom dan lepas dari bayang-bayang masa lalu. Dengan begitu, kaum intelektual dapat menggunakan kekuasaannya secara bijaksana.
Sulfikar Amir Kandidat Doktor di Dept Science and Technology Studies, Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York



Jumat, 04 Maret 2005



Maaf, Tidak Mampu Beriklan
Oleh Budiarto Danujaya
SEPARUH kebenaran adalah separuh kebohongan, begitu bunyi sebuah petatah-petitih Hindu lama, yang kiranya masih masuk akal sampai di abad postmo ini.
Seperti halnya rentetan iklan sosialisasi rencana kenaikan harga BBM, tanggapan Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng (Kompas, 3/3) penuh kebenaran sebagian sehingga betapapun tampil menawan, namun cenderung menyesatkan (misleading). Mencoba memperluas persoalan, kecenderungan ini juga menyangkut iklan sosialisasi kenaikan BBM yang ditayangkan media elektronik, jadi bukan sekadar iklan dukungan Freedom Institute yang dipergunjingkan itu.
Kecenderungan ini menyangkut baik konteks ekonomis kebijakan maupun konteks politis bentuk dan cara penyampaiannya yang disebutnya bisa "menjadi instrumen demokrasi dan pendidikan politik yang sehat".
TERLEPAS dari hasil penelitian LPEM-FEUI, kiranya mudah dimengerti jika tiap bentuk kebijakan harga majemuk untuk produk yang sama akan menghadirkan pasar yang ditandai kink-curve dan rawan penyelewengan. Berbagai kisah black-market, termasuk di negeri ini, dengan gamblang menunjukkan. Namun, justru mulai di sinilah argumen keengganan memberi subsidi karena rawan penyelewengan itu qua logic menunjukkan ketidakruntutan. Kebijakan BBM baru tetap menduakan harga dalam negeri untuk beberapa jenis produk, dan tak menghapus total subsidi sehingga tetap ada perbedaan harga dengan di luar negeri. Artinya, tugas pemerintah untuk mengatasi kerawanan penyelewengan juga tak berkurang.
Yang ingin dikatakan di sini bukan agar subsidi bahkan harus dihapus total. Tetapi, subsidi adalah sebentuk kebijakan, yang karena menyangkut alokasi otoritatif nilai yang bersangkut paut dengan orang banyak kemudian lebih merupakan sebuah keputusan politis. Jadi, sebuah pilihan yang terlepas dari sudah diperhitungkan untung-ruginya secara ekonomis, termasuk ekses negatifnya, mungkin tetap dipilih karena pertimbangan lain yang lebih komprehensif menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam konteks ini kerawanan menuntut pengamanan dan bukan penghindaran kebijakan.
Menilik itu, berbagai kepelikan yang kini harus dipertimbangkan seyogianya juga sudah harus dipertimbangkan saat kebijakan subsidi BBM mulai ditempuh beberapa dasawarsa lalu. Barangkali penalaran semacam inilah yang menimbulkan tudingan bahwa yang kini terjadi lebih merupakan perubahan haluan ekonomi ketimbang tinjauan ulang pragmatika sebuah kebijakan.
Kecurigaan semacam inilah yang membuat kata neoliberalisme mudah terlontar dari pakar dan demonstran. Mungkin karena mengingatkan penghapusan dan pengurangan tunjangan sosial di negara kesejahteraan (welfare states) yang bangkrut akibat perubahan ekonomi global.
DALAM konteks ekonomi, kehidupan sebuah masyarakat barangkali bisa diibaratkan bejana berhubungan. Kebijakan suatu sektor senantiasa mengandaikan berbagai konsekuensi logis (bahkan mungkin seakan tak logis) pada hal-hal maupun sektor-sektor lain. Karena itu, pertanyaannya, sungguhkah penurunan subsidi BBM dan pengalihannya pada subsidi-subsidi langsung secara kumulatif agregatnya akan lebih menguntungkan rakyat kecil (dan mengurangi keuntungan kaum pengusaha dan berpunya), seperti termaktub dalam iklan itu?
Rasanya, tak terlihat kesulitan berarti untuk menimpakan kenaikan harga BBM pada biaya produksi perusahaan berskala industrial, toh kenaikan ini menimpa rata semua pengusaha sehingga tak mengurangi daya saing produk mereka, sekurangnya untuk pasar dalam negeri. Demikian pula dalam mengompensasi tunjangan transportasi bagi para eksekutif, ketimbang para buruhnya, yang mungkin harus menunggu keputusan Upah Minimum Regional (UMR) baru, yang entah kapan diupayakan. Sementara itu, sejak skandal besar Jaring Pengaman Sosial (JPS) kita sebaliknya tahu betapa rawannya bentuk-bentuk subsidi langsung.
Barangkali di sinilah kebenaran argumentatif iklan-iklan itu menjadi sepihak, dan legitimasinya lebih ditopang permainan citra memanfaatkan kekuatan presensi dan repetisi media massa. Kecenderungan itu bahkan kadang amat vulgar. Sebagai contoh, iklan sosialisasi kenaikan BBM di televisi yang memanfaatkan popularitas Mat "Bajaj Bajuri" Solar. Dengan bahasa vulgar diimajikan, mendukung subsidi BBM berarti mendukung orang kaya bermobil Mercedes Benz.
Bukan saja iklan ini manipulatif karena Mercedes Benz harus memakai Pertamax yang harganya sudah naik sejak dua bulan lalu justru saat iklan itu baru mulai ditayangkan. Iklan ini juga fasis karena menghalalkan cara-cara kotor untuk memenangkan citra publik, tanpa berpikir panjang telah mengobarkan kembali sentimen SARA, yang tidak punya landasan obyektif. Aneh, di masa lalu rakyat dengan gampang dituduh subversif jika sedikit saja menyebut kelas sosial apalagi memakai isu SARA, sementara kini justru pemerintah yang memakainya!
MEMIHAK pada satu sisi dari sebuah isu publik yang pada dasarnya masih bisa diperdebatkan, seperti dinyatakan Rizal, memang sah dalam sebuah masyarakat demokratis. Tetapi, dalam politik nyata sehari-hari, masalah demokrasi tak selalu tentang perbedaan pendapat hakiki, yang saking sulitnya dipertemukan lalu merupakan masalah pilihan. Demokrasi kadang sekadar soal kesetiaan terus-menerus merawat prosedur bersama.
