Friday, March 18, 2005

Thread debat BBM ala intelektual

Jumat, 18 Maret 2005



Kenaikan Harga BBM
Model LPEM dan Bukti Empiris Sebuah Tanggapan

Muhammad Chatib Basri

Saya amat menikmati tulisan yang disampaikan teman sekolah saya, Iman Sugema (IS), di Harian Kompas (17/3/2005). Dalam ilmu logika, bila seseorang mengemukakan sebuah penalaran yang salah dan ia sendiri tidak melihat kesalahannya, penalaran ini disebut paralogis. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari hal ini adalah memperdebatkannya sehingga kita bisa melihat kesalahan yang tidak kita lihat sebelumnya. Ada beberapa komentar saya mengenai tanggapan IS.
PERTAMA, ada kemajuan yang berarti dalam diskusi kebijakan publik kita. Saya sulit membayangkan dalam beberapa tahun lalu, bagaimana argumentasi akademik dari dasar pengambilan kebijakan didiskusikan secara terbuka. Baik studi Ihksan, Dartanto, Usman (LPEM) maupun Oktaviani, keduanya menggunakan basis akademik dalam mengambil kesimpulannya. Ini adalah kemajuan besar.
Mereka yang mempelajari ekonomi politik kebijakan di Indonesia tahu: proses ini nyaris absen dalam periode-periode sebelumnya. Sayangnya tulisan yang amat baik dari IS ditutup dengan kesimpulan soal ideologi dan etika yang mempertanyakan kredibilitas lembaga. Di sini saya kira IS terjebak pada kesesatan logika yang disebut argumentum ad hominem, di mana ketimbang mengkritik argumentasinya, yang dikritik justru kredibilitas orang atau lembaganya. Menyedihkan bila seorang akademisi terjebak dalam kesesatan logika ini.
Kedua, kedua penelitian ini dibangun di atas dasar teori dan hipotesa yang baik. Pertanyaannya: jika dua model mengenai soal yang sama datang dengan kesimpulan yang berbeda, maka mana yang paling mendekati "kebenaran relatif"?
Oktaviani menyatakan persentase penduduk miskin meningkat, sedangkan Ikhsan sebaliknya.
DALAM risalahnya yang berjudul The Methodology of Positive Economics, pemenang Nobel Ekonomi, Milton Friedman, menulis model ekonomi hanya dapat diterima jika ia konsisten dengan fakta atau bukti empiris. Lebih jauh ia berargumentasi: teori atau model tidak bisa disimpulkan benar hanya karena model itu konsisten dengan bukti empiris, namun teori atau model dapat dikatakan salah jika ia tidak konsisten dengan bukti empirisnya.
Sayangnya dampak dari kenaikan harga BBM tahun 2005 ini belum tersedia sehingga tidak dapat disimpulkan kebenaran model. Namun, kita dapat mempelajari pola sebelumnya. Kenaikan harga BBM pernah dilakukan Januari 2002 dan 2003. Oleh karena itu, kita dapat menguji arah prediksi model dengan ex post data (data yang sudah terjadi). Tentu besaran angkanya akan berbeda, namun polanya akan sama- karena kebijakannya sama.
Pada tahun 2002 dan 2003, pemerintah menaikkan harga BBM dengan tingkat rata-rata 54 persen dan 21 persen (rata-rata sederhana). Kenaikan harga BBM ini tentu akan menimbulkan inflasi, yang pada gilirannya akan menurunkan daya beli. Daya beli yang turun, bila tidak dikompensasi, akan meningkatkan kemiskinan. Oktaviani-dalam tabel yang ditayangkan Kompas (14/3/2005)- menunjukkan bahwa dampak inflasi "dengan" dan "tanpa" kompensasi adalah 2,97 persen dan 3,02 persen.
LPEM menunjukkan dampak inflasinya adalah 0,7 persen sampai 1,2 persen. Bank Dunia memperkirakan dampaknya 1,2 persen sampai 2,2 persen. SMERU setelah saya konfirmasi tidak melakukan studi ini. Yang ada hanyalah studi tentang penggunaan dana kompensasi. Sudarno Sumarto dari SMERU kebetulan adalah partner diskusi LPEM dalam studi ini.
Sekarang mari kita lihat data empirisnya: inflasi bulan Januari 2002 adalah 1,99 persen, Februari 1,5 persen, dan Maret -0,02 persen. Bagaimana dengan 2003?
Inflasi bulan Januari 2003 adalah 0,8 persen, Februari 0,2 persen, dan Maret -0,23 persen. Artinya, inflasi meningkat pada bulan ketika harga BBM dinaikkan, dan kemudian mengalami penurunan-bahkan deflasi-pada dua bulan setelahnya. Angka itu juga bicara bahwa inflasi yang terjadi relatif rendah.
SAYA kira ketiga model di atas memiliki arah yang konsisten dengan bukti empiris (walau Oktaviani muncul dengan angka yang jauh lebih tinggi dari data empiris, di mana mencapai tiga persen setelah kompensasi). Bagaimana dengan dampaknya pada kemiskinan?
Oktaviani, seperti dikutip Kompas (14/3/2005), menunjukkan, walau telah dilakukan penyaluran dana kompensasi dengan asumsi itu efektif, tepat sasaran, dan tidak mengalami kebocoran, tetap tak akan mengurangi rakyat miskin. Bahkan, daya beli masyarakat tetap menurun karena inflasinya lebih besar dari kenaikan pendapatan. Sebaliknya Ikhsan berargumentasi bahwa persentase penduduk miskin akan meningkat karena adanya kenaikan harga BBM, namun akan menurun jika diberikan dana kompensasi.
Bagaimana bukti empirisnya? Tingkat kemiskinan menurut BPS adalah 18,2 persen (2002), 17,4 persen (2003), dan 16,6 persen (2004). Artinya, tingkat kemiskinan terus mengalami penurunan-walaupun pada tahun-tahun itu pemerintah menaikkan harga BBM sebesar rata-rata 54 persen dan 21 persen, serta memberikan dana kompensasi.
Di sini ada konsistensi antara arah prediksi model LPEM dan data empirisnya. Sebaliknya, arah prediksi Oktaviani bertentangan dengan bukti empiris. Jika kita kembali kepada metodologi Friedman tadi, kita bisa melihat: ada kemungkinan model LPEM benar, tetapi tidak ada bukti empiris bahwa model Oktaviani benar.
Amat naif bila menyimpulkan bahwa model LPEM pasti benar, alasannya penurunan kemiskinan pada tahun 2002-2004 mungkin disebabkan oleh hal-hal lain di luar dana kompensasi, misalnya pertumbuhan ekonomi atau peningkatan upah riil. Artinya, model LPEM punya probabilitas untuk benar, sekaligus juga salah.
