Thursday, April 15, 2010

Seminar Radio 2.0: Radio Harus Berubah demi Raup Iklan

Selasa, 13/04/2010 14:18 WIB
Seminar Radio 2.0
Radio Harus Berubah demi Raup Iklan
Tya Eka Yulianti - detikinet



ilustrasi (inet)
 
Jakarta - Siaran radio tidak bisa lagi bertahan pada posisi konvensional seperti saat ini. Agar tak kehilangan kue iklan, radio pun harus berubah.

Demikian salah satu topik diskusi yang mencuat dalam Seminar Nasional Inovasi Teknologi dan Bisnis Radio 2.0 di Aula Barat ITB, Jalan Ganesha No 10 Bandung, Selasa (12/4/2010). Dalama cara itu terungkap bahwa belanja iklan di radio hanya 1,2 persen dari total belanja iklan media pada 2009.

Menurut Eddy Satriya, Asisten Deputi Telematika dan Utilitas, Menko Perekonomian, radio sebenarnya memiliki potensi besar untuk memperoleh pendapatan lebih banyak. "Program radio harus digarap lebih kreatif dan menghadirkan inovasi, karena potensinya besar," tambahnya.

Untuk menarik pengiklan, ujarnya, industri radio juga harus mau mengikuti perkembangan TIK yang ada, misalnya dengan membuat radio streaming. "Penyesuaian TIK juga perlu dilakukan agar tidak ketinggalan jaman. Tapi memang prosesnya bertahap," jelasnya.

Peluang peningkatan belanja media radio dikatakan Eddy, saat ini berpeluang besar karena adanya kecenderungan masyarakat mulai jenuh dengan televisi. "Kalau penggarapan program dan teknologi dikombinasikan, belanja radio pasti akan meningkat, bahkan saya optimis meningkat hingga 15 persen," tutupnya.

( wsh / wsh ) 
http://www.detikinet.com/read/2010/04/13/141810/1337397/398/radio-harus-berubah-demi-raup-iklan  

Saturday, February 14, 2009

KOMPAS Cetak : Indonesia-Jepang Finalisasi Kontrak LNG

KOMPAS Cetak : Indonesia-Jepang Finalisasi Kontrak LNG

Indonesia-Jepang Finalisasi Kontrak LNG
Sabtu, 14 Februari 2009 | 01:45 WIB

Jakarta, Kompas - Indonesia dan Jepang melakukan finalisasi kontrak perpanjangan jual beli gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dari Kilang Bontang. Kesepakatan awal ditandatangani di Osaka, Jepang, Jumat (13/2).

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas R Priyono dalam siaran persnya menyebutkan bahwa kesepakatan ditandatangani oleh Pertamina–Total Indonesie dan Inpex Corporation, sebagai pengelola Kilang Bontang dan produsen gas, dengan enam perusahaan Jepang.

Keenam pembeli gas itu adalah Chubu Eelctric, Kansai Electric, Kyushu Eelctric, Nippon Steel, Osaka Gas, dan Toho Gas.

Kontrak penjualan akan berlaku selama 10 tahun, antara tahun 2011 dan 2020. Total volume LNG yang terkontrak 25 juta ton, dan akan disuplai dari Kilang Bontang. Gas akan diambil dari Blok Mahakam yang dioperasikan oleh Total E&P Indonesie.

Kebutuhan meningkat

Indonesia mulai mengekspor LNG ke Jepang tahun 1978 dan 1981 yang bersumber dari Kilang Arun dan Kilang Bontang. Kontrak ekspor LNG tersebut akan habis tahun 2010 dan 2011.

Oleh karena kebutuhan gas di dalam negeri meningkat, pemerintah telah memutuskan mengurangi ekspor LNG dari Bontang ke Jepang, dari rata-rata 12 juta ton per tahun menjadi 3 juta ton dan 2 juta ton per tahun.

Indonesia dan Jepang telah menyepakati perbaikan formula harga jual gas dan pengurangan volume gas yang terkontrak pada April 2008.