Cita-cita ideal demokrasi, baik persamaan, maupun kebebasan seperti pada demokrasi liberal, adalah hal-hal yang tak kepalang sulit dicapai. Karena itu, belakangan orang lebih suka berteori mengenai democracy to come, melihatnya sebagai sebentuk idealisasi, sebuah arah yang harus terus digapai sekaligus takkan pernah tercapai sepenuhnya. Setiap bentuk demokrasi selalu mengandaikan kondisi kemungkinan (possibility) pencapaiannya, sekaligus kondisi ketidakmungkinan (impossibility) pencapaiannya (Chantal Mouffe: 1993). Dengan demikian, yang lebih penting adalah menyadari antagonisme sebagai bagian inheren demokrasi dan senantiasa merawat (termasuk selalu memperdebatkan kembali) prosedur bersama menuju arah ideal itu.
Dalam konteks ini menjadi jelas, pemasangan iklan Freedom Institute, terlebih iklan-iklan sosialisasi kenaikan BBM di televisi, secara prosedural melanggar fairness (tidak adil) dan karena itu jauh dari "menjadi instrumen demokrasi dan pendidikan politik yang sehat". Misalnya, pernyataan bahwa Kompas mempunyai "prinsip bahwa semua mendapat perlakuan sama, termasuk mengiklankan pendapat tentang satu atau beberapa isu publik", merancukan kesan.
Pertama, setahu saya belum pernah ada aturan di lingkungan pers yang mengharuskan media memberi hak jawab iklan seperti pada berita, sehingga meski setiap pihak boleh beriklan, tidak berarti dia tidak harus membayar. Atau kedua, seakan pihak media, dalam hal ini Kompas, berkewajiban memuat iklan jawaban karena memuat iklan itu. Hal ini jelas merupakan sebuah pengalihan tanggung jawab yang tak masuk akal.
Dengan demikian, ketidakadilan proseduralnya adalah memaksa pihak lain yang merasa risih, padahal tak berkepentingan langsung dengan persoalan terpaksa mengeluarkan biaya menanggapi. Bayangkan, iklan BBM itu ditayangkan di segenap stasiun selama dua bulan dengan belasan repetisi tiap hari, berapa biaya tanggapannya?
MENYAMAKAN iklan semacam ini dengan iklan sampo rasanya tak bertanggung jawab. Iklan ini menyangkut rancangan sebuah kebijakan publik, sehingga bersangkutan dengan alokasi otoritatif nilai yang akan berdampak bagi kehidupan masyarakat. Jelas, dalam definisi politik yang paling sederhana pun, domain persoalannya adalah politik karena akan mempunyai kekuatan otoritatif -memaksa- segenap masyarakat untuk mematuhinya. Ada lambang negara, ada kebijakan dan peraturan pemerintah, tapi belum pernah ada sampo negara atau sabun pemerintah.
Mengatakan bahwa kebiasaan beriklan semacam ini lazim di Amerika Serikat, rasanya tak membuat analogi ini bangkit dari kubangan lumpurnya. Berbagai peristiwa semacam penyerbuan Irak seharusnya menginsafkan kita bahwa AS sebagai wujud ideal masyarakat demokrasi tinggal mitos yang diwariskan Alexis de Toqueville di tahun 1834.
Cara berpikir semacam ini mengingatkan kita pada praktik postmodern, seperti digambarkan Jean-Francois Lyotard (2001), yang melihat techno-science mutakhir sebagai mak comblang bagi menghablurnya aneka perbedaan domain konvensional mengenai yang kuat, adil, dan benar. Ketidaksepadanan nyata antara permainan denotatif (dengan salah/benar sebagai pemilahannya yang relevan), permainan preskriptif (adil/tak adil) dan permainan teknis (efisien/tak efisien) konvensional bak bermuara ke satu domain yang sama.
Performativitas techno-science tak lagi sekadar berbicara soal efisiensi belaka, tetapi juga lewat kekuatan presensi dan repetisi terus-menerus meningkatkan kemampuan memproduksi bukti, sekurangnya meningkatkan kesempatan dan kemampuan menjadi (baca: dianggap) "benar" dan adil. Bahkan, seakan juga mengukuhkan kembali "realitas".
Sehari-hari kita, misalnya, telah menjadi saksi bagaimana kekuatan teknologi media global, memaksakan dan mengubah pandangan kita tentang berbagai nilai, mulai yang benar, yang adil, bahkan yang cantik. Mulai keabsahan penyerbuan Irak, kebenaran program restrukturisasi IMF, sampai kecantikan bibir memble Angelina Jolie. Rupanya, sejak pemilu terakhir para politikus kita mulai beger dengan kekuatan techno-science ini, khususnya media televisi.
Jadi, gamblang, terlepas dari pro-kontra kebijakan kenaikan BBM sendiri, tidakkah yang menggelisahkan adalah sikap dan cara kita memenangkannya di ruang publik? Karena itu, lebih dari sekadar karena tidak mampu, seharusnya kita juga tidak mau melakukan cara-cara seperti itu. Ini jelas sebuah masalah pilihan.
Budiarto Danujaya Pengamat Sosial



Kamis, 03 Maret 2005



Kaum Intelektual, BBM, dan Iklan Freedom Institute
* Tanggapan atas Tanggapan
Oleh Rizal Mallarangeng
TAK terduga, iklan yang dipasang Freedom Instutite (Kompas, 26/2) ditanggapi berbagai pihak dengan antusias, setuju maupun tidak. Bahkan berbagai komentar yang ada, baik di Kompas maupun dalam talkshow televisi dan milis internet, mungkin sama serunya dengan diskusi tentang penghapusan subsidi BBM itu sendiri.
Effendi Gazali benar, iklan itu adalah sebuah breakthrough ("Maaf, Tak Mampu Beriklan", Kompas, 2/3). Dalam sejarah Indonesia, belum pernah terjadi sejumlah intelektual, pengusaha, profesional, dan aktivis bersatu mendukung sebuah kebijakan dan mengiklankannya sehalaman penuh. Sesuatu yang baru, apalagi dengan isu yang hangat dan aktual, tentu mengundang pro dan kontra. Hal ini dapat dipahami dan harus disambut dengan tangan terbuka.
Mengenai isinya, berbagai komentar menyinggung tiga hal: substansi argumen penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM), bentuk, dan tokoh yang menyampaikan (iklan dan peran intelektual). Saya akan menanggapinya satu per satu, namun sebelumnya saya ingin mengatakan satu hal.
Freedom Institute dan 36 tokoh yang namanya tercantum sebagai pendukung iklan itu tidak dikendalikan pemerintah. Selain membujuk masyarakat, kami justru ingin meyakinkan dan mendorong pemerintah untuk segera dan tidak ragu mengambil kebijakan yang tepat demi masa depan bersama yang lebih baik.
