Jum'at, 16 Maret 2007 -
warta ekonomi.comPemerintah membentuk DeTIKNas untuk mempercepat penetrasi ICT. Meski komposisi pengurusnya tak banyak berbeda dengan TKTI, dewan ini menawarkan pendekatan yang lain: ICT Economic. Apa itu?
Di manakah posisi penerapan ICT Indonesia? Ini datanya: sampai sekarang, diperkirakan masih ada 43.000-an desa, dari total 72.000-an, yang belum menikmati bahkan layanan telekomunikasi yang bersifat dasar. Jadi, masih ada sekitar 60% desa-desa di Indonesia yang belum terjangkau oleh layanan telekomunikasi.
Padahal, kalau merujuk data International Telecommunication Union (ITU), sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), setiap peningkatan penetrasi information & communication technology (ICT) sebesar 1%, ia akan mampu memicu pertumbuhan ekonomi sampai dengan 3%. Lalu, untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi, ia akan mampu menciptakan 400.000 lapangan kerja.
Jadi, begitu pentingnya peran ICT dalam perekonomian nasional. Maka, tak heran kalau pada Kamis (28/12) pagi, sejumlah menteri dan petinggi pemerintahan lainnya hadir di ruang rapat kantor Menko Perekonomian. Mereka adalah Menteri Kominfo Sofyan Djalil, Mendiknas Bambang Sudibyo, Menneg Ristek Kusmayanto Kadiman, Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, dan Menteri Perdagangan Mari Pangestu. Hari itu, mereka menggelar rapat koordinasi terbatas tentang Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DeTIKNas).
DeTIKNas, apa itu? Apa pula kaitannya dengan percepatan penetrasi ICT di Indonesia?Nama DeTIKNas memang melambung sejak akhir 2006. Dibentuk berdasarkan Keppres No. 20/2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi mengumumkan kelahiran dewan ini di Istana Bogor, Senin (13/11) tahun lalu. Sesuai Keppres itu, dewan ini diketuai langsung oleh Presiden SBY, dengan wakil ketua Menko Perekonomian Boediono. Sementara itu, Pengurus Harian diketuai Menteri Kominfo Sofyan Djalil, dengan beranggotakan sembilan menteri lainnya (Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian, Menteri Diknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menneg Ristek, dan Sekretaris Kabinet).
Melihat komposisi pengurusnya, sekilas dewan ini mirip dengan Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang dibentuk semasa pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid. Tim yang dibentuk lewat Keppres No. 50/2000 ini diketuai oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan wakil ketua I Menko Ekuin, dan wakil ketua II dijabat oleh Menteri Negara PAN. Di jajaran anggotanya, ada 16 menteri. Semuanya ex officio.
Kecuali Tim Koordinasi, TKTI juga memiliki Tim Pelaksana Harian yang dipimpin oleh Menneg PAN. Tugas pokok tim ini adalah merumuskan kebijakan pemerintah dalam bidang telematika.Dalam TKTI, Departemen Kominfo memainkan peran kunci. Bahkan, lewat Keppres No. 9/2003, Presiden Megawati menunjuk langsung Menteri Negara Urusan Komunikasi sebagai ketua, dengan anggotanya adalah tujuh pejabat setingkat menteri.
Bagaimana kinerjanya? Dalam sebuah kolomnya, Eddy Satriya, senior infrastructure economist yang pernah menjadi anggota sekretariat TKTI, menulis: “… ketidakberhasilan sinkronisasi dan koordinasi ICT selama ini mendorong pemerintah mewujudkan DeTIKNas yang sangat diharapkan dapat menaikkan daya saing bangsa melalui pemanfaatan ICT.”
Beda Tugas Ada perbedaan pokok tugas DeTIKNas dengan TKTI. Dulu, salah satu tugas pokok TKTI adalah merumuskan kebijakan pemerintah dalam bidang telematika. Nah, DeTIKNas lain. Menurut Menteri Sofyan, salah satu tugas pokok DeTIKNas adalah memberikan rekomendasi tentang kebijakan pengembangan TI yang efisien dan efektif di Indonesia. Kata “memberikan rekomendasi” ini jelas berbeda dengan “merumuskan”. Mana yang lebih efektif dampaknya, masih harus ditunggu.
Salah satu penyebab kurang efektifnya kinerja TKTI adalah karena anggota timnya terdiri dari para menteri—orang-orang yang super sibuk. Adakah DeTIKNas, yang anggotanya juga terdiri dari para menteri, bakal bernasib serupa?
Mungkin untuk meretas masalah tersebut maka dewan ini dilengkapi dengan Tim Pelaksana. Komposisinya, ketua tim masih dijabat oleh Menteri Kominfo Sofyan Djalil. Nah, bedanya, posisi wakil ketua kali ini diisi oleh “orang swasta”, yakni mantan managing partner PricewaterhouseCoopers di Indonesia, Kemal Stamboel. Satu wakil lagi oleh dirjen Aplikasi Telematika, Departemen Kominfo, Cahyana Ahmadjayadi. Sementara itu, untuk sekretaris tim dijabat oleh Lambock Nahathan dari Kementerian Sekretaris Kabinet.