Rinciannya, 3 juta ton per tahun untuk periode 2011 sampai 2015 dan 2 juta ton per tahun untuk periode 2016 sampai 2020.

Menurut Priyono, dengan harga jual LNG yang lebih tinggi dibandingkan harga jual sebelumnya, akan membantu pencapaian tingkat keekonomian proyek gas di blok Mahakam.

Selanjutnya, gas dari blok tersebut juga dapat dipakai untuk domestik. Total telah berkomitmen memasok 1,5 juta ton LNG untuk keperluan industri dan pembangkit di Jawa.

”Keuntungan kedua adalah penandatanganan ini juga akan menghapus klaim kekurangan pengiriman LNG sehingga Pemerintah Indonesia tidak akan menanggung klaim biaya dari para pembeli. Kondisi ini juga akan berlaku pada kontrak baru lainnya,” papar Priyono.

Klaim shortage LNG sebanyak 90 kargo hingga tahun 2010 yang diminta oleh para pembeli Jepang kepada Indonesia dihapus. Penghapusan klaim tersebut dituangkan dalam bentuk penandatanganan deliverability resolution agreement (DRA) antara Pertamina dengan para pembeli LNG Western Buyers.

Secara terpisah, anggota Staf Ahli Direktur Hulu PT Pertamina Yoga P Suprapto mengemukakan, Indonesia seharusnya mengoperasikan penuh Blok Mahakam. ”Sekarang mengoperasikan Blok Mahakam tidak sulit, Pertamina pasti bisa. Sudah tidak ada risikonya,” kata Yoga.

Kontrak Total di Blok Mahakam akan berakhir pada 2017. Saat ini perusahaan migas asal Perancis itu sedang melakukan negosiasi perpanjangan dengan pemerintah. (DOT)

Tuesday, February 03, 2009

Bisnis.Com - Bisnis Indonesia Online: Referensi Bisnis Terpercaya » Sektor Riil » Telematika » Pengguna seluler baru naik hingga 2 juta

Bisnis.Com - Bisnis Indonesia Online: Referensi Bisnis Terpercaya » Sektor Riil » Telematika » Pengguna seluler baru naik hingga 2 juta

JAKARTA (Bisnis.com): Pengguna seluler baru di Indonesia naik hingga 2 juta orang menjadi 15,5 juta pada kuartal ketiga tahun lalu dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

Pertumbuhan tersebut mendongkrak angka pengguna seluler di Indonesia sebesar 57,1% menjadi 131,64 juta orang. Laporan terbaru yang dirilis oleh The Mobile World, seperti dikutip dari Cellular-News, menunjukkan pada kuartal II, Telkomsel, operator seluler yang memimpin pasar, hanya memperoleh tambahan pelanggan sebesar 1,1 juta.

Namun, pada kuartal III/2008, kinerja Telkomsel terlihat lebih baik dengan peningkatan jumlah pengguna baru sebesar 8,1 juta. Angka ini mendongkrak jumlah pengguna Telkomsel menjadi 60,5 juta.

Pada kuartal II/2008, pertumbuhan pengguna seluler di Indonesia didorong oleh pencapaian Indosat dengan 6 juta pelanggan dan XL dengan 4,5 juta pelanggan.

Sementara itu, pada kuartal III/2008, pengguna baru Indosat mencapai 3,1 juta. Angka ini menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan peningkatan pengguna baru pada kuartal III/2007 yang mencapai 2 juta. Untuk pengguna baru XL pada periode yang sama mengalami penurunan dari 2,6 juta pelanggan menjadi 2,2 juta.

Jumlah pelanggan Indosat secara total pada kuartal ketiga III/2008 sebesar 35,5 juta dan XL 25,1 juta.

Pangsa pasar Telkomsel turun sebesar 7,1% poin menjadi 46%, pangsa pasar Indosat naik 0,6% poin menjadi 26,9%, dan XL naik 3,8% poin menjadi 19,1%.