Pemimpin kadang dihadapkan pada aneka pilihan yang dilematis. Kebijakan yang harus dilakukan perlu dan baik, namun tidak populer. Dalam situasi semacam ini kami memilih peran sebagai push factor, betapapun terbatasnya, demi meyakinkan dan secara tidak langsung membesarkan hati pemerintah untuk segera mengambil keputusan dan menghadapi konsekuensinya.
To govern is to choose, kata Charles de Gaulle. Kini pemerintah sudah mengambil keputusan, dan saya mengangkat topi atas keberanian semacam ini.
Argumen moral-ekonomi
Substansi argumen yang ada dalam iklan itu pada dasarnya bersifat konvensional. Tidak ada yang baru di dalamnya. Aspek moralnya telah ditulis dengan baik oleh Franz Magnis-Suseno ("Jangan Tunda Pencabutan Subsidi BBM", Kompas, 14/1) dan penjelasan teknis-ekonomisnya dibahas berkali-kali oleh M Chatib Basri dan Anggito Abimanyu di harian ini.
Pada intinya, argumen kami mulai dengan sebuah fakta: sebagai konsekuensi dari harga minyak dunia yang terus melambung, subsidi terus membengkak, jauh melebihi rencana semula yang "hanya" Rp 19 triliun. Tanpa pengurangan, subsidi bisa melewati angka Rp 70 triliun tahun ini (atau hampir setara dengan Rp 200 miliar per hari). Dengan pengurangan rata-rata 29 persen sekalipun, sebagaimana sudah diputuskan pemerintah, negara masih mengeluarkan Rp 100 miliar lebih per hari, atau Rp 39,8 triliun setahun, untuk menyangga harga BBM.
Bagi kami, subsidi pada tingkat tertentu tetap perlu, terutama terhadap mereka yang membutuhkan uluran tangan. Namun, apakah dana subsidi BBM yang demikian besar benar-benar tepat dan perlu? Apakah negara sanggup terus menanggungnya? Apakah subsidi mendorong perilaku ekonomi yang hemat dan rasional?
Ternyata tidak. Memang, ada beberapa penanggap yang mengkritik angka dan hasil penelitian LPEM-FEUI yang ada dalam iklan itu. Ini masalah serius. Salah satu argumen kami bersandar pada hasil penelitian empiris yang menunjukkan, subsidi BBM lebih menguntungkan mereka yang relatif lebih mampu dan kaum yang paling miskin justru kurang menikmatinya.
Jika para pengkritik bisa memperlihatkan kekeliruan penelitian ini, sanggahan mereka akan lebih kuat. Sayang, berbagai tanggapan yang ada hanya berkisar pada tingkat abstraksi dan dugaan bahwa penelitian itu menyesatkan. Jika memang keliru, mana buktinya? Apakah ada penelitian alternatif yang menunjukkan bahwa faktanya justru berbeda dan berlawanan?
Selain itu, beberapa penanggap juga mengingatkan, persoalan di negeri ini begitu banyak dan beragam, mulai dari korupsi, inkompetensi, dan pemborosan lainnya. Bahkan dana kompensasi yang diusulkan pemerintah sebesar Rp 17,8 triliun mungkin tidak akan luput dari penyalahgunaan dan prosedur birokrasi yang berbelit-belit. Menurut mereka, kami seharusnya juga peduli dan memerhatikan hal-hal seperti itu.
Saya setuju dan bersimpati dengan pendapat demikian. Namun, Prof Widjojo Nitisastro benar saat ia berkata sekian tahun lalu bahwa di Indonesia hal-hal yang baik hanya dapat dilakukan one step at a time. Semua persoalan negeri kita harus dihadapi dan diselesaikan. Namun, yang kini bisa dilakukan, lakukan dulu. Setelah itu, kita dorong lagi pemerintah untuk melakukan hal-hal baik lainnya.
Kaum intelektual
Kami jelas berpihak, namun lebih pada gagasan dan kebijakan tertentu yang kami anggap baik. Masalah pemihakan semacam ini memang menjadi tema klasik yang kadang membingungkan di kalangan intelektual.
Namun, persoalannya sebenarnya sederhana. Semua tergantung substansi pemihakan sendiri, bukan pada wadah atau bentuk pengungkapan. Gagasan atau kebijakan pemerintah bisa benar, bisa salah. Demikian pula gagasan seorang ilmuwan, aktivis, atau mereka yang mengklaim diri sebagai pejuang kaum tertindas. Tidak ada satu pihak pun yang berhak mengklaim bahwa merekalah pemegang kebenaran terakhir. Hal inilah yang harus diperhatikan Abd Rohim Ghazali (Menyoal "Iklan Layanan Pemerintah", 2/3) dan Agus Surono ("BBM dan Iklan Freedom Institute", 1/3).
Jika memang kebijakan pengurangan subsidi baik bagi ekonomi Indonesia, mengapa kita harus ribut soal posisi profesi dan peran kaum intelektual? Mengapa untuk menjadi intelektual harus dalam posisi yang senantiasa berseberangan dengan pihak yang memegang kekuasaan?
Condy Rice dan Henry Kissinger: keduanya adalah bagian dari kaum intelektual dan, sebagai menteri luar negeri adikuasa, bahkan menyatu dengan kekuasaan sendiri. Kita tentu boleh menentang ide atau kebijakan mereka. Namun, agak aneh jika kita mempersoalkan bahwa mereka adalah cendekiawan yang berselingkuh. Mereka yakin pada ide-ide tertentu, dan berusaha menggunakan apa yang ada di sekitarnya, termasuk kekuasaan, untuk mewujudkannya.
Sederet nama besar dalam sejarah kita juga melakukan hal yang sama. Bahkan Indonesia didirikan oleh kaum intelektual yang "berselingkuh" dengan kekuasaan: Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir. Mereka percaya pada ide-ide tertentu tentang sebuah negeri yang ideal dan mengabdikan hidup mereka untuk mewujudkannya, jika perlu dengan menjadi presiden dan perdana menteri.
Iklan
Effendi Gazali adalah seorang ahli komunikasi. Menurut dia, iklan Freedom Institute adalah "bentuk komunikasi politik yang tidak strategik bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya". Selain itu, "iklan itu juga menunjukkan ’compang- camping’-nya ruang publik kita".
Soal strategis dan efektif atau tidak, saya tidak memiliki kapasitas profesional untuk menilai iklan itu. Namun, jika begitu banyak yang menanggapi, termasuk Effendi sendiri (tulisannya menggunakan judul yang cerdas dan memikat), buat saya it is not bad at all. Bukankah tujuan iklan, salah satunya, memang untuk mencari, dan mencuri perhatian?
Namun, adakah pemaksaan di sana? Apakah Effendi sendiri terpaksa atau harus membaca dan memercayai iklan itu? Apakah pada dirinya format penyampaian pendapat dalam bentuk iklan mengandung unsur ketidakadilan dan pemaksaan, dan karena itu membuat ruang publik kita compang- camping? Kalau betul, apa argumennya?
Setahu saya, di harian Kompas tidak ada kebijakan redaksi yang hanya memajukan pendapat tertentu. Pengkritik maupun pendukung kebijakan subsidi BBM mendapat tempat sama. Yang penting, prinsip bahwa semua mendapat perlakuan sama, termasuk mengiklankan pendapat tentang satu atau beberapa isu publik.
Dalam hal yang terakhir ini saya percaya, jika kaum penentang pengurangan subsidi BBM dapat mengorganisasikan diri, menggalang dana, dan benar- benar meyakini kebenaran gagasannya, harian Kompas pasti tidak akan keberatan jika mereka ingin memasang iklan, dua halaman penuh sekalipun.
Di negeri-negeri demokratis lainnya, hal demikian lazim terjadi. The Washington Post dan The New York Times, dua koran paling berpengaruh di AS, sering memuat perdebatan soal kebijakan dalam bentuk iklan yang dipasang oleh tokoh maupun organisasi dari segala kalangan, seperti pengusaha, pengacara, ilmuwan, aktivis dan semacamnya.
Tidak seperti iklan sampo, iklan semacam itu disajikan tidak dalam warna-warni menyala, dilengkapi potret wanita cantik. Namun, seperti iklan sampo, ia ingin menyampaikan sesuatu, mencuri perhatian, dan mengajak orang untuk percaya pada pesan yang disampaikan.
Akhirnya, semua terpulang pada sidang pembaca. Mereka harus berpikir sendiri dan menimbang-nimbang. Take it or leave it. Dalam hal inilah, iklan yang mengandung isu kebijakan dan gagasan yang kuat dapat menjadi instrumen demokrasi dan pendidikan politik yang sehat.
Rizal Mallarangeng Direktur Eksekutif Freedom Institute, Jakarta



Rabu, 02 Maret 2005



(Maaf) Tak Mampu Beriklan
Oleh Effendi Gazali
LUAR biasa iklan "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?" yang dipasang Freedom Institute (Kompas, 26/2). Iklan satu halaman penuh itu-normalnya- pasti bernilai ratusan juta!
Saya asumsikan (harap), satu per satu nama besar yang tercantum di sana sudah mendapat cetak biru (blueprint) iklan itu sebelum mereka menyatakan mendukung sepenuhnya. Karena, bagaimanapun juga, seperti tindakan pemihakan lainnya, bentuk iklan ini akan tercatat dalam sejarah hubungan antara politikus/pemerintah, peneliti/akademisi, dan praktisi media di Tanah Air (lihat antara lain analisis yang sudah diingatkan Garnham sejak 1983).
Artikel ini tidak bermaksud memprotes mereka atau iklan itu. Tulisan ini lebih berupaya menunjukkan, iklan itu tanpa disadari adalah sebuah bentuk komunikasi politik yang tidak strategik bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, iklan itu juga menunjukkan "compang-camping"-nya ruang publik kita (karena itu perlu dilengkapi tulisan ini dan pandangan-pandangan lain yang berbeda nantinya).
Komunikasi politik tak strategik
Sejauh yang saya ketahui, dalam khazanah komunikasi politik, iklan yang dipasang Freedom Institute itu mungkin dapat dimasukkan dalam Issue Advocacy Ad. Artinya lebih kurang: sebuah iklan yang mencoba mengadvokasi publik tentang isu-isu yang dianggap penting untuk kemaslahatan banyak orang. Persoalan pengurangan subsidi BBM yang menyangkut hajat hidup orang banyak jelas tergolong ke dalam kategori ini.
Persoalannya, ada kebiasaan di banyak negara, iklan jenis ini tidak lazim dipasang kelompok atau institusi yang punya hubungan dengan pemerintah atau pribadi-pribadi dalam pemerintah. Intinya, iklan ini seakan diperuntukkan sebagai wilayah bagi lembaga independen (betapa pun relatifnya soal "independensi" itu). Konsekuensinya, begitu iklan semacam ini keluar, apalagi penampilannya "mencolok mata", banyak pengamat dengan saksama pasti akan menelusuri keterkaitan si pemasang dengan pihak tertentu, khususnya dalam pemerintah atau di antara oposisi. Agus Surono (Kompas, 1/3) mencatat, Freedom Institute adalah lembaga yang secara penuh didanai Aburizal Bakrie yang juga Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu.
Tambahan lagi, penyampaian pandangan dalam bentuk iklan (bukan menulis opini atau upaya mendapatkan wawancara semacam spin doctor) menghasilkan dampak psikologis berbeda. Dia dapat dibaca sebagai extraordinary effort, keterdesakan, ketidakmampuan melawan pendapat umum yang lebih besar, serta simbol kekuatan dukungan keuangan luar biasa yang tak umum dimiliki LSM dan akademisi, atau berbagai cara baca lain. Saya berharap para rekan dengan nama besar yang ikut terpasang pada iklan itu pernah menyadari tentang kemungkinan interpretasi ke berbagai arah ini.
Ruang publik
Persoalan kedua menyangkut eksistensi dan wajah ruang publik kita. Di tengah berbagai diskusi kritis tentang konsep Habermas, tetap saja sebuah ruang publik yang berfungsi baik, tergantung pada (elemen-elemen): akses terhadap informasi yang tepat mengenai apa yang dilakukan berbagai institusi pemerintah, dan aneka kesempatan publik untuk terlibat deliberasi yang kritis dan rasional, yang kemudian memengaruhi opini publik serta pembentukan kebijakan dan tindakan pemerintah selanjutnya (lihat antara lain review Haas, Journal of Communication, Maret 2004).
Dalam konteks seperti itu, menarik untuk menyimak pendapat Rizal Mallarangeng (Kompas, 1/3), "Kalau orang boleh mengiklankan produknya seperti sampo, misalnya, mengapa kaum intelektual tidak boleh mengiklankan pikiran mereka? Iklan kan bermacam-macam, orang meninggal saja kalau sanggup, keluarganya bisa membeli space sampai satu halaman dan itu tidak masalah".
Soal intelektual boleh mengiklankan pikirannya, tentu wajar. Masalahnya, saya yakin Rizal sependapat, soal ruang publik tidak pas disimplifikasi seperti itu atau tak tepat dipadankan dengan iklan sampo. Sebagai contoh, Siwi Purwono, warga biasa di Tebet Timur Dalam 8/7 terus meneriakkan konsepnya bersama seorang pakar Pertamina tentang inefisiensi Pertamina serta soal windfall di rekening tertentu, yang dapat membuat subsidi menjadi nol persen. Kapan suaranya yang potensial untuk dibahas publik bisa terdengar sebagai pembanding iklan Freedom Institute?