Namun, yang jelas: tidak ada bukti empiris yang mendukung model Oktaviani. Dengan cara berpikir metodologis ini kita bisa meletakkan penilaian kita lebih tenang, dingin proporsional, dan menghindari kesesatan argumentum ad hominem yang dilakukan IS.
Ketiga, IS mengkritik model Ikhsan, Dartanto, dan Usman karena menggunakan dua model independen secara bertahap, yaitu model CGE dan model sistem persamaan permintaan/pengeluaran rumah tangga. Menurut IS, pendekatan seperti ini kurang lazim. Saya kira IS perlu mempelajari lebih hati-hati literatur tentang ini. Studi paling depan dalam model kemiskinan yang dilakukan oleh Francois Bourgoignon, Anne-Sophie Robilliard, dan Sherman Robinson justru menggunakan metode dua tahap yang disebut micro-macro model simulation.
Di sini digunakan CGE untuk makro, kemudian dampaknya pada kemiskinan menggunakan micro-simulation. Metode dua tahap justru digunakan untuk mengatasi dua kelemahan metode satu tahap: pertama, CGE lebih memfokuskan diri pada angka aggregat sektoral (output, upah, tenaga kerja) dan memiliki keterbatasan dalam deskripsi rinci penduduk miskin, seperti dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional.
Kedua, dalam model satu tahap ada banyak asumsi eksogen yang harus dibuat untuk kelompok rumah tangga, yang tak konsisten dengan bukti historis. Saya kira justru di sinilah alasan mengapa studi Ikhsan cs konsisten dengan bukti empiris di masa lalu.
Keempat, saya terkejut membaca argumen IS yang menyatakan bahwa Ikhsan hanya menghitung dampak pendapatan. Jika IS memahami konsep compensating variation (CV) dengan benar, maka selama tingkat kepuasan (utility) awal dapat dikembalikan ke posisi sebelum kenaikan harga BBM melalui kompensasi, tidak ada masalah. Perbedaan bundel konsumsi pada tingkat kepuasan awal tidak akan mengubah tingkat kepuasan. Sebagai ekonom, saya kira IS harus memahami teori dasar ini dengan baik.
Lepas dari hal-hal itu, ada dua hal penting yang dinyatakan dengan sangat baik oleh IS. Pertama, jika efek jangka pendek dari reaksi masyarakat mengalami overshooting, dampaknya pada penduduk miskin akan jauh lebih parah daripada yang diperkirakan model. Saya kira ini benar dan kita harus berhati-hati dengan kemungkinan ini, walau ini hanya terjadi dalam jangka pendek.
Kedua, soal efektivitas dana kompensasi. Saya kira di sinilah persoalan kita. Itu sebabnya isu yang seharusnya diangkat adalah bagaimana mengawasi dana kompensasi sehingga tepat sasaran di tengah korupsi yang masif ini. Pengawasan tak bisa diserahkan kepada pemerintah. Pengawasan harus dilakukan oleh masyarakat, mahasiswa, LSM, dan DPR. Di sini kita harus melangkah bersama. Akhirnya, saya sangat menikmati perdebatan dengan IS.
M Chatib Basri Direktur Riset LPEM-FEUI



Kamis, 17 Maret 2005



Benarkah Kajian yang Dibuat LPEM?

Iman Sugema

SAYA merasa lega dan excited ketika bangun pagi mendapati tulisan Mohamad Ikhsan (setelah ini saya singkat dengan inisial MI) tentang "Kajian LPEM soal Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan" dimuat di Kompas (16/3/2005). Terlebih dahulu saya ucapkan selamat kepada LPEM-FEUI yang telah secara terbuka mengungkapkan kajian mereka kepada publik setelah lama ditunggu-tunggu. Terus terang inilah rujukan tertulis pertama yang disampaikan kepada publik oleh LPEM-FEUI.
Sebelumnya saya telah berusaha mencari dokumen laporan hasil penelitian tersebut secara langsung kepada MI. Seminggu yang lalu lewat pembicaraan telepon, MI menjelaskan kepada saya tentang "kajian" tersebut, dari mulai dasar teori, model, data yang digunakan, sampai hasil akhirnya. Apa yang dia ungkapkan kurang lebih sama dengan yang termuat di harian Kompas, tak lebih dan tak kurang.
Tulisan di Kompas dan tiga buah tabel yang dikirimkan MI kepada saya akan saya jadikan satu-satunya sumber "resmi" yang dikeluarkan oleh LPEM. Waktu itu saya sempat meminta laporan penelitian akhir dalam bentuk soft atau hard copy untuk sekadar mencari tahu apa sebetulnya isi penelitian tersebut. Tentu dari situ kita bisa mengevaluasi kenapa teman-teman di LPEM-FEUI berkesimpulan bahwa kebijakan harga BBM dan kompensasi akan bersifat welfare improving.
Terus terang, sebagai akademisi, kesimpulan tersebut sangat menarik karena cukup berbeda dengan kesimpulan dari lembaga-lembaga lainnya seperti Smeru, Brighten Institute, dan INDEF sendiri.
Saya sendiri tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membaca laporan tersebut karena MI sendiri menegaskan bahwa laporan tersebut belum ditulis dalam bentuk apa pun. Yang ada hanya tabulasi seperti yang saya peroleh melalui e-mail. Oleh karena itu, pemahaman saya terhadap riset tersebut terbatas pada tiga sumber: tulisan di Kompas, tabel, dan pembicaraan telepon.
Untuk itu saya mohon maaf kepada pembaca Kompas karena saya belum bisa memberikan ulasan yang lengkap dan mendasar terhadap riset yang dilakukan lembaga penelitian ekonomi tertua di Indonesia tersebut. Informasi yang tersedia masih relatif sangat terbatas. Untuk sekarang, saya akan membahasnya dari dua sisi saja, modelling dan asumsi dasar.
Model
Dari tulisan di Kompas jelas bahwa MI menggunakan dua model independen secara bertahap, yaitu model CGE dan model sistem persamaan permintaan/pengeluaran rumah tangga. Dikatakan independen karena satu dan lainnya masing-masing berbeda dan tidak diintegrasikan dalam satu model secara utuh.
Model CGE hanya digunakan untuk mengestimasi dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi. Dari hasil simulasi ini diperoleh informasi mengenai pergerakan harga barang-barang lainnya dan kemudian informasi ini dipakai untuk mengestimasi dampaknya terhadap pola konsumsi. Karena harga-harga meningkat, konsumsi secara umum akan turun dan begitu pun kesejahteraan masyarakat. Tingkat kemiskinan kemudian meningkat menjadi 16,5 persen. Namun, setelah dilakukan kompensasi raskin plus SPP, kemiskinan turun menjadi 13,7 persen. Artinya, program kompensasi bersifat welfare improving.
Pendekatan pemodelan bertahap seperti ini terus terang kurang lazim. Biasanya dalam model CGE, secara otomatis informasi mengenai dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan bisa dihitung secara langsung. Dengan menggunakan model CGE, Rina Oktaviani, staf pengajar di Departemen Ekonomi FEM-IPB, mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang dampak kenaikan harga BBM dan kompensasi.
Kesimpulan akhirnya adalah bahwa kalaupun kompensasi tersebut efektif seratus persen, tetap saja tingkat kemiskinan tidak berkurang. Dampak negatif kenaikan harga BBM masih jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak positif kompensasi. Kenaikan harga BBM menyebabkan aktivitas perekonomian menurun secara umum dan upah riil unskilled labor menurun secara drastis. Kita tahu bahwa orang miskin pada umumnya masuk ke kategori pekerja yang tidak terampil. Artinya, kenaikan harga BBM tidak hanya menyebabkan semakin besarnya kemiskinan, tetapi juga memperlebar disparitas pendapatan antara pekerja terampil dan tidak terampil. Inilah yang tidak tampak dan tidak dielaborasi lebih lanjut oleh LPEM.