Operator Natrindo menjadi pemain lain yang juga mengalami peningkatan. Pelanggan Natrindo pada kuartal III/2008 bertambah 1,15 juta menjadi 1,6 juta dan berada di urutan ke enam.�

Sementara pelanggan Hutchison (merek 3) naik sebesar 0,40 juta menjadi 3,6 juta, sedangkan pengguna Mobile-8 (fren) meningkat 0,4 juta menjadi 4,2 juta.

Tingkat penetrasi seluler di Indonesia pada kuartal III/2008 tumbuh menjadi 52% dari 33,6% pada kuartal III/2007. Laporan ini menyebutkan untuk kuartal IV/2008 akan menjadi periode yang terberat bagi para operator seluler di Indonesia. The Mobile World memperkirakan tingkat penetrasi seluler hingga akhir 2008 mencapai 55%.(yn)

Tuesday, April 03, 2007

DeTIKNas: Memberi Rekomendasi, Bukan Merumuskan

Jum'at, 16 Maret 2007 - warta ekonomi.com

Pemerintah membentuk DeTIKNas untuk mempercepat penetrasi ICT. Meski komposisi pengurusnya tak banyak berbeda dengan TKTI, dewan ini menawarkan pendekatan yang lain: ICT Economic. Apa itu?

Di manakah posisi penerapan ICT Indonesia? Ini datanya: sampai sekarang, diperkirakan masih ada 43.000-an desa, dari total 72.000-an, yang belum menikmati bahkan layanan telekomunikasi yang bersifat dasar. Jadi, masih ada sekitar 60% desa-desa di Indonesia yang belum terjangkau oleh layanan telekomunikasi.

Padahal, kalau merujuk data International Telecommunication Union (ITU), sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), setiap peningkatan penetrasi information & communication technology (ICT) sebesar 1%, ia akan mampu memicu pertumbuhan ekonomi sampai dengan 3%. Lalu, untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi, ia akan mampu menciptakan 400.000 lapangan kerja.

Jadi, begitu pentingnya peran ICT dalam perekonomian nasional. Maka, tak heran kalau pada Kamis (28/12) pagi, sejumlah menteri dan petinggi pemerintahan lainnya hadir di ruang rapat kantor Menko Perekonomian. Mereka adalah Menteri Kominfo Sofyan Djalil, Mendiknas Bambang Sudibyo, Menneg Ristek Kusmayanto Kadiman, Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, dan Menteri Perdagangan Mari Pangestu. Hari itu, mereka menggelar rapat koordinasi terbatas tentang Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DeTIKNas).
DeTIKNas, apa itu? Apa pula kaitannya dengan percepatan penetrasi ICT di Indonesia?Nama DeTIKNas memang melambung sejak akhir 2006. Dibentuk berdasarkan Keppres No. 20/2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi mengumumkan kelahiran dewan ini di Istana Bogor, Senin (13/11) tahun lalu. Sesuai Keppres itu, dewan ini diketuai langsung oleh Presiden SBY, dengan wakil ketua Menko Perekonomian Boediono. Sementara itu, Pengurus Harian diketuai Menteri Kominfo Sofyan Djalil, dengan beranggotakan sembilan menteri lainnya (Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian, Menteri Diknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menneg Ristek, dan Sekretaris Kabinet).

Melihat komposisi pengurusnya, sekilas dewan ini mirip dengan Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang dibentuk semasa pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid. Tim yang dibentuk lewat Keppres No. 50/2000 ini diketuai oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan wakil ketua I Menko Ekuin, dan wakil ketua II dijabat oleh Menteri Negara PAN. Di jajaran anggotanya, ada 16 menteri. Semuanya ex officio.

Kecuali Tim Koordinasi, TKTI juga memiliki Tim Pelaksana Harian yang dipimpin oleh Menneg PAN. Tugas pokok tim ini adalah merumuskan kebijakan pemerintah dalam bidang telematika.Dalam TKTI, Departemen Kominfo memainkan peran kunci. Bahkan, lewat Keppres No. 9/2003, Presiden Megawati menunjuk langsung Menteri Negara Urusan Komunikasi sebagai ketua, dengan anggotanya adalah tujuh pejabat setingkat menteri.