Di luar ketidakadilan akses, mari kita simak bagian iklan itu yang berbunyi: "Selain itu rendahnya harga domestik dibanding harga internasional mendorong merebaknya penyelundupan BBM". Lihat juga lead iklan yang mengedepankan masalah penyelundupan minyak. Sulit bagi saya memahami hal ini sebagai sebuah alasan yang kritis dan cerdas. Saya bertanya-tanya apakah ini merupakan sebuah upaya pemaafan bagi ketidakmampuan pemerintah memberantas penyelundupan? Mengapa ketidakbecusan dalam memerangi penyelundup ditimpakan kepada pihak lain yang sama sekali tidak terkait kejahatan itu?
Penyampaian grafik bahwa program kompensasi akan mengurangi jumlah kaum miskin juga tidak memberi kesan sebagai hipotesis yang dibangun dengan alasan yang kritis dan cerdas. Ia sama sekali tidak menyertakan data berapa kemungkinan bocornya kompensasi itu, entah berdasarkan perhitungan masa lalu maupun perkiraan yang dipakai membangun hipotesis atau grafik itu.
Jadi, dalam display yang kita lihat pada iklannya, program kompensasi itu seakan dijalankan di negeri dengan tingkat korupsi dan penyimpangan yang relatif tidak bermasalah, misalnya, Singapura. Tambahan lagi, ada juga masalah manajemen isu yang terkesan "tidak fair". Isu inefisiensi Pertamina sama sekali tidak disinggung di situ.
Persoalan eksistensi dan wajah (isi) ruang publik kita mungkin bisa dikurangi jika dapat digagas suatu sistem di mana media kita mau bermurah hati atau diwajibkan memuat iklan dengan pandangan berbeda, katakanlah sebagai "Hak Jawab Publik". Mungkin Dewan Pers yang menjadi pemutus kapan hal itu dapat dibenarkan atas dasar desakan publik.
Akhirnya, tulisan ini mesti ditutup dengan menyatakan, apresiasi saya terhadap nama besar rekan-rekan dalam iklan itu sama sekali tidak berkurang. Meski caranya berbeda, kepedulian kita pada ujungnya tetap sama, seperti Haas dan para penulis tentang ruang publik yang dianalisisnya, yakni mengenai fungsi ruang publik itu dalam formulasi kebijakan selanjutnya. Dalam hal ini, kami, beberapa peneliti di Program Pascasarjana Komunikasi UI, yang menyebut diri "Salemba School", sering merasa gusar dengan istilah "sosialisasi". Menurut hemat kami, dalam civil society, yang jauh lebih penting dikedepankan adalah "konsultasi publik", bukan sosialisasi. Istilah "konsultasi publik"-lah yang menjamin bahwa ruang publik memang ada fungsinya dalam formulasi kebijakan pemerintah. Sedangkan sosialisasi, dalam konteks Indonesia, cenderung mengarah ke kebijakan Orde Baru, yang selalu buat dulu peraturannya lalu disosialisasikan agar publik mau (baca: mesti) menerimanya!
Apa boleh buat, atau maaf, Salemba School, seperti kebanyakan dari kita, belum merasa perlu menyampaikan pikiran dalam bentuk display khusus, sekaligus mengaku belum mampu beriklan.
Effendi Gazali Pengajar Pascasarjana Komunikasi UI; Research Associate di Radboud, Nijmegen University
Rabu, 02 Maret 2005



Menyoal "Iklan Layanan Pemerintah"
Oleh Abd Rohim Ghazali
IKLAN satu halaman penuh Freedom Institute, Center for Democracy, Nationalism, and Market Economy Studies, "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?" (Kompas, 26/2) menarik didiskusikan lebih lanjut. Alasannya, kalkulasi ekonomi yang dipaparkan sebagai materi iklan meski tampak amat rasional, belum tentu sesuai dengan realitas yang dibutuhkan masyarakat. Sepertinya masuk akal, tetapi dapat membawa akibat yang menyesatkan.
Idealnya, rasionalitas sejalan dengan kebutuhan masyarakat sehingga setiap problem yang dihadapi masyarakat bisa dikalkulasi dan dicari jalan keluarnya. Kenyataannya, problem yang dihadapi masyarakat selalu kompleks dan sulit bisa dipahami secara linear. Oleh karena itu, ketidaksesuaian antara rasionalitas dan kebutuhan masyarakat menjadi hal biasa. Jika yang rasional sejalan dengan realitas, tentu tak ada kritik terhadap paradigma Newtonian-Cartesian. Itu yang pertama.
Kedua, data hasil kajian LPEM-FEUI tentang dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia-yang disertakan untuk "membunyikan" materi iklan-amat potensial menipu khalayak. Pada faktanya, naik turunnya jumlah penduduk miskin di suatu negara, tak selalu terkait kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, apalagi hanya satu sektor (misalnya subsidi BBM). Menurut kajian Amartya Sen, ekonom asal India peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1998, grafik kesejahteraan (pertumbuhan ekonomi) justru terkait tinggi rendahnya kebebasan politik yang dinikmati rakyat dalam suatu negara. Menurut Sen, banyak kalangan salah paham mengenai kemiskinan, miskin hanya dipahami sebatas lack of income (kekurangan pendapatan). Padahal, kurangnya pendapatan hanya konsekuensi dari kurangnya kemampuan (lack of capability) dan kurangnya kesempatan (lack of opportunity). Seseorang menjadi miskin, menurut Sen, terutama karena kemampuan pada dirinya tak diberi ruang untuk diaktualisasikan. Pandangan Sen ini bukan hanya didasarkan hasil kajian di ruang akademis, tetapi studi empiris.
Ketiga, dalam iklan disebutkan, pengurangan subsidi BBM akan dikompensasikan untuk beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah. Ada kesan, beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah hanya bisa dilakukan dengan baik jika pemerintah mengurangi subsidi BBM. Padahal, kenyataan tidak demikian, karena semua itu adalah tugas pemerintah. Ada-tidaknya pengurangan subsidi BBM adalah kewajiban pemerintah menolong rakyatnya. Dan dalam melaksanakan kewajiban ini, perlu dicari cara yang kreatif tanpa harus menyakiti hati rakyat. Benarkah menaikkan harga BBM ibarat menelan pil yang terasa pahit tetapi menyembuhkan?
SELAIN ketiga hal itu, pencantuman sejumlah cendekiawan dan tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM)-antara lain Franz Magnis-Suseno, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Hamid Basyaib, dan Ulil Abshar-Abdalla-akan merugikan kredibilitas cendekiawan umumnya. Kalaupun yang disampaikan dalam iklan itu benar, apakah perlu mencantumkan nama cendekiawan sebagai penguat. Apalagi jika secara substantif isinya belum tentu benar.
Kita menginginkan cendekiawan dan LSM senantiasa menyuarakan kepentingan rakyat, meski kita yakin apa yang menjadi kepentingan rakyat-sebagaimana kepentingan pemerintah dan pemilik modal-belum tentu benar. Karena itu, kita bisa memahami dan tidak keberatan (malah senang) saat sejumlah cendekiawan dan LSM tercantum namanya dalam iklan layanan masyarakat.
Contoh, dalam kasus pertikaian antara Tempo versus Tommy Winata, kita senang saat banyak (aktivis) LSM dan cendekiawan yang membela Tempo meski belum tentu Tempo ada di pihak yang benar. Dalam hal ini, yang mereka bela bukan Tempo sebagai institusi, tetapi media yang bisa menyalurkan aspirasi masyarakat. Maka, ketika sejumlah cendekiawan dan aktivis LSM tercantum namanya dalam-meminjam istilah Farid Gaban-"iklan layanan pemerintah", tentu akan memunculkan kembali perdebatan klasik mengenai makna "pengkhianatan kaum intelektual".
Selain itu, pencantuman nama sejumlah cendekiawan pada "iklan layanan pemerintah" telah menjerumuskan mereka pada kerancuan berpikir yang disebut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1999) sebagai argumentum ad verecundian. Yakni berargumen dengan menggunakan otoritas, meski otoritas itu tidak relevan atau ambigu.
Mereka yang tercantum dalam iklan itu mempunyai otoritas tinggi (meski tidak semuanya) dalam bidang ilmu dan keahlian masing-masing: ada ahli filsafat, ahli hukum, pakar politik, pakar agama, dan lain-lain. Tetapi apa relevansi pencantuman nama mereka untuk iklan yang mendukung pengurangan subsidi BBM yang berarti legitimasi bagi keabsahan kenaikan harga BBM?
Memang, bisa saja diajukan argumen bahwa persoalan pengurangan subsidi BBM tidak hanya terkait masalah ekonomi, tetapi terkait hajat hidup orang banyak. Karena dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM itu menyentuh beragam kebutuhan masyarakat, maka para ahli di bidang filsafat, hukum, politik, dan kebudayaan ikut mendukungnya.
Jika demikian, berarti iklan itu telah menjebak mereka pada kesalahan berpikir yang lain, yakni fallacy of misplaced concretness (upaya mengonkretkan sesuatu yang pada dasarnya abstrak), dan fallacy of dramatic instance (penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum).
SEJAK iklan pengurangan subsidi BBM muncul di media, banyak kalangan mengkritiknya sebagai penyesatan opini publik. Karena dianggap menyesatkan, Departemen Komunikasi dan Informatika-yang menyampaikan iklan itu-dikecam keras dan menjadi sasaran demonstrasi aktivis mahasiswa. Tak hanya di ranah publik, di parlemen yang eksklusif pun kebijakan pengurangan subsidi BBM menyulut perdebatan. Beberapa anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) bahkan akan menggalang dukungan untuk mengajukan hak angket kepada pemerintah.
Sementara itu, sejak Desember 2004, harga-harga kebutuhan pokok beranjak naik, mulai 4 persen hingga 60 persen (Tempo Interaktif, 7/12/2004 dan 26/2/2005). Meski kenaikan harga itu tak selalu berkaitan dengan pengurangan subsidi BBM, namun kenaikan harga BBM sudah pasti akan berdampak langsung pada kenaikan harga bahan pokok dan tarif angkutan umum, dua hal yang menjadi kebutuhan sehari-hari rakyat di negeri ini.
Artinya, pengurangan subsidi BBM pasti akan semakin menyulitkan rakyat. Sementara kompensasinya (beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah) belum tentu bisa diwujudkan dengan benar. Karena itu, pemerintah harus kerja keras agar kompensasi kenaikan harga BBM tak sekadar menjadi angin surga di telinga rakyat. Masih banyaknya koruptor dan pejabat bermoral bejat di negeri ini, bukan tidak mungkin, akan menjadikan dana kompensasi sebagai lahan korupsi.
Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif MAARIF Institute; Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah



Selasa, 01 Maret 2005



BBM dan Iklan Freedom Institute
Oleh Agus Surono
HARI Sabtu (26/2/2005) Freedom Institute mengiklankan diri untuk mendukung pengurangan subsidi disertai sinopsis alasan. Pada kolom bawah tertera nama-nama para pendukung. Ada Andi Mallarangeng (Juru Bicara Presiden), Rizal Mallarangeng (Freedom Institute), M Chatib Basri, M Sadli (ekonom UI), Todung Mulya Lubis (pengacara), Goenawan Mohamad (budayawan), dan lain-lain.
Melihat nama-nama yang ada menunjukkan mereka adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas dan integritas.
Ada yang menarik dari iklan dukungan pengurangan subsidi BBM itu. Baru kali ini dalam sejarah BBM mendapatkan dukungan intelektual dan aktivis LSM. Hal ini tidak pernah terjadi dalam sejarah Orde Baru, zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, maupun Megawati.
Dalam sejarah Orde Baru kalangan intelektual justru kritis dan ada dalam posisi out sider dan tokoh LSM tidak berkutik, tetapi peran intelektual tetap mendominasi. Mafia Berkley menjadi contoh paling sahih.
Dalam tiga pemerintahan terakhir pascareformasi, masalah BBM tetap menjadi persoalan yang dilematis. Vis a vis tuntutan neoliberal dengan kenestapaan rakyat sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Dalam konteks Orde Baru intelektual yang masuk birokrasi kekuasaan cenderung terkooptasi. Tugasnya hanya menjadi tukang stempel atau mensahkan program-program kekuasaan. Contoh paling nyata adalah dikenalkannya model developmentalism sebagai model untuk mengonstruksi perkembangan negara, juga model yang akhirnya sekadar mengakumulasi kebangkrutan negara, model pembangunan yang sebenarnya diadaptasi tanpa dasar filosofi yang jelas. Dan seolah tidak mau tahu jika paham pembanguannisme sebenarnya hanya upaya Amerika Serikat dalam memenangkan perang dingin dan melokalisasi meluasnya sosialis-komunis versi Soviet.
Plus minus iklan itu
Apa yang dilakukan Freedom Institute dengan iklan itu dapat dipahami sebagai civic education bagi kita. Bahwa subsidi pada gilirannya harus dikurangi dan kalau mungkin dihapus karena dalam jangka waktu tertentu subsidi yang terus-menerus akan memberatkan negara. Dengan demikian, beban utang negara pun akan bertambah. Ini hanya akan mewariskan utang pada generasi berikut. Belum lagi subsidi yang selama ini ada ternyata banyak salah sasaran. Ini merupakan sebuah logika ekonomi yang bisa dipahami bersama.
Namun, apakah logika seperti itu paralel dengan problem keseharian masyarakat? Ini merupakan pertanyaan yang tidak sekadar perlu dijawab dengan kalkulasi statistik-kuantitatif yang cenderung menyederhanakan realitas seperti iklan Freedom Institute itu. Realitas menunjukkan, rencana kenaikan BBM masih menimbulkan pro dan kontra. Terlalu tergesa-gesa jika kemudian lembaga, orang perseorangan melakukan release publik yang bertujuan menyatakan afirmasinya.
Dengan demikian, apa yang dilakukan Freedom Institute dengan iklannya itu dapat dimaknai sebagai bentuk peneguhan, dukungan, bahkan bisa dimaknai sebagai pressure/intimidasi atau provokasi bagi publik.
Publik kritis dipastikan akan bertanya-tanya ada apa dengan para intelektual dan tokoh LSM yang secara vulgar mengiklankan diri mendukung pengurangan subsidi BBM. Terlebih iklan ini dilakukan atas Nama Freedom Institute yang notabene merupakan lembaga yang secara penuh didanai oleh Aburizal Bakrie yang juga Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu. Bukan bermaksud berprasangka yang berlebihan terhadap apa yang dilakukan Freedom Institute, tetapi tetap saja akan menimbulkan spekulasi bahkan stigmatisasi bahwa iklan yang dimuat satu halaman penuh itu sekadar pesanan dari penyandang dana.
Dengan demikian, jika kemudian iklan itu memunculkan kesan bahwa apa yang dilakukan sekelompok intelektual dan aktivis LSM ini adalah sekumpulan orang yang dengan sadar menjadi "juru bicara" pemerintahan sekarang, bisa menjadi sesuatu yang masuk akal.
Terlebih apa yang dijanjikan dengan pendidikan gratis dan pengobatan murah sebagai kompensasi atas dihapuskannya subsidi juga akan berjalan efektif. Apakah karena ketidaktepatan subsidi yang selama ini terjadi dengan serta-merta dapat dijadikan alasan untuk kemudian menghapus subsidi, sesuatu yang pasti masih mengundang kontroversi. Mengapa justru mereka tidak melihat di mana ketidaktepatan bantuan subsidi itu? Hal ini mengindikasikan jalan pintas dalam memahami persoalan.
Keberpihakan intelektual
Iklan Freedom Institute itu mengajak pada perdebatan tentang peran intelektual dan keperpihakannya. Menyitir teori Gramsci dengan Intelektual Organik, apa yang ada pada iklan beserta pendukungnya itu telah mencederai amanat rakyat. Dengan dalih dan dalil ekonomi membuat justifikasi pengurangan subsidi BBM sebagai sesuatu yang wajar.
Aroma perselingkuhan beberapa intelektual dan aktivis LSM menjadi amat kentara. Kerja sama antara intelektual dan tokoh LSM memang tidak dilarang. Tetapi kerja sama itu seyogianya tidak mematikan nalar kritis dan naluri kemanusiaan.
Sekiranya iklan itu juga dapat memotret peran intelektual dan tokoh LSM, akan diperoleh keterangan sebagai berikut. Pertama, adanya keterjarakan antara aktivitas intelektual dan kesenyataan persoalan masyarakat bawah.
Kedua, mungkin begitulah potret sebagian intelektual/aktivis LSM yang tidak kuasa menghadapi kekuasaan. Sebagaimana ditengarai Heru Nugroho dalam sebuah diskusi yang diberitakan Kompas beberapa hari lalu, LSM Indonesia jika tetap mempertahankan idealisme perjuangannya akan miskin karena tidak ada proyek
Ketiga, menunjukkan begitu kuatnya arus neoliberal dalam tokoh-tokoh pendukung maklumat itu, menjadi amat ironis bagaimana gelombang neoliberal yang terus-menerus dikoreksi dan dipertanyakan keadilannya oleh negara dunia ketiga justru mendapatkan tempatnya di sini. Jangan-jangan hal ini hanya karena merasa berutang budi saja.
Sebenarnya amat disayangkan apa yang dilakukan oleh iklan beserta para pendukungnya itu. Karena hal ini bisa dibaca sebagai bentuk penelingkungan proses demokrasi. Publik seolah didikte sekelompok orang yang memiliki akses media. Peran media telah dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan, satu hal yang semestinya diharamkan dalam era demokrasi.
Agus Surono Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Tinggal di Malang



Selasa, 01 Maret 2005



Kesusahan di Balik Kenaikan BBM
Oleh Susidarto
MENARIK mencermati iklan satu halaman pada Kompas (26/2/ 2005) lalu. Di sana, beberapa tokoh yang memiliki integritas yang tidak perlu dipertanyakan lagi mendukung kebijakan kenaikan harga BBM.
Dengan tajuk: "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM", para tokoh yang tergabung dalam dan disponsori oleh Freedom Institute ini pada intinya mendukung pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang berarti adalah mendukung pemerintah untuk menaikkan harga BBM yang selama ini senantiasa mengundang kontroversi tersendiri.
Maklum, dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM ini senantiasa meluas dan kompleks. Lihat saja fenomena yang terjadi. Belum lagi harga BBM dinaikkan, harga kebutuhan pokok sehari-hari langsung meroket naik. Penyebabnya, bisa efek psikologis, atau ada beberapa oknum/pihak yang berupaya "mencuri start" dalam kompetisi "kenaikan harga" sehingga tidak kecolongan dengan yang lain. Inilah fenomena yang riil, yang senantiasa terjadi pra, selama, dan pascakenaikan harga BBM.
Tak heran kalau resistensi segenap komponen masyarakat demikian besarnya. Ada pihak yang tidak setuju dengan kenaikan BBM ini, di antaranya adalah kalangan kampus/mahasiswa, pelaku industri dan penyedia jasa yang sarat dengan BBM, serta ada beberapa pihak yang setuju dan mendukung, salah satunya adalah Freedom Institute di atas. Semua wacana ini tentunya menyegarkan kita bersama. Namun, persoalan pengalihan subsidi yang berdampak pada kenaikan BBM ini ternyata tidaklah sesederhana yang kita duga bersama. Ada beberapa hal mendasar yang tampaknya perlu penanganan serius dari pemerintah.