Saya kira hanya ada dua kemungkinan mengapa LPEM melakukan pendekatan yang tidak lazim tersebut.
Pertama, modelnya sudah outdated sehingga tidak memungkinkan dilakukannya simulasi yang lengkap dan komprehensif. Kalau ini yang terjadi, publik sangat berhak untuk melakukan pengujian terhadap model tersebut. Publik harus tahu bahwa model yang digunakan sebagai pijakan bagi kebijakan pemerintah adalah model yang terbaik dan bisa dipercaya output-nya.
Kedua, mungkin model CGE LPEM menghasilkan kesimpulan yang "tidak diharapkan" oleh para peneliti dan pemesannya. Kemungkinan ini bisa terjadi manakala kesimpulan akhirnya mirip (walaupun tidak sama betul) dengan hasil simulasi oleh Rina Oktaviani, yang saya sebutkan di atas. Kalau ini yang terjadi, yang menjadi masalah adalah ideologi dan etika. Untuk hal ini, saya serahkan saja kepada publik untuk menilainya.
Kelemahan lainnya adalah ketidakjelasan dalam estimasi dampak terhadap inflasi dan kemiskinan. Hal ini karena dalam artikelnya, MI hanya memaparkan penjelasan "logis": inflasi meningkat, kemiskinan meningkat, dan kompensasi menurunkan kemiskinan.
Kalau benar model yang digunakan adalah sistem persamaan permintaan, maka harus dibedakan dua hal: efek substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi terjadi karena masyarakat mengubah pola konsumsinya-sebagai contoh adalah konsumsi beras diganti dengan jagung dan gaplek. Informasi ini sangat penting karena menyangkut status gizi orang miskin yang dalam jangka panjang akan memengaruhi produktivitas. Efek pendapatan adalah naik turunnya konsumsi akibat perubahan dalam pendapatan riil. Tampaknya, dalam tabel dan tulisan di Kompas, MI terkesan hanya memperhitungkan efek pendapatan. Kalau ada efek substitusinya, saya harapkan hal ini dibahas secara detail.
Model CGE LPEM juga tidak bisa membedakan efek jangka panjang dan jangka pendek. Model ini cukup problematik karena hanya memperhitungkan perpindahan dari satu keseimbangan (tanpa kebijakan) ke keseimbangan baru (dengan kebijakan). Tak ada kejelasan bagaimana sebetulnya proses perpindahan tersebut.
Proses tersebut sangat penting karena kemungkinan efek jangka pendeknya akan underestimated. Kalau efek jangka pendeknya mengalami overshooting, jelas bahwa dampaknya terhadap orang miskin akan lebih parah daripada yang diperkirakan oleh model.
Asumsi dasar
Dalam melakukan simulasi kebijakan, seorang pemodel selalu dihadapkan pada persoalan bahwa model yang dibangunnya hanyalah merepresentasikan sebagian kecil fenomena ekonomi yang terjadi sesungguhnya di masyarakat. Model sangatlah bersifat mekanis, sedangkan masyarakat bersifat dinamis dan agak sulit diprediksi. Oleh karena itu, sering dilakukan analisis skenario: worst case dan best case. Dari tabel melalui e-mail, saya mendapatkan kesan bahwa hal ini tidak pernah dilakukan LPEM.
Kita coba lihat kenyataannya. Dari hasil Susenas akan tampak bahwa penerima raskin ternyata hanya 25 persen tergolong orang miskin. Jumlah beras yang diterima mereka bukan 20 kilogram per keluarga, tetapi hanya lima kilogram. Harga yang harus dibayar bukan Rp 1.000 per kilogram, tetapi sekitar Rp 1.140 per kilogram. Artinya, tingkat efektivitas penyaluran raskin hanya kurang lebih 6 persen. Apakah lazim kalau kita mengasumsikan tingkat efektivitas 100 persen?
Dari makalah presentasi Menko Perekonomian terlihat bahwa angka yang digunakan adalah berdasarkan tingkat efektivitas 100 persen. Ini berarti telah terjadi kesalahan persepsi di kalangan pengambil kebijakan bahwa skema kompensasi betul-betul mengangkat orang miskin. Kesalahannya sederhana: Pak Menteri mendapatkan angka yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Ulasan di atas hanya merepresentasikan keresahan saya mengenai proses pengambilan keputusan yang sama sekali tidak hati-hati. Untuk itu saya mengundang publik untuk melakukan diskusi terbuka antarlembaga riset.
Iman Sugema Direktur INDEF



Rabu, 16 Maret 2005



Kajian LPEM soal Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan

Mohamad Ikhsan

SEBAGAI bagian dari tanggung jawab kepada publik, kami ingin menjelaskan bagaimana metodologi perhitungan dampak kemiskinan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak.
Penelitian ini dimulai sejak tahun 2000 hingga 2003 pada saat Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) diminta baik oleh Kantor Menteri Koordinator Perekonomian dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyiapkan kajian tentang dampak makro bahan bakar minyak (BBM). Kajian dimulai dari sekadar analisis sangat sederhana dengan melihat perbedaan harga domestik dan luar negeri dan distribusi penerima subsidi BBM. Metodologi ini kami sempurnakan setelah mendapatkan feedback dari pertanyaan di daerah saat kami melakukan sosialisasi, termasuk dalam melihat dampaknya terhadap rumah tangga, khususnya rumah tangga miskin.
Bagaimana dampak pada kemiskinan dihitung?
Dalam melakukan analisis ini kami menggunakan baik pendekatan computable general equilibrium (CGE) maupun pendekatan sistem permintaan yang dikembangkan oleh Prof Angus Deaton dari Princeton University. Sumber data yang digunakan sepenuhnya berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) yang menjadi dasar perhitungan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Dampak harga baik secara langsung maupun tidak langsung digunakan hasil dari model CGE sehingga sudah memperhitungkan dampak tambahan inflasi akibat kenaikan harga BBM. Dengan menggunakan elastisitas permintaan yang diestimasi secara terpisah, hasil perhitungan dampak harga ini kemudian dimasukkan dalam suatu sistem persamaan yang merupakan hasil optimasi konsumen dalam memaksimumkan tingkat kesejahteraan dengan kendala anggaran. Kenaikan harga tentu akan mengakibatkan penurunan daya beli. Dampak ini sangat bervariasi tergantung pola konsumsi dan sensitivitas dari harga masing-masing komoditas terhadap kenaikan harga BBM.
Secara keseluruhan, kita lihat beban kenaikan harga BBM hingga tingkat pendapatan menengah atas cenderung meningkat lebih dari proporsional dan menurun lagi-walaupun masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok 40 persen terbawah. Hal ini sejalan dengan kenaikan porsi pengeluaran BBM terhadap total pendapatan. Secara logis kemudian, tingkat kemiskinan meningkat, yaitu dari 16,2 persen menjadi 16,5 persen. Simulasi kami menunjukkan peningkatan indeks kemiskinan yang terjadi untuk tahun 2005 lebih kecil daripada tahun 2002 atau 2003 (pada saat kenaikan dibatalkan) karena kenaikan harga kali ini tidak diikuti dengan kenaikan harga listrik.
Tingkat kemiskinan kemudian mengalami penurunan tatkala kelompok termiskin mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar dari kebutuhan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama. Hal itu seperti sebelum kenaikan harga BBM, yaitu dari 16,2 persen menjadi 13,7 persen. Pendekatan ini dalam teori ekonomi mikro dikenalkan dengan pendekatan Compensating Variation.
Tanpa menggunakan model sekalipun kita bisa menghitung dampak kemiskinan secara logis.
Kita ambil rumah tangga yang pengeluarannya sama dengan garis kemiskinan. Berdasarkan Susenas 2002, garis kemiskinan rata-rata sekitar Rp 114.000 per kapita per bulan. Untuk mendapatkan nilai garis kemiskinan tahun 2005, kita hitung dengan akumulasi inflasi selama tiga tahun, yaitu 6 persen per tahun. Perhitungan ini menghasilkan garis kemiskinan baru sebesar Rp 135.000 per kapita per bulan.
Supaya aman dengan memperhitungkan dampak inflasi tambahan, kita mark-up garis kemiskinan setelah harga BBM dinaikkan saja menjadi Rp 150.000 per kapita per bulan, atau kira-kira Rp 650.000 per keluarga per bulan. Kenaikan harga BBM nonminyak tanah sebetulnya hanya meningkatkan biaya per rumah tangga hanya Rp 6.500 per bulan. Apabila biaya transportasi diperhitungkan lagi, total pengeluaran meningkat sekitar Rp 12.000 per bulan per keluarga.