Perbedaan lainnya lagi, di jajaran anggota Tim Pelaksana, sebagian besar terdiri dari mantan “orang swasta”. Mereka, antara lain, mantan Menteri Perhubungan Giri Suseno, mantan dirut PT Indosat Jonathan L. Parapak, Hari Sulistiono yang eks dirut PT IBM Indonesia dan TVRI, mantan dirut LippoBank Jos F. Luhukay, dan Andi Siwaka Okta. "Komposisi kepengurusan ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menangani pengembangan ICT di Tanah Air," tandas Menteri Sofyan.
Selain Tim Pelaksana, ini sama dengan komposisi di TKTI, DeTIKNas juga memiliki Tim Mitra yang terdiri dari akademisi, praktisi, dan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam industri ICT, seperti Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki), Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Indonesia Mobile and Online Content Provider Association (IMOCA), dan organisasi-organisasi berbasis ICT lainnya.
Less Capex, More Opex Seakan mengejar setoran, DeTIKNas langsung menggelar sejumlah rapat guna memberikan rekomendasi bagi kebijakan penerapan ICT di Indonesia. Salah satu rekomendasinya adalah menyangkut konsep ICT Economic. Apa itu? Kemal Stamboel menuturkan, “Kami mengembangkan less capex (capital expenditure), more opex (operational expenditure). Pemerintah sebaiknya tidak tanam modal, tetapi memanfaatkan fasilitas yang ada dan sharing dengan industri. Ini agar bujet lebih efisien karena pemerintah tidak harus membangun menara dan segala macamnya, tetapi cukup menyewa dari vendor dan provider yang ada.”
Konsep ICT Economic juga membuat pemerintah tak perlu pusing memikirkan pesatnya perkembangan teknologi. Bayangkan jika pemerintah mesti membenamkan dana untuk sebuah solusi berbasis ICT, ternyata beberapa tahun kemudian muncul teknologi yang baru. “Dengan ICT Economic, pemerintah tak perlu lagi memikirkan teknologi yang terus berkembang. Semua menjadi urusan para vendor. Ini juga membuat industri yang menyediakan jasa atau services bisa berkembang,” lanjut Kemal.
Selain mengintrodusir konsep ICT Economic, DeTIKNas juga memancangkan tujuh flagship program, yakni e-Procurement, e-Anggaran, National Single Window (NSW), e-Education, Palapa Ring, legalisasi software pemerintah, dan Nomor Identitas Nasional (NIN). Flagship program ini sepenuhnya merupakan inisiatif dan milik pemerintah, tapi dalam pelaksananya bisa melibatkan swasta. Namun, peran swasta di sini sebatas penyedia jasa layanan (provider).
Peran swasta dalam flagship program sangat penting, sebab harga untuk program-program tersebut terbilang mahal. Misalnya NSW, menurut sekretaris tim NSW Edy Putra Irawadi, sebagaimana dikutip Kontan, di Singapura dan Thailand, biaya desainnya saja bisa mencapai US$12-14 juta. Sementara, biaya membangun sistemnya bisa mencapai US$300-400 juta. Nilai ini tentu sangat besar jika harus ditanggung APBN.
Dengan melibatkan swasta, kelak investasi untuk flagship program semacam NSW bisa ditanggung mereka. Pembayarannya bisa dilakukan lewat konsep pay per used. Artinya, konsumen yang akan mengurus dokumen kepabeanan, misalnya, yang harus membayar.
Adanya flagship program semacam NSW disambut antusias oleh kalangan dunia usaha. Sebab, implementasi NSW akan memangkas lamanya proses pengurusan perizinan. Lama waktu dan biaya pengurusan izin-izin pun menjadi lebih pasti. Menurut Fredy Sutrisno, sekjen Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), proses perizinan kepabeanan secara elektronik ini akan memotong waktu ekspor maupun impor kendaraan.
Lanjut Fredy, selama ini industri otomotif memang tidak mengalami kesulitan dalam mengurus izin ekspor-impor. Namun, kalau lamanya waktu bisa dipangkas, tentu ini lebih baik. “Apalagi pemerintah punya kepentingan terhadap perolehan devisa yang dihasilkan dari ekspor-impor mobil tersebut”, ujarnya.
Mawardi Arif, direktur PT Greenland Niaga, mengungkapkan hal senada. “Kalau memang akan ada layanan yang bisa lebih efisien, saya akan tunggu itu,” tuturnya. Namun, pengusaha yang bergerak dalam bidang perdagangan internasional ini berharap NSW bisa menyediakan beberapa opsi. Misalnya, soal asuransi, akan lebih baik jika banyak pilihan. “Sebab, kamilah yang membeli jasanya,” tandas Mawardi.
Namun, Mawardi mencemaskan soal security dan update datanya. Kecemasan pria 33 tahun ini beralasan. Sebab, Indonesia belum memiliki Cyber Law untuk menjerat pelaku-pelaku cyber crime. “Saya takut ada pihak-pihak yang menyalahgunakan nomor identitas kami untuk kepentingan ekspor-impor,” katanya. Berarti, ada satu tugas lagi untuk DeTIKNas.
HOUTMAND P. SARAGIH, J.B. SOESETIYO, DAN DIVERA WICAKSONO