Bagaimana kinerjanya? Dalam sebuah kolomnya, Eddy Satriya, senior infrastructure economist yang pernah menjadi anggota sekretariat TKTI, menulis: “… ketidakberhasilan sinkronisasi dan koordinasi ICT selama ini mendorong pemerintah mewujudkan DeTIKNas yang sangat diharapkan dapat menaikkan daya saing bangsa melalui pemanfaatan ICT.”

Beda Tugas Ada perbedaan pokok tugas DeTIKNas dengan TKTI. Dulu, salah satu tugas pokok TKTI adalah merumuskan kebijakan pemerintah dalam bidang telematika. Nah, DeTIKNas lain. Menurut Menteri Sofyan, salah satu tugas pokok DeTIKNas adalah memberikan rekomendasi tentang kebijakan pengembangan TI yang efisien dan efektif di Indonesia. Kata “memberikan rekomendasi” ini jelas berbeda dengan “merumuskan”. Mana yang lebih efektif dampaknya, masih harus ditunggu.

Salah satu penyebab kurang efektifnya kinerja TKTI adalah karena anggota timnya terdiri dari para menteri—orang-orang yang super sibuk. Adakah DeTIKNas, yang anggotanya juga terdiri dari para menteri, bakal bernasib serupa?

Mungkin untuk meretas masalah tersebut maka dewan ini dilengkapi dengan Tim Pelaksana. Komposisinya, ketua tim masih dijabat oleh Menteri Kominfo Sofyan Djalil. Nah, bedanya, posisi wakil ketua kali ini diisi oleh “orang swasta”, yakni mantan managing partner PricewaterhouseCoopers di Indonesia, Kemal Stamboel. Satu wakil lagi oleh dirjen Aplikasi Telematika, Departemen Kominfo, Cahyana Ahmadjayadi. Sementara itu, untuk sekretaris tim dijabat oleh Lambock Nahathan dari Kementerian Sekretaris Kabinet.

Perbedaan lainnya lagi, di jajaran anggota Tim Pelaksana, sebagian besar terdiri dari mantan “orang swasta”. Mereka, antara lain, mantan Menteri Perhubungan Giri Suseno, mantan dirut PT Indosat Jonathan L. Parapak, Hari Sulistiono yang eks dirut PT IBM Indonesia dan TVRI, mantan dirut LippoBank Jos F. Luhukay, dan Andi Siwaka Okta. "Komposisi kepengurusan ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menangani pengembangan ICT di Tanah Air," tandas Menteri Sofyan.

Selain Tim Pelaksana, ini sama dengan komposisi di TKTI, DeTIKNas juga memiliki Tim Mitra yang terdiri dari akademisi, praktisi, dan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam industri ICT, seperti Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki), Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Indonesia Mobile and Online Content Provider Association (IMOCA), dan organisasi-organisasi berbasis ICT lainnya.

Less Capex, More Opex Seakan mengejar setoran, DeTIKNas langsung menggelar sejumlah rapat guna memberikan rekomendasi bagi kebijakan penerapan ICT di Indonesia. Salah satu rekomendasinya adalah menyangkut konsep ICT Economic. Apa itu? Kemal Stamboel menuturkan, “Kami mengembangkan less capex (capital expenditure), more opex (operational expenditure). Pemerintah sebaiknya tidak tanam modal, tetapi memanfaatkan fasilitas yang ada dan sharing dengan industri. Ini agar bujet lebih efisien karena pemerintah tidak harus membangun menara dan segala macamnya, tetapi cukup menyewa dari vendor dan provider yang ada.”

Konsep ICT Economic juga membuat pemerintah tak perlu pusing memikirkan pesatnya perkembangan teknologi. Bayangkan jika pemerintah mesti membenamkan dana untuk sebuah solusi berbasis ICT, ternyata beberapa tahun kemudian muncul teknologi yang baru. “Dengan ICT Economic, pemerintah tak perlu lagi memikirkan teknologi yang terus berkembang. Semua menjadi urusan para vendor. Ini juga membuat industri yang menyediakan jasa atau services bisa berkembang,” lanjut Kemal.

Selain mengintrodusir konsep ICT Economic, DeTIKNas juga memancangkan tujuh flagship program, yakni e-Procurement, e-Anggaran, National Single Window (NSW), e-Education, Palapa Ring, legalisasi software pemerintah, dan Nomor Identitas Nasional (NIN). Flagship program ini sepenuhnya merupakan inisiatif dan milik pemerintah, tapi dalam pelaksananya bisa melibatkan swasta. Namun, peran swasta di sini sebatas penyedia jasa layanan (provider).
Peran swasta dalam flagship program sangat penting, sebab harga untuk program-program tersebut terbilang mahal. Misalnya NSW, menurut sekretaris tim NSW Edy Putra Irawadi, sebagaimana dikutip Kontan, di Singapura dan Thailand, biaya desainnya saja bisa mencapai US$12-14 juta. Sementara, biaya membangun sistemnya bisa mencapai US$300-400 juta. Nilai ini tentu sangat besar jika harus ditanggung APBN.

Dengan melibatkan swasta, kelak investasi untuk flagship program semacam NSW bisa ditanggung mereka. Pembayarannya bisa dilakukan lewat konsep pay per used. Artinya, konsumen yang akan mengurus dokumen kepabeanan, misalnya, yang harus membayar.
Adanya flagship program semacam NSW disambut antusias oleh kalangan dunia usaha. Sebab, implementasi NSW akan memangkas lamanya proses pengurusan perizinan. Lama waktu dan biaya pengurusan izin-izin pun menjadi lebih pasti. Menurut Fredy Sutrisno, sekjen Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), proses perizinan kepabeanan secara elektronik ini akan memotong waktu ekspor maupun impor kendaraan.

Lanjut Fredy, selama ini industri otomotif memang tidak mengalami kesulitan dalam mengurus izin ekspor-impor. Namun, kalau lamanya waktu bisa dipangkas, tentu ini lebih baik. “Apalagi pemerintah punya kepentingan terhadap perolehan devisa yang dihasilkan dari ekspor-impor mobil tersebut”, ujarnya.

Mawardi Arif, direktur PT Greenland Niaga, mengungkapkan hal senada. “Kalau memang akan ada layanan yang bisa lebih efisien, saya akan tunggu itu,” tuturnya. Namun, pengusaha yang bergerak dalam bidang perdagangan internasional ini berharap NSW bisa menyediakan beberapa opsi. Misalnya, soal asuransi, akan lebih baik jika banyak pilihan. “Sebab, kamilah yang membeli jasanya,” tandas Mawardi.

Namun, Mawardi mencemaskan soal security dan update datanya. Kecemasan pria 33 tahun ini beralasan. Sebab, Indonesia belum memiliki Cyber Law untuk menjerat pelaku-pelaku cyber crime. “Saya takut ada pihak-pihak yang menyalahgunakan nomor identitas kami untuk kepentingan ekspor-impor,” katanya. Berarti, ada satu tugas lagi untuk DeTIKNas.

HOUTMAND P. SARAGIH, J.B. SOESETIYO, DAN DIVERA WICAKSONO

Monday, July 04, 2005

"Open Source" dan Wajah Warnet Nusantara

Kompas, 4 Juli 2005


Agus, demikian ia mengenalkan diri, di siang terik itu langsung gugup ketika ditemui di warung internetnya yang baru beroperasi dua bulan. Kegugupannya makin menjadi ketika pembicaraan menyinggung isu razia penggunaan peranti lunak bajakan di warnet-warnet.

Semula ia menolak berbincang lebih jauh dan merujuk warnet lain, tetapi setelah dibujuk-bujuk akhirnya dia mau juga dengan berbagai persyaratan. ”Jangan sebut nama saya maupun warnetnya ya,” katanya.

Belakangan ketahuan, sumber kegugupan Agus adalah beberapa aplikasi peranti lunak di enam unit komputernya adalah hasil bajakan. Ia mengaku hanya dua yang berperanti lunak berlisensi.

Bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu. Semua itu dilakukan untuk segera menambah modal karena ia harus mengembalikan tanggungan kerugian puluhan juta rupiah akibat tempat usahanya itu dibobol maling. ”Baru jalan dua bulan sudah ada razia, waswas juga saya,” ucapnya.

Ia sebenarnya sudah berusaha mematuhi ketentuan dengan bermigrasi ke aplikasi berbasis open source seperti Linux. ”Tapi pelanggan saya pada pergi,” katanya.

Ia masih mengaplikasikan beberapa program berbasis open source seperti Mozilla browser dan aplikasi perkantoran open office. Agar pelanggan warnetnya tidak kaget, aplikasi perkantoran itu di tampilan komputernya ia tulis ”gantinya ms word”, ”gantinya power point”, atau ”gantinya excel”.

Cermin situasi

Kekhawatiran Agus bisa jadi ”wajah” ribuan pengelola warnet di seluruh Nusantara. Sebagai bisnis kelas kecil dan menengah, modal sudah tentu terbatas. Untuk bertahan, kreativitas seperti menggunakan peranti lunak bajakan atau mengopi tanpa izin jamak dilakukan. Siapa mau merugi?

Di Semarang, kondisi ber-”ilegal ria” itu malah sudah dimanfaatkan sejumlah oknum. Dengan alasan sudah ada undang-undangnya, polisi menggerebek warnet yang dianggap mengomersialkan aplikasi komputer tanpa izin. Malah mereka juga menyita puluhan komputer dan untuk menebusnya, si pemilik harus menyerahkan sejumlah uang. ”Tidak ada perintah operasi khusus dari kami,” kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Soenarko D Ardanto ketika dikonfirmasi beberapa waktu lalu.

Perintah khusus memang tidak ada, tetapi peristiwa di lapangan telanjur menimbulkan korban dan menebar kekhawatiran. Padahal tak terhitung pelajar, mahasiswa, karyawan, dan masyarakat umum yang banyak bergantung kepada keberadaan warnet.

Ingin bukti? Lihat saja warnet-warnet di sekitar kampus pada hari biasa, apalagi masa libur. Tak sedikit para pengguna yang harus patungan untuk menyiasati keterbatasan uang saku mereka.

Ketua Umum Federasi Teknologi Informasi Indonesia Teddy Sukardi mengatakan, mahalnya harga produk peranti lunak, di antaranya buatan Microsoft, terkait dengan cost of ownership.

Oleh karena itu, menggunakan peranti lunak bajakan tetaplah melanggar hukum.

Persoalannya kini jalan keluar harus diupayakan demi ribuan tenaga kerja yang bergantung pada usaha warnet serta jutaan pelajar dan mahasiswa yang menggunakannya.

”Open source”

Aplikasi berbasis open source merupakan jawaban atas persoalan yang kembali muncul. ”Selain perlu ada contoh warnet open source, harus diciptakan pula infrastruktur untuk replikasinya,” kata Teddy.

Pakar teknologi komunikasi dan informasi Onno W Purbo berpendapat, open source harus dikenalkan sejak jenjang SMP/SMA.

Menurut dia, tidak sedikit orang Indonesia terkenal di kalangan komunitas open source. Sebagian aktif mengisi situs web open source.

”Mewujudkan aplikasi komputer yang murah sebenarnya mudah, tergantung pemerintahnya saja,” paparnya.

Salah satu yang disayangkan, pemimpin negeri ini justru mendekatkan diri dengan industri peranti lunak dunia yang mengklaim hak kepemilikan (proprietary) yang bermarkas di Redmont, Amerika Serikat.

Tampaknya Indonesia perlu belajar dari Thailand, yang intensif mengembangkan produk aplikasi komputer berbasis open source.

Kalau saja Agus tinggal di Thailand, ia tidak perlu lagi pucat mendengar kata ”razia”.(Gesit Ariyanto)