Pemerintah dan kita semua sering menyederhanakan persoalan bahwa masalah yang dihadapi masyarakat hanya ada dua, yakni pendidikan dan kesehatan. Dan, kedua sektor itu pula yang selama ini ditekankan untuk mendapatkan pengalihan subsidi BBM. Kita tidak pernah berpikir bahwa perjuangan hidup yang paling berat sebenarnya adalah upaya masyarakat kecil untuk meniti kehidupan sehari-hari. Kebutuhan mendasar akan pangan, sandang, dan papan inilah yang sering luput dari perhatian kita.
Sektor pendidikan dan kesehatan, bagi masyarakat kecil memang sangat penting. Namun, jika kita telisik lebih mendalam, maka persoalan yang dihadapi masyarakat kecil tidaklah sesederhana itu. Bagi mereka, komponen biaya sekolah dan kesehatan, selama ini ternyata mengambil porsi yang tidak terlalu signifikan (kecil) jika dibandingkan dengan pengeluaran rutin untuk membeli berbagai bahan kebutuhan pokok sehari-hari.
Sebut saja misalnya, untuk membeli bahan-bahan keperluan sehari-hari seperti beras dan lauk-pauknya, transportasi, serta seabrek kebutuhan sehari-hari, ternyata jauh mengambil porsi yang tidak kecil. Dampak kenaikan harga kebutuhan pokok sehari-hari ini apabila dibandingkan dengan biaya pendidikan dan kesehatan tidaklah sebanding. Nah, fenomena inilah yang tampaknya perlu dipikirkan oleh pemerintah di balik pengalihan subsidi, yang mengakibatkan ketimpangan (distorsi) harga di pasar, dan berdampak pada beban di pundak masyarakat kecil.
Kenaikan harga berbagai barang dan jasa pascakenaikan BBM inilah yang semestinya menjadi isu penting, yang perlu dicarikan solusinya. Memang, fenomena ini merupakan "harga yang harus dibayar" oleh kita semua. Namun, jangan sampai beban masyarakat kecil justru semakin berat akibat kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok. Pemerintah harus berupaya mencarikan solusi untuk mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok untuk konsumsi sehari-hari dengan operasi pasar seperti beras murah, tarif bus murah, harga sandang murah, harga rumah murah dan sejenisnya. Upaya semacam ini justru jauh lebih penting daripada sekadar mengalihkan subsidi dari BBM ke sektor pendidikan dan kesehatan.
Inilah tampaknya pekerjaan rumah yang tidak ringan. Sebab, dari pengalaman kenaikan harga BBM lampau, senantiasa diikuti dengan kenaikan berbagai komoditas penting dan strategis, yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat kecil. Berbagai sektor produksi dan jasa yang berkorelasi langsung dengan BBM hampir dipastikan akan meroket biayanya. Sektor transportasi misalnya, jelas akan menaikkan tarif angkutan. Dengan demikian, biaya jasa transportasi yang murah meriah mungkin tinggal kenangan karena hampir semua moda transportasi baik darat, laut, maupun udara sarat bersentuhan dengan BBM.
Begitu pula dengan semua jenis industri yang menggunakan BBM sebagai penggerak produksinya, hampir dipastikan juga akan meningkat biaya produksinya. Pada gilirannya, output produksi tersebut, yakni komoditas yang dihasilkannya, juga akan meningkat harganya. Dengan demikian, biaya untuk membeli sandang sebagai output industri yang memakai BBM juga akan semakin meningkat tajam. Impian masyarakat kecil akan harga sandang yang murah mungkin tinggal kenangan belaka.
Pun dengan berbagai komoditas yang terkait (baik langsung maupun tidak langsung) dengan bahan bangunan, hampir dipastikan akan meningkat tajam. Nah, apabila bahan baku untuk membangun rumah saja meningkat, hampir bisa dipastikan harga rumah (tempat tinggal) akan semakin meningkat tajam. Dengan demikian, sami mawon alias sama saja, bahwa impian masyarakat kecil mendapatkan tempat tinggal (rumah) murah, juga tinggal impian belaka. Mereka akan gigit jari melihat begitu mahalnya harga rumah, akibat langsung dari kenaikan harga BBM ini. Pendek kata, kenaikan harga BBM akan membuat masyarakat kecil bertambah susah.
Mungkin, para tokoh dan cerdik pandai yang disponsori Freedom Institute tidak langsung terkena dampak kenaikan harga komoditas dan jasa tersebut. Dan, benar bahwa logika makroekonomi mengatakan bahwa subsidi BBM sebesar Rp 70 triliun bisa dialokasikan untuk membangun puskesmas dan sekolah. Namun ingat, hal yang paling mendasar sebenarnya yang perlu disentuh bahwa kehidupan masyarakat yang sudah miskin hendaknya tidak dibuat bertambah miskin akibat daya beli mereka yang semakin mengecil. Dengan demikian, persoalan pengurangan dan pengalihan subsidi tidaklah sesederhana itu.
Ekonomi yang semakin sehat memang perlu ditegakkan, termasuk pemberian subsidi yang tepat sasaran. Saya setuju bahwa lambat atau cepat, pengurangan subsidi BBM memang harus dikurangi karena tidak sehat. Selain itu, fenomena ini juga menyuburkan praktik penyelundupan dan juga pemborosan energi (BBM). Namun, isu yang mengemuka hendaknya tidak hanya sebatas kenaikan harga BBM, namun juga bagaimana upaya pemerintah untuk meredam gejolak harga yang demikian fantastis. Inilah pekerjaan rumah yang sudah membentang di depan kita.
Kita semua memang perlu belajar dari masa lampau. Jangan sampai kesalahan yang sama senantiasa berulang kembali. Bagaimana pengalihan subsidi sebesar Rp 70 triliun di atas bisa benar-benar membuat masyarakat miskin semakin berkurang seperti perhitungan LPEM UI. Rasa-rasanya, tidak cukup hanya dengan sekadar meningkatkan biaya kesehatan dan pendidikan. Masyarakat harus benar-benar diberdayakan dalam segala hal, terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itu saja kok, sangat sederhana.…
Susidarto Anggota Masyarakat Biasa yang Terpengaruh Kenaikan Harga BBM, Tinggal di Sleman, Yogyakarta

1 comment:

beatavallance said...

Gambling 101 - Casinos & Gambling in Columbus, OH
Casinos and gambling in Columbus, OH. Gambling & Casinos in Columbus, OH. Casino, 충청북도 출장샵 Casinos, Casino, 통영 출장샵 Gambling in Columbus, OH. Riverboat Casino. 성남 출장안마 Riverboat Casino. Riverboat Casino. 경상북도 출장샵 구리 출장안마 Riverboat Casino. Riverboat Casino. Riverboat Casino. Riverboat Casino. Riverboat