Lalu karena keluarga ini mendapatkan beras untuk keluarga miskin (raskin) 20 kilogram dan membayar hanya Rp 1.000 per kilogram, keluarga ini secara implisit mendapat transfer sebesar 20 x (Rp 2.800 - Rp 1.000) = Rp 36.000 per bulan. Kalaupun beras yang diterima hanya 10 kilogram, transfer yang diterima adalah Rp 18.000 per bulan dan jumlahnya masih lebih besar dari kenaikan biaya tersebut.
Dengan menggunakan raskin saja, keluarga ini telah overcompensated (kompensasi yang lebih besar). Apalagi kalau ditambahkan dengan kompensasi pendidikan yang berkisar Rp 25.000 hingga Rp 160.000 per bulan dan tabungan pengeluaran kesehatan, karena berdasarkan Susenas 2002 dan di-mark up untuk tahun 2005 kira-kira sekitar Rp 20.000 per bulan per keluarga. Harap dicatat pula simulasi di atas hanya memperhitungkan kompensasi beras plus SPP (hanya kira-kira sepertiga dari subsidi pendidikan yang direncanakan).
Jelaslah kemudian akibat transfer yang diperoleh kenaikan harga BBM tadi, pendapatan keluarga miskin mengalami kenaikan dan mendorong mereka keluar dari garis kemiskinan. Mengingat jarak rata-rata pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan (poverty gap) di Indonesia tidak terlalu besar- karena mayoritas pendapatan mereka berada di sekitar garis kemiskinan-maka akan banyak keluarga miskin yang bisa terangkat.
Akan tetapi, bukan berarti tidak ada keluarga yang mengalami turun status menjadi miskin akibat kenaikan harga BBM ini karena rumah tangga ini tidak eligible, atau bisa dipilih untuk mendapatkan kompensasi. Ingat simulasi menunjukkan indeks kemiskinan meningkat hampir 0,5 persen atau 1 juta rumah tangga yang berubah menjadi miskin. Namun, secara netto jumlah yang terangkat lebih besar dibandingkan dengan yang mengalami penurunan statusnya.
Siapa yang dimenangkan dan dikalahkan akibat kebijakan ini?
Kami juga melakukan simulasi untuk melihat dampak distribusi pendapatan subsidi BBM. Secara logis mengingat distribusi subsidi BBM lebih banyak dinikmati kelompok keluarga mampu, sehingga pencabutan subsidi akan memperbaiki distribusi pendapatan, tetapi meningkatkan kemiskinan. Pencabutan subsidi dengan kompensasi akan memperbaiki distribusi pendapatan, sekaligus penurunan tingkat kemiskinan.
Yang paling dimenangkan dari kebijakan ini adalah rumah tangga miskin yang mendapatkan kompensasi dan yang paling dirugikan sebetulnya kelompok pendapatan menengah, yaitu kelompok kelas pendapatan 40 persen sampai 60 persen teratas. Kalau mereka membayar pajak pendapatan rumah tangga ini sebetulnya sudah terkompensasi dengan kenaikan pendapatan tidak kena pajak sebesar 300 persen sejak Januari 2005.
Yang sebetulnya memerlukan tambahan proteksi adalah rumah tangga yang sebelum kebijakan ini diberlakukan tergolong nyaris miskin, terutama di daerah perkotaan. LPEM sejak awal meminta agar coverage raskin diperluas bukan hanya mencakup rumah tangga miskin berdasarkan kriteria BPS, tetapi rumah tangga di atasnya. Kalau kita khawatir akan dikorupsi oleh aparat pemerintah, serahkan ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melakukannya.
Beberapa LSM telah melakukan profesi ini menyalurkan beras dari WFP dengan baik. Penambahan volume untuk mendapatkan beras akibat perluasan cakupan ini akan mengangkat harga gabah dan akan membantu menggiatkan ekonomi pedesaan. Sayang kemudian saran ini kalah dengan program-program lain di luar pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur pedesaan. Akan tetapi, masih mungkin berubah karena yang dikemukakan selama ini adalah hanya usulan pemerintah. DPR masih mungkin mengubahnya.
Isunya sebetulnya bagaimana memastikan agar program kompensasi ini sampai ke sasaran. Jika tidak, kelompok miskinlah yang akan menjadi korban.
Mohamad Ikhsan Kepala LPEM Universitas Indonesia

No comments: