Sunday, November 07, 2004

Menanti program 100 hari bidang ekonomi

Bisnis Indonesia/8 Nov 04

Masyarakat sudah terlanjur terperangkap dan terlena dengan semboyan 100 hari program pemerintah. Bahkan pemerintah mengenalkan istilah terapi kejut yang semakin mengeskalasi harapan masyarakat kepada pemerintah yang baru.
Tetapi hingga saat ini masyarakat belum melihat secara nyata dan lengkap program 100 hari dalam bidang ekonomi. Sejak kabinet ini dilantik, belum ada pertemuan lengkap para Menteri bidang ekonomi guna mempublikasikan program 100 harinya.
Program ini sebenarnya ditunggu-tunggu oleh masyarakat guna mengundang partisipasi masyarakat dan dunia usaha. Yang banyak disodorkan justru road map yang dibuat oleh Kadin.
Saya tidak berburuk sangka kepada Kadin, tetapi tentu jika road map ini yang begitu saja diambil alih pemerintah, maka hal itu akan menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat. Kesan kuat yang akan timbul, pemerintah didikte oleh Kadin, apalagi mantan bos Kadin Aburizal Bakrie sekarang menjadi dirigen ekonomi sebagai Menko Perekonomian.
Pertanyaannya mana yang asli buatan Pemerintahan SBY dan tentu masukan dari Kadin sangat berharga, tetapi tidak begitu saja dijiplak dan diambil alih sebagai program pemerintah.
Secara obyektif memang ada hal-hal yang menyebabkan energi pemerintahan ini, bahkan sampai Presiden banyak terserap tenaganya untuk menghadapi kelompok anggota DPR yang bersatu dalam Koalisi Kebangsaan plus PKB.
Hubungan pemerintah dengan kelompok ini yang jumlahnya justeru mayoritas di DPR, berjalan alot di tengah-tengah konstelasi DPR yang terbelah antara Koalisi Kebangsaan dengan Koalisi Kerakyatan.
Yang lebih rumit, kubu-kubu ini tidak dapat dikatakan sebagai partai pemerintah dan partai oposisi, merekapun tidak mau menyatakan demikian. Mudah-mudahan hubungan sebagian besar anggota dewan dengan pemerintah yang jauh dari serasi ini hanya bersifat sementara, bagaikan permainan bola masih dalam tahap pemanasan.
Masing-masing pihak masih mencari format dan mencari konsensus baru dalam bentuk kompromi yang memang tidak dapat dihindarkan dalam dunia politik.
Agenda 100 hari
Tentu agenda 100 hari dalam bidang ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan bidang-bidang lainnya, misalnya dalam penegakan hukum dan masalah sosial yang sensitif, seperti TKI.
Dalam masalah TKI, sudah ada langkah konkret dari pihak pemerintah dengan Malaysia dan sudah ada kemajuan yang dicapai berupa perpanjangan masa amnesti.
Tapi dalam bidang ekonomi, kemajuan apa yang sudah dilihat oleh masyarakat, praktis belum ada.
Tentu dalam 100 hari, tidak diharapkan kenaikan harga BBM yang akan menaikkan harga-harga kebutuhan pokok dan biaya transportasi.
Tetapi sampai kapan pemerintah dapat menunda kenaikan harga BBM ini, sulit dijawab, apalagi dalam kondisi fiskal kita yang rawan.
Dalam hal kenaikan BBM, juga ada pernyataan diantara pejabat pemerintah yang berseberangan, Presiden SBY dan Ketua Bappenas seakan-akan mengisyaratkan tidak ada kenaikan BBM.
Pernyataan ini juga tidak jelas, apakah dalam jangka pendek ini ataukah seterusnya. Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pertemuan berbuka puasa di Bank Indonesia beberapa waktu lalu mengisyaratkan akan adanya kenaikan BBM.
Demikian pula Menteri Keuangan dalam pernyataannya belum lama berselang mengisyaratkan akan ada kenaikan BBM. Menteri Pertambangan dan Energi tidak berbicara soal ini dan banyak berdiam diri.
Sebaiknya masalah BBM dituntaskan dalam sidang kabinet, naik atau tidak. Jika naik, kapan akan dilakukan, dan diumumkan ancer-ancer besar kenaikannya, supaya bisnis dapat melakukan kalkulasi biaya produksinya.
Pemerintah juga akan melaksanakan pengampunan pajak dan tentu amnesti pajak ini harus mendapat persetujuan DPR. Jika hal ini telah merupakan keputusan yang bulat pemerintah, umumkan kepada masyarakat formula amnesti ini, prosedur, serta waktunya.
Tentu juga penting disampaikan kepada masyarakat pertimbangan yang mendorong amnesti pajak, termasuk kenaikan penerimaan negara yang diharapkan dari amnesti ini.
Jika hal ini telah dapat disampaikan kepada DPR, tentu akan menaikkan nilai plus bagi pemerintah. Jika DPR mengulur-ulur waktu pembahasan atau bersikap pasif, maka masyarakat termasuk dunia usaha akan mempersoalkan fungsi anggota DPR.
Terdengar pula secara sporadis berbagai instansi pemerintah, seperti Departemen Perdagangan, Bappenas, dan Departemen Keuangan akan menggelar program deregulasi besar-besaran.
Tetapi sayangnya deregulasi ini tidak dibungkus dalam suatu program yang menyeluruh supaya sifatnya tidak sporadis. Lagi-lagi jika pemerintah telah betul-betul siap dalam bidang ini, Menko Perekonomian harus tampil ke depan untuk mengumumkan agenda penting ini kepada masyarakat.
Dunia usaha dan masyarakat pada umumnya, pasti akan menyambut gembira program deregulasi ini. Dan kita tidak perlu menjadi reaktif dan terlalu sensitif jika ada yang mengecam sebagai bentuk neo-liberalisme, yang sebenarnya merupakan sekadar jargon politik.
Deregulasi ini penting dan seharusnya mencakup bidang-bidang yang dapat mendorong investasi serta menggiatkan dunia usaha agar sektor riil bergerak lebih cepat.
Perizinan dalam bidang pertanahan, perizinan dalam dunia usaha, dan perizinan dalam bidang konstruksi, tentu masih banyak yang dapat dipangkas. Tidak ada salahnya hak dalam bidang pertanahan dapat lebih diperlonggar seperti yang terjadi di China dan tidak perlu dibedakan antara warga negara Indonesia dan warga negara asing.
Rezim PMA dan PMDN harus segera diakhiri, integrasikan PMA dan PMDN. Yang penting investasi dapat kita dorong habis-habisan untuk menciptakan lapangan kerja yang sungguh sangat mendesak. Berikan keleluasan kepada daerah untuk mengeluarkan perizinan, tentu Jakarta harus memantau agar otonomi dalam pemberian izin tepat sasaran.
Deregulasi
Deregulasi juga penting dalam bidang ekspor dan impor, termasuk yang menyangkut masalah kepabeanan yang merupakan kewenangan Ditjen Bea dan Cukai.
Dalam bidang pembayaran pajak pasti ada ruang bagi deregulasi dan ini dapat dilakukan sebagai uang muka reformasi perpajakan yang harus memperoleh persetujuan DPR.
Deregulasi juga harus digelar di daerah-daerah, tidak sedikit peraturan daerah yang tumpang tindih yang menghambat investasi dan transaksi bisnis.
Mengenai deregulasi di daerah, tentu Bappenas dapat berperan bersama Bappeda-Bappeda di daerah agar terkoordinasi dan aktifitas ini tidak menyalahi semangat otonomi. Berbagai tata niaga yang akhir-akhir ini sangat gencar dilakukan oleh Departemen Perindustrian, Perdagangan serta Pertanian harus dilihat kembali.
Tata niaga-tata niaga semacam ini tidak haram hukumnya, tetapi harus dikaji apakah benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Jangan sampai tata-niaga-tata niaga hanya menguntungkan segelintir usahawan dan memperluas kekuasaan para birokrat. Setiap regulasi mempunyai potensi untuk menambah korupsi dan menambah biaya bagi dunia usaha dan masyarakat.
Dalam bidang penerimaan negara yang sungguh sangat vital, Menteri Keuangan dan jajaran Menteri Perekonomian, harus menyampaikan programnya tentang upaya yang rinci dalam meningkatkan penerimaan negara.
Bagaimana caranya penerimaan pajak dapat ditingkatkan tetapi jangan sampai membunuh dunia usaha. Bagaikan ayam yang kita ambil sebagian telurnya dan jangan sampai induk ayamnya yang dibunuh. Dan telurnyapun tidak boleh diambil semua, lalu kita makan, karena sebagian telur harus ditetaskan.
Restitusi pajak
Yang juga menjadi keluhan dari dunia usaha adalah mengenai pengurusan restitusi pajak yang sebenanya merupakan hak dari pembayar pajak. Upaya peningkatan pajak dengan memperhatikan kesinambungan dunia usaha dan asas keadilan patut ditopang. Tetapi dipihak lain, pengawasan masyarakat tentang pengumpulan dan penggunaan pajak yang mereka bayar harus harus ditingkatkan pula.
Masih tentang penerimaan pajak, perlu dijajaki secara serius, apakah sistem pajak pertambahan nilai perlu terus dipertahankan. Sistem PPN penuh dengan kerawanan-kerawanan dalam bidang posedur dan restitusi.
Jika mau sederhana, ambil saja sistem pengenaan pajak atas barang dan jasa, good and service tax (GST). Jika diambil GST sebesar 5%, pasti penerimaan pajak akan meningkat sekitar Rp37 triliun dibandingkan dengan target PPN saat ini. Sistem ini diterapkan di Singapura, Jepang dan Australia.
Jika dikonsultasikan dengan IMF, saya kira mereka tidak setuju diterapkannya sistem ini dan alasannya kira-kira lebih banyak negara yang menggunakan sistem PPN. Pendapat dari IMF perlu dipertimbangkan, tetapi kita jangan membeo kepada IMF.
Kita harus menggunakan sistem yang paling cocok untuk negeri ini, dan PPN yang didasarkan atas faktur pajak memerlukan administrasi yang berbeli-belit. Apalagi wilayah Indonesia begitu luas sehingga faktur pajak harus dikonfirmasikan dari satu daerah ke daerah lain, sungguh tidak cocok bagi keadaan Indonesia.
Demikianlah saran program 100 hari bidang ekonomi yang tentu pihak pemerintah lebih tahu dan sampaikan secepatnya kepada masyarakat secara terkoordinasi.
Oleh Mar'ie Muhammad Mantan Menteri Keuangan

No